Aswaja: Manhaj Nahdlatul Ummah
NU Online
Aswaja adalah golongan yang konsisten mengikuti tradisi dan metode yang dipraktekkan Nabi dan para sahabat (ma ana alaihi al-yauma wa ashhabi). Aswaja dalam konteks Indonesia adalah golongan yang secara mayoritas mengikuti Imam Abu Hasan al-Asy’ari dalam bidang akidah, Imam Asy-Syafi’i dalam bidang fiqih, dan Imam Abu Hamid Al-Ghazali dan Imam Abi al-Hasan Asy-Syadzili dalam bidang tasawuf.
Al-Asy’ari menjadi simbol Aswaja karena dua hal: Pertama, kepercayaan besar umat Islam, khususnya para ulama dari berbagai kalangan kepada Imam Abu Hasan al-Asy’ari yang wara’, zuhud, ahli ibadah dan berakhlak mulia. Kedua, kreatifitas dan intensitas para ulama dalam menyebarluaskan madzab Al-Asy’ari (hal xiv).
Aswaja mempunyai ciri yang utama yaitu tawasuth(moderasi) antara wahyu dan akal, teks dan konteks vertikal dan horizontal, sakral dan profan. Moderasi membutuhkan keterbukaan (iftitah) toleransi (tasamuh) keseimbangan (tawazun) dan tegak lurus memegang dan memperjuangkan prinsip (I’tidal). Ciri-ciri ini melekat dalam pemikiran dan aksi lapangan golongan Aswaja.
Buku yang bertajuk Ahlussunah Wal-Jama’ah ini mencoba menjabarkan tentang studi komprehensif atas teoleogi Al-Asy’ari dan Al-Maturidi yang memiliki sedikit perbedaan dalam beberapa permasalahan. Meskipun keduanya bertemu pada titik yang sama yakni mengintegrasikan antara dalil naqli dan aqlisecara bersamaan. Penggunaan dalil akal tidak menjauhkan kelompok ini dari dalil Al-Qur’an, justru menguatkan dan memudahkan umat untuk menyerap dengan mudah pemahaman tentang Ahlussunah. Dari sinilah tampak bahwa Ahlussunah adalah firqoh yang moderat (tawasuth), berada diantara golongan Mu’tazilah yang selalu mengedepankan akal dan golongan Musyabihah dan Mujassimah yang selalu terikat dengan dzahir dari nash. (hal 33)
Terlepas dari semua itu, penulis sudah mampu mengutarakan tentang pemikirannya terhadap pemahaman Ahlussunah wal Jamaah melalui studi komprehensif atas teoleogi Al-Asy’ari dan Al-Maturidi; penulis membuktikan kebenaran teologi keduanya melalui biografi Abu al-Hasan-al Asy’ari yaitu sebagai ulama yang pernah mengangkat biografinnya adalah al-Hafidz Abu- al-Qosim Ibn Asakir dalam kitabnyaTabyin Kadzibi al-Muftary dan Tajuddin as-Subky, Ath-thabaqot. (hal 79)
Sebelum melepaskan diri dari Muktazilah ia sempat belajar ilmu kalam dari Muhammad bin Abdul Wahab al-Jubbai, tokoh Muktazilah di zamannya. Kemudian masuk kota Baghdad, di kota tersebut ia belajar berbagai disiplin ilmu. Ilmu hadits dari Zakariya bin Yahya al-Siji, ilmu fiqih dari Abu Ishaq al-Marwazy, Muhamad bin Yaqub al-Muqri dan sanad keilmuannya sampai kepada Imam Syafi’i.
Selanjutnya adalah biografi Imam Abu Manshur al-Maturidi, yang dijuluki sebagai Imam al-Huda, meninggal pada tahun 333 H di Samarkand. Sebagai ulama dari kalangan Hanafiyyah yang mengangkat biografinya adalah Imam Majduddin Abu al Nada Isma’il in Ibrahim al-Hanafi dalam kitab al-Ansor. Dan berhasil melahirkan karya yang fenomenal yaitu, kitabal-tauhid, kitab takwilat Al-Qur’an kitab Maqolat. (hal 83)
Penulis mampu memberikan gambaran-gambaran sekilas tentang pemikirannya. Hal ini ditandai dengan penguasaan materinya. Terlebih lagi buku ini layak menjadi konsumsi bagi siapa saja yang ingin memahami Ahlussunah wal Jamaah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar