Peperangan di Mata Crust-Punk, Anarkis dan islam.
Meski penganut anarkisme menolak penggunaan kekerasan dan memproklamasikan tindakan pasifisme, para anarkis mengaku bukan berarti mereka pasif (diam saja) ketika diperlakukan kekerasan terhadapnya. Pengakuan mereka para anarkis adalah kekerasan bisa saja mereka lakukan dalam kondisi-kondisi tertentu. Tidak sekedar bersikap anti militerisme dan melawan segala bentuk pengorganisasian kekerasan yang dilakukan negara, para anarkis lebih menekankan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh para penindas sangatlah berbeda dengan kekerasan yang dilakukan oleh pihak yang tertindas.
Pemikiran inilah yang mendasari mengapa gerakan-gerakan anarkis selalu banyak mengambil bagian dalam perlawanan terhadap militer dan perang yang dilakukan oleh kapitalis-negara, yang disaat yang sama mereka juga mendukung dan mengorganisir ‘peperangan’ melawan penindasan. Sebagaimana yang dilakukan tentara Makhnovist selama Revolusi Rusia yang melawan kelompok diktator ‘merah’ dan ‘putih’ sekaligus, dan kelompok anarkis militan yang dibentuk untuk melawan fasisme selama Revolusi Spanyol.
Para penganut anarkis kaffah akan setuju terhadap apa yang dilakukan pasifis-anarko-sindikalis asal Jerman Bart de Ligt yang pernah menyebut soal “kerancuan pasifisme boejuis.” Baginya, kekerasan adalah sesuatu yang melekat pada sistem kapitalis, dan berusaha untuk menjadikan kepasifan kapitalisme musnah karena kegagalannya. Ini dikarenakan, disatu sisi, perang biasanya hanyalah bentuk kompetisi ekonomi yang sering dimunculkan dengan rupa yang lain. Negara biasanya melakukan peperangan saat mereka menghadapi krisis ekonomi, apa yang tidak bisa mereka dapatkan saat mereka memperjuangkan nasib ekonomi mereka, mereka melibatkan diri pada konflik. Di sisi lainnya, de Light mengatakan, “kekerasan adalah sesuatu yang sangat diperlukan dalam masyarakat modern… tanpa itu, kelas yang berkuasa tidak akan mampu mengatur posisi hak-hak istimewa mereka secara ‘terhormat’ untuk masyarakat yang terekploitasi di setiap negara. Pasukan militer digunakan yang pertama dan utama untuk menahan para pekerja… saat mereka merasa tidak puas.”
Begitu juga tokoh anarkis perempuan, Emma Goldman, yang mengatakan:
“Tidak juga cukup dengan bergabung pada pasifis borjuis, yang menyatakan perdamaian diantara negara-negara, sedangkan disisi lain membantu untuk melanggengkan peperangan antar kelas, suatu perang dimana realitas ditempatkan dipaling bawah dari seluruh peperangan lainnya.”
“Ini adalah perang kelas dimana kita harus berkonsentrasi didalamnya, dan dalam hubungannya terhadap perang melawan nilai-nilai, melawan institusi-institusi jahat, melawan seluruh kekejaman sosial. Itu semua yang menjadi kebutuhan penting dari kooperasi dalam perjuangan-perjuangan besar… harus mengorganisir kesiapan dari masyarakat untuk melawan keduanya, kapitalisme dan negara. Kesiapan industri dan ekonomi adalah hal yang paling diperlukan para pekerja. Mereka sendiri yang memimpin revolusi dari dasar…Mereka sendiri yang akan memberikan pemahaman untuk membawa anak-anak mereka keluar dari lingkungan kemiskinan, keluar dari toko-toko permen dan pabrik-pabrik kapas… mereka sendiri yang memimpin kearah kebebasan ekonomi dan sosial, dan lepas dari seluruh perang, seluruh kejahatan dan seluruh ketidakadilan.”
Jadi, seluruh anarkis adalah anti-militer dan berseberangan keduanya – mesin militer (yang melindungi industri) sebagaimana mereka juga anti terhadap perang yang dilakukan negara/kapitalis (meskipun sebagian kecil pemikir anarkis seperti Rudolf Rocker dan Sam Dolgoff mendukung kapitalis yang anti-fasis selama perang dunia kedua sebagai pihak yang memiliki kejahatan paling sedikit). Mereka, para anarkis sudah terlibat cukup lama dalam gerakan damai selama mereka juga berperan dalam perlawanan terhadap wajib militer yang tetap ada dan secara aktif bertolak belakang dengan perang melawan kapitalisme.
Dalam perjuangan para anarkis menolak peperangan, dipopulerkan dengan slogan“No war but the class war” yang artinya“Tidak ada perang kecuali perang kelas”yang akhirnya menjadi prinsip utama para anarkis dalam menyikapi masalah perang. Band punk anarkis asal Inggris juga memiliki slogan serupa yang mereka teriakkan dalam lagu-lagu mereka berbunyi “Fight war, not wars”, yang artinya, para anarkis melawan peperangan, tapi tidak semua jenis perang. Karena satu-satunya peperangan yang masih mereka kobarkan adalah perang kelas. Menghancurkan tatanan kelas sosial yang mereka anggap menindas dan tidak adil.
Bukan hanya itu, band-band crust-punk/anarcho-punk sering menuduh agama sebagai penyebab utama peperangan di muka bumi. Sebut saja THE VARUKERS, DISCHARGE, DISRUPT, HELLBASTARD dan AMEBIX, serta ratusan band lain yang terpengaruh oleh pemikiran dan musik mereka.
“They’re fighting out in Lebanon
I really don’t know why
Tanks are rolling in Israel
Jets have hit the sky
Another religion, another war
They’re bombing people in their houses
They’re being blown to bits
Shoot them in the streets
Die for a myth”—(“Another religion, another war” – The Varukers)
anarkisme memang paham yang landasan berpikirnya terhadap penguasa adalah prasangka buruk.Su’uzhan, jika menggunakan istilah Islam. Bagi mereka, penguasa pasti menindas. Negara pasti tidak adil. Perang pastilah didasari kerakusan akan kekuasaan. Semua dianggap selalu bermotif hawa nafsu, sebagaimana kapitalisme yang selama ini mereka kenal. Sebagaimana yang dimaki-maki Craig O Hara dalam tulisannya populer berjudul “Anarchism”, dia memberikan kesimpulan yang paten terhadap perang, yaitu perang adalah upaya untuk mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya oleh kapitalis. Jika bukan karena kapitalisme, seringkali perang dianggap dari buah faham fasisme, sehingga perang antar negara yang beda agama dianggap sebagai bentuk praktek fasisme agama.
Padahal tidak selalu demikian. Malah terlihat jelas bahwa pihak yang dilawan dengan pihak yang melawan sama-sama mengedepankan hawa nafsu. Kapitalisme bernafsu terhadap kekuasaan, keuntungan, kekayaan dan dominasi. Sedangkan, anarkisme sama saja. Nafsunya adalah mengedepankan emosi dalam melihat fenomena di dunia, yang akibatnya menghukumi secara “pukul rata” terhadap segala bentuk perang, kekuasaan, dan negara sebagai bentuk praktik kejahatan terhadap keadilan dan kemanusiaan. Meskipun memang ada beberapa kasus kekuasaan dan negara disalahgunakan untuk kepentingan hawa nafsu (yang seperti ini juga ditentang didalam pandangan Islam), tapi tidak adil jika kita menutup mata bahwa kenyataannya memang ada kekuasaan dan negara yang benar-benar adil dimuka bumi ini.
Ditambah lagi, para elitis Barat menganggap umat Islam adalah umat yang penuh kebencian, sadis, anti-kafir, membahayakan, dan selalu jadi trouble maker, yang akhirnya mereka jadikan alasan untuk membantai negeri-negeri muslim. Padahal, apa benar demikian? Jika kita ingin tahu jawabannya, maka mau tidak mau kita harus membahas tentang fikih peperangan dalam Islam. Didalam beberapa kita para ulama terdahulu ada beberapa pemikiran prinsip yang harus dipahami agar kita tidak salah paham tentang isu ini.
Prinsip pertama, Islam adalah agama yang mengedepankan perdamaian daripada konflik.
Perdamaian adalah prinsip dasar Islam. Sebagaimana Allah memerintahkan orang-orang mukmin dengan firman:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam (As-Silmi) secara keseluruhan (kaaffah), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah 208)
Menurut Tafsir Ibnu Katsir, makna “As-Silmi” atau “perdamaian” dalam ayat tersebut adalah Islam.
Kedamaian menjadi karakteristik dari Islam karena hal tersebut bisa menumbuhkan rasa tenang bagi manusia, jiwa, rumah, komunitas masyarakat dan sekitarnya.
Kedamaian didalam Islam merupakan kondisi mendasar yang mengkonstruksi sikap saling tolong menolong dan mengenal serta menebarkan kebaikan antar sesama manusia. Tidak hanya kepada sesama muslim, Islam juga memelihara keselamatan dan kedamaian kepada non-muslim, karena dalam pandangan Islam semua manusia itu saudara dari sisi kemanusiaan.
Meskipun tidak ada perjanjian tertulis sekalipun, rasa keamanan harus menjadi ketetapan antara kaum muslimin dan non-muslim. Hal tersebut sudah menjadi kepastian dan menjadi asas mendasar, sehingga siapapun tidak boleh dirusak oleh pihak yang berkonflik.
Maka dari itu, setiap muslim wajib menjaga hubungan kasih sayang dengan non-muslim sekalipun, baik dalam konteks antar individu (muslim dengan non-muslim) maupun antar negara (negara muslim dengan negara non-muslim).
Sebagaimana tertulis didalam Al-Quran Surat Al-Hujuraat ayat 13 bahwa diciptakannya manusia dengan berbagai suku, bangsa dan negara bukan untuk saling memusuhi dan menghancurkan satu sama lain, tapi untuk saling mengenal dan saling mencintai.
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujuraat: 13)
Mengikat janji dalam perdamaian dengan orang non-muslim dan bersedia hidup dalam kasih sayang juga merupakan perintah Allah Swt. Sebagaimana dalam Al-Quran:
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Al-Anfaal 61)
Dalil-dalil diatas adalah bukti nyata dan jelas bahwa Islam adalah agama yang mencintai kedamaian dan mengedepankan perasaan kasih sayang daripada berperang. Apabila musuh-musuh Islam lebih cenderung untuk berdamai, maka kamu muslimin pun ridha dengan itu, selagi perjanjian tersebut tidak memusnahkan hak-hak kaum muslimin atau memasung kehendak mereka.
Prinsip kedua, Islam menjaga perdamaian dan keselamatan dengan menciptakan perjanjian antara kaum muslimin dengan non-muslim.
Jika yang melandasi hubungan muslim dengan non-muslim adalah perdamaian, maka saat terjadi konflik, perjanjian adalah upaya agar terjadi gencatan senjata dan kembali kepada perdamaian yang abadi. Fungsi perjanjian disini adalah agar selepas disepakatinya perjanjian damai itu tidak ada lagi kemungkinan saling bertikai, kecuali jika terdapat pelanggaran dari salah satu pihak terhadap perjanjian.
Dalam sejarah Islam, perjanjian damai semacam ini pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dengan penduduk Yahudi di Madinah. Isi dari perjanjian itu mengajak orang-orang Yahudi bahu-membahu bersama kaum muslim hidup dalam satu teritori dan tidak saling memerangi. Umat Yahudi yang ketika itu bergabung dengan kaum muslimin adalah Bani Auf, Bani Najar, Bani Harits, Bani Saidah, Bani Jasyam, Bani Aus, dan Bani Syatibah. Bagi mereka, dibebaskan menjalankan agama mereka dan bagi kaum muslimin pun demikian. Masing-masing menjaga harta dan jiwa mereka, kecuali bagi orang-orang yang berbuat zhalim dan dosa. Mereka tidak akan celaka kecuali karena perbuatan mereka sendiri yang mengkhianati perjanjian.
Perjanjian yang dibuat bersama negara/kelompok/individu yang non-muslim harus bermuatan kebaikan yang tinggi. Sedangkan kebaikan dalam membuat perjanjian secara Islami harus mencakup beberapa persyaratan,pertama, penjanjian tersebut tidak boleh menghapus undang-undang syariat Islam karena hal itu merupakan dasar kepribadian umat Islam. Kedua, perjanjian tersebut harus menghasilkan rasa ridho antara kedua belah pihak. Ini membuktikan bahwa Islam menghindari adanya kesewenangan dalam perjanjian.Ketiga, perjanjian itu harus memiliki tujuan yang jelas dan transparan, diketahui secara umum, menerapkan hak-hak kewajiban yang tidak ambigu dalam penggunaan kata-kata.
Umat Islam wajib memenuhi setiap perjanjian yang dibuat dengan siapapun. Sebagaimana Allah Swt firmankan dalam Al-Quran:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad (perjanjian) itu.”(QS. Al-Maidah)
“Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah Mengadakan Perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, Maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.” (QS. At-Taubah 4)
Sedangkan Rasulullah Saw sendiri mengatakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh muttafaqun alaihbahwa orang yang suka melanggar janji adalah ciri-ciri orang munafik.
“Empat sifat yang barangsiapa mendapatinya dalam dirinya, maka dia seorang munafik;…jika berjanji tidak menepati…Barangsiapa yang mendapati sifat diantara empat sifat diatas, dia mendapati sifat orang munafik sampai dia meninggalkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Begitu pula dengan beberapa hadits lainnya:
“Setiap penipu mempunyai bendera pada hari Kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Waspadalah orang yang melanggar penjanjian, jangan pula mencemarinya, sehingga berlalu masanya, dan hendaklah menumbuhkan rasa adil kepada mereka.”(HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad)
Apa yang disampaikan dalam dalil-dalil bahwa umat Islam adalah umat yang memegang teguh perjanjian bukanlah sekedar janji-janji tapi telah dibuktikan dengan rekam sejarah yang sangat banyak. Sejak Rasulullah Saw masih hidup, dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin, sampai masa-masa khalifah yang selanjutnya.
Prinsip ketiga, jika perang memang harus terjadi maka selalu didasari oleh sebab dan tujuan yang kuat.
Dalam membahas tujuan perang dalam Islam sebenarnya tidak bisa dijelaskan dengan lengkap melalui tulisan pendek ini. Karena kita tidak bisa memahami tujuan-tujuan perang ini dengan benar, kecuali dengan melakukan pembacaan terhadap teks-teks syariat yang kuat dan jelas, yang tidak memungkinkan bagi seorang mukmin berbuat apa-apa atas teks-teks tersebut kecuali mengatakan,“Kami mendengar dan kami taat”. Memahami motif dan tujuan peperangan yang sesuai dengan syariat Islam adalah kunci utama dalam menjawab tuduhan-tuduhan kaum anarkis yang menyalahkan siapapun yang membenarkan peperangan sekaligus tuduhan para elitis Barat yang menganggap bahwa Islam agama yang sadis membenarkan tindakan terorisme melalui peperangan.
Secara umum, yang menjadi memberikan benang merah dari tujuan-tujuan peperangan Islam adalah tidak didasari oleh insting kemarahan yang buta semata, melainkan berdasarkan tujuan yang jelas dan dipertanggungjawabkan. Bukan sekedar hawa nafsu semata, apalagi bernuansa kapitalisme atau fasisma yang berkedok agama seperti yang sering dilontarkan kaum anarkis. Banyak ulama yang lebih lengkap membahas dalam kitab-kitab mereka terkait hal ini, salah satunya adalah Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam kitabnya berjudul Fiqh Al-Jihad. Dalam kita tersebut beliau membahas panjang lebar poin-poin yang menjadi tujuan dibenarkannya perang dalam Islam[10], diantaranya:
Untuk melawan agresi yang dilancarkan oleh musuh.
Melawan gempuran musuh dan membalas musuh dengan kekuatan yang dimiliki umat Islam adalah tujuan pertama peperangan dalam Islam. Baik gempuran itu ditujukan untuk menyerang agama, maupun gempuran yang ditujukan untuk mengganggu stabilitas negara yang berpenduduk muslim. Bentuk serangan tersebut bisa berupa penyiksaan terhadap kaum muslim karena agama yang dianut, melarang untuk berdakwah Islam, menghalangi terlaksananya ajaran Islam, bahkan membunuhi para dai. Contoh lainnya juga berupa serangan negara non muslim terhadap negara yang penduduknya muslim, yang mengancam nyawa, harta, kepemilikan, kehormatan, dan tempat ibadah mereka.
Untuk mencegah terjadinya fitnah atau menjaga stabilitasi kebebasan dakwah.
Tujuan yang satu ini ditegaskan didalam dua ayat Al-Quran,
“dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah 193)
“dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari kekafiran), Maka Sesungguhnya Allah Maha melihat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Anfaal 39).
Yang dimaksud dengan “fitnah” dalam ayat diatas adalah gangguan-gangguan terhadap umat Islam dan agama Islam. Sedangkan menurut Yusuf Al-Qaradhawy, fitnah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah penindasan, penganiayaan, dan penyiksaan terhadap pemeluk Islam sampai orang itu murtad.
Dari tulisan ini jelas bahwa konsep perang yang dipahami oleh penganut paham anarkisme berbeda dengan ajaran Islam. Bagi anarkisme yang membenci peperangan secara umum, namun mengecualikan kehalalan perang kelas (sosial) demi meleburkan kemungkinan-kemungkinan terjadinya penindasan kelas. Sedangkan Islam, justru menjadikan perang sebagai solusi paling terakhir dalam sebuah konflik sosial. Islam akan selalu mengedepankan perdamaian sampai pada titik dan batas-batas yang bisa ditolerir. Jika memang perang harus terjadi karena alasan-alasan yang disyariatkan, maka pun Islam tetap akan mengedepankan adab-adab peperangan yang adil, tidak emosional, berlandaskan kemarahan dan membabi buta.*