Sabtu, 30 Maret 2019

Meluruskan Din Syamsuddin yang Samakan 'Khilafah' dengan 'Khalifah dalam Alquran'


Meluruskan Din Syamsuddin yang Samakan 'Khilafah' dengan 'Khalifah dalam Alquran'

Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), M Din Syamsuddin mengingatkan kepada pendukung dua pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk menghindari penyebutan istilah khilafah dalam kampanye Pilpres 2019, karena menurutnya merupakan bentuk politisasi agama yang bersifat pejoratif.

Din dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Sabtu dini hari (30/2/2019), menyebutkan bahwa imbauan itu sesuai Taushiyah Dewan Pertimbangan MUI sebagai hasil Rapat Pleno Ke-37 pada 28 Maret 2019 kemarin.

Menurut Din, walaupun di Indonesia khilafah sebagai lembaga politik tidak diterima luas, namun khilafah yang disebut dalam Al Quran adalah ajaran Islam yang mulia.

Keterangan tertulis tersebut tersebar di media sosial, salah satunya disebarkan oleh politisi Muhammadiyah 'Mustofa rasa lemon'

Menanggapi kengawuran tersebut, Rais PCINU Australia Gus Nadirsyah Hosen mengoreksi di akun twitternya " Pernyataan Ketua Dewan Pertimbangan MUI ini keliru krn tidak bisa membedakan antara sistem khilafah dg khalifah. Point kedua amat fatal kelirunya: tidak ada satupun ayat Qur’an yg menggunakan istilah Khilafah. Yg ada itu soal Khalifah. MUI gagal paham bedakan keduanya. Parah!"

Pernyataan Ketua Dewan Pertimbangan MUI ini keliru krn tidak bisa membedakan antara sistem khilafah dg khalifah. 

Point kedua amat fatal kelirunya: tidak ada satupun ayat Qur’an yg menggunakan istilah Khilafah. Yg ada itu soal Khalifah. 


Miris memang, sekelas Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia tidak bisa membedakan antara Khilafah dan Khalifah, tak jauh beda dengan Haikal Hassan yang tidak bisa membedakan antara Kafir dan Kuffar.

Kajian Lafadz 'Khalifah' dalam Al-Quran

Syaikh Muhammad Imarah, seorang ulama kontemporer berkebangsaan Mesir, dalam kitabnya al-Islam wa Falsafah al-Hukm menegaskan bahwa term khalifah dan berbagai derivasinya banyak dijumpai dalam al-Quran, di antaranya terrekam pada QS. Shad: 26 sebagai berikut:

يَادَاوُودُ إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيفَةً فِي الْأَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ بِمَا نَسُوا يَوْمَ الْحِسَابِ

“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.”

Secara redaksional, ayat di atas mengandung term khalifah. Kendati demikian, menurut Muhammad Imarah, term khalifah pada ayat ini tidak mengandung konotasi politik sebagaimana pada masa awal Islam, yakni pasca wafatnya Nabi saw. Makna khalifah pada ayat tersebut ialah kekhalifahan yang diberikan langsung oleh Allah kepada Nabi Daud yang berarti kenabian (al-Nubuwah), bukan kekhalifahan berupa jabatan politik (al-Wadzifah al-Siyasiyah) yang diberikan manusia.

Tak hanya itu, beberapa ayat lainnya yang coba disoroti oleh Muhammad Imarah ialah sebagai berikut:

Al-Nur: 55

وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan mengerjakan amal saleh, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi  sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah Dia ridhai (Islam). Dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barang siapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.”  

Fathir: 39.

هُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ فِي الْأَرْضِ

“Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi.”

Al-A’raf: 129.

قَالُوا أُوذِينَا مِنْ قَبْلِ أَنْ تَأْتِيَنَا وَمِنْ بَعْدِ مَا جِئْتَنَا قَالَ عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُهْلِكَ عَدُوَّكُمْ وَيَسْتَخْلِفَكُمْ فِي الْأَرْضِ فَيَنْظُرَ كَيْفَ تَعْمَلُونَ

“Kaum Musa berkata: “Kami telah ditindas (oleh Fir’aun) sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu datang. Musa menjawab: “Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi(Nya), maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu.”

Al-An’am: 133.

وَرَبُّكَ الْغَنِيُّ ذُو الرَّحْمَةِ إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ وَيَسْتَخْلِفْ مِنْ بَعْدِكُمْ مَا يَشَاءُ كَمَا أَنْشَأَكُمْ مِنْ ذُرِّيَّةِ قَوْمٍ آخَرِينَ

“Dan Tuhanmu Maha Kaya lagi mempunyai rahmat. Jika Dia menghendaki, niscaya Dia memusnahkan kamu dan menggantimu dengan siapa yang dikehendaki-Nya setelah kamu (musnah), sebagaimana Dia telah menjadikan kamu dari keturunan orang-orang lain.”

Pada ayat-ayat di atas, terdapat redaksi istakhlafa, yastakhlifu, dan khalaif, yang semuanya merupakan satu akar dengan redaksi khalifah. Namun, menurut Muhammad Imarah, makna khalifah pada ayat-ayat di atas ialah kekhalifahan yang diberikan langsung oleh Allah kepada setiap individu manusia sebagai mandat agar memakmurkan bumi, bukan kekhalifahan berupa jabatan politik yang diberikan oleh manusia dan hanya terbatas pada seorang penguasa atau kepala negara.

Syaikh Muhammad Imarah juga mengatakan, dalam kaitannya dengan kepala negara atau penguasa pemerintahan, al-Quran tidak menggunakan term khalifah untuk menyebut seorang penguasa, melainkan term ulil amr. Term ini, menurutnya, telah digunakan pada masa paling awal dalam tradisi Arab Islam. Term ini terrekam pada QS. Al-Nisa: 59 sebagai berikut:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.”  

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa sistem pemerintahan berupa khilafah Islamiyah sama sekali tidak memiliki dasar teologis dalam al-Quran. Namun sayangnya, beberapa ayat yang secara redaksional mengandung term khalifah dan berbagai derivasinya seringkali dipelintir maknanya oleh kelompok tertentu sebagai legitimasi mendirikan khilafah. Padahal, sebagaimana ditegaskan di atas, term khalifah dalam al-Quran sendiri tak sekalipun mengandung konotasi politik sebagai kepala negara dalam sistem pemerintahan berupa khilafah Islamiyah.        

Namun demikian, ketiadaan konsep negara dalam al-Quran, baik dalam bentuk khilafah Islamiyah dan lain sebagainya, tidak serta merta menafikan komprehesifitas ajaran Islam. Sebagaimana ditegaskan oleh sejumlah kalangan, bahwa dalam konteks bernegara, Islam hanya menyajikan nilai-nilai universal yang dapat dipedomani dalam bernegara semisal adil (al-adalah), musyawarah (al-Syura), amanah (al-amanah) dan lain sebagainya tanpa menentukan sistem atau model pemerintahan tertentu.

Wallahu a'lam

 

Jumat, 29 Maret 2019

Habib Ali al-Jufri: Kata Jihad Dicuri dan Disalahgunakan untuk Kepentingan yang Keliru


Habib Ali al-Jufri: Kata Jihad Dicuri dan Disalahgunakan untuk Kepentingan yang Keliru
 

Habib Ali al-Jufri, seorang dai asal Timur Tengah menyampaikan agar kita bersama menjaga negara masing-masing. Hal ini disampaikan dalam acara Jalsatud Du’at di PP Alfachriyah Tangerang pimpinan Habib Jindan bin Novel Bin Jindan, Jum’at 13 April 2018.

“Jaga negeri kalian. Jangan terprovokasi dengan orang pakai baju putih yang mengatasnamakan Islam, demokrasi, liberalisme dan lain-lain. untuk merusak dan menipu.” tuturnya sebagaimana dikutip dari Jatman.or.id.

Habib Ali juga mengungkapkan bahwa saat ini di Timur Tengah luluh lantah gara-gara orang-orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai pejuang khilafah. Sayangnya perjuangan khilafah mereka malah menjadikan penduduk negara tersebut mencari suaka ke negara lain.

Pesan Habib Ali untuk para dai yang mengikuti acara tersebut adalah untuk selalu sadar dan fokus pada peran pendakwah, bukan memprovokasi kecuali pada jihad yang betul, dan syarat-syarat yang dibenarkan syariat.

“Bukan kalimat jihad yang dicuri dan disalahgunakan untuk kepentingan yang keliru, menipu atas nama jihad Islam,” tambahnya.

Habib Ali juga mengutip pendapat Al-Mawardi tentang pentingnya menjaga sebuah negara.

“Agama, akal, jiwa, kehormatan dan harga diri harus dijaga. Jika negara hancur, maka semuanya akan hancur,” tandasnya.

Selasa, 26 Maret 2019

Zaman Fitnah, Penghafal Qur'an Semakin Banyak, Ahli Fiqh Semakin Langka


Zaman Fitnah, Penghafal Qur'an Semakin Banyak, Ahli Fiqh Semakin Langka
 

Jauh-jauh hari sebelum beliau menjadi Rais Aam PBNU, KH. miftahul Akhyar sudah memperingatkan kita tentang fitnah akhir Zaman dan rumus menghadapinya..
beliau menceritakan kisah waktu beliau ngaji kepada Hadzratus Syaikh Allasimy qaddasallah sirrah wa nawwara dlariihah :

"Brakk!!
Tiba-tiba Beliau Hadzratus syeikh menggebrak meja !
Saya yang duduk paling depan dan santri yang mengaji kaget gelagapan.

Lalu Beliau dawuh, " Ojo kagetan, ojo gumunan"
(jangan mudah kaget, jangan mudah kagum..)

Orang kagetan itu imannya lemah, pasti mudah dipengaruhi, bahkan untuk masalahnya sendiri nggak bisa cari solusi, tapl grudak gruduk bergantung orang lain.
Mengapa Wong islam yang 90 % bisa dipengaruhi, dikuasai oleh berapa gelintir orang lain.

Apa yang dikhawatirkan Rasulullah Saw; yakni umat yang mengekor apa yang sedang trend saja.

Dawuh Hadzratus Syaikh :
Anuto hukum Ojo anut usum,

ﻻ ﺗﻜﻮﻧﻮﺍ ﺇﻣﻌﺔ ؛ ﺗﻘﻮﻟﻮﻥ : ﺇﻥ ﺃﺣﺴﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺃﺣﺴﻨﺎ ، ﻭ ﺇﻥ ﺍﺳﺎﺅﺍ ﺍﺳﺄﻧﺎ ، ﻭﻟﻜﻦ ﻭﻃﻨﻮﺍ ﺃﻧﻔﺴﻜﻢ : ﺇﻥ ﺃﺣﺴﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺃﻥ ﺗﺤﺴﻨﻮﺍ ، ﻭﺇﻥ ﺃﺳﺎﺀﻭﺍ ﻓﻼ ﺗﻈﻠﻤﻮﺍ

"Jangan menjadi imma'ah. Yaitu mereka yang berkata ; kami ikutan apa kata orang, kalo mereka berbuat baik, kamipun berbuat baik, kalo mereka berbuat jahat kamipun berbuat jahat.

Tapi disiplinkan diri kalian, bila orang berbuat baik, berlombalah dalam kebaikan.
Bila orang berbuat jahat, tetaplah berbuat baik.

ﻛﻴﻒ ﺃﻧﺘﻢ ﺇﺫﺍ ﻟﺒﺴﺘﻜﻢ ﻓﺘﻨﺔ ﻳﻬﺮﻡ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﻜﺒﻴﺮ ﻭ ﻳﺮﺑﻮ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﺼﻐﻴﺮ ﻭ ﻳﺘﺨﺬﻫﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺳﻨﺔ ﻓﺈﺫﺍ ﻏﻴﺮﺕ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﻏﻴﺮﺕ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻗﻴﻞ : ﻣﺘﻰ ﺫﻟﻚ ﻳﺎ ﺃﺑﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ؟ ﻗﺎﻝ : ﺇﺫﺍ ﻛﺜﺮﺕ ﻗﺮﺍﺅﻛﻢ ﻭ ﻗﻠﺖ ﻓﻘﻬﺎﺅﻛﻢ ﻭ ﻛﺜﺮﺕ ﺃﻣﻮﺍﻟﻜﻢ ﻭ ﻗﻠﺖ ﺃﻣﻨﺎﺅﻛﻢ ﻭ ﺍﻟﺘﻤﺴﺖ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﺑﻌﻤﻞ ﺍﻵﺧﺮﺓ .

Bagaimana sikap kalian (di zaman) ketika fitnah sudah melekat erat seperti pakaian?

Manakala anak kecil, berlagak seperti orang besar (ulama), dan orang tua pikun sebelum waktunya. Lalu 0rang-orang menganggap fitnah sebagai sunnah.

Sehingga apabila ada orang yang merubah fitnah itu dikatakan; "Sunnah telah dirubah.."

Kapan itu wahai Abu Abdurrahman (Sahabat Ibnu mas'ud) ?

"Yaitu ketika orang yang hafal quran semakin banyak , tapi ahli fiqh semakin langka, ketika orang kaya semakin banyak tapi orang yang dipercaya semakin langka.

Dan kalian mencari dunia dengan amal agama".

Ketika ulama meninggal itulah maka ahli fiqh agama semakin sedikit.
Hadratus Syeikh Allasimy sepulang belajar dan mengajar dari mekkah, semua kitab beliau dirampas belanda, agar tidak menghasut santri melawan belanda.

Tetapi rupanya beliau sudah hafal semua kitab yang dibawa (menurut satu riwayat, beliau juga hafal 16 kitab tafsir), sehingga beliau tetap ngrumati santri, mewakafkan diri dan ilmunya untuk hayyatid dunya wal akhirah.

Beliau pun dijuluki Ahli reparasi kitab, bahkan Beliau bisa menandai gaya bahasa masing-masing mushonif kitab.

Seperti gaya bahasa imam Jalaluddin As_Suyuti saat mencoba menyamakan gaya bahasa imam Jalaluddin Al mahally dalam kitab Tafsir Jalalain.

(KH. Miftahul Akhyar_Miftahus ).

Sabtu, 23 Maret 2019

Fahamilah Nu Secara utuh menyeluruh agar tidak menjadi Nahdliyyin rasa ormas Radikal


Fahamilah NU Secara Utuh, agar tidak Menjadi Nahdliyin rasa Ormas Radikal

Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi keagamaan yang sangat unik. Sebagai organisasi yang dimotori oleh kiai-kiai di pesantren, NU ternyata sering kali melahirkan pemikiran yang sangat modern dan sepak terjangnya kerap di luar dugaan. Dalam demo berjilid-jilid terkait tuduhan penistaan agama oleh Ahok misalnya, NU justru menahan diri untuk tidak turut larut dalam gegap gempitanya aksi-aksi  yang dilabeli "Bela Islam". 

Keunikan yang dimiliki NU dan sepak terjangnya yang sulit diprediksi itu, membuat banyak kalangan gagal memahami NU. Bahkan tidak sedikit orang yang merasa menjadi bagian dari warga NU, tetapi sesungguhnya ia tidak memahami NU. Sehingga muncul istilah "NU rasa FPI", "NU rasa wahabi" dan sebagainya. Dia merasa sebagai orang NU tapi cara pandangnya seperti FPI, seperti wahabi dan sebagainya. 

Bukan cuma itu. Sejumlah kiai dan pesantren tertentu yang aqidah dan amaliahnya sama dengan NU, tapi karena tidak memahami NU, mereka terkesan mengambil jarak dengan NU, malah ada pula yang nyinyir jika bicara soal NU.

Kendati demikian, NU tidak pernah nampak gamang. NU seolah tidak merasa butuh untuk dipahami. NU membiarkan orang untuk mau memahami atau tidak memahaminya.  NU tetap konsisten dalam kemandirian berpikir dan bertindak. Sebab bagi NU sendiri sudah jelas peran apa yang harus dilakoni.

Sebagaimana diketahui, NU didirikan oleh para tokoh ulama Ahlussunah wal Jamaah, dan dibentengi oleh para kiai dari pesantren-pesantren yang tersebar di seluruh Nusantara. Untuk apakah para ulama yang sudah berkiprah di pesantren harus pula membuat organisasi yang kemudian diberi nama Nahdlatul Ulama? 

Dari sini sudah jelas, NU bukanlah semacam majelis taklim atau sejenisnya. Sebab jika semata hanya untuk mengurusi persoalan agama dan internal umat Islam, para kiai sudah melakukannya di pesantren-pesantren. Tapi sejak mulanya, ketika masih berupa embrio bernama Komite Hijaz, NU memang sudah dirancang oleh para kiai untuk dipersembahkan kepada Indonesia dengan kebhinekaannya, dengan kemajemukannya, dengan pluralitasnya.

Kalau boleh meminjam perumpamaan yang dibuat Emha Ainun Najib, maka ibarat restoran pesantren adalah dapurnya, sedangkan NU adalah ruang depan tempat masakan disajikan. Pesantren adalah tempat mempelajari Islam, sedangkan NU berperan untuk menampilkan Islam dalam rule of game yang berlaku di Indonesia yang plural.

Peran NU itulah yang sering disalahpahami oleh orang-orang yang hanya mempelajari Islam, tetapi tidak kemudian belajar bagaimana hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia yang bhineka tunggal ika. Sebab mereka hanya mempelajari Islam untuk ruang internal, Islam yang masih berada di 'dapur restoran'. Mereka belum belajar bagaimana 'menyajikan' Islam dalam ruang kebangsaan.

Maka alangkah mubadzir dan membuang-buang energi saja, jika NU harus melayani kenyinyiran mereka yang gagal paham. Lebih baik bersikap seperti yang dikatakan pepatah: "Biarlah anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. 

Selamat hari lahir ke-94 NU.

Jumat, 22 Maret 2019

Alasan Para Ulama NU Tidak Menerapkan Sistem Khilafah dan Negara Islam di Indonesia


Alasan Para Ulama NU Tidak Menerapkan Sistem Khilafah dan Negara Islam di Indonesia

Mungkin ada diantara kita yang pernah terlintas dalam pikiran, yaitu: “Mengapa para ulama khususnya di Nahdlatul Ulama tidak menerapkan hukum Islam di Indonesia setelah kemerdekaan padahal kondisinya saat itu sangat memungkinkan? Mengapa pula penerus perjuangan NU hingga saat ini tetap mempertahankan negara ini dan tidak merubahnya menjadi sistem Islam seperti khilafah?”

Terlebih saat ini begitu marak kelompok yang memperjuangkan sistem negara Islam, baik yang berbentuk khilafah, piagam Jakarta, Perda Syariah dan lain sebagainya. Hal yang semacam ini kerap memunculkan propaganda yang menyudutkan NU, misalnya “NU yang murni adalah NU yang memperjuangkan Khilafah”, hingga mengakibatkan anak-anak muda NU, akademisi, pekerja profesional dan masyarakat awam sekalipun yang demam istilah “Syariah”, membuat mereka berpindah haluan secara ‘politik’ dan menjadi sipatisan mereka, meski secara amaliyah mereka tetap mengamalkan amaliyah NU.

 

NU bukan paranoid terhadap sistem Negara Islam, NU bukan berarti anti terhadap yang berbau “Syariah Islam”. Sebab bagaimana mungkin NU alergi kepada Islam padahal ruh Nahdlatul Ulama adalah Islam itu sendiri? NU menerima Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan UUD 1945 adalah sebagai strategi untuk menjalankan ajaran Islam secara merdeka bagi umat Islam di Indonesia tanpa ada disintegrasi bangsa, tanpa perang, tanpa kekerasan dan lainnya sebagaimana Rasulullah Saw menerima perjanjian damai Hudaibiyah yang seolah merugikan Islam, namun kenyataannya disanalah titik balik menyebarnya Islam tanpa perang dan senjata.

Saya baru bisa memahami secara utuh tentang sikap dan landasan ulama NU diatas setelah sering mengikuti Bahtsul Masail di NU, kajian Aswaja dari Ust. Idrus Ramli, riwayat kisah NU melalui Kyai As’ad yang disampaikan Gus Sholahuddin Mujib dan sebagainya. Semoga secuil tulisan ini bermanfaat.

Formalitas Agama Bukan Segalanya

Ketika Orde Baru berupaya memberangus Ormas Islam di tahun 80-an, kala itu Presiden Suharto menerapkan peraturan Azaz Tunggal Pancasila. Yang ia harapkan, jika ada ormas Islam yang menolaknya maka dengan mudah ‘diberhentikan’. Namun, Suharto salah prediksi, sebab ternyata NU menerima Azaz Tunggal Pancasila, sehiangga Suharto tidak punya alasan untuk membubarkan NU.

Telah sampai kepada saya riwayat dari Gus Sholahuddin, putra Kyai Mujib Ridlwan Abdullah, beliau dari ayahnya Kyai Mujib, bahwa awalnya Kyai As’ad di masa itu tidak menerima adanya Azaz Tunggal Pancasila. Bagi kyai pelaku sejarah NU ini, Islam tidak bisa diganti dengan apapun termasuk dengan Pancasila. Kyai As’ad berkata kepada Kyai Mujib: “Tidak bisa Pak Mujib. Islam tidak bisa diganti dengan Azaz Tunggal. Kalau Suharto masih meneruskan ini, kita harus Sabil (perang), Pak Mujib. Saya meski sudah tua begini jangan dikira takut perang. Kita turun ke hutan lagi seperti dulu”.

 

Terjadi dialog panjang antara Kyai As’ad dengan Kyai Mujib yang cenderung menerima Azaz Tunggal Pancasila. Tidak ada argumen yang keluar dari Kyai Mujib kecuali langsung dijawab oleh Kyai As’ad. Ketika Kyai Mujib mengeluarkan dalil al-Quran, maka Kyai As’ad juga berdalil al-Quran, begitu pula dengan dalil hadis. Akhirnya Kyai Mujib berkata: “Kyai, lebih berat mana NU menerima Azaz Tunggal Pancasila dengan Rasulullah menerima Perjanjian Hudaibiyah?”. Sejak itulah kemudian Kyai As’ad menerima Azaz Tunggal Pancasila pada Munas Alim Ulama dan Muktamar NU di Situbondo.

Yang dimaksud oleh Kyai Mujib dengan perjanjian Hudaibiyah tersebut adalah sebagai berikut:

عَنِ الْبَرَاءِ - رضى الله عنه - قَالَ لَمَّا اعْتَمَرَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - فِى ذِى الْقَعْدَةِ ، فَأَبَى أَهْلُ مَكَّةَ أَنْ يَدَعُوهُ يَدْخُلُ مَكَّةَ ، حَتَّى قَاضَاهُمْ عَلَى أَنْ يُقِيمَ بِهَا ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ ، فَلَمَّا كَتَبُوا الْكِتَابَ كَتَبُوا ، هَذَا مَا قَاضَى عَلَيْهِ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ . قَالُوا لاَ نُقِرُّ بِهَذَا ، لَوْ نَعْلَمُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ مَا مَنَعْنَاكَ شَيْئًا ، وَلَكِنْ أَنْتَ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ . فَقَالَ « أَنَا رَسُولُ اللَّهِ ، وَأَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ » . ثُمَّ قَالَ لِعَلِىٍّ « امْحُ رَسُولَ اللَّهِ » . قَالَ عَلِىٌّ لاَ وَاللَّهِ لاَ أَمْحُوكَ أَبَدًا . فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - الْكِتَابَ ، وَلَيْسَ يُحْسِنُ يَكْتُبُ ، فَكَتَبَ هَذَا مَا قَاضَى مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ لاَ يُدْخِلُ مَكَّةَ السِّلاَحَ ، إِلاَّ السَّيْفَ فِى الْقِرَابِ ، وَأَنْ لاَ يَخْرُجَ مِنْ أَهْلِهَا بِأَحَدٍ ، إِنْ أَرَادَ أَنْ يَتْبَعَهُ ، وَأَنْ لاَ يَمْنَعَ مِنْ أَصْحَابِهِ أَحَدًا ، إِنْ أَرَادَ أَنْ يُقِيمَ بِهَا . (رواه البخارى)

“Diriwayatkan dari al-Barra’, ia berkata: Ketika Nabi Saw melakukan umrah di bulan Dzulhijjah, maka penduduk Makkah menolak jika Nabi Masuk ke Makkah, hingga Nabi memberi keputusan kepada mereka untuk menetap di Makkah selama 3 hari. Ketika mereka menuliskan surat, mereka menulis: “Ini adalah keputusan Muhammad Rasulullah”. Mereka (Kafir Quraisy) berkata: “Kami tidak mengakui dengan nama ini. Andai kami tahu bahwa kau adalah utusan Allah, maka tentu kami tidak akan menghalangimu sedikitpun. Tetapi kau adalah Muhammad bin Abdullah”. Nabi Saw bersabda: “Aku adalah utusan Allah dan aku adalah Muhammad bin Abdullah”. Lalu Nabi berkata kepada Ali: “HAPUSLAH KALIMAT RASULULLAH!” Ali berkata: “Tidak. Demi Allah saya tidak akan menghapusmu selamanya”. Kemudian Rasulullah mengambil kertas perjanjian, padahal beliau tidak bisa menulis, lalu beliau menulis: “Ini adalah keputusan Muhammad bin Abdullah. Muhammad tidak akan masuk ke Makkah dengan pedang kecuali pedang yang tertutup, tidak membawa keluar seorangpun dari penduduk Madinah jika ia ingin mengikutinya, dan tidak melarang seorang pun dari sahabat Nabi jika ingin menetap di Makkah” (HR al-Bukhari)

Jelas sekali di dalam hadis ini Nabi Muhammad memerintahkan Sayidina Ali menghapus gelar formal Nabi Muhammad berupa kalimat RASULULLAH, sementara Sayidina Ali tidak mau menghapusnya, maka Nabi Muhammad sendiri yang menghapusnya. Bagi ulama di kalangan NU, hadis ini memberi pemahaman bahwa gelar formal dalam agama bukan segala-galanya yang harus dibela mati-matian. Justru tidak adanya gelar formal Islam, umat Islam bisa leluasa keluar-masuk kota Makkah, menyebarkan Islam, mengenalkan Rasulullah Saw dan sebagainya.

Demikian halnya dengan Indonesia, bagi ulama di kalangan NU, Pancasila bukan agama, oleh karenanya selamanya Pancasila tidak akan menggantikan Islam. Justru dengan NU menerima Pancasila, umat Islam di Indonesia bisa melakukan ajaran Islam kesehariannya dengan aman, tanpa rasa takut. Umat Islam juga bisa masuk ke wilayah provinsi atau kabupaten yang asalnya sama sekali tidak ada Islamnya, seperti Medan, Manado, Ambon, Papua, Timor Timur (dahulu), sehingga perlahan di daerah sana banyak yang memeluk Islam. 

Berperang Atau Menerima Perjanjian Damai

Bagi di luar NU, untuk negara Indonesia dirubah dengan sistem Syariat Islam akan berani membela mati-matian, meski setelah itu akan berlanjut perang dan disintegrasi bangsa, bahkan mungkin perang saudara seperti yang terjadi di Timur Tengah. Namun bagi NU akan memilih opsi perjanjian damai, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw, meski diprotes oleh Sayidina Umar bin Khattab:

عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ كُنَّا بِصِفِّينَ فَقَالَ رَجُلٌ أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُدْعَوْنَ إِلَى كِتَابِ اللَّهِ . فَقَالَ عَلِىٌّ نَعَمْ . فَقَالَ سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ اتَّهِمُوا أَنْفُسَكُمْ فَلَقَدْ رَأَيْتُنَا يَوْمَ الْحُدَيْبِيَةِ - يَعْنِى الصُّلْحَ الَّذِى كَانَ بَيْنَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - وَالْمُشْرِكِينَ - وَلَوْ نَرَى قِتَالاً لَقَاتَلْنَا ، فَجَاءَ عُمَرُ فَقَالَ أَلَسْنَا عَلَى الْحَقِّ وَهُمْ عَلَى الْبَاطِلِ أَلَيْسَ قَتْلاَنَا فِى الْجَنَّةِ وَقَتْلاَهُمْ فِى النَّارِ قَالَ « بَلَى » . قَالَ فَفِيمَ أُعْطِى الدَّنِيَّةَ فِى دِينِنَا ، وَنَرْجِعُ وَلَمَّا يَحْكُمِ اللَّهُ بَيْنَنَا . فَقَالَ « يَا ابْنَ الْخَطَّابِ إِنِّى رَسُولُ اللَّهِ وَلَنْ يُضَيِّعَنِى اللَّهُ أَبَدًا » . فَرَجَعَ مُتَغَيِّظًا ، فَلَمْ يَصْبِرْ حَتَّى جَاءَ أَبَا بَكْرٍ فَقَالَ يَا أَبَا بَكْرٍ أَلَسْنَا عَلَى الْحَقِّ وَهُمْ عَلَى الْبَاطِلِ قَالَ يَا ابْنَ الْخَطَّابِ إِنَّهُ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - وَلَنْ يُضَيِّعَهُ اللَّهُ أَبَدًا . فَنَزَلَتْ سُورَةُ الْفَتْحِ (رواه البخارى)

Diriwayatkan dari Abu Wail, ia berkata: “Kami berada dalam Shiffin, ada seseorang berkata: Apakah kamu melihat orang-orang yang diajak kembali ke al-Quran. Lalu Ali menjawab: Ya”. Sahal bin Hunaif berkata: “Berprasangkalah pada diri kalian. Sungguh saya melihat diri kami dalam perjanjian Hudaibiyah yang dilakukan oleh Nabi Saw dan orang musyrikin. Jika kami berpendapat perang maka kami akan berperang. Kemudian Umar berkata: Bukankah kita berada diatas kebenaran dan mereka di jalan yang salah? Bukankah orang yang terbunuh diantara kami ada di surga dan yang terbunuh dari mereka ada di neraka? Nabi menjawab: “Ya”. Umar berkata: “Dimanakah saya meletakkan kehinaan dalam agama kita? Dan kita kembali sebelum Allah memberi keputusan diantara kita”. Nabi Saw bersabda: “Wahai putra Khattab. Saya adalah utusan Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan saya selamanya”. Umar lalu kembali dengan amarah dan tidak bisa sabar hingga ia datang kepada Abu Bakar, Umar berkata: “Wahai Abu Bakar, Bukankah kita berada diatas kebenaran dan mereka di jalan yang salah?” Abu Bakar berkata: “Wahai putra Khattab. Muhammad adalah utusan Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan Muhammad selamanya”. Maka turunlah surat al-Fath” (HR al-Bukhari)

 

Maslahat atau nilai plus yang dipilih oleh Rasulullah dalam perjanjian damai ini adalah sebagai berikut, seperti yang disampaikan oleh Imam an-Nawawi:

قَالَ الْعُلَمَاء : وَالْمَصْلَحَة الْمُتَرَتِّبَة عَلَى إِتْمَام هَذَا الصُّلْح مَا ظَهَرَ مِنْ ثَمَرَاته الْبَاهِرَة ، وَفَوَائِده الْمُتَظَاهِرَة ، الَّتِي كَانَتْ عَاقِبَتهَا فَتْح مَكَّة ، وَإِسْلَام أَهْلهَا كُلّهَا ، وَدُخُول النَّاس فِي دِين اللَّه أَفْوَاجًا ؛ وَذَلِكَ أَنَّهُمْ قَبْل الصُّلْح لَمْ يَكُونُوا يَخْتَلِطُونَ بِالْمُسْلِمِينَ ، وَلَا تَتَظَاهَر عِنْدهمْ أُمُور النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَمَا هِيَ ، وَلَا يَحِلُّونَ بِمَنْ يُعْلِمهُمْ بِهَا مُفَصَّلَة ، فَلَمَّا حَصَلَ صُلْح الْحُدَيْبِيَة اِخْتَلَطُوا بِالْمُسْلِمِينَ ، وَجَاءُوا إِلَى الْمَدِينَة ، وَذَهَبَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى مَكَّة ، وَحَلُّوا بِأَهْلِهِمْ وَأَصْدِقَائِهِمْ وَغَيْرهمْ مِمَّنْ يَسْتَنْصِحُونَهُ ، وَسَمِعُوا مِنْهُمْ أَحْوَال النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُفَصَّله بِجُزْئِيَّاتِهَا ، وَمُعْجِزَاته الظَّاهِرَة ، وَأَعْلَام نُبُوَّته الْمُتَظَاهِرَة ، وَحُسْن سِيرَته ، وَجَمِيل طَرِيقَته ، وَعَايَنُوا بِأَنْفُسِهِمْ كَثِيرًا مِنْ ذَلِكَ ، فَمَا زَلَّتْ نُفُوسهمْ إِلَى الْإِيمَان حَتَّى بَادَرَ خَلْق مِنْهُمْ إِلَى الْإِسْلَام قَبْل فَتْح مَكَّة فَأَسْلَمُوا بَيْن صُلْح الْحُدَيْبِيَة وَفَتْح مَكَّة ، وَازْدَادَ الْآخَرُونَ مَيْلًا إِلَى الْإِسْلَام ، فَلَمَّا كَانَ يَوْم الْفَتْح أَسْلَمُوا كُلّهمْ لِمَا كَانَ قَدْ تَمَهَّدَ لَهُمْ مِنْ الْمَيْل ، وَكَانَتْ الْعَرَب مِنْ غَيْر قُرَيْش فِي الْبَوَادِي يَنْتَظِرُونَ بِإِسْلَامِهِمْ إِسْلَام قُرَيْش ، فَلَمَّا أَسْلَمَتْ قُرَيْش أَسْلَمَتْ الْعَرَب فِي الْبَوَادِي . قَالَ تَعَالَى : إِذَا جَاءَ نَصْر اللَّه وَالْفَتْح وَرَأَيْت النَّاس يَدْخُلُونَ فِي دِين اللَّه أَفْوَاجًا (شرح النووي على مسلم - ج 6 / ص 241)

“Ulama berkata: Maslahat yang timbul atas perjanjian damai ini adalah sesuatu yang tampak dari buahnya yang indah dan manfaat yang nyata, yang berujung pada penaklukan kota Makkah, dan semua penduduknya memeluk Islam dan orang-orang masuk ke dalam Islam secara berbondong-bondong. Sebab sebelum terjadinya perjanjian damai para penduduk Makkah tidak pernah berkumpul dengan umat Islam dan tidak tampak kepada mereka perilaku-perilaku Nabi Saw yang nyata, serta tidak ada yang menjelaskan kepada mereka secara terperinci. Ketika terjadi perjanjian Hudaibiyah, mereka berbaur dengan umat Islam, mereka datang ke Madinah dan umat Islam berkunjung ke Makkah. Mereka berkumpul bersama keluarga, kawan dan lainnya. Mereka mendengar dari para sahabat tentang perilaku Nabi secara mendetail, mukjizat yang nyata, tanda kenabian yang jelas, kepribadian yang bagus, perilaku yang indah dan mereka sering menyaksikan secara langsung. Maka hati mereka mulai condong pada iman hingga banyak dari mereka bergegas dalam Islam sebelum penaklukan kota Makkah. Maka mereka telah masuk Islam antara perjanjian damai Hudaibiyah dan penaklukan Makkah. Orang yang lain pun bertambah condong ke dalam Islam. Ketika hari penaklukan kota Makkah, maka mereka telah masuk Islam semua, sebab mereka telah memiliki bekal terhadap Islam. Sementara orang Arab yang di pedalaman selain Quraisy, mereka masih menunggu orang Quraisy masuk Islam. Dan ketika orang Quraisy masuk Islam maka orang-orang Arab pedalaman masuk Islam. Allah berfirman: “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong” (Syarah Muslim, Imam Nawawi 6/241)

Dengan demikian, 4 Pilar kebangsaan yang telah dinyatakan final oleh NU sebagai langkah wujudnya perdamaian di Indonesia baik antar pulau, suku dan agama, telah sesuai dengan jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Saw. Namun bagi aliran yang berseberangan dengan NU, yang sebenarnya mereka belum merasakan derita jika suatu negara telah terjadi perang agama atau perang saudara tidak akan bisa pulih dalam waktu cepat, dan mereka belum tahu mahalnya sebuah kedamaian, maka mereka pun akan tetap maju menyuarakan harapannya.
Disinilah mereka akan berhadapan dengan NU.

Kamis, 14 Maret 2019

KH Maimoen Zubair: Do'a Kepada Allah Jangan Minta Banyak, Cukup 4 Perkara


KH Maimoen Zubair: Do'a Kepada Allah Jangan Minta Banyak, Cukup 4 Perkara

"Cung. lek, nyuwun Allah Ta'ala kui ojo akeh2. Papat wae wes cukup.
1- nyuwun nikmate Urip.
2- nyuwun rizqi lumintu.
3- nyuwun keluarga tentrem. 
4- nyuwun Bejo donyo acherat.
Wes iku wae. Faham yo". . .

(Nak. Kalau meminta kepada Allah ta'ala itu jangan banyak2. Empat saja sudah cukup. Satu mintalah ni'matnya hidup. Dua minta rezeki melimpah barokah. Tiga minta keluarga tentram damai sejahtera. Empat minta keberuntungan dunia akhirat. Sudah itu saja. Faham ya)

1- Do'a Mensyukuri Nikmat | Do'a Nabi Sulaiman:

رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ.

2- Do’a Untuk Minta Rezeki | Do’a Nabi Isa:

اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنْزِلْ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ تَكُونُ لَنَا عِيدًا لِأَوَّلِنَا وَآَخِرِنَا وَآَيَةً مِنْكَ وَارْزُقْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقيْن

3- Doa menginginkan anak yang baik | Doa Nabi Zakariyya :

رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ

4- Doanya hamba-hamba Allah Yang beriman:

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا.

5- Doanya Nabi Ibrohim:

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ

6- Doa minta keberuntungan | Doa Nabi Muhammad:

" اللَّهُمَّ إنَّا نَسْألُكَ مُوجِباتِ رَحْمَتِكَ، وَعَزائِمَ مَغْفِرَتِكَ، والسَّلامَةَ مِنْ كُلِّ إثمٍ، والغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ، والفَوْزَ بالجَنَّةِ، والنَّجاةَ مِنَ النَّارِ

7- Doa minta kebaikan dunia dan akhirat:

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

 

Minggu, 10 Maret 2019

Jumlah Hari Puasa Rajab


Jumlah Hari Puasa Rajab

Sebelumnya penulis telah menjelaskan bahwa kesunahan puasa Rajab ditetapkan berdasarkan beberapa hadits Nabi. Di antaranya adalah hadits riwayat Abi Dawud sebagai berikut:

عَنْ مُجِيبَةَ الْبَاهِلِيَّةِ عَنْ أَبِيهَا أَوْ عَمِّهَا أَنَّهُ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَأَتَاهُ بَعْدَ سَنَةٍ وَقَدْ تَغَيَّرَتْ حَالُهُ وَهَيْئَتُهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَا تَعْرِفُنِي قَالَ وَمَنْ أَنْتَ قَالَ أَنَا الْبَاهِلِيُّ الَّذِي جِئْتُكَ عَامَ الْأَوَّلِ قَالَ فَمَا غَيَّرَكَ وَقَدْ كُنْتَ حَسَنَ الْهَيْئَةِ قَالَ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا إِلَّا بِلَيْلٍ مُنْذُ فَارَقْتُكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَ عَذَّبْتَ نَفْسَكَ ثُمَّ قَالَ صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ وَيَوْمًا مِنْ كُلِّ شَهْرٍ قَالَ زِدْنِي فَإِنَّ بِي قُوَّةً قَالَ صُمْ يَوْمَيْنِ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ قَالَ زِدْنِي قَالَ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ صُمْ مِنْ الْحُرُمِ وَاتْرُكْ وَقَالَ بِأَصَابِعِهِ الثَّلَاثَةِ فَضَمَّهَا ثُمَّ أَرْسَلَهَا

Artinya, “Dari Mujibah Al-Bahiliyyah, dari bapaknya atau pamannya, bahwa ia mendatangi Nabi. Kemudian ia kembali lagi menemui Nabi satu tahun berikutnya sedangkan kondisi tubuhnya sudah berubah (lemah/ kurus). Ia berkata, ‘Ya Rasul, apakah engkau mengenaliku?’ Rasul menjawab, ‘Siapakah engkau?’

Ia menjawab, ‘Aku Al-Bahili yang datang kepadamu pada satu tahun yang silam.’ Nabi menjawab, ‘Apa yang membuat fisikmu berubah padahal dulu fisikmu bagus (segar).’ Ia menjawab, ‘Aku tidak makan kecuali di malam hari sejak berpisah denganmu.’ Nabi berkata, ‘Mengapa engkau menyiksa dirimu sendiri? Berpuasalah di bulan sabar (Ramadhan) dan satu hari di setiap bulannya.’

Al-Bahili berkata, ‘Mohon ditambahkan lagi ya Rasul, sesungguhnya aku masih kuat (berpuasa). Nabi menjawab, ‘Berpuasalah dua hari.’ Ia berkata, ‘Mohon ditambahkan lagi ya Rasul.’ Nabi menjawab, ‘Berpuasalah tiga hari.’ Ia berkata, ‘Mohon ditambahkan lagi ya Rasul.’

Nabi menjawab, ‘Berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah, berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah, berpuasalah dari bulan-bulan mulia dan tinggalkanlah.’ Nabi mengatakan demikian seraya berisyarat dengan ketiga jarinya, beliau mengumpulkan kemudian melepaskannya’.” (HR Abu Dawud).

Mengomentari bagian akhir redaksi hadits di atas, Syekh Abut Thayyib Syamsul Haq Al-Azhim mengatakan:

أَيْ صُمْ مِنْهَا مَا شِئْتَ وَأَشَارَ بِالْأَصَابِعِ الثَّلَاثَةِ إِلَى أَنَّهُ لَا يَزِيْدُ عَلَى الثَّلَاثِ الْمُتَوَالِيَاتِ وَبَعْدَ الثَّلَاثِ يَتْرُكُ يَوْمًا أَوْ يَوْمَيْنِ وَالْأَقْرَبُ أَنَّ الْإِشَارَةَ لِإِفَادَةِ أَنَّهُ يَصُوْمُ ثَلَاثًا وَيَتْرُكُ ثَلَاثًا وَاللهُ أَعْلَمُ  قَالَهُ السِّنْدِيُّ

Artinya, “Maksudnya, berpuasalah dari bulan-bulan mulia, apa yang engkau kehendaki. Nabi berisyarat dengan ketiga jarinya untuk menunjukkan bahwa Al-Bahili hendaknya berpuasa tidak melebihi tiga hari berturut-turut, dan setelah tiga hari, hendaknya meninggalkan puasa selama satu atau dua hari. Pemahaman yang lebih dekat adalah, isyarat tersebut untuk memberikan penjelasan bahwa hendaknya Al-Bahili berpuasa selama tiga hari dan berbuka selama tiga hari. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Syekh As-Sindi. Wallahu a’lam,” (Lihat Syekh Abut Thayyib Syamsul Haq Al-Azhim, ‘Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud, juz VII, halaman 58).

Dari keterangan tersebut dapat dipahami, Nabi memberi petunjuk kepada sahabatnya Al-Bahili berpuasa di bulan-bulan mulia termasuk Rajab hendaknya tidak dilakukan secara terus-menerus. Akan tetapi diberi jeda waktu. Bisa tiga hari berpuasa, tiga hari berbuka. Atau tiga hari berpuasa berturut-turut, selanjutnya diberi jeda satu atau dua hari untuk berbuka, kemudian memulai lagi berpuasa tiga hari.

Hanya saja, petunjuk Nabi di atas bersifat kasuistik, menyesuaikan dengan kondisi penanya, sebab konteksnya penanya tergolong orang yang lemah. Petunjuk Nabi berpuasa Rajab di atas diarahkan bagi orang yang keberatan untuk memperbanyak puasa di bulan Rajab. Sedangkan bagi seseorang yang kuat untuk berpuasa Rajab melebihi petunjuk Nabi di atas, maka hal tersebut adalah lebih baik baginya, sebab satu bulan penuh di bulan Rajab semuanya baik untuk dipuasai. Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami menegaskan:

قال الْعُلَمَاءُ وَإِنَّمَا أَمَرَهُ بِالتَّرْكِ لِأَنَّهُ كان يَشُقُّ عليه إكْثَارُ الصَّوْمِ كما ذَكَره في أَوَّلِ الحديث فَأَمَّا من لَا يَشُقّ عليه فَصَوْمُ جَمِيعِهَا فَضِيلَةٌ

“Ulama berkata, Nabi memerintahkan Al-Bahili untuk meninggalkan puasa, sebab memperbanyak puasa baginya berat sebagaimana yang disebutkan dalam awal hadits. Sedangkan bagi orang yang tidak berat berpuasa, maka berpuasa di sepanjang bulan-bulan mulia merupakan keutamaan,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, [Beirut: Darul Fikr, 1983 M], juz II, halaman 53).

Simpulannya, berpuasa Rajab tidak ada batasan berapa hari yang baik untuk dipuasai. Namun menyesuaikan dengan batas kemampuan setiap orang. Bisa satu hari, tiga hari, satu minggu, dua minggu, atau bahkan satu bulan penuh. Semoga penjelasan ini bermanfaat dan dapat dipahami dengan baik. Wallahu a’lam bis shawab.

(Sanhaji)

Minggu, 03 Maret 2019

Menunaikan Haji dan Umrah dengan Cara Berutang?


Menunaikan Umrah dengan Cara Berutang?

Assalamu’alaikum wr. wb

Kami hendak menanyakan tentang berutang untuk menunaikan ibadah umrah. Mulai berangkat umrah sampai kembali ke tanah air hanya empat belas hari, tetapi mengangsur utangnya sampai setahun. Umrah yang hukumnya sunah malah menimbulkan perkara wajib, yaitu membayar utang. Jika demikan bagaimana hukumnya berutang untuk menunaikan ibadah umrah? Atas penjelasannya kami ucapkan terimakasih. 

Wassalamu’alaikum wr. wb. (Shohibul Miftah/Kartosuro)

Jawaban:

Assalamu’alaikum wr. wb

Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa salah satu syarat haji maupun umrah adalah istitha’ah, atau adanya kemampuan untuk menunaikannya. Dengan kata lain, orang yang tidak memiliki kemampuan tidak terkena kewajiban haji atau kesunahan umrah. 

Pertanyaannya adalah siapakah orang yang masuk kategori mampu? Apakah bisa dikategorikan sebagai orang yang mampu, seseorang yang dalam berhaji atau berumrah dengan cara berutang? Dalam konteks ini, ada penjelasan menarik dari penulis kitab Mawahib al-Jalil Syarhu Mukhtashar Khalil yang kami anggap cukup memadai untuk dijadikan acuan dalam menjawab pertanyaan di atas.

Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa jika ada seseorang tidak bisa sampai ke Makkah kecuali dengan cara berutang, sedangkan ia sebenarnya tidak mampu membayarnya, maka dalam konteks ini ia tidak wajib berhaji. Ini adalah pandangan yang telah disepakati para ulama.

Berbeda ketika orang tersebut mampu membayar utangnya, maka ia dikategorikan sebagai orang yang mampu. Karenanya, ia wajib melaksanakan haji meskipun dengan cara berutang. Sebab, kemampuan dia untuk membayar utang menyebabkan ia dianggap sebagai orang yang sudah istitha’ah (memiliki kemampuan).

مَنْ لَا يُمْكِنُهُ الْوُصُولُ إِلَى مَكَّةَ إِلَّا بِأَنْ يَسْتَدِينَ مَالًا فِي ذِمَّتِهِ وَلَا جِهَةَ وَفَاءٍ لَهُ فَإِنَّ الْحَجَّ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ لِعَدَمِ اسْتِطَاعَتِهِ وَهَذَا مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَأَمَّا مَنْ لَهُ جِهَةُ وَفَاءٍ فَهُوَ مَسْتَطِيعٌ إِذَا كَانَ فِى تِلْكَ الْجِهَةِ مَا يُمْكِنُهُ بِهِ الْوُصُولُ إِلَى مَكَّةَ

“Barang siapa yang tidak mungkin bisa sampai ke Makkah kecuali dengan berutang dan ia tidak memiliki kemampuan untuk membayarnya, maka ia tidak wajib haji karena ketidakmampuannya. Ini adalah pandangan yang disepakati para ulama. Adapun orang yang bisa mampu membayarnya, maka dikategorikan sebagai orang yang mampu seandainya ketika ia berutang memungkin baginya untuk bisa sampai ke Makkah”. (Al-Haththab ar-Ru’aini, Mawabib al-Jalil Syarhu Mukhatshar al-Khalil, Bairut-Daru ‘Alam al-Kutub, 1423 H/2003 M, juz, III, h. 468)

Berpijak dari penjelasan di atas, maka hemat kami berutang untuk menjalankan umrah sebenarnya tidak ada persoalan sepanjang orang tersebut diyakini akan mampu membayarnya. Dan ia termasuk kategori sebagai orang yang istitha’ah, sedangkan istitha’ah itu sendiri adalah salah satu syarat dalam umrah sebagaimana dijelaskan di muka. 

Lain halnya, jika seseorang berutang untuk menunaikan ibadah umrah padahal ia tidak memiliki kemampuan untuk melunasinya. Maka dalam hal ini jelas ia memaksakan diri, padahal ia bukan masuk kategori orang yang istitha’ah.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Bagi orang yang punya niat menunaikan ibadah umrah sebaiknya jangan dengan berutang, meskipun ia mampu membayarnya, tetapi kumpulkan biaya dulu dengan cara menabung. Sebab, resiko berutang itu sangat besar. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari pembaca. 

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,

Wassalamu’alaikum wr. wb