Jumat, 18 Januari 2019

Doa Ibu Lebih Dahsyat dari Doa Ulama, bahkan Wali Sekalipun


Doa Ibu Lebih Dahsyat dari Doa Ulama, bahkan Wali Sekalipun

Inilah kisah hikmah tentang Sayyid Sholeh bin Muhammad Al-Ja'fari yang doa makbulnya dalam ibadah Haji “dibatalkan” oleh keinginan ibunya sendiri. Kisah ini bermula ketika beliau pertama kali melakukan ibadah Haji tahun 1952, di depan Ka'bah beliau berdoa kepada Allah agar memperkenannya untuk bisa pergi Haji setiap tahun, dan benar doa beliau diijabah.

Setiap tahun hingga wafatnya beliau selalu berangkat Haji, kecuali pada musim Haji tahun 1962. Situasi tahun itu benar-benar rumit dan tidak memungkinkan beliau untuk berangkat dari Kairo ke Makkah. Beliau kemudian pergi ke Sudan dan bermaksud berangkat ke Makkah dari sana. 

Namun ternyata kondisi untuk pergi dari Sudan ke Makkah pun sama tidak memungkinkan. Setelah berbagai upaya dirasa sulit, beliau akhirnya memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya di Dunqula, Sudan, karena kebetulan beliau sedang berada di Sudan.

Ketika sampai di rumah, di depan pintunya ibunya tiba-tiba memeluk beliau dan berkata, "Maafkan ibu nak. Ibu telah membeli seekor domba tahun lalu untuk dikurbankan tahun ini, dan ibu berdoa kepada Allah supaya engkau bisa mencicipi masakan ibu dari daging kurban itu." Maka mengertilah Sayyid Sholeh mengapa tahun ini beliau sulit pergi Haji hingga akhirnya batal sama sekali.

Demikianlah hebatnya doa seorang ibu yang lebih hebat dari doa seorang Ulama bahkan Wali sekalipun. Rasulullah pernah bersabda, "Kedudukan doa seorang ibu untuk anaknya, laksana kedudukan doa seorang Nabi untuk umatnya."

Sayyid Sholeh Al-Ja'fari adalah Ulama dan Wali besar pendiri Thariqah Al-Ja’fari serta Imam dan Khatib di Masjid Al-Azhar, Mesir. Beliau yang masih keturunan Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam ini merupakan guru dari Ulama-ulama besar dunia. Diantara muridnya yang terkenal adalah Syeikh Ali Jum'ah dan Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki.

[Sanhaji]

 

Minggu, 13 Januari 2019

SEJARAH KRESEK:PELURUSAN DAN PENYEMPURNAAN

SEJARAH KRESEK:PELURUSAN DAN PENYEMPURNAAN

Zaman dahulu nama Kresek lebih dikenal dengan nama Cakung. Data belanda tahun 1900 tentang tanah distrik Balaraja, bahwa distrik balaraja terdiri dari Antjol Victoria of Daroe (sekarang masuk ke wilayah Kecamatan Jambe dan sebagian Kab. Bogor), Antjol Pasir (sekarang masuk kecamatan Jambe), Blaradja en Boeniajoe (sekarang masuk wilayah kecamatan Balaraja dan Sukamulya), Tigaraksa (sekarang masuk wilayah kecamatan Tigaraksa), Tjikoeja (sekarang masuk wilayah Kecamatan Cisoka dan Solear), Karangserang dalem of Kemiri (sekarang masuk wilayah kecamatan Kemiri), Pasilian (sekarang masuk wilayah kecamatan Kronjo), Djenggati (sekarang masuk wilayah Kabupaten Serang), Tjakoeng of Kresek (sekarang masuk wilayah kecamatan Kresek). Seperti Pasilian yang berubah menjadi Kronjo begitu pula Cakung berubah menjadi Kresek.

Sedangkan Cakung sendiri sekarang ini masuk wilayah dua Kabupaten, yaitu desa Cakung yang masuk kecamatan  Binuang Kabupaten Serang. Dan Kampung Cakung yang masuk ke wilayah Desa Kandawati Kecamatan Gunungkaler. Gunungkaler sendiri adalah pemekaran dari Kecamatan Kresek pada tahun 2008.

Letak geografis

Secara geografis, Kecamatan Kresek berada di ujung Barat sebelah utara dari Kabupaten Tangerang. Wilayahnya berbatasan dengan kecamatan Sukamulya di sebelah timur, Gunung Kaler (pemekaran kecamatan Kresek) sebelah Utara. Sedangkan sungai Cidurian di sebelah barat menjadi batas antara Kresek dan kecamatan Binuang yang masuk wilayah Serang. Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan Kresek bukanlah Kresek sebagai nama sebuah kecamatan tapi lebih spesifik Kresek sebagai sebuah desa yang terdiri dari masyarakat yang sebagian besar berasal dari satu keturunan yang kini telah mencapai jumlah sekitar limabelas ribu  jiwa, dengan menyertakan beberapa kampung yang walaupun secara letak formal pemerintahan berada di luar Kresek, tapi ketika ditilik dari sudut pandang adat dan kekeluargaan masih berada dalam satu rumpun yang sama.

Bahasa

Masyarakat Kresek khususnya ibu Kota kecamatan kresek, yakni Desa Kresek, dan sekitarnya menggunakan bahasa Jawa-Banten dalam keseharian. Bahasa Jawa-Banten ini berkembang selain karena letaknya dengan ibu kota kesultanan Banten pada zaman dahulu yang rekatif dekat, juga karena memang sebagian masyarakat Kresek adalah keturunan sultan Banten yang nanti akan di jelaskan dalam bagian pembahasan asal-usul masyarakat Kresek.

Asal-Usul Masyarakat Kresek

Masyarakat Kresek diperkirakan telah menjadi suatu komunitas  penduduk tetap pada awal permulaan berdirinya kesultanan Banten, sama dengan daerah Banten utara lainnya seperti: Tirtayasa, Pontang, Tanara, Kronjo dan Mauk. Paling tidak beberapa tahun setelah daerah-daerah tersebut.

PANGERAN JAGA LAUTAN

Dalam tulisan ini penulis juga ingin mencoba memberikan informasi tentang sosok Pangeran Jagalautan. Data tentang dirinya begitu banyak versi. Kebetulan tanpa sengaja penulis diberi kemudahan oleh Allah untuk mendapatkan data-data sejarah yang berupa manuskrip-manuskrip kuno dan tulisan-tulisan keluarga yang semula enggan dibuka namun sekarang sudah mau membukanya, mungkin juga yang demikian itu karena banyaknya kekeliruan serta asumsi juga cerita-cerita tutur tinular yang tanpa dasar yang beredar mengenai sosoknya.

Penulis berharap tulisan ini (Januari 2019) merupakan antitesis terhadap tulisan-tulisan penulis tentang Sejarah Cakung dan Kresek yang penulis tulis tahun 2012. Karena tulisan penulis pada tahun itu hanya berdasar kepada catatan-catatan silsilah keluarga dan cerita keluarga secara tutur tinular turun temurun, tanpa buku induk yang menjadi panduan. Waktu itu tujuan penulis adalah menjaga apa yang penulis ketahui agar tidak hilang dan dapat menjadi acuan dan informasi awal. Selain bahwa ajal manusia itu tidak ada yang tahu kapan datangnya. Penulis takut data ini akan terkubur lagi bersama penulis dan tidak diketahui oleh yang mestinya mengetahui. Karena tidak semua keluarga mempunyai catatan silsilah itu. Dan yang mengetahui begitu erat menjaga agar silsilah itu tidak tersebar.

Data-data selanjutnya yang penulis dapatkan kemudian menjadi jawaban kenapa para leluhur menyembunyikan silsilah keluarga mereka bahkan ada keturunannya sekarang yang nyaris kepaten obor tidak mengetahui siapa dirinya dan darimana asalnya. Tekanan dan ancaman intimidasi dari penguasa VOC kepada para anak cucu pejuang yang antikompromi dengan belanda dan sebagian yang mulai ingin hidup normal seperti masarakat lainnya adalah alasan alasan yang dapat dimaklumi.

Secara pribadi saya ucapkan terimaksih yang tak terhingga kepada Keluarga besar Babad Kesulthanan Banten terutama Kang Tubagus Mogy Nurfadhil dan Tubagus Sholeh yang telah membawa buku penting yang salinan aslinya ditulis tahun 1830 M dalam tulisan pegon (arab gundul) berbahasa Sunda. Buku itu berjudul 'Pararimbon ke-ariyaan Parahiyang'. Dalam Buku itu jelas disebutkan siapa nama asli Syekh Ciliwulung, siapa ayah dan ibunya, siapa saudara-saudaranya?.

Terimakasih juga kepada Kang Lutfi dan Kang Muklis dan seluruh keluarga Lengkong yang berkenan membuka data papakem Lengkong untuk disesuaikan dengan data kresek.

Juga kepada Kang Bayu Yasin dan Kang yang telah membawakan data penting berumur 346 tahun tentang hari syahidnya Syekh Ciliwulung.

Dan terimakasih kepada seluruh keluarga Nonoman Sumedang Larang yang membantu menemukan makam Pangeran Wiraraja ayah Raden Kenyep/Arya Wangsakara di Sumedang.

Tidak lupa terimakasih kepada kakanda KH. Mustanjid dan KH. Maujud sebagai pemegang beberapa data penting keluarga besar Kresek-Cakung.

Dari bukti-bukti sejarah berupa manuskrip, kitab, dan ranji silsilah yang disebutkan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Silsilah Syekh Ciliwulung adalah Syekh Ciliwulung bin Raden Kenyep bin Pangeran Wiraraja Sumedang bin Prabu Gesan Ulun.

2. Nama asli Syekh Ciliwulung yaitu Raden Wiranegara. Syekh Ciliwulung syahid dalam perang tirtayasa di Tanara pada hari Sabtu tanggal 26 haji 1093 hijriah atau tahun 1682.

3. Raden Kenyep mempunyai banyak nama lain yaitu: Raden Arya Wangsakara, Imam Haji Wangsaraja, Arya Tangerang I, Raden Wiraraja II, Kiayi Lenyep dan Kiayi Narantaka.

3. Nama Wiranegara untuk Syekh Ciliwulung ini adalah nama keluarga dari ibu Syekh Ciliwulung yang bernama Ratu Maemunah binti Tubagus Idham (RTb. Wiranegara 2) bin RTb. Wiranegara 1 bin Pangeran Wiraraja (Mas Wi/Pangeran Jagalautan) bin Pangeran Sunyararas bin Maulana Hasanuddin.

4. Pangeran Jagalautan pulo cangkir adalah nama yang dalam data silsilah Kresek-Cakung disebut sebagai ayah raden Kenyep.  Dalam dua versi silsilah yang jalur ke atas dari P. Jagalautan yang berbeda dapat dijelaskan bahwa betul Pangeran Jagalautan sebagai leluhur Syekh Ciliwulung, baik versi Banten maupun versi Sumedang. Masalah terjadi karena ada dua nama yang sama yaitu Pangeran Wiraraja Sumedang, nama asli ayah Raden Kenyep dan Pangeran Wiraraja Banten Kakek dari isteri Raden Kenyep. Lalu siapakah Pangeran Jagalautan, apakah P. Wiraraja Sumedang atau P. Wiraraja Banten?

Menurut Tubagus Mogy Nurfadhil, Ketua Kekancingan Babad Kesulthanan Banten, bahwa pangeran Jagalautan yang disebut sebagai putra Maulana Hasanuddin itu sebenarnya adalah cucunya. Karena nama Jagalautan tidak ditemukan dalam data Banten sebagai anak Maulana Hasanudin. Hal ini terbantu oleh data Tangerang bahwa ibu Syekh Ciliwulung adalah Ratu Maimunah bin Tubagus idham. Dan data dari buku Nasab Jayadiningrat bahwa P. Sunyararas mempunyai cucu bernama Wiranegara sama dengan nama Syekh Ciliwulung dalam data Tangerang tahun 1830 M.

Dapat ditarik benang merah, menurut Tubagus Mogy,  bahwa pencatatan keluarga itu terjadi distorsi antara cucu kepada anak dan antara menantu menjadi anak.

Sebagaimana dimaklumi sebagian keturunan Syekh Ciliwulung menulis silsilah syekh Ciliwulung begini: Syekh Ciliwulung bin Raden Kenyep bin Pangeran Jagalautan bin Maulana Hasanuddin. Sebagian lagi mencatat begini: Syekh Ciliwulung bin Raden Kenyep bin P. Jagalautan bin...pangeran sumedang bin Prabugesan ulun.

Pernah terjadi musyawarah para keturunan Syekh Ciliwulung di Pulau Cangkir pada tahun 2013 ditengahi oleh Tubagus Fathul Adzim dari kenadziran Banten yang menyimpulkan bahwa Pangeran Jagalautan adalah sebagai anak dari Maulana Hasanudin, tetapi keputusan musyawarah itu tidak kemudian diikuti secara menyeluruh oleh para keturunan syekh Ciliwulung karena Tubagus FathulAdzim ketika menetapkan tidak bersumber kepada data apapun selain cerita orangtua dan kata hati.

Menurut Tubagus Mogy data silsilah dua versi ini tidak mutlak salah dan tidak mutlak benar. Karena memang Syekh Ciliwulung adalah keturunan Maulana Hasanuddin dan juga Prabu Geusan Ulun. Yang salah dari dua versi penulisan silsilah ini hanyalah penempatan cucu menjadi anak dan menantu menjadi anak.

Menurut Tubagus Mogy, silsilah Syekh Ciliwulung dari garis ayah yang benar yang sesuai dengan data kesulthanan Banten dan data Tangerang tahun 1830 adalah sebagai berikut: Syekh Ciliwulung bin Raden Kenyep bin Pangeran Wiraraja bin Prabu Geusan Ulun raja Sumedang.

Adapun dari jalur ibu adalah sebagai berikut: Syekh Ciliwulung (Raden Wiranegara) bin Ratu Maimunah bin Tubagus Idham(Rtb Wiranegara 2) bin Rtb Wiranegara 1 bin Pangeran Wiraraja (Mas Wi/P.Jagalutan) bin  Pangeran Sunyararas bin Maulana Hasanuddin.

Sebelumnya, Tubagus Mogy cenderung menyimpulkan bahwa Pangeran Jagalautan ini adalah Pangeran Wiraraja Sumedang, ayah dari Raden Kenyep. Tetapi dibantu oleh Nonoman krathon Sumedang Larang dapat ditemukan bahwa ayah Raden Kenyep yaitu Pangeran Wiraraja dimakamkan disebuah bukit yang diitari oleh sungai didesa Darmawangi kecamatan Tomo Sumedang. Maka sebelumnya disimpulkan bahwa jika Pangeran Wirarja adalah Pangeran Jagalautan maka makam yang ada di Pulau Cangkir hanya petilasan saja. Tetapi ketika ditemukan data bahwa Syekh Ciliwulung adalah cicit Pangeran Wiraraja Banten bin Pangeran Sunyararas maka besar kemungkinan Pangeran Jagalautan Pulocangkir ini adalah Mas Wi atau Pangeran Wiraraja Banten.

Maka berdasar kepada teori ilmu sejarah nasab, kemungkinan Pangeran Jagalautan pulocangkir adalah pangeran wiraraja bin pangeran Sunyararas adalah 90% mendekati kesesuaian. Sepuluh persen lagi adalah kemungkinan ditemukannya data pembanding yang lebih kuat yang berbeda dengan penelitian ini.

Tubagus Mogy berharap tulisan silsilah Syekh Ciliwulung dari para keturunannya ke depan agar menyesuaikan dengan penelitian Kekancingan Babad Kesulthanan Banten ini agar sesuai dengan buku induk nasab kesulthanan Banten. Dan agar tidak menjadi kebingungan dihari kemudian.

Dengan hasil penelitian ini juga diharapkan pengurus makam karomah Pangeran Jagalautan Pulocangkir Kronjo mengikuti penulisan silsilah pangeran Jagalautan sebagaimana tadi telah disebutkan. Dan alangkah lebih bagus bila penulisan itu juga menyertakan alias. Jadi ditulis Pangeran Jagalautan alias  Maswi alias Pangeran Wiraraja bin Pangeran Sunyararas bin Maulana Hasanuddin. Penulisan alias dalam data sejarah sangatlah penting karena terkadang dalam buku sejarah pelaku sejarah ditulis dalam satu  peristiwa sejarah dengan satu nama dan dalam peristiwa yang lain dengan nama lainnya. Kemudian dikira satu orang ini adalah dua orang karena tidak diketahui bahwa ia mempunyai nama yang lain.

ANAK RADEN KENYEP

Distorsi yang lain dari catatan-catatan Kresek-Cakung adalah bahwa Raden Kenyep mempunyai banyak anak yang semuanya menggunakan nama depan Cili. Dalam cerita-cerita yang kemudian ditulis bahwa Raden Kenyep mempunyai anak Ciliwulung, Ciliwangsa, Ciliglebeg, Cilimede, Cilibadrin, Cilimandira, Cilibayun, Cilikored, Cilijohar, dan Cilibred.

Kisah mengenai nama anak Raden Kenyep di atas tidak berdasar data sejarah apapun. Yang demikian itu hanya berdasar pada asumsi dari kesamaan nama depan mereka yang menggunakan nama cili.

Ada dua data yang bisa mebantah bahwa Raden Kenyep mempunyai anak yang semua bernama Cili. Yang perama buku Pararimbon keariyaan parahyang yang menyebutkan dengan jelas nama-nama isteri dan anak Raden Kenyep.

Dalam data itu Raden Kenyep mempunyai tiga anak laki-laki dan empat anak perempuan. Dari isteri Nyai Nurmala mempunyai anak Raden Yudanagara dan Raden Raksanagara. Dari isteri Ratu Maemunah mempunyai satu anak yaitu Raden Wiranegara atau Syekh Ciliwulung. Dari isteri Ratu Zakiyah mempunyai empat putri yaitu Raden Ratna sukaesih, Raden Wira Sukaesih, Raden Sukaedah dan Raden Karasupadmi.

Yang kedua yang bisa menjelaskan bahwa nama Cili wangsa dsb itu bukan anak Raden Kenyep adalah bahwa nama Cili adalah nama pangkat senapati militer Kesulthanan Banten di bawah senapati utama atau ingalaga. Kemungkinan besar nama ciliglebeg, Ciliwangsa dsb itu berbeda masa dengan Ciliwulung. Karena tidak mungkin ada Pangkat senapati yang begitu banyak dalam satu waktu.

SYEKH CILIWULUNG

Syekh ciliwulung inilah yang menurunkan keturunan yang sekarang sebagian besar tinggal di Kresek dan sekitarnya.
Syekh Ciliwulung mempunyai anak yaitu Syekh Cinding, syekh Sa'uddin, syekh syuaib dan Ratu Fatimah.

Syech Sa'uddin adalah anak kedua Syech Ciliwulung, dari syech Sa'uddin inilah banyak melahirkan keturunan Para kiayi dan 'Ulama diantaranya :

Syech karamuddin berputra

KH. Adung / ki atif / Abdullatif,(Lempuyang) berputra

Kiyai Muhammad Ali, (lempuyang) berputra

Ki Armah, (lempuyang) berputra

Ki Asmuni, (Bangkir) berputra

Ki Syafi'i, (Bangkir) berputra

H.Abdullatif.(lempuyang) berputra 8 orang anak diantara adalah

Aliyah

Shodiq SH.,Mh.Camat Tirtayasa sekarang

Alifah

Ahiroh

Sanhaji S.ud (Kasubden 2 Gegana)

Ustadzah Uswatun Hasanah Spd.,Mpdi

Roudhotul Jannah

Syarifuddin.

Sedangkan Ratu Fatimah menikah dengan cucu sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir yang bernama Raden Mahmud bin Pangeran Soleh (Arya Banten)  pada masa pemerintahan sultan Maulana Manshur Abunnashar Abdul Kohar (1683-1687)  atau yang dikenal dengan sultan Haji.

Dari pernikahan ini mempunyai putra bernama Raden Tubagus Hasan Bashri yang kemudian menjadi ulama besar yang tinggal di Cakung (kurang lebih satu kilometer dari Kresek) dikenal dengan nama syekh Hasan Bashri. Kuburannya sekarang ramai di ziarahi orang.
Syekh Hasan Bashri mempunyai tiga orang anak yaitu Syekh Ibrohim di Cakung, syekh hasan Mustofa di palembang, dan nyai Ratu syarifah di tirtayasa.
Syekh Ibrohim mempunyai anak Syekh Abdullah yang dikenal dengan nama Ki Bulus. Syekh Abdullah mempunyai anak Ki mualim atau Syekh Alim. Syekh Alim adalah seorang ulama yang mempunyai pesantren di daerah Kresek. Ia mempunyai anak Syekh Bendo atau syekh Murtadho, nyai Ratu Antimah, Nyai ratu Darwinah dan nyai ratu Kanisah.
Dari Syekh Alim inilah banyak menurunkan para ulama yang sekarang ada di Kresek dan sekitarnya.

Selain dari keturunan Syekh ciliwulung dan syekh Hasan Bashri, masyarakat Kresek juga terbentuk dari dibukanya perkampungan-perkampungan baru oleh Sultan agung tirtayasa yang akan disebutkan dalam pembahasan selanjutnya.

Sultan Agung Tirtayasa Membangun Kampung-Kampung di Tanara-Kresek

Pada tahun 1659 Sultan Agung Tirtayasa berencana membangun terusan dari sungai cidurian ke sungai cisadane. Sungai Cidurian adalah sungai yang melewati Jayanti, Kresek, Gunung kaler dan Tanara. Akhirnya proyek ini dimulai pada tanggal 27 April 1663. Terusan ini menghubungkan sungai cidurian ke sungai Pasilian, yang juga dinamakan Cimanceuri, melewati Balaraja sepanjang enam kilometer.

Pada tanggal 9 September 1663, sultan Agung Tirtayasa berangkat ke Tanara melalui laut dengan 150 kapal dan mengangkut limaribu orang laki-laki. Selain membuat terusan, sultan Agung juga membuat lahan persawahan baru yang membentang disekitar terusan. Dalam pembangunan itu sultan Agung membuat pesanggrahan untuk tetap tinggal di lokasi selama pembangunan. Diberitakan dalam tulisan berbahasa belanda dengan judul “La politique vivriere de Sultan Ageng’  yang pertama kali diterbitkan oleh majalah Archipel  pada tahun 1995, bahwa rumah sultan itu berada di ‘pegunungan’ Tanara. Atau tempat yang agak tinggi struktur tanahnya di sekitar Tanara. Diperkirakan lokasi tepat rumah itu di  Gunung Kaler, pertengahan antara Tanara-Kresek.

Persawahan yang dibangun sultan Agung itu membentang datar dari mulai Sawah luhur sampai Pontang, dari Pontang sampai Lempuyang, dari Lempuyang  sampai Tersaba, dari Tersaba sampai Carenang, dari Carenang sampai Cikande, Dari Tanara Sampai Kresek, dari Kresek sampai Balaraja, dari Balaraja sampai Mauk, dari Mauk kembali sampai Kronjo. Di lokasi persawahan itu, Sultan Agung membuat desa-desa baru sebagai komunitas penduduk ‘Jawa-Banten’. Perpindahan penduduk dari ibu Kota Surosowan itu tidak hanya terbatas di daerah yang disebutkan di atas, Sultan juga membuat desa-desa baru di sepanjang sungai cisadane-Tangerang.

Berbeda dengan daerah sebelumnya, penduduk baru ini diwajibkan menanam kelapa di sepanjang perbatasan dengan Batavia. Hal ini selain untuk kepentingan pangan, juga sebagai tantangan kepada musuh bebuyutan sultan agung yaitu pemerintah VOC di Batavia akan keseriusan Sultan Agung dalam sikapnya menentang segala macam monopoli yang dijalankan VOC.

VOC menganggap kampung-kampung baru yang di buat Sultan Agung ini sebagai politik kelas tinggi dari seorang raja yang cerdik. Bukan hanya mengakibatkan Banten menjadi Negara yang mandiri secara pangan, tapi juga membuat Kraton Surasowan tidak bisa di serang secara langsung oleh musuh, karena sebelum sampai ke kraton musuh harus berhadapan dengan penduduk-penduduk ‘Jawa’ yang setia kepada sultan. Dalam sensus tahun 1659 penduduk ‘Jawa’ di ibu kota Kota Surasowan  berjumlah 100.000,- orang. Sedangkan yang berada di pemukiman baru sekitar 30.000,- orang.
Kraton Surasowan memang kraton yang di sekelilingnya di bentengi oleh perkampungan orang-orang ‘Jawa’, yaitu orang-orang yang setia kepada sultan yang berbahasa dengan bahasa Kraton kesultanan, yaitu bahasa Jawa yang telah mengalami proses singkritis bahasa sehingga menjadi bahasa jawa yang khas yang berbeda dengan orang-orang jawa Mataram.

Mulai dari timur di sepanjang Sungai cisadane para penduduk menggunakan bahasa Jawa-banten, bahkan di Jakarta, mulai pemerintahan Mangkubumi ranamanggala terjadi 6000 eksodus orang-orang Jawa-Banten. Kemudian bahasa Jawa di Jakarta dan Tangerang bersentuhan dengan bahasa Melayu sehingga kemudian melahirkan dialek bahasa yang sekarang dikenal dengan bahasa Betawi.

Dari timur mulai Mauk, sukadiri, Kronjo, Mekar Baru, Kresek, gunung Kaler, Binuang, Carenang, sebagian Cikande, Tanara, tirtayasa, Pontang sampai sekarang masih menggunakan bahasa jawa-Banten.  Kemudian di wilayah Selatan mulai dari Padarincang, sebagian Ciomas, Serang,  Taktakan, kelapa dua, terus agak ke barat, kramat watu, plamunan, cibeber, cilegon, cigading, sampai ke Bojonegara, kesemuanya adalah penduduk ‘jawa’ yang mengelilingi Kraton Banten untuk sewaktu-waktu, selain mereka menjalankan kehidupan sehari-hari, mereka juga  siap untuk berperang bila diperintahkan sultan.
Untuk waktu berikutnya, banyak bangsawan ‘Jawa’ Banten yang juga kemudian menjalin kekerabatan dengan penduduk asli di selatan Banten yang kemudian keturunan mereka berbahasa sunda.  Kemudian tradisi kesantrian tidak hanya menjadi monopoli orang-orang utara, tapi juga meyebar ke seluruh Banten. Bahkan, banyak kemudian muncul ulama-ulama besar dari orang-orang sunda Banten.

Akhirnya Kraton Surasowan Banten tidak hanya dibentengi orang ‘Jawa’ atau mereka yang berbahasa Jawa, tapi oleh seluruh penduduk  Banten mulai dari Utara sampai selatan, timur dan barat, memiliki kesetiaan yang paripurna terhadap kesultanan Banten. Agama Islam berkembang di Banten dengan memiliki kekentalan yang lebih terasa dari pada perkembangan Islam di pulau Jawa lainnya. Sinkritisme Islam dengan ajaran kejawen  seperti yang terjadi di Mataram, tidak ditemukan di Banten.

Kini penduduk Banten berjumlah sekitar 10 juta jiwa  yang sepertiga dari mereka masih setia menggunakan bahasa Jawa sebagai warisan kesultanan Banten.

Jumat, 04 Januari 2019

Tentang Tahlilan dan Dalilnya


Tentang Tahlilan dan Dalilnya

Secara bahasa tahlilan berakar dari kata hallala (هَلَّلَ) yuhallilu ( يُهَلِّلُ ) tahlilan ( تَهْلِيْلاً ) artinya adalah membaca “Laila illallah.”  Istilah ini kemudian merujuk pada sebuah tradisi membaca kalimat dan doa- doa tertentu yang diambil dari ayat al- Qur’an, dengan harapan pahalanya dihadiahkan untuk orang yang meninggal dunia. 

Biasanya tahlilan dilakukan selama 7 hari dari meninggalnya seseorang, kemudian hari ke 40, 100, dan pada hari ke 1000 nya. Begitu juga tahlilan sering dilakukan secara rutin pada malam jum’at dan malam-malam tertentu lainnya.Bacaan ayat-ayat al-Qur’an yang dihadiahkan untuk mayit menurut pendapat mayoritas ulama’ boleh dan pahalanya bisa sampai kepada mayit tersebut. Berdasarkan beberapa dalil, diantaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya;

عَنْ سَيِّدِنَا مَعْقَلْ بِنْ يَسَارْ رَضِيَ الله عَنْهُ اَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ : يس قَلْبُ اْلقُرْانْ لاَ يَقرَؤُهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللهَ وَالدَّارَ اْلاَخِرَة اِلاَّ غَفَرَ اللهُ لَهُ اِقْرَؤُهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ )رَوَاهُ اَبُوْ دَاوُدْ, اِبْنُ مَاجَهْ, اَلنِّسَائِى, اَحْمَدْ, اَلْحَكِيْم, اَلْبَغَوِىْ, اِبْنُ اَبِىْ شَيْبَةْ, اَلطَّبْرَانِىْ, اَلْبَيْهَقِىْ, وَابْنُ حِبَانْ

Dari sahabat Ma’qal bin Yasar r.a. bahwa Rasulallah s.a.w. bersabda : surat Yasin adalah pokok dari al-Qur’an, tidak dibaca oleh seseorang yang mengharap ridha Allah kecuali diampuni dosadosanya. Bacakanlah surat Yasin kepada orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian. (H.R. Abu Dawud, dll)

Adapun beberapa ulama juga berpendapat seperti Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa

وَيُسْتَحَبُّ اَنْ يُقرَاءَ عِندَهُ شيْئٌ مِنَ اْلقرْأن ,وَاِنْ خَتمُوْا اْلقرْأن عِنْدَهُ كَانَ حَسَنًا

Bahwa, disunahkanmembacakan ayat-ayat al-Qur’an kepada mayit, dan jika sampai khatam al-Qur’an maka akan lebih baik.

Bahkan Imam Nawawi dalam kitab Majmu’-nya menerangkan bahwa tidak hanya tahlil dan doa, tetapi juga disunahkan bagi orang yang ziarah kubur untuk membaca ayat-ayat Al-Qur’an lalu setelahnya diiringi berdoa untuk mayit.

Begitu juga Imam al-Qurthubi memberikan penjelasan bahwa, dalil yang dijadikan acuan oleh ulama’ kita tentang sampainya pahala kepada mayit adalah bahwa, Rasulallah saw pernah membelah pelepah kurma untuk ditancapkan di atas kubur dua sahabatnya sembari bersabda “Semoga ini dapat meringankan keduanya di alam kubur sebelum pelepah ini menjadi kering”.

Imam al-Qurtubi kemudian berpendapat, jika pelepah kurma saja dapat meringankan beban si mayit, lalu bagaimanakah dengan bacaan-bacaan al-Qur’an dari sanak saudara dan teman-temannya Tentu saja bacaan-bacaan al-Qur’an dan lainlainnyaakan lebih bermanfaat bagi si mayit.

Abul Walid Ibnu Rusyd juga mengatakan:

وَاِن قرَأَ الرَّجُلُ وَاَهْدَى ثوَابَ قِرَأتِهِ لِلْمَيِّتِ جَازَ ذالِكَ وَحَصَلَ لِلْمَيِّتِ اَجْرُهُ

Seseorang yang membaca ayat al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit, maka pahala tersebut bisa sampai kepada mayit tersebut.

(Sanhaji)

Selasa, 01 Januari 2019

Berwudhu dengan Air Satu Gayung, Bolehkah? (II)


Berwudhu dengan Air Satu Gayung, Bolehkah? (II)

Setelah sebelumnya dibahas tentang jumlah air yang sunnah digunakan dalam wudhu, sekarang kita membahas masalah berikutnya dalam kasus berwudhu dengan air satu gayung, yakni tata caranya.

Bila seseorang berwudhu dengan cara menuangkan air sedikit demi sedikit dari wadahnya (gayung) ke anggota wudhu tanpa memasukkan tangan ke dalam wadah air, maka cara ini adalah cara yang disepakati kebolehannya. Bahkan inilah cara berwudhu yang standar bila memakai air yang sedikit (jumlahnya kurang dari 2 qullah). Adapun bila memakai air banyak atau air yang jumlahnya melebihi ukuran dua qullah (sekitar 270 liter menurut Syaikh Wahbah az-Zuhaily), maka tak masalah baik berwudhu dengan cara airnya dituangkan atau berwudhu di dalam wadah airnya.

Adapun bila seseorang berwudhu dengan cara memasukkan tangannya ke dalam gayung, maka cara ini butuh perincian lebih lanjut tentang keabsahannya sebab air yang jumlahnya kurang dari dua qullah akan menjadi musta’mal (air sisa) ketika sudah dipakai untuk menyucikan satu anggota wudhu sehingga dalam pandangan banyak ulama, terutama Syafi’iyah, ia tak bisa dipakai lagi untuk menyucikan anggota wudhu lainnya. Imam Nawawi berkata:

وَلَوْ غَمَسَ الْمُتَوَضِّئُ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ قَبْلَ الْفَرَاغِ مِنْ غَسْلِ الْوَجْهِ، لَمْ يَصِرْ مُسْتَعْمَلًا. وَإِنْ غَمَسَهَا بَعْدَ فَرَاغِهِ مِنَ الْوَجْهِ بِنِيَّةِ رَفْعِ الْحَدَثِ، صَارَ مُسْتَعْمَلًا. وَإِنْ نَوَى الِاغْتِرَافَ، لَمْ يَصِرْ،

“Apabila seseorang mencelupkan tangannya ke dalam wadah air sebelum ia selesai dari membasuh muka maka airnya tidak menjadi musta’mal.. Apabila ia mencelupkan tangannya setelah selesai membasuh muka dengan niatan untuk menghilangkan hadas tangan maka airnya menjadi musta’mal. Apabila ia berniat ightirâf maka tidak menjadi musta’mal.” (an-Nawawi, Raudlat al-Thâlibîn, juz I, halaman 9)

Lebih jelasnya, Syaikh Sa’id bin Muhammad Ba’alawi menjelaskan praktiknya seperti berikut:

ـ (فإذا أدخل) الجنب جزءاً من بدنه باقياً على جنابته بعد نية الغسل، أو (المتوضىء) جزءاً محدثاً من يده اليمنى أو اليسرى (يده في الماء القليل بعد غسل وجهه) ثلاثاً… (غير ناو الاغتراف) بأن أدخلها بقصد غسلها في الإناء، أو مع الإطلاق ( ... صار الماء مستعملاً) ـ 

“Apabila seseorang yang junub memasukkan sebagian badannya yang statusnya masih junub setelah ia berniat untuk mandi, atau seorang yang berwudhu memasukkan sebagian anggota tubuhnya yang masih berhadas, berupa tangan kanan atau kiri, ke dalam air yang sedikit setelah ia membasuh wajahnya sebanyak 3 kali, .... tanpa ia berniat untuk ightirâf, semisal ia memasukkan tangannya dengan niat membasuhnya di dalam wadah atau tanpa niat apapun maka airnya menjadi musta’mal.” (Sa’id bin Muhammad Ba’alawi, Syarh Muqaddimah al-Hadlramiyah, halaman 77).

Jadi, permasalahan utamanya terletak pada niat ightirâf. Bila seseorang memasukkan tangannya ke dalam gayung atau wadah air lainnya dengan niat ightirâf, maka airnya tidak menjadi isehingga tak masalah untuk dipakai melanjutkan wudhu. Akan tetapi bila tanpa niat ightirâf ini, maka airnya berstatus sebagai air musta’mal sehingga tak bisa dipakai melanjutkan wudhu dan harus diganti dengan air lainnya. Niat ightirâf ini tempatnya ketika awal mula tangan menyentuh air dalam wadah. Syaikh asy-Syarwani berkata:

وَالْوَجْهُ الَّذِي لَا مَحِيصَ عَنْهُ وَلَا التَّفَاوُتُ لِغَيْرِهِ أَنَّهُ لَا بُدَّ أَنْ تَكُونَ نِيَّةُ الِاغْتِرَافِ عِنْدَ أَوَّلِ مُمَاسَّةِ الْيَدِ لِلْمَاءِ حَتَّى لَوْ خَلَا عَنْهَا أَوَّلَ الْمُمَاسَّةِ صَارَ الْمَاءُ بِمُجَرَّدِ الْمُمَاسَّةِ مُسْتَعْمَلًا

“Pendapat yang tak bisa diabaikan dan tidak boleh ditukar dengan yang lain adalah bahwasanya niat ightirâf tidak boleh tidak harus dilakukan ketika awal mula tangan menyentuh air sehingga apabila di waktu awal persentuhan tersebut tidak ada niat, maka akhirnya menjadi musta’mal hanya dengan menyentuhnya saja.” (Syarwani, Hawâsyi asy-Syarwâni, juz I, halaman 81).

Uraian di atas adalah pendapat yang dianggap kuat dalam mazhab Syafi’i yang difatwakan sebagai pendapat resmi mazhab. Semuanya bertumpu pada ada tidaknya niat ightirâf. Lalu apa niat ightirâf itu? Secara bahasa, ightirâf berarti mengambil air. Niat ightirâf dalam istilah fiqih adalah niatan dalam hati untuk mengambil air keluar dari wadahnya untuk dipakai menyucikan anggota wudhu di luar wadah. Niat ini sebagai penegasian bahwa tangan menyentuh air tidak dalam rangka menghilangkan hadas tangan di dalam wadah, melainkan sebagai media untuk mengambil air saja. 

Imam asy-Syarwani menjelaskan:

لَيْسَ الْمُرَادُ بِهَا التَّلَفُّظُ بِنَوَيْتُ الِاغْتِرَافَ، وَإِنَّمَا الْمُرَادُ اسْتِشْعَارُ النَّفْسِ أَنَّ اغْتِرَافَهَا هَذَا لِغَسْلِ الْيَدِ وَفِي خَادِمِ الزَّرْكَشِيّ أَنَّ حَقِيقَتَهَا أَنْ يَضَعَ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ بِقَصْدِ نَقْلِ الْمَاءِ وَالْغَسْلِ بِهِ خَارِجَ الْإِنَاءِ لَا بِقَصْدِ غَسْلِهَا دَاخِلَهُ انْتَهَى. وَظَاهِرٌ أَنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ حَتَّى الْعَوَامّ إنَّمَا يَقْصِدُونَ بِإِخْرَاجِ الْمَاءِ مِنْ الْإِنَاءِ غَسْلَ أَيْدِيهِمْ خَارِجَهُ وَلَا يَقْصِدُونَ غَسْلَهَا دَاخِلَهُ وَهَذَا هُوَ حَقِيقَةُ نِيَّةِ الِاغْتِرَافِ

“Yang dimaksud niat ightirâf bukankah mengucap saya niat mengambil air (ightirâf), tetapi merasakan dalam hati bahwa tindakannya mengambil air bertujuan untuk membasuh tangan. Dan dalam kitabKhadim karya Imam Az-Zarkasyi disebutkan bahwa hakikat ightirâf adalah dengan cara meletakkan tangan di dalam wadah air dengan niatan memindah air dan membasuh tangan di luar wadah, bukan dengan maksud membasuh tangan di dalamnya. Yang jelas, bahwa sebagian besar orang bahkan yang awam sekalipun tak lain mereka berniat mengeluarkan air dari wadahnya untuk membasuh tangannya di luar wadah dan tidak bermaksud untuk membasuh tangan di dalamnya. Inilah dia hakikat dari niat ightirâf itu.” (Syarwani, Hawâsyi asy-Syarwâni, juz I, halaman 80-81).

Dengan demikian menjadi jelas bahwa persoalan ini sebenarnya tidaklah rumit. Intinya, bila seseorang berniat mengambil air keluar dari wadahnya untuk berwudhu di luar wadah, maka airnya tidak menjadi musta’mal sehingga wudhunya sah. Akan tetapi, bila ia berniat membasuh tangannya (dalam rangka berwudhu) di dalam wadah, maka airnya menjadi musta’mal dan wudhunya menjadi tidak sah bila terus menggunakan air tersebut. 

Lalu apakah ketentuan untuk berniat ightirâf ini merupakan kesepakatan ulama yang tak bisa ditawar lagi? Kita akan bahas pada bagian selanjutnya. 

Wallahu a'lam.