Selasa, 08 Maret 2022

Tidak Ikut Shalat Tapi Pimpin Jamaah: Ini Kajian Fiqihnya

Tidak Ikut Shalat Tapi Pimpin Jamaah: Ini Kajian Fiqihnya

Allahu akbar … Allahu akbar”, seruan takbir via pengeras suara seorang peserta demo diikuti para jamaah. Sembari duduk santai di atas mobil komando tanpa ikut shalat jamaah, peserta demo itu seakan-akan memimpin shalat jamaah yang sedang dilaksanakan secara mantap. 

Tidak menunggu lama, video shalat jamaah yang tidak begitu lazim di tengah demo itu pun viral di dunia maya. Netizen pun bertanya-tanya, memang boleh orang yang tidak ikut shalat memimpin jamaah? Bila merujuk mazhab syafi’i, syarat shalat jamaah atau menjadi makmum ada 12, yaitu 
(1) niat makmum atau berjamaah, 
(2) posisi berdiri tidak lebih maju daripada imam, 
(3) mengetahui perpindahan gerakan shalat imam, 
(4) berkumpul dalam satu tempat dengan imam, 
(5) menyesuaikan dengan Imam dalam melakukan atau meninggalkan kesunnahan yang dinilai sangat berbeda bila tidak mengikutinya, 
(6) takbiratul ihram setelah selesainya takbiratul ihram imam, 
(7) tidak bermakmum kepada imam yang diyakini batal shalatnya, 
(8) tidak makmum kepada orang yang juga sedang menjadi makmum, 
(9) makmum yang bacaan Fatihahnya sempurna tidak makmum kepada imam yang cacat bacaan fatihahnya, 
(10) sifat dzatiyyah imam tidak lebih kurang daripada makmum—seperti imam perempuan sementara makmumnya laki-laki—, 
(11) tidak makmum pada imam yang wajib mengulangi shalatnya, 
(12) kesesuaian gerakan makmum dengan gerakan Imam. (Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi, Nihâyatuz Zain, [Beirut, Dârul Fikr], halaman 119-129). Nah, kasus dalam video viral tersebut berkaitan dengan syarat shalat jamaah yang ketiga yaitu mengetahui perpindahan gerakan shalat imam. 

Untuk memenuhi syarat ini, ada empat cara, yaitu dengan
(1) melihat imam, 
(2) melihat makmum lain, 
(3) mendengar takbir perpindahan gerakan imam dari suara imam langsung, atau 
(4) mendengar takbir perpindahan gerakan imam dari selain imam, yang disebut sebagai muballigh atau orang yang menyampaikan suara takbir perpindahan gerakan imam. (Zainuddin bin Abdil Aziz al-Malibari, Fathul Mu’în dicetak bersama I’ânatut Thâlibîn, [Beirut, Dârul Fikr], juz II, halaman 225-226).  

Berangkat dari cara keempat ini, dimana makmum boleh mengetahui perpindahan gerakan imam melalui suara muballigh, ulama berbeda pendapat, apakah muballigh tersebut disyaratkan dari orang yang ikut shalat jamaah; atau boleh dari orang yang tidak ikut shalat, seperti dalam video sambil duduk santai itu?  Statemen Imam al-Juwaini dalam kitab al-Furûq menunjukkan syarat muballigh adalah harus orang yang ikut shalat jamaah sebagaimana pendapat shahih di lingkungan ulama Hanafiyah; 

sedangkan menurut Imam ar-Ramli, Imam al-Khatib as-Syirbini dan Imam Ibnu Hajar al-Haitami, boleh saja muballigh bukan orang yang ikut shalat jamaah. Al-Khatib as-Syirbini menjelaskan:  

 قوله: (يشترط علمه) أي المأموم (بانتقالات الإمام) ليتمكن من متابعته (بأن يراه) المأموم (أو) يرى ( بعض صف أو يسمعه أو مبلغا )، وإن لم يكن مصليا، وإن كان كلام الشيخ أبي محمد في الفروق يقتضي اشتراط كونه مصليا 

Artinya, “Dalam berjamaah makmum disyaratkan mengetahui gerakan perpindahan imam, agar dapat mengikutinya, yaitu dengan cara ia 

(1) melihat imamnya, 
(2) melihat sebagian shaf makmum, 
(3) mendengar suara imam, atau 
(4) mendengar suara muballigh atau orang yang memperdengarkan suara imam,

meskipun muballigh itu bukan orang yang ikut shalat, dan meskipun pendapat Syekh Abu Muhammad al-Juwaini menunjukkan disyaratkannya muballigh dari orang yang ikut shalat. (Muhammad al-Khatib as-Syirbini, Mughnil Muhtâj, [Beirut, Dârul Fikr,] juz I, halaman 248).  Sementara itu Syekh Abdul Hamid as-Syirwani mengutip dari Imam al-Kurdi: 

وإن لم يكن مصليا نهاية ومغني وإيعاب والصحيح عند الحنفية اشتراط كونه مصليا. كردي  

Artinya, “Meskipun yang menjadi muballigh bukan orang yang ikut shalat jamaah. Seperti ini menurut ar-Ramli dalam kitab Nihâyatul Muhtâj, al-Khatib dalam kitab Mughnil Muhtâj, dan Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab al-I’âb Syarhul ‘Ubâb. 

Adapun pendapat shahih di kalangan ulama Hanafiyah adalah keberadaan muballigh disyaratkan dari orang yang ikut shalat. Demikian penjelasan al-Kurdi. (Abdul Hamid as-Syirwani, Hawâsyis Syirwâni, [Beirut, Dârul Fikir], juz II, halaman 312). 

Melihat perdebatan dalam urusan muballigh atau orang yang memperdengarkan suara imam kepada para makmum, ulama yang membolehkan muballigh dari orang yang tidak ikut shalat jamaah menganggap muballigh—dalam sumber fiqih Maliki diistilahkan dengan kata musammi’—hanya sebagai tanda-tanda gerakan shalat imam; 

sementara ulama lain yang mensyaratkannya harus dari orang yang ikut shalat jamaah menganggap muballigh sebagai naib atau wakil dari imam, sehingga ia pun harus memenuhi syarat sebagai imam. (Mausû’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, [Kuwait: Dârus Salâsil], juz X, halaman 118). 

Kembali pada pertanyaan netizen, memang boleh orang yang tidak ikut shalat memimpin shalat? Hemat penulis, dalam kasus ini sebenarnya yang memimpin shalat tetap imamnya, bukan orang di atas mobil komando yang memperdengarkan suara imam melalui pengeras suara kepada para makmum. Bila pemahaman demikian dapat diterima, maka berkaitan kasus ini ada dua pendapat dalam mazhab Syafi’i sebagaimana telah diuraikan. 

Menurut sebagian ulama, orang yang tidak ikut shalat hukumnya tetap boleh menjadi muballigh yang memperdengarkan suara imam bagi para makmum; 

sementara menurut ulama lain tidak boleh.  Meski demikian kajian fiqihnya, tapi mengingat jamaahnya sedikit, apakah jamaah dalam video viral itu memang perlu menggunakan pengeras suara untuk mengetahui gerakan shalat imam?

Wallâhu a’lam.   

Rabu, 02 Maret 2022

DIALOG NABI MUSA DENGAN ALLAH SOAL IBADAH TERMULIA

DIALOG NABI MUSA DENGAN ALLAH SOAL IBADAH TERMULIA

Salah satu ibadah termulia adalah memasukkan rasa bahagia ke dalam hati orang lain.


Dalam Islam segala sesuatu bisa bernilai ibadah. Salah satu ibadah termulia adalah memasukkan rasa bahagia ke dalam hati orang lain. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam dialog Nabi Musa dan Allah.


Dikutip dari buku “Tuhan Ada di Hatimu”, Husein Ja’far al-Hadar menjelaskan bahwa Imam Ghazali telah mengisahkan dalam kitabnya yang berjudul Mukasyafatm al-Qulub bahwa suatu kali Nabi Musa berdialog dengan Allah. Kemudian, Nabi Musa bertanya,

“Wahai Allah, aku sudah melaksanakan ibadah yang engkau perintahkan. Manakah di antara ibadahku yang engkau senangi, apakah sholatku?

Allah menjawab, “Sholatmu itu hanya untukmu sendiri, karena shalat membuat engkau terpelihara dari perbuatan keji dan mungkar.”

Lalu Nabi Musa bertanya kembali, “Apakah puasaku?”Allah menjawab, “Puasamu itu hanya untukmu saja. Karena puasa melatih diri dan mengekang hawa nafsumu.”

“Lalu ibadah apa yang membuat engkau senang? Tanya Nabi Musa.

Allah menjawab, “Memasukkan rasa bahagia ke dalam diri orang yang hancur hatinya.”

Maka, menurut Husein Ja’far al-Hadar, ibadah termulia adalah memasukkan rasa bahagia ke dalam hati orang lain. Artinya, kata dia, menjaga hubungan baik dengan orang lain justru lebih dari ibadah ibadah-ibadah ritualistik.

Karena, tambah dia, jika seorang muslim mempunyai masalah dengan Allah, dengan bertobat urusannya selesai. Tapi, kalau dia mempunyai masalah dengan orang lain, tidak cukup baginya hanya meminta maaf kepada Allah. Dia juga harus meminta maaf kepada orang yang disakitinya.