Ayat Khilafah versi HTI
Ilustrasi (ok.ru)
Oleh M Kholid Syeirazi
Dalam sebuah talkshow di salah satu stasiun TV swasta, sahabat dan senior saya, Masduqi Baidlawi (Wasekjen PBNU), terlibat perdebatan panas dengan Rokhmat S. Labib, Ketua DPP HTI. Di puncak debat, Cak Duqi—demikian sapaan akrabnya—mengejar tokoh HTI untuk menunjukkan ayat Al-Qur’an yang memerintahkan pendirian Khilafah. Akhirnya dikutip ayat Al-Qur’an, QS. al-Baqarah/2: 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً.... الآية
Untuk memperkuat dalilnya, Ketua HTI mengutip Tafsîr al-Qurthûbî. Saya tidak ingin membeberkan sikap taqiyyah/ngeles HTI dalam banyak pokok soal. Jejak digitalnya telah dihimpun secara apik oleh sahabat saya, Mahmud Syaltout. Saya hanya ingin melacak dalil yang digunakan tokoh HTI untuk meyakinkan kewajiban penegakan Khilafah. Karena yang dikutip adalah Tafsîr al-Qurthûbî, saya akan buka dan sampaikan isinya. Imam Qurthûbî (Abû Abdillâh Muhammad ibn Ahmad al-Anshârî al-Qurthûbî) adalah salah seorang mufassir terkemuka dari Cordova, Spanyol, yang hidup di masa keemasan dinasti Islam di Semenanjung Iberia. Beliau bermadzhab Maliki, belajar ke Timur, menetap dan wafat di Mesir. Karyanya yang terkenal adalah Tafsîr al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, dikenal dengan Tafsîr al-Qurthûbî. Sesuai judulnya, fokus tafsir ini adalah menguraikan berbagai hukum Islam berdasarkan dalil al-Qur’an dan Sunnah. Versi yang saya gunakan adalah cetakan Beirut: Dâr al-Kitâb al-Arabî, 2008, ditahqiq oleh Abdurrazzâk al-Muhdî.
Jika di kitab tafsir lain terkait QS. al-Baqarah/2: 30 tidak ditemukan ‘tafsir politis’ (karena ayat ini menjelaskan proses pengangkatan Nabi Adam sebagai خليفة الله في الارض), Imam Qurtûbhî menafsirkan ayat وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً sebagai titik tolak pembahasan tentang fikih siyasah, diuraikan panjang lebar, hingga 14 halaman (dari h. 302 ̶ 315). Tokoh HTI mengutip Qurthûbî untuk mengukuhkan keyakinan tentang kewajiban penegakan Khilafah. Penggalan pernyataan yang dikutip adalah:
هذه الاية اصل في نصب امام وخليفة
“Ayat ini adalah dasar untuk mengangkat imam atau khalifah.”
Saya akan mengutip selengkapnya sebagai berikut (h. 305):
هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع ، لتجتمع به الكلمة ، وتنفذ به أحكام الخليفة . ولا خلاف في وجوب ذلك بين الأمة ولا بين الأئمة إلا ما روي عن الأصم حيث كان عن الشريعة أصم ، وكذلك كل من قال بقوله واتبعه على رأيه ومذهبه ، قال : إنها غير واجبة في الدين بل يسوغ ذلك ، وأن الأمة متى أقاموا حجهم وجهادهم ، وتناصفوا فيما بينهم ، وبذلوا الحق من أنفسهم ، وقسموا الغنائم والفيء والصدقات على أهلها ، وأقاموا الحدود على من وجبت عليه ، أجزأهم ذلك ، ولا يجب عليهم أن ينصبوا إماما يتولى ذلك . ودليلنا قول الله تعالى : إني جاعل في الأرض خليفة ، وقوله تعالى : يا داود إنا جعلناك خليفة في الأرض ، وقال : وعد الله الذين آمنوا منكم وعملوا الصالحات ليستخلفنهم في الأرض أي يجعل منهم خلفاء ، إلى غير ذلك من الآي .
“Ayat ini adalah dasar untuk mengangkat imam atau khalifah yang didengar dan dipatuhi, untuk menyatukan kalimat dan melaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada perbedaan pendapat di antara umat dan imam tentang kewajibannya kecuali apa yang diriwayatkan oleh al-Asham (Abu Bakar al-Asham, pemuka Mu’tazilah), padahal dia tuli terhadap syariat, dan orang yang sependapat dengannya dan pengikutnya, yang mengatakan: ‘Mengangkat imam/khilafah tidak wajib, tetapi sekadar menyempurnakan agama. Apabila umat sudah bisa mendirikan haji dan jihad, saling bahu-membahu di antara mereka, mencurahkan hak mereka sendiri, membagikan harta rampasan perang, fai, dan sedekah kepada yang berhak, menegakkan hukum kepada pelaku kejahatan—yang demikian ini sudah cukup dan tidak wajib mengangkat imam untuk memimpin pelaksanaan hal-hal itu.’ Dalil kami (tentang wajibnya mengangkatnya pemimpin) adalah firman Allah إني جاعل في الأرض خليفة dan firman Allah yang lain يا داود إنا جعلناك خليفة في الأرض serta ayat وعد الله الذين آمنوا منكم وعملوا الصالحات ليستخلفنهم في الأرض.
Apa yang bisa dipetik dari kutipan ini? Pertama, Imam Qurthûbî menyatakan pengangkatan pemimpin (imam/khalifah) atau bahasa arabnya نصب الامامة itu wajib. Wajibnya bukan wajib aqli, tetapi wajib syar’i. Pernyataan ini lumrah di kalangan Sunni, termasuk al-Mawardi dalam kitabnya al-Ahkam as-Sulthaniyyah yang dipelajari di pesantren-pesantren. Meski menyebut tidak ada perbedaan di antara imam-imam besar tentang kewajiban نصب الامامة, Qurthûbî menyinggung pendapat ganjil al-Asham—pemuka Mu’tazilah yang dia cela sebagai tuli terhadap syariat (الأصم كان عن الشريعة أصم)—yang berpendapat sebaliknya.
Kedua, yang perlu digarisbawahi adalah kewajiban mengangkat pemimpin, bukan sistem kepemimpinan Khilafah ala HTI yang bentuknya sampai sekarang tidak jelas. Kalau soal نصب الامامة, yang dilakukan di semua negara di dunia, termasuk negeri-negeri Muslim, semuanya adalah dalam rangka نصب الامامة. Mereka mengangkat pemimpin mereka, ada yang dengan cara demokrasi—dengan berbagai bentuk dan variasinya, ada model monarki/ مملكة (dinasti turun temurun), ada juga kudeta (mengambil paksa dari pemimpin sebelumnya), dst.
Hal ini diakui Qurthûbî dalam uraian berikutnya bahwa bentuk نصب الامامة bermacam-macam yang tidak didasarkan kepada nash baku. Karena itu, beliau menolak pendapat yang berkembang di kalangan syiah tentang keharusan transmisi Imâmah dari jalur Imam Ali karramallahu wajhah dan keturunannya berdasarkan hadis “من كنت مولاه فعلي مولاه”. Hadis ini, menurut Qurthûbî, bukan justifikasi tekstual untuk mengangkat Imam Ali dan keturunanannya sebagai Khalifah dalam pengertian pemimpin politik sepeninggal Nabi. Qurthûbî mengakui bentuk-bentuk نصب الامامة bermacam-macam sebagaimana berlangsung di antara Khulafa’ Rasyidun, yaitu pengangkatan Abu Bakar RA, dari Abu Bakar RA ke Umar RA, dari Umar RA ke Utsman RA, dari Utsman RA ke Ali KW; masing-masing berbeda-beda dan wajib ditaati. Bahkan, seandainya seorang Imam meraih kekuasaan dengan cara kudeta, dia juga harus ditaati, sejauh tidak mengancam agama (h. 311).
Ketiga, demokrasi adalah salah satu mekanisme نصب الإمامة yang sah. Dan ini yang dipilih dan disepakati oleh founding fathers yang mendirikan NKRI. Para pendiri NKRI antara lain adalah ulama dan tokoh-tokoh Islam yang paham dalil. Program HTI adalah mengubah kesepakatan, mengharamkan nasionalisme, men-thagut-kan demokrasi, dan berniat mengganti NKRI berdasarkan Pancasila dengan Khilafah. Dalam perspektif Qurthubi, tindakan ini merupakan خروج من البيعة, keluar dari kesepakatan, bagian dari rencana bughot yang harus diperangi.
Akhirul kalam, istidlâl HTI terhadap QS. al-Baqarah/2: 30 sebagai dasar kewajiban mendirikan Khilafah sebagai sistem politik, yang sampai sekarang bentuknya tidak jelas itu, terlalu jauh. Mengutip Qurthubi juga tidak lengkap. Kewajiban mengangkat pemimpin adalah satu hal, cara memilih pemimpin adalah hal lain. Wallâhu a’lam.
Penulis adalah Sekretaris Jenderal PP ISNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar