Hukum Mengafirkan Orang Muslim karena Dosa Tertentu
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Yang terhormat ustad, Belakangan ini banyak muncul para muballigh yang dengan ringan menghakimi “kafir” dan “fasik” terhadap orang seiman. Bagaimana sikap kita sebagai pendengar ceramah para mubaligh seperti ini? Mohon keterangannya. Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya dan pembaca yang budiman. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan petunjuk-Nya untuk kita semua. Islam memang tidak tunggal. Kita mengenal sejumlah paham dalam sepanjang sejarah Islam itu sendiri seperti paham Ahlussunnah, Khawarij, Muktazilah, dan lain-lain.
Setiap paham ini memiliki cara pandang berbeda terhadap konsekuensi bagi orang-orang yang berbuat dosa. Ada kelompok (dalam hal ini Khawarij) yang menilai orang berdosa telah keluar dari iman. Kelompok lain (dalam hal ini Ahlusunnah wal Jamaah) ada yang menganggap orang berdosa tetap sebagai orang beriman. Ada juga kelompok (dalam hal ini Muktazilah) yang menilai orang berdosa keluar dari iman tetapi tidak sampai menjadi kufur.
Sementara umat Islam umumnya di Indonesia yang menganut paham Ahlusunnah wal Jamaah dilarang menghakimi akidah orang seiman. Hal ini bisa dipahami karena umat Islam Indonesia masih mempelajari kitab-kitab kalam berpaham Ahlussunnah wal Jamaah seperti kode etik penganut paham Ahlussunnah yang kami kutip berikut ini.
فلا نكفر مؤمنا بالوزر) مفرع على ما ذكر أي فلا نكفر بالنون أي معاشر أهل السنة أو بالتاء أي أيها المخاطب أحدا من المؤمنين بارتكاب الذنب صغيرة كان الذنب أو كبيرة عالما كان مرتكبه أو جاهلا بشرط أن لا يكون ذلك الذنب من المكفرات كإنكار علمه تعالى بالجزئيات والا كفر مرتكبه قطعا وبشرط أن لا يكون مستحلا له وهو معلوم من الدين بالضرورة كالزنا وإلا كفر باستحلاله لذلك وخالفت الخوارج فكفروا مرتكب الذنوب وجعلوا جميع الذنوب كبائر كما سيأتي (ومن يمت ولم يتب من ذنبه فأمره مفوض لربه)
Artinya, “(Kita tidak boleh mengafirkan orang lain yang seiman karena sebuah dosa), ini rincian atas penjelasan sebelumnya. Kalau dibaca dengan ‘nun’, maka artinya ‘Kita sebagai penganut Ahlussunah tidak mengafirkan orang lain.’ Kalau dibaca dengan ‘ta’, maka artinya, ‘Kamu tidak boleh mengafirkan orang lain yang seiman karena ia telah berdosa baik dosa kecil maupun dosa besar, baik ia menyadari maupun tidak menyadari bahwa itu adalah dosa.’ Tentu dengan catatan bahwa dosa itu bukan termasuk dosa yang menyebabkannya menjadi kufur seperti pengingkaran atas pengetahuan Allah terhadap hal-hal yang kecil. Kalau seseorang mengingkari itu, maka ia jatuh ke dalam kekufuran. Di samping itu ia juga tidak menghalalkan larangan Allah yang sangat maklum dalam agama seperti larangan zina. Kalau seseorang menganggap halal larangan seperti itu, maka ia telah kufur karena telah menganggap halal larangan yang hukumnya sudah terang. Ahlusunnah berbeda dengan kelompok Khawarij. Khawarij mengafirkan orang seiman yang berbuat dosa dan mereka menganggap semua dosa itu sebagai dosa besar. (Orang beriman yang meninggal dunia sementara ia belum sempat bertobat, maka [kita] serahkan saja kepada Allah),” (Lihat Syekh Ibrahim Al-Baijuri, Hasyiyah Tuhfatil Murid ala Jauharatit Tauhid, Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabaiyah, tanpa tahun, halaman 112).
Kutipan di atas jelas memberikan panduan bagi penganut paham Ahlussunnah untuk tidak menghakimi keimanan orang Muslim hanya karena perilaku atau dosa yang dilakukannya. Kalangan Ahlussunnah wal Jamaah yang berada di bawah bimbingan Al-Quran dan hadits menyerahkan sepenuhnya masalah keimanan orang lain kepada Allah SWT.
Saran kami, kita sebagai penganut paham Ahlussunnah wal Jamaah tidak perlu ikut-ikutan para dai dan muballigh-muballigh yang mengadili keimanan orang beriman lainnya. Pasalnya, bagi Ahlussunnah wal Jamaah penilaian atas keimanan orang lain merupakan hak penuh Allah SWT. Di sinilah menurut kami letak kemoderatan paham Ahlussunnah wal Jamaah seperti yang diyakini oleh mayoritas umat Islam di Indonesia.
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq
Wassalamu ’alaikum wr. wb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar