Jumat, 28 Februari 2020


Tugas utama manusia diciptakan di dunia ini adalah untuk beribadah menyembah Allah SWT, dengan mematuhi perintahnya sekaligus meninggalkan apa yang dilarangNya, manusia akan menjadi hamba yang memperoleh rahmat (kasih sayang). 

Rahmat Allah inilah yang akan menjadi kunci kesuksesan hidup manusia di dunia dan akhirat.   "Amal ibadah yang kita lakukan pada pokoknya adalah mencari rahmat Allah SWT. Rahmat ini diberikan Allah kepada orang-orang yang dikehendakiNya," 

Orang yang menyembah Allah dan menjaga ibadahnya selama di dunia diibaratkan sedang menanam tanaman, yang hasilnya akan dipetik di akhirat. 

Sehingga sudah semestinya berbagai ibadah diamalkan agar pada hari akhir nanti panen raya bisa dirasakan.   

Tanam sebanyaknya amal kita di dunia baik yang wajib maupun yang sunah. Shalat, zakat, shalawatan, yasinan, manakiban, mudah-mudahan kita panen hasilnya di akhirat,"   Selain ibadah yang bersifat vertikal (hablun minallah), tak kalah pentingnya adalah menjalankan ibadah horizontal (hablun minannas). 
Ibadah ini berbentuk perilaku baik dan menjaga kemaslahatan dalam hidup bersama orang lain. 

Inilah tingkatan tertinggi yang dinamakan dengan ihsan.   "Banyak orang Islam tapi tidak iman. Banyak juga orang Islam tapi tidak ihsan. Ketiga hal ini harus dimiliki agar mampu menciptakan kemaslahatan bagi diri dan orang yang ada di sekitar kita,".

Bentuk ihsan ini, bisa terlihat dari sikap seseorang terhadap orang lain. Belum bisa dikatakan ihsan jika seseorang tidak bisa berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepadanya. 

9Umumnya bisa kita lihat, orang berbuat baik karena ia juga pernah mendapatkan kebaikan dari orang lain.   "Dalam hal ini penting shaleh kepada manusia dan shaleh kepada Allah," 

menyampaikan materi dari Kitab Tasawuf Bidayatul Hidayah karya Imam Al Ghazali.   Ia pun mengungkapkan fakta sosial di mana memang manusia paling gampang mengingat hal-hal buruk dari orang lain. Sementara sebuah kebaikan dengan gampangnya dilupakan.   Oleh karenanya ia mengajak umat Islam khususnya untuk menata dan mengasah hati agar kehidupannya senantiasa diwarnai dengan hal-hal positif yang terus menerus akan mengikis hal-hal negatif.    "Jika kemaksiatan walaupun sedikit terus dilakukan maka akan menjadikannya besar. 

Setelah itu hawa nafsu akan menguasai manusia dan akan menjadikannya hina seperti hewan, bahkan lebih hina dari itu," pungkasnya.   Pewarta: Muhammad Faizin Editor: Syamsul Arifin  Tags: Ibadah dunia akhirat Bagikan: Baca Juga Jihad di Bukit Tursina, Mustasyar NU Pringsewu Kaji Tafsir Surat At-Thariq Mungkinkah Konflik Iran-AS Picu Perang Dunia Ketiga? Ini Kata Pakar Muslimat NU Malaysia Gandeng Mahasiswa KKN UIN Palembang Sukseskan Kem Ibadah  Kaleidoskop 2019: Warga NU Jelajahi Afrika dengan Sepeda Perihal Muslim Kaffah Kaleidoskop 2019: Habib Luthfi Pimpin Forum Sufi Dunia Rekomendasi Anjuran Doa Panjang Umur Selama Bulan Rajab dan Sya'ban Ini Lafal Niat Puasa Rajab Bolehkah Niat Puasa Rajab Digabung dengan Qadha Puasa Ramadhan? Teks Deklarasi Hubungan Islam-Pancasila pada Munas NU 1983 Negara-negara yang Menolak Pemulangan Eks ISIS Wawancara Kejahatan ISIS dari Makar, Terorisme, hingga Pelanggaran HAM NU Punya Visi Global untuk Peradaban Umat Manusia Pagar Nusa Menjaga Keseimbangan Tradisi dan Prestasi Relasi Dakwah Islam Wali Songo dengan Islam Nusantara Sistem Pendidikan Mestinya Tumbuhkan Kreativitas dan Inovasi Terpopuler 1 Habib Luthfi ‘Titip’ Kapolres Baru ke Gus dan Lora Jember 2 Puasa Rajab Cegah Lapar di Hari Kiamat 3 Lembaga Falakiyah NU Umumkan Awal Rajab 1441 H Jatuh Hari Selasa 4 Amalan Mulia di Bulan Rajab 5 Ini Delapan Ideologi Radikal Islam dan Cara Penyebaran Doktrinnya 6 KH Ahsin Syifa Aqiel Siroj, Kiai Kharismatik nan Humoris 7 Dukung Berantas Judi, Ansor Banser Banyumas Pasang Ratusan Spanduk 8 Ulama dan Habaib Asia Tenggara Bahas Penguatan Ukhuwah Islamiyah di Nusantara 9 Muazin Korban Penusukan di Masjid Central London Maafkan Penusuknya 10 Dokter NU: Perempuan Tidak Mungkin Hamil Renang di Kolam yang Sama dengan Pria Kumpulan Topik Kumpulan Khutbah Bulan Rajab 1 Geliat Koin Muktamar NU 2 Kaleidoskop NU 2019 3 Amalan-amalan Akhir dan Awal Tahun 4 Anatomi Radikalisme di Indonesia Topik Lainnya... Stafsus Wapres Minta Generasi Muda NU Jaga Demokrasi dari Sumbu Intoleransi Nasional Jelang UN, Ribuan Pelajar Jombang Perkuat Mental Spiritual dengan Istighotsah Daerah GP Ansor Wajib Terlibat Jadi Perekat Dua Komponen NU Daerah Terpilih Jadi Ketua, Faizah Bertekad Membumikan Fatayat NU Tlanakan Daerah Warga Purbalingga Terkesan 'Jejak Langkah 2 Ulama' Daerah Warta Foto 1 / 6 ❮❯ Unusia Anjangsana Pesantren-pesantren di Tatar Sunda Seni Budaya 1 Tiba-tiba Mendekati NU 2 Mereka yang Membawa Manfaat bagi Sekitar 3 Kiai Wahid Hasyim, Gus Dur, dan Teater 4 Surat Kepercayaan 5 Kenang-kenangan Gambar Semar untuk Pak Harto Risalah Redaksi 1 Mewaspadai Penumpang Gelap dalam RUU Cipta Kerja 2 Memilah antara Kombatan, Perempuan, dan Anak Eks ISIS 3 Tantangan Membangun Pesantren Kualitas Premium 4 Agar Kemajuan NU Merata di Setiap Daerah 5 Berbagai Ancaman Mengintai Kehidupan Manusia Seluruh Dunia Beranda Tentang NU Redaksi Kontak Kami.

Kamis, 27 Februari 2020

Ulama Aswaja Sedunia Sepakat Menyatakan Wahhabi Bukan Ahlus Sunnah

Konferensi Ulama Ahlus Sunnah Wal-Jama'ah se Dunia

Muktamar Ulama Ahlu Sunnah di Chechnya mengeluarkan kesepakatan bahwa sekte Salafi atau wahabi bhentukan Saudi Arabia bukan bagian dari mashab Ahlus Sunnah.

Muktamar yang digelar di Cecnya selama beberapa hari dan berakhir pada 30/08/16, itu dihadiri ulama-ulama besar Ahlu Sunnah diantaranya, Syaikh al-Azhar, DR. Ahmad Thayyib, Ulama Yaman Habib Umar Bin Hafidz, Mufti Mesir Syaikh Syauqi Alam, Habib Ali Al Jufri, Syaikh Usamah al-Azhari, Mantan Mufti Mesir, Syaikh Ali Jumah dan lebih dari 200 ulama Ahlus Sunnah dunia.

Mereka menyampaikan syukur dan terima kasih kepada Presiden Chechnya Ramadhan Ahmed Kadyrov atas terselenggaranya muktamar
ini.

Salah satu kutipan dari 11 rekomendasi yang dikeluarkan oleh muktamar yang diututup oleh al-Allamah Syaikh Ali Gomaa itu menyebutkan bahwa muslim Ahlus Sunnah adalah mazhab Asyairah dan Maturidiyyah, dan mengeluarkan sekte Wahabi dari kelompok Islam Sunni.

Sebelumnya, grand Shaikh al-Azhar dalam muktamar itu merujuk pada tindakan yang dilakukan kelompok-kelompok Takfiri Wahabi dan menyebut, “Globalisasi telah menguasai Timur dengan penyebaran berbagai penyakit dan cacat moral serta kebebasan yang kacau dan absurd”, katanya.

“Kelompok-kelompok Takfiri dengan berbagai tindakannya yang tercela sama sekali tidak ada kaitannya dengan Ahlussunnah Wal Jamaah”, merujuk pada tindakan barbar kelompok Wahabi bentukan Saudi Arabia.

Menurut Seikh, kalangan Wahabi memanfaatkan penyimpangan sebagian orang yang menisbatkan dirinya kepada Sunnah, untuk menyebarkan kedengkian dan kebencian. Sementara mazhab Asyari mempresentasikan akidah salaf dengan penuh amanah dengan metodologi baru,” tandasnya.

Selain itu, dikatakannya, pengafiran, merupakakan sebab utama pertumpahan darah dan saling bunuh membunuh sesama kaum muslimin dengan dalih berjihad melawan orang-orang kafir.

Seikh menegaskannya, saat ini umat Islam selama ribuan tahun hidup dalam persatuan dengan berbagai keragaman dan perbedaan yang terpuji dan jauh dari perpecahan dan pertentangan yang tercelah. 

Rabu, 26 Februari 2020

Doa Qunut

Doa Qunut dan Artinya | Tulisan Arab dan Cara Bacanya

اللّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ
Allahummahdinii fiiman hadaiit

وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ
wa 'aafinii fiiman 'aafaiit

وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ
watawallanii fiiman tawallaiit

وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ
wabaarik lii fiimaa a'thaiit

وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ
waqinii syarra maa qadhaiit

فَإِنَّكَ تَقْضِيْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ
fa innaka taqdii walaa yuqdhaa 'alaiik

وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ
wa innahu laa yadzillu man waalaiit

وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ
walaa ya'izzu man 'aadaiit

تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ
tabaarakta rabbanaa wata'aalaiit



do'a qunut dan cara baca serta terjemahannya



Terjemahan doa qunut kata per kata 


1.  اللّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ


- اللّهُمَّ artinya ya Allah.

- اهْدِنِيْ (ihdinii) artinya berilah aku petunjuk; tunjukilah aku.

Ada dua komponen dari اهْدِنِيْ, yaitu اِهْدِ (ihdi) yang merupakan fi'il amr yang artinya tunjukilah, dan نِيْ isim dhamir untuk orang pertama tunggal yaitu saya.

Jadi اهْدِنِيْ artinya adalah tunjukilah saya atau berilah saya petunjuk.

fi'il dasarnya adalah هَدَى - يَهْدِيْ (hadaa - yahdii). hadaa artinya menunjuki; memberi petunjuk.

- فِيْمَنْ (fiiman) makna jika dibahasa Indonesiakan adalah sebagaimana orang yang.

-  هَدَيْتَ (hadaita) artinya engkau telah memberi petunjuk.

هَدَيْتَ adalah fi'il madhi untuk orang kedua tunggal mudzakkar (أَنْتَ)

Jadi  اللّهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ artinya adalah "Ya Allah, tunjukilah aku sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk."

2. وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ

- وَ  artinya dan.

- عَافِنِيْ ('aafinii) artinya lindungilah aku; berilah aku perlindungan (dari yang tidak disukai, seperti penyakit, dll).

عَافِنِيْ terdiri dari dua komponen yaitu عَافِ ('aafi) yang merupakan fi'il amr yang artinya lindungilah, dan نِيْ  isim dhamir berupa objek untuk orang pertama tunggal yang artinya saya.

jadi 'aafinii artinya adalah lindungilah aku.

- فِيْمَنْ , arti dan penjelasannya lihat di atas.

- عَافَيْتَ ('aafaita) artinya engkau telah memberi perlindungan.

عَافَيْتَ adalah fi'il madhi untuk orang kedua tunggal mudzakkar ( أَنْتَ).

Bentuk dasarnya (utk dhamir هُوَ ) adalah عَافَى - يُعَافِي ('aafaa - yu'aafii).

Jadi وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ terjemahannya adalah "dan lindungilah aku sebagaimana orang yang telah Engkau beri perlindungan."


3. وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ


- تَوَلَّنِيْ (tawallanii) artinya jadilah wali bagiku; peliharalah aku; tolonglah aku.
Maksudnya Allah sebagai pelindung, penolong, pemelihara, dst.

تَوَلَّنِيْ mempunyai dua komponen yaitu تَوَلَّ (tawalla) yang merupakan fi'il amr yang artinya tolonglah aku, dan نِيْ  yang artinya aku.

Bentuk dasar fi'il ini (dhamir هُوَ) adalah تَوَلَّى - يَتَوَلّى (tawallaa - yatawallaa).

tawallaa artinya menjadi wali, memelihara, menolong, melindungi, dst.

- تَوَلَّيْتَ (tawallaita) artinya engkau telah menolong.

Jadi وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ artinya adalah "tolonglah aku sebagaimana orang yang telah Engkau tolong."


4. وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ


- بَارِكْ لِيْ (baarik lii) artinya berkahilah aku.

بَارِكْ لِيْ terdiri dari dua komponen yaitu:  بَارِكْ (baarik) yang merupakan fi'il amr yang artinya berkahilah, dan لِيْ yang artinya untuk aku.

Jadi بَارِكْ لِيْ artinya adalah berilah aku keberkahan atau berkahilah aku.


- فِيْمَا (fiimaa) artinya kepada apa-apa yang; terhadap apa-apa yang.

- أَعْطَيْتَ (a'thaita) artinya telah engkau berikan.

أَعْطَيْتَ adalah fi'il madhi untuk dhamir أَنْتَ (anta/orang kedua tunggal yang mudzakkar).

Bentuk dasar/acuannya (untuk dhamir هُوَ) adalah أَعْطَى- يُعْطِيْ (a'thaa - yu'thii).

a'thaa artinya memberi.


Jadi وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ artinya adalah "berkahilah untukku terhadap apa-apa yang telah Engkau berikan (kepadaku).


5. وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ


- قِنِيْ (qinii) artinya lindungilah aku; jagalah aku.

قِنِيْ terdiri dari dua komponen, yaitu قِ (qi) yang merupakan fi'il amr yang artinya jagalah/lindungilah, dan نِيْ yang artinya aku.

Jadi قِنِيْ artinya adalah lindungilah aku.

Bentuk dasar (dhamir هُوَ) adalah وَقَى - يَقِي (waqaa - yaqii). waqaa artinya adalah melindungi; menjaga.


- شَرٌّ (syarrun) artinya keburukan.

- مَا (maa) artinya apa; apa-apa.

- قَضَيْتَ (qadhaita) artinya engkau telah takdirkan.

قَضَيْتَ adalah fi'il madhi untuk dhamir أَنْتَ (orang kedua tunggal yang mudzakkar).

Bentuk dasarnya (dhamir هُوَ) adalah قَضَى - يَقْضِي (qadhaa - yaqdhii).  qadhaa artinya memutuskan, menetapkan, menakdirkan.

Jadi وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ artinya adalah "lindungilah aku dari keburukan apa-apa yang telah Engkau takdirkan."


6. فَإِنَّكَ تَقْضِيْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ


- فَإِنَّكَ (fa-innaka) artinya karena sesungguhnya Engkau.

- تَقْضِيْ (taqdhii) artinya Engkau menetapkan.

- وَ (wa) artinya dan.

- لاَ (laa) artinya tidak.

- يُقْضَى (yuqdhaa) artinya ditakdirkan; ditetapkan.

يُقْضَى adalah fi'il mudhari' majhuul (kata kerja pasif). fi'il mudhari ma'luum (kata kerja aktif)nya adalah يَقْضِي (yaqdhii).

- عَلَيْكَ ('alaika) artinya atas engkau; terhadap engkau; kepada engkau.

Jadi فَإِنَّكَ تَقْضِيْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ artinya adalah "sesungguhnya Engkau menetapkan (menakdirkan) dan tidak ada (seorangpun) yang menjatuhkan ketetapan kepada-Mu."


7. وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ


- إِنَّهُ (innahu) artinya sesungguhnya dia.

- لاَ (laa) artinya tidak.

- يَذِلُّ (yadzillu) artinya (menjadi) lemah; (menjadi) hina.

يَذِلُّ adalah fi'il mudhari', fi'il maadhinya adalah ذَلَّ (dzalla).

- مَنْ (man) artinya siapa; orang yang.

- وَالَيْتَ (waalaita) artinya engkau membantu; engkau membela; engkau mendukung.

وَالَيْتَ adalah fi'il maadhii untuk dhamir أَنْتَ

Bentuk dasarnya (dhamir هُوَ ) adalah وَالَى - يُوَالِي (waalaa - yuwaali). waalaa artinya membela.

Jadi arti dari وَإِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ adalah "sesungguhnya tidak akan hina orang yang telah Engkau bela.


8. وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ


- وَ artinya dan

- لاَ artinya tidak

- يَعِزُّ (ya'izzu) artinya (menjadi) mulia.

عَزَّ - يَعِزُّ ('azza - ya'izzu) artinya mulia.

- مَنْ artinya orang yang; siapa yang

- عَادَيْتَ ('aadaita) artinya Engkau memusuhi.

عَادَيْتَ adalah fi'il maadhii untuk dhamir أَنْتَ .

Bentuk dasarnya (dhamir هُوَ) adalah عَادَى - يُعَادِي ('aadaa - yu'aadii).

'aadaa artinya memusuhi.

Jadi arti dari وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ adalah "dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi."


9. تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ


- تَبَارَكْتَ (tabaarakta) artinya (menjadi) berkah; memiliki keberkahan.

تَبَارَكْتَ adalah fi'il maadhi untuk dhamir أَنْتَ

Bentuk dasarnya adalah تَبَارَكَ - يَتَبَارَكُ (tabaaraka - yatabaaraku). tabaaraka artinya berkah; menjadi berkah.

- رَبَّنَا  artinya Rabb kami.

- تَعَالَيْتَ (ta'aalaita) artinya Engkau Maha Tinggi

تَعَالَيْتَ adalah fi'il madhi untuk dhamir أَنْتَ

Bentuk dasar fi'ilnya adalah تَعَالَى - يَتَعَالَى  (ta'aalaa - yata'aalaa). ta'aalaa artinya (dalam keadaan) tinggi.

Jadi تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ artinya adalah "Engkau Maha Mulia (Berkah), wahai Rabb kami yang Maha Tinggi."



Demikianlah bacaan do'a qunut, semoga kita bisa mengamalkannya dan meresapi maknanya ketika membaca doa tersebut.

Tambahan: dianjurkan bershalawat setelah mengucapkan do'a qunut.


===========

Jumat, 21 Februari 2020

Bermadzhab Syafi’i, Berakidah As 'ariyah

          أَمَّا بَعْدُ، فَيَقُوْلُ العَبْدُ الْفَقِيْرُ الْرَّاجِي مِنْ رَبِّهِ الْخَبِيْرُ غَفَرَ الْذُّنُوْبَ وَ الْتَّقْصِيْرَ، مُحَمَّدُ نَوَوِيُّ ابْنُ عُمَرَ الْتَّنَارْيُّ بَلَداً، اَلْأَشْعَرِيَّ إِعْتِقَاداً، اَلْشَّافِعِيَّ مَذْهَباً…

“Adapun selanjutnya, berkata hamba yang membutuhkan lagi mengharapkan dari Robb-nya agar Dia mengampuni dosa-dosa serta kecerobohannya, Muhammad Nawawi bin ‘Umar At Tanari negerinya, Al Asy’ari akidahnya, dan Asy Syafi’i madzhab fikihnya…” (Nihayatuz Zain, hal. 5)

Di halaman ke-10, pensyarah mengatakan, “Dan wajib bagi siapa saja yang tidak memiliki keahlian (dalam agama) untuk bertaklid dalam masalah ushul, yaitu akidah, kepada Abul Hasan Al Asy’ari atau Abu Manshur Al Maturidi.” “Dan juga wajib kepada orang yang disebut di atas (yaitu orang yang tidak memiliki keahlian) untuk bertaklid kepada salah satu imam dari imam-imam tasawuf, seperti Al Junaid. Dia adalah Imam Sa’id bin Muhammad Abul Qasim Al Junaid, seorang penghulu para shufi; baik secara ilmu maupun amal. Semoga Allah meridhainya.”

Ternyata penulis juga mendapatkan hal yang sama di beberapa kitab ulama-ulama yang berakidah Asy’ari. Ini senada dengan pernyataan banyak kaum muslimin –terutama di Tanah Air-, “Madzhab saya adalah syafi’i dan akidah saya Ahlussunnah wal Jama’ah Asy’ariyyah (!?).” Sebagaimana juga yang sering dijumpai dalam buku-buku tulisan KH Siradjuddin ‘Abbas –salah satu ulama kenamaan dan pemerang utama tauhid di Indonesia- , seperti bukunya yang ma’ruf,  I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah dan lainnya. Setelah membaca pernyataan semacam di atas, terbetik dalam hati, “Apa mereka menyangka bahwa Imam Syafi’i tidak memiliki akidah, sehingga beliau hanya layak diikuti dalam masalah fikih saja?! Bukankah Imam Syafi’i adalah mujaddid di zamannya?”

Oleh karena itu, dalam artikel ringkas ini penulis akan mencoba menyingkap beberapa kerancuan-kerancuan pernyataan semacam ini.

Imam Syafi’i Tidak Mempunyai Akidah?

Sesunguhnya para ulama di sepanjang zaman bersepakat bahwa Imam Syafi’i rahimahullah  adalah mujaddid di zamanya. [Al Khazain As Saniyyah (hal. 108) karya ‘Abdul Qadir Al Mandili] Karena keilmuan dan perjuangan beliau yang begitu gigih. Imam Ahmad, selaku muridnya, pernah mengatakan, “Dahulu ilmu fikih itu terkunci, sampai kemudian datang Imam Syafi’i membukanya.”

Jika seseorang yang memperhatikan madzhab Imam Asy Syafi’i dengan sebenar-benar perhatian, niscaya ia akan mendapatkan bahwa madzhab yang beliau dirikan adalah madzhab yang berasaskan ushul Ahlissunnah wal Jama’ah. Ini karena beliau melihat di zamannya banyak bermunculan kelompok-kelompok sesat yang berkembang, seperti Zindiq, Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, dan ahli kalam lainnya. [Al Imam Asy Syafi’i wa Madzhabaih Al Qadim wal Jadid hal. 121 karya Dr. Ahmad Nahrawi ‘Abdussalam]

Melihat kelompok-kelompok bid’ah yang semakin gencar menyebarkan idiologi-idiologi ini, Imam Asy Syafi’i pun merasa terpanggil untuk membendung dakwah sesat mereka. Maka beliau pun dengan sepenuh jiwa membela sunnah dari campur tangan kotor itu. Tidak heran, Imam Asy Syafi’i digelari Nashirus Sunnah (pembela/penolong sunnah) ketika di Iraq.

Sebagai penganut madzhab syafi’i saja, yang benar-benar bermadzhab dengannya, mengambil dasar-dasarnya dari sumber-sumbernya yang mu’tabar, dan mengetahui kepribadian pendirinya, tentu akan menjumpai bahwa Imam Asy Syafi’i tidak hanya mengenalkan fikih kepada umat, akan tetapi semua keilmuan islam telah beliau ajarkan kepada umat, terlebih akidah.

Dari sini, maka seseorang yang bermadzhab syafi’i harus cerdas dalam menilai madzhab syafi’i itu sendiri. Jika tidak, ia akan tergelincir seprti banyak penganunt syafi’i lainnya, terutama dari kalangan belakangan, yang hanya melihat madzhab dengan hanya menggunakan kacamata kuda. Sehingga hanya mengikuti madzhab fikih saja, bukan madzhab akidah yang lebih penting.

Ya. Madzhab syafi’i tidak hanya sebatas hukum amaliyyah saja, yang biasa diungkapkan dengan istilah fikih. Bahkan ia merupakan madzhab yang lengkap, yang mencakup akidah. Oleh karena itu, sebagian murid Imam Asy Syafi’i apabila ditanya tentang akidah mereka atau mengarang buku yang menjelaskan masalah-masalah akidah, mereka menyatakan bahwa apa yang mereka tetapkan adalah semata-mata akidah imam mereka. Sebagaimana perkataan Abu Hamid Al Isfirayini rahimahullah  ketika menyebutkan masalah-masalah akidah:

مَذْهَبِي وَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَ جَمِيْعُ عُلَمَاءِ الْأَعْصَارِ، أَنَّ الْقُرْآنِ كَلَامُ اللهِ…إلخ

 “Madzhabku, madzhab Syafi’i, dan madzhab seluruh ulama sepanjang zaman, bahwa Al Quran adalah perkataan Allah….dsb.” [Dinukil Imam Ibnul Qayyim dalam Ijtima’ul Juyusyil Islamiyyah hal. 156]

Dalam muqaddimah kitabnya yang bertajuk Ushuluddin, Imam Abu ‘Amru As Sahruardi rahimahullah mengatakan, “Ia memintaku agar aku mengumpulkan ringkasan (mukhtashar) ini dalam akidah sunnah menurut madzhab Asy Syafi’i…dsb.” [Dinukil Ibnul Qayyim dalam Ijtima’ul Juyusyil Islamiyyah hal.

Ketika Imam Al Muzani rahimahullah (w. 264) ditanya tentang pendapatnya terhadap Al Quran, beliau menjawab:

مَذْهَبِي مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ

“Madzhabku adalah sebagaimana madzhab Asy Syafi’i.” Ketika ditanya apa madzhab Syafi’i itu, beliau menjawab, “Bahwasannya Al Quran adalah firman Allah dan bukanlah makhluk.” [Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah karya Imam Al Lalika’i (II/254)]

Tidak ragu lagi bahwa yang beliau maksud di sini adalah madzhabnya dalam akidah. Adapun madzhab fikih, maka beliau termasuk ulama syafi’iyyah yang banyak membantah dan mengoreksi kekeliruan gurunya, Asy Syafi’i.

Ulama-ulama syafi’iyyah sendiri mengkencap dengan keras kepada setiap orang yang hanya menisbatkan dirinya kepada madzhab syafi’i dalam masalah fikih namun malah menyelisihinya dalam masalah yang paling mendasar, yaitu akidah.

Salah seorang ulama syafi’iyyah yang paling banyak menjelaskan masalah ini adalah Syaikh Abul Hasan Al Karji Asy Syafi’irahimahullah dalam kitabnya, Al Fushul fil Ushul ‘anil Aimmatil Fuhul. Di sini beliau banyak mengkeritik orang yang menyelisi Imam Asy Syafi’i dalam akidah, hanya mengambil madzhabnya dalam fikih dan hukum. Beliau juga banyak menukil dari ulama-ulama syafi’iyyah semacam Abu Hamid Al Isfirayini yang mengkeritik dengan keras kepada pengikut-pengikut Asy Syafi’i yang malah menyelisihi akidah Asy Syafi’i.

Imam Abul Muzhaffar As Sam’ani Asy Syafi’i rahimahullah dalam kitabnya, Al Intishar li Ash-habil Hadits, setelah beliau menjelaskan sikap Imam Asy Syafi’i terhadap ilmu kalam dan ahlinya, beliau berkata, “Tidak sepantasnya bagi seseorang yang membela madzhabnya dalam furu’ (fikih) namun kemudian membenci metodenya dalam ushul (akidah).” [Dinukil As Suyuthi dalamShaunul Manthiq]

Imam Ibnu Qayyimil Jauziyyah rahimahullah dalam Ijtima’ul Juyusyil Islamiyyah (hal. 150) menukilkan perkataan Imam Abu ‘Amru As Sahrawardi dalam kitab Ushuluddin, “Imam kami dalam ushul & furu’, yaitu Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i.”

Lihatlhah, bagaimana sikap ulama-ulama besar di atas terhadap madzhab Imam Asy Syafi’i dan pengikutnya. Seandainya benar mereka mengikuti madzhab Imam Asy Syafi’i dengan sebenarnya, pasti tidak hanya fikih saja yang diikuti. Karena sesungguhnya madzhab besar Syafi’i adalah madzhab dalam akidah.

Sampai di sini kiranya sudah dapat dijawab pertanyaan di atas. Ternyata Imam Asy Syafi’i juga memiliki akidah yang juga patut diikuti. Maka seyogyanga pengikut madzhab Asy Syafi’i tidak memilah-milih dan memisahkan antara madzhab fikih dan madzhab akidah. Bahkan madzhab akidah itulah yang lebih penting, karena dia merupakan fikih akbar.

Di Mana Dijumpai Akidah Imam Asy Syafi’i?

Imam Asy Syafi’i memang tidak menulis kitab akidah secara khusus, namun bukan berarti menunjukkan beliau tidak memiliki perhatian terhadap akidah. Perhatiaan seseorang terhadap sesuatu tidak harus diterjemahkan dengan menulis suatu kitab, namun bisa dengan yang lainnya. Demikian juga dengan Imam Asy Syafi’i.

Perhatian Imam Asy Syafi’i diterjemahkan dalam bentuk putusan-putusan serta fatwa-fatwanya yang diriwayatkan banyak ulama dan ‘direkam’ dalam kitab-kitab mereka. Berikut kami nukilkan dari kitab ‘Aqidatul Imam Asy Syafi’i min Nushush Kalamih wa Idhah Ash-habihi karya Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al ‘Anqari tentang di mana ditemui akidah Asy

Kita dapat menjumpai Imam Asy Syafi’i dalam masalah akidah dalam dua tempat,

Pertama, di dalam karangan-karangan Imam Asy Syafi’i sendiri. Jika ada seseorang yang meneliti karangan-karanagan Imam Asy Syafi’i, ia akan bisa mengeluarkan sejumlah perkara-perkara akidah. Ini adalah jalan terbaik dalam mengetahui akidah beliau. Sebagaimana dalam kitab Al Umm & Ar 

Kitab Al Umm tidak hanya sebatas memuat hukum-hukum fikih saja, bahkan ia memiliki hubungan erat dengan akidah. Karena secara umum, kitab fikih juga didapati masalah-maslah akidah, yang bisa diistilahkan dengan masalah-masalah musytarakantara akidah & fikih, yang disebutkan dalam kitab-kitab fikih. Sebagaimana dalam kitab jenazah, haji, hukum murtad, dan masalah-masalah yang bertebaran dalam perkara jihad, warisan, dan

Hal serupa juga dijumpai dalam kitab Ar Risalah, sebuah kitab ushul fikih pertama yang ‘dilahirkan’ di dunia

Kedua, dalam riwayat-riwayat yang bertebaran dalam kitab-kitab akidah yang bersanad. Di antara ulama-ulama syafi’iyyah yang menukilkan darinya dalam masalah akidah:

1.      Imam Al Lalika’i dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah

2.      Al Ashbahani At Taimi dalam Al Hujjah

3.      Syaikhul Islam Abu ‘Utsman Ash Shabuni dalam ‘Aqidatus Salaf Ash-habul Hadits

4.      Dan lain-lain.

Al Hikkari bahkan menulis sebuah juz yang diberi judul I’tiqad Asy Syafi’i yang dinukil dari Imam Asy Syafi’i dalam beberapa perkara-perkara akidah dengan bersanad.

Contoh Akidah Imam Asy Syafi’i

–  Madzhab Imam Asy Syafi’i dalam Masalah Tauhid

Ketika datang seseorang kepada Imam Al Muzani yang menanyakan tentang masalah kalam, beliau menjawab, “Aku membenci yang semacam ini, bahkan aku melarang darinya, sebagaimana Imam Asy Syafi’i melarangnya. Aku telah mendengar Imam Asy Syafi’i berkata, Malik (bin Anas) ditanya tentang kalam dan tauhid, maka beliau menjawab, ‘Mustahil kita menyangka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan umatnya (cara) beristinja akan tetapi tidak mengajari mereka tauhid. Tauhid adalah apa yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ الْنَّاسَ حَتَّى يَقُوْلَ لَا إِلهَ إِلَّا اللُه

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia ia mengatakan laa ilaaha illallah (tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah).” [HR Al Bukhari & Muslim]

Maka apa yang dapat melindungi darah dan harta, itulah hakekat tauhid.’” [Siyar A’lam An Nubala’ (X/26)]

Dan sudah diketahui bahwa yang melindungi darah dan harta adalah mengingkari thaghut & iman kepada Allah. [Manhaj Al Imam Asy Syafi’i At Tauhid fi Itsbatil ‘Aqidah hal. 241-242]

Asy Syafi’i berkata, “Allah berfirman, ‘Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk menyembah-Ku.’ [QS Adz Dzariyat: 56]” Asy Syafi’i berkata, “Allah menciptakan makhluk agar (mereka) menyembah-Nya.”

Adz Dzahabi meriwayatkan dari Al Muzani, katanya, “Apa bila ada orang yang mengeluarkan uneg-uneg yang berkaitan dalam maslah tauhid yang ada di dalam hati saya, maka orang itu adalah Asy Syafi’i.” [Siyar A’lam An Nubala’ (X/31)]

– Madzhab Imam Asy Syafi’i bahwa Iman Adalah Keyakinan, Ucapan, dan Perbuatan

Al Hakim dalam Manaqib Asy Syafi’i berkata, Abul ‘Abbas Al Ashamm bercerita kepada kami, Ar Rabi’ mengkabari kami, ia berkata, ‘Aku mendengar Asy Syafi’i berkata, ‘Iman adalah ucapan dan perbuatan, bertambah dan berkurang.’ [Fathul Bari (I/47)]

Dalam Al Hilyah [IX/115] ditambahkan, “Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.” Lalu beliau membaca firman Allah [QS Al Muddatstsir: 31]:

وَ يَزْدَادُ الَّذِيْنَ أَمَنُوْا إِيْمَانًا

“Dan orang-orang beriman bertambah imannya.”

–  Madzhab Imam Asy Syafi’i tentang Taqdir

Al Baihaqi [Manaqib Asy Syafi’i (I/412-413) dan juga disebutkan Al Lalika’i dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlissunnah wal Jama’ah (II/702)] meriwayatkan dari Ar Rabi’ bin Sulaiman, katanya, Imam Asy Syafi’i pernah ditanya tentang taqdir, beliau menjawab dengan bait-bait syair yang terkenal:

Apa yang Engkau kehendaki terjadi

Meskipun aku tidak menghendaki

Apa yang aku kehendaki tidak terjadi

Apabila Engkau tidak menghendaki

Engkau ciptakan hamba-hamba

Sesuai apa yang Engkau ketahui

Maka dalam ilmu-Mu

Pemuda dan kakek berjalan

Yang ini Engkau karuniai

Sementara yang itu Engkau rendahkan

Yang ini Engkau beri pertolongan

Yang itu tidak Engkau tolong

Manusia ada yang celaka

Manusia juga ada yang beruntung

Manusia ada yang buruk rupa

Dan juga ada yang bagus rupawan

–  Madzhab Imam Asy Syafi’i dalam Memahami Asma’ & Sifat Allah

Ibnu Qudamah dalam Lum’atul I’tiqad ( beserta syarah Al ‘Utsaimin hal. 19) berkata, “Al Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Aku beriman kepada Allah, dengan apa yang datang dari Allah dengan apa yang Allah inginkan. Dan aku beriman kepada Rasulullah, dengan apa yang datang dari Rasulullah, dengan apa yang diinginkan Rasulullah.”

Ibnu ‘Abdil Barr meriwayatkan dari Yunus bin ‘Abdul A’la, katanya saya mendengar Imam Asy Syafi’i berkata, “Apabila Anda mendengar ada orang yang berkata bahwa nama itu berlainan dengan apa yang diberi nama, atau sesuatu itu berbeda dengan sesuatu itu, maka ketahuilah bahwa orang itu adalah kafir zindiq.”

Dalam Ar Risalah, Imam Asy Syafi’i berkata, “Segala puji bagi Allah yang memiliki sifat-sifat sebagaimana Dia mensifati diri-Nya, dan di atas yang disifati makhluk-Nya.”

Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam An Nubala’ (XX/341) menuturkan dari Imam Asy Syafi’i, kata beliau, “Kita menetapkan sifat-sifat Allah ini sebagaimana disebutkan di dalam Al Quran dan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kita meniadakantasybih (menyamakan Allah dengan makhluk-Nya), sebagaimana Allah meniadakan tasybih itu dalam firman-Nya:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ

“Tidak ada satu pun yang serupa dengan Dia.” [Asy Syura: 11]

Akidah-akidah Imam Asy Syafi’i ini bisa dibaca dan ditelaah lebih luas dalam beberapa kitab berikut: Juhud Asy Syafi’iyyah fi Taqrir Tauhud Al ‘Ibadah, ‘Aqidah Al Imam Asy Syafi’i min Nushush Kalamih wa Idhah Ash-habihkeduanya karya Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al ‘Anqari, dan penulis banyak mengambil manfaat dari dua kitab ini, Manhaj Al Imam Asy Syafi’i fi Itsbatil ‘Aqidah karya Dr. Muhammad bin ‘Abdul Wahhab Al ‘Aqil yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan Pustaka Imam Asy Syafi’i Jakarta, I’tiqad Al Aimmah Al Arba’ah karya Dr. Muhammad bin ‘Abdurrahman Al Khumais yang juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Allahua’lam. Segala puji hanya milik Allah. Semoga shalawat beserta salam tercurahkan kepada Nabi, keluarga, shahabat, dan siapa saja yang berpegang teguh kepada petunjuknya hingga hari kiamat.


Abu al-Hasan al-Asy'ari

Abu al-Hasan al-Asy'ari
Ilmuwan di bidang akidah | Pemikir dan cendekiawan Muslim

Abu al-Hasan bin Isma'il al-Asy'ari (Bahasa Arab ابو الحسن بن إسماعيل اﻷشعري) (lahir: 873- wafat: 935), atau lebih dikenal sebagai Imam Asy'ari merupakan seorang mutakallim yang berperan penting sebagai filsuf muslim sekaligus pendiri Mazhab Asy'ariyah atau Asya'irah, mazhab kalam ahlussunnah wal jama'ah di samping Mazhab Al-Maturidiyah. Berbeda dengan mazhab fikih yang memiliki empat imam besar yang dianggap sebagai ahlussunnah wal jama'ah, yaitu Imam Syafi'i, Imam Hambali, Imam Maliki, dan Imam Hanafi, mazhab besar dalam ilmu kalam ada dua, yaitu Asy'ariyah (oleh Imam Abu Al-Hasan Al-Asy'ari) dan Al-Maturidiyah (oleh Imam Abu Mansur Al-Maturidi), di mana ajaran keduanya sejalan dan hampir sama alias sangat sedikit perbedaannya, sehingga seringkali dianggap memuat ajaran yang sama. Perbedaan itu hanyalah dari sisi istilah ataupun hal-hal kecil saja. 

Namun ada yang menyangka kalau mazhab Asy'ariyah adalah mazhab kalam ahlussunnah wal jama'ah, hal ini dikarenakan kelompok yang banyak melawan mu'tazilah pada masa itu adalah Asy'ariyah. Hal itu dikarenakan Asy'ariyah adalah mazhab kalam terbesar sejak satu milenia terakhir dan paling banyak dianut oleh umat muslim, baik di Indonesia maupun di beberapa belahan dunia. 

Ajaran Imam Asy'ari yang menjadi ciri khas dari aliran Asy'ariyah yang paling terkenal adalah tentang pembagian sifat Allah dan Nabi menggunakan hukum akal yang dikenal sebagai akidah 50, di mana Allah memiliki 20 sifat wajib, 20 sifat mustahil, dan 1 sifat ja'iz, sementara nabi memiliki 4 sifat wajib, 4 sifat mustahil, dan 1 sifat ja'iz. Ajaran ini juga dikenal dengan sifat 20 ketika dinisbatkan kepada Allah. 

Meski dahulunya berasal dari golongan Mu'tazilah, Imam Asy'ari meninggalkan paham-paham Mu'tazilah (seperti mendahulukan akal daripada dalil dalam Al-Qur'an dan Hadis; menganggap Al-Qur'an sebagai makhluk; memfasikkan pelaku dosa besar; dan memungkiri kemungkinan melihat Allah karena beranggapan bila melihat Allah adalah mungkin, maka Allah bertempat) lalu kembali ke arah ahlussunnah wal jama'ah dan menghancurkan Teologi Mu'tazilah.

Latar Belakang

Namanya Abul al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy'ari keturunan dari Abu Musa al-Asy'ari, salah seorang perantara dalam sengketa antara,Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah. Al-Asy'ari lahir tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M [1] Al-Asy'ari lahir di Basra, tetapi sebagian besar hidupnya di Baghdad. pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang Mu'tazilah terkenal, yaitu Al-Jubbai, mempelajari ajaran-ajaran Muktazilah dan mendalaminya. Aliran ini diikutinya terus ampai berusia 40 tahun, dan tidak sedikit dari hidupnya digunakan untuk mengarang buku-buku kemuktazilahan. namun pada tahun 912 dia mengumumkan keluar dari paham Mu'tazilah, dan mendirikan teologi baru yang kemudian dikenal sebagai Asy'ariah.Ketika mencapai usia 40 tahun ia bersembunyi di rumahnya selama 15 hari, kemudian pergi ke Masjid Basrah. Di depan banyak orang ia menyatakan bahwa ia mula-mula mengatakan bahwa Quran adalah makhluk; Allah Swt tidak dapat dilihat mata kepala; perbuatan buruk adalah manusia sendiri yang memperbuatnya (semua pendapat aliran Muktazilah). Kemudian ia mengatakan: "saya tidak lagi memegangi pendapat-pendapat tersebut; saya harus menolak paham-paham orang Muktazilah dan menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahanya".[1]

Dia cenderung kepada pemikiran Aqidah Ahlussunnah Wal jama'ah dan telah mengembangkan ajaran seperti sifat Allah 20. Pada akhir masa hidupnya beliau benar-benar kembali ke pemikiran ahlusunnah Wal jama'ah, yang bisa dilihat dari bukunya al-ibanah 'an ushuli ad-diyanah. Banyak tokoh pemikir Islam yang mendukung pemikiran-pemikiran dari imam ini, salah satunya yang terkenal adalah "Sang hujjatul Islam" Imam Al-Ghazali, terutama di bidang ilmu kalam/ilmu tauhid/ushuludin.

Walaupun banyak juga ulama yang menentang pamikirannya,tetapi banyak masyarakat muslim yang mengikuti pemikirannya. Orang-orang yang mengikuti/mendukung pendapat/paham imam ini dinamakan kaum/pengikut "Asyariyyah", dinisbatkan kepada nama imamnya. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim banyak yang mengikuti paham imam ini, yang dipadukan dengan paham ilmu Tauhid yang dikembangkan oleh Imam Abu Manshur Al-Maturidi. Ini terlihat dari metode pengenalan sifat-sifat Allah yang terkenal dengan nama "20 sifat Allah", yang banyak diajarkan di pesantren-pesantren yang berbasiskan Nahdhatul Ulama (NU) khususnya, dan sekolah-sekolah formal pada umumnya.


Karya-karyanya

Ia meninggalkan karangan-karangan, kurang lebih berjumlah 90 buah dalam berbagai lapangan.[1] Kitabnya yang terkenal ada tiga:

1 Maqalat al-Islamiyyin

2 Al-Ibanah 'an Ushulid Diniyah

3 Al-Luma[1]

Kitab-kitab lainnya:

4 Idhāh al-Burhān fi ar-Raddi 'ala az-Zaighi wa ath-Thughyān

5 Tafsir al-Qur'ān (Hāfil al-Jāmi')

6 Ar-Radd 'ala Ibni ar-Rāwandi fi ash-Shifāt wa al-Qur'ān

7 Al-Fushul fi ar-Radd 'ala al-Mulhidin wa al-Khārijin 'an al-Millah

8 Al-Qāmi' likitāb al-Khālidi fi al-Irādah

9 Kitāb al-Ijtihād fi al-Ahkām

10 Kitāb al-Akhbār wa Tashhihihā

11 Kitāb al-Idrāk fi Fununi min Lathif al-Kalām

12 Kitāb al-Imāmah

13 At-Tabyin 'an Ushuli ad-Din

14 Asy-Syarhu wa at-Tafshil fi ar-Raddi 'ala Ahli al-Ifki wa at-Tadhlil

15 Al-'Amdu fi ar-Ru'yah

16 Kitāb al-Maujiz

17 Kitāb fi Khalqi al-A'māl

18 Kitāb ash-Shifāt

19 Kitāb ar-Radd 'ala al-Mujassimah

20 An-Naqdh 'ala al-Jubbā'i

21 An-Naqdh 'ala al-Balkhi

22 Jumal Maqālāt al-Mulhidin

23 Kitāb fi ash-Shifāt

24 Adab al-Jidal

25 Al-Funan fi ar-Raddhi 'ala al-Mulhidin

26 An-Nawādir fi Daqaiqi al-Kalām

27 Jawāz Ru'yat Allah bil Abshār

28 Risālah ila Ahli Ats-Tsughar].

Rabu, 05 Februari 2020

Implementasi Nilai2 keimanan dan ketaqwaan Kepada Alloh SWT.

saudaraku sekalian Jama'ah jumat Rohimakumulloh...
pada kesempatan khutbah kali ini khotib akan mengetengahkan Tema
Implementasi dari nilai2 keimanan dan ketaqwaan Kepada Alloh SWT, secara Totalitas.

1. Implementasi nilai2 Keimanan
iman menurut  hadits Rasulullah Saw adalah :

عَنِ ابْنِ حَجَرٍ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلىَّ الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أْلإِيْمَانُ مَعْرِفَةٌ بِاْلقَلْبِ وَقَوْلٌ بِالِّلسَانِ وَعَمَلٌ بِاْلأَرْكَانِ (رواه ابن ماجه والطبراني)

Artinya: “Dari Ibnu Hajar Radhiyallahu ‘Anhu beliau berkata: Rasulullah SAW telah bersabda: Iman adalah Pengetahuan hati, pengucapan lisan dan pengamalan dengan anggota badan” (H.R. Ibnu Majah dan At-Tabrani).

dalam hadist tsb ada 3 unsur aplikasi

1. Pengetahuan hati, kita mengetahui dengan kalimat Tauhid "La ila ha illalloh Muhammadurrosululloh" tiada Tuhan selain Alloh dan Muhammad utusannya, kalimat ini kita tancapkan dalam hati dan akal akan dengan sendirinya mengelola melalalui pengetahuan2 Tauhid yang diajarkan dalam Islam.

2. Pengucapan dengan lisan, melalui ikrar dengan mengucapkan 2 kalimat syahadat Ashadu alla ila ha illalloh wa ashadu anna Muhammadarrosululloh...lisan mengucapkan, hati membenarkan lafadz tersebut.

3. Pengamalan oleh seluruh anggota badan, ini adalah bentuk implementasi dari nilai2 keimanan sehingga orang yg beriman secara totalitas ia tidak akan menduakan Alloh dengan apapun, dan ia mampu berakhlak terpuji. 

Allah sangat menyukai hambanya yang mempunyai akhlak terpuji, dan Alloh SWT akan memberikan kehidupan yang terbaik bagi hamba-Nya. 

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَىٰ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً ۖ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Artinya: 

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl : 97)

Akhlak terpuji dalam islam disebut sebagai akhlakulmahmudah.

Beberapa contoh akhlak terpuji antara lain jujur, tanggung jawab, amanah, baik hati, tawadhu, istiqomah dll.

inilah sebenarnya Amal sholeh yang kita amalkan dalam bentuk perbuatan merupakan implementasi dari nilai2 keimanan yg secara Totalitas kepada Alloh SWT.

Sebagai umat islam kita mempunyai suri tauladan yang perlu untuk dicontoh atau diikuti yaitu nabi Muhammad SAW. Ia adalah sebaik-baik manusia yang berakhlak sempurna. Ketika Aisyah ditanya  Sa'd bin Hisyam bin amir bagaimana akhlak rosul, maka ia menjawab

كاَنَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ

“Akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an.” (HR. Muslim)

bahwa akhlak rosul adalah Al-quran. Artinya rosul merupakan manusia yang menggambarkan akhlak seperti yang tertera di dalam Al-quran.

2. Implementasi nilai2 ketaqwaan kepada Alloh SWT. 

taqwa adalah IMTISTALU AWAMIRILLAH WAIJTINABUN NAWAKHIHI " Menjalankan Perintah Alloh dan Meninggalkan semua Larangan-Nya".

menjalankan semua perintah Alloh secara Totalitas adalah bentuk Implementasi dari nilai2 ketaqwaan kita kepada Alloh SWT, 

Sholat yg kita dirikan secara totalitas, akan dapat mencegah dari perbuatan keji dan kungkar.

Puasa yg kita laksanakan secara totalitas, akan dapat melahirkan sifat sabar, yg teramat tinggi.

zakat yg kita bayar secara totalitas, akan dapat melahirkan sifat dermawan, penolong, penyantun, dan sifat2 terpuji lainnya.

dan Ibadah Hajji yg kita tunaikan ketanah sucipun secara totalitas akan melahirkan hajji yg mabrur dan mabruroh, artinya ada nilai ibadah hajji yg harus ia pertanggung jawabkan dihadapan Alloh setelah mendapatkan ampunan Alloh atas segala dosa2 yg pernah ia lakukan.

saudaraku sekali jama'ah jumat Rohimakumulloh

Demikian pula dengan meninggalkan semua larangan Alloh ia dapat tinggalkan dengan mudah karena ia telah melaksankan perintah Alloh secara Totalitas. dan pada gilirannya akan melahirkan Nilai2 taqwa yg sebenar-benarnya taqwa, kepada Alloh SWT,  dan inilah sebenarnya identitas muslim sejati...

muslim sejati tidak akan pernah meninggalkan perintah Alloh dan terus menerus meningkatkan iman dan Amal sholeh...



Senin, 03 Februari 2020

KONSEP BID’AH MENURUT Al-QUR’AN, AS-SUNNAH DAN ULAMA AHLU SUNNAH

KONSEP BID’AH MENURUT Al-QUR’AN, AS-SUNNAH DAN ULAMA AHLU SUNNAH



BID’AH SECARA BAHASA

1.  Bid’ah dalam Istilah Al-Qur’an:

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ وَإِذَا قَضَىٰ أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

 Artinya adalah “Memulai, mengkreasi dan mencipta sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya” (QS. Al-Baqarah 117).

Ibnu Katsir: Allah menciptakan keduanya tanpa contoh atau bentuk apapun sebelumnya” menurut ibnu katsir. Bid’ah secara bahsa walaapun baru namun ada sumbernya dalam Alquran dan assunnah maka bukan bid’ah (lihat Tafsir Ibnu Katsir) juga (Lihat Ibnu Al-Atsir, An-Nihayah, Vol 1, hal 106)

2.  Dalam As-Sunnah Bid’ah adalah:

عن جابر ابن عبد الله أن رسول الله صلى الله عليه وسلم يَقُولُ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ

Dari Jabir bin Abdullah Rasulullah saw bersabda: Amma ba’du: ” Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Al-Qur’an dan dan sebaik-baik petunjuk adlah petunjuk Muhammad saw. Seburuk-buruknya urusan adalah yg diada adakan (hal baru yg diada-adakan) setiap bid’ah adalah sesat (Lafadz Shahih Muslim).

BID’AH SECARA ISTILAH

Adapun secara Istilah Bid’ah menurut para Ulama:

1. Ibnu Rajab Alhanbali: “Apa yang diadakan tidak ada asalnya/sumbernya dalam syariat yg menujukkan hukumnya, adapun bila ada sumbernya dalam syariat yang menunjukkan keberadaan hukumnya maka bukan bid’ah, walaupun secara bahasa disebut bid’ah” (Lihat: Ibnu Rajab, Jamiul ulum walhikam, hal 160).

Jadi menurut Ibnu Rajab, bid’ah itu harus masalah agama/syariat (aqidah dan Ibadah), kalau bukan masalah syariat yang sudah ditetapkn oleh Allah dan RasulNya maka bukan bid’ah.

Kedua bid’ah itu menurutnya bila tidak ada sumbernya dalam Islam (Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ ). Bila ada sumbernya baik langsung maupun tidak maka bukan bid’ah, walaupun secara bahasa (semua sesuatu yang baru) maka bukan bid’ah.

Menurut Ibnu Rajab hati-hati melabelkan bid’ah bila perkara yang dilakukan dalam Islam itu ada sumber dalilnya baik langsung atau tidak. Contoh: Secara teks/nash satu perkara tidak ada nashnya baik Quran, Sunnah dan Ijma’, namun secara makna tafsir dan pandapat mayoritas Ulama bahwa amal tersebut ada isyaratnya dalam Alquran atau hadits atau ijma’, maka amal tersebut tidak boleh disebut bid’ah.

2. Ibnu Hajar Al-Astqalani:  “Semua sesuatu yang diadakan/diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya, yang terjadi dalam syariat, kebalikan dari “sunnah”, maka hukumnya tercela”.(Lihat: Ibnu Hajar, Fathul Bari, Vol 5, hal 156 dan vol 9, hal 17) Jadi menurut Ibnu Hajar bid’ah adalah sesuatu yg baru diciptakan di dalam syariat, lawan dari sunnah, bid’ah seperti ini tercela dalam agama. Namun bila yang baru yg diciptakan itu ada sumbernya dalam syariat maka bukan bid’ah. Contoh Maulid Nabi SAW untuk memperingati lahirnya Nabi bukan bid’ah karena ada sumbernya dalm hadits Nabi “Aku berpuasa hari senin karena hari ini adalh hari kelahiranku” (HR. Muslim, Ahmad dan Abu Daud). Hadits ini umum bolehnya menghormati hari lahir (maulid nabi saw).

3. As-Syatibi berkata: “Bid’ah adalah satu jalan/cara dalam agama yg berasal dari kreatifitas/ciptaan baru, bertentangan dgn syariat, menjadi prilaku dlm syariat dan berlebihan dlm ta’abud/ibadah kepada Allah”(Lihat: As-Syatibi, Al-I’tishom, vol 1, hal 37). Jadi menurut Syatibi, bid’ah adalah tata cara beribadah dalam agama, yang diciptakan diada-adakan bertentangan dengan syariat dan menjadi kebiasaan/prilaku agama dan berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah swt, seperti sholat diterik matahari, mencambuk diri bila tidak sholat malam dan sebagainya, itu adalah bid’ah. Contoh lain: Menambah- nambah ibadah baru dan membiasakannya seperti puasa mutih, shalat sunnah ribuan rakaat dan sebagaubta ini adalah bid’ah.

4. Ibnu Taimiyah: ” Bid’ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya yaitu sesuatu yang tidak diperintahkan dengan perintah wajib ataupun sunnah. Bid’ah adalah apapun yg menyelisihi Al-Qur’an dan As-sunnah atau Ijma’ salaf, dalam hal i’tiqadat dan ibadaat (aqidah dan ibadah), seperti pandangan kaum khawarij, rawafidh, qadariyah, jahmiyah, beribadah dengan berjoget, nyanyi2 di masjid, orang-orang yang beribadah kepada Allah dengan mencukur jenggot makan hasyisy, yang menyelisihi Al-Quran dan As-Sunnah”(Lihat: Ibnu Taimiyah, Fatawa, vol 4, hal 107-108).

Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa bid’ah: – lebih spesifik kepada semua hal dalm aqidah dan ibadah (selain aqidah dan ibadah tidak boleh dihukumi bid’ah) – Bid’ah itu bila bertentangan atau tidak ada dalam Al-Qur’an, Hadits/Sunnah dan Ijma’ Salaf, baik wajib maupun sunnah. Jadi bila satu ibadah ada dasar ayatnya, atau haditsnya atau hanya ijma’ ulama, maka ibadah itu tidak dapat  disebut bid’ah.

– Bahwa ahlu bid’ah itu bukan sesama ahlu sunnah waljama’ah seprti NU, Muhamadiyah, Ikhwan Muslimin dan semua ormas dan aliran Islam Sunni selain salafiy, akan tetapi menurut Ibnu Taimiyah adalah kelompok selain sunni seperti Syiah, Khawarij, Jabariyah, Qadariyah, Murjiah, Jahmiyah dan lain-lain, bukan sesama Sunni yang mengikuti Alquran, Sunnah dan Ijma
(Lihat: Said bin Ali Al-Qahthani, Nur Sunnah wazulumatul bid’ah, hal 20).

Wallahu a’lam bisshowab

Minggu, 02 Februari 2020

Khutbah Jumat ok


MENANAM AMAL SHOLEH UNTUK MENGGAPAI RAHMAT ALLOH

Tugas utama manusia diciptakan di dunia ini adalah untuk beribadah menyembah Allah SWT.
firman Alloh SWT

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku”. (QS. Adz-Dzariyat [51]: 56)

Dengan mematuhi perintahnya sekaligus meninggalkan apa yang dilarangNya, manusia akan menjadi hamba yang memperoleh rahmat (kasih sayang). 

Rahmat Allah inilah yang akan menjadi kunci kesuksesan hidup manusia di dunia dan akhirat.   "Amal ibadah yang kita lakukan pada pokoknya adalah mencari rahmat Allah SWT. Rahmat ini diberikan Allah kepada orang-orang yang dikehendakiNya," 

إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِنَ الْمُحْسِنِينَ

Sesungguhnya rahmat Allâh amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. [Al-A’râf/7:56].

orang yang menyembah Allah dan menjaga ibadahnya selama di dunia diibaratkan sedang menanam tanaman, yang hasilnya akan dipetik di akhirat. Sehingga sudah semestinya berbagai ibadah diamalkan agar pada hari akhir nanti panen raya bisa dirasakan.   

"Tanam sebanyaknya amal kita di dunia baik yang wajib maupun yang sunah. Shalat, zakat, shalawatan, yasinan, manakiban, mudah-mudahan kita panen hasilnya di akhirat," 

Selain ibadah yang bersifat vertikal (hablun minallah), tak kalah pentingnya adalah menjalankan ibadah horizontal (hablun minannas). Ibadah ini berbentuk perilaku baik dan menjaga kemaslahatan dalam hidup bersama orang lain. 

Inilah tingkatan tertinggi yang dinamakan dengan ihsan,  "Banyak orang Islam tapi tidak iman, Banyak juga orang Islam tapi tidak ihsan, Ketiga hal ini harus dimiliki agar mampu menciptakan kemaslahatan bagi diri dan orang yang ada di sekitar kita,".   

Bentuk ihsan ini bisa terlihat dari sikap seseorang terhadap orang lain, Belum bisa dikatakan ihsan jika seseorang tidak bisa berbuat baik kepada orang yang berbuat jahat kepadanya, Umumnya bisa kita lihat, orang berbuat baik karena ia juga pernah mendapatkan kebaikan dari orang lain.   

"Dalam hal ini penting shaleh kepada manusia dan shaleh kepada Allah," 
fakta sosial di mana memang manusia paling gampang mengingat hal-hal buruk dari orang lain. 

Sementara sebuah kebaikan dengan gampangnya dilupakan, Oleh karenanya Umat Islam khususnya untuk menata dan mengasah hati agar kehidupannya senantiasa diwarnai dengan hal-hal positif yang terus menerus akan mengikis hal-hal negatif.    "Jika kemaksiatan walaupun sedikit terus dilakukan maka akan menjadikannya besar. Setelah itu hawa nafsu akan menguasai manusia dan akan menjadikannya hina seperti hewan, bahkan lebih hina dari itu,".