Kamis, 30 November 2017

Esensi Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Bagi Muslimin dan Muslimat.

Esensi Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW Bagi Muslimin dan Muslimat.

Saudaraku sekalian kaum muslimin dan muslimat yg berbahagia..
Tulisan ini saya tujukan khusus untuk kaum Muslimin dan Muslimat, sehubungan dengan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada tanggal 12 Rabiul Awal Hijiriah yang jatuh pada hari Jum'at tanggal 01 Desember 2017. Tetapi bila ada saudara-saudara kami yg non muslim ingin membacanya, tidak ada salahnya, karena tulisan ini tidak menyinggung atau merendahkan agama lain. Malah ada baiknya, untuk menambah pengetahuna Anda, demi meningkatkan toleransi kerukunan hidup umat beragama di Indonesia, dan siapa tahu anda mendapat Hidayah dari Allah SWT. Aamiin.

Maulid atau Kelahiran Nabi Muhammad SAW. Muhammad dilahirkan pada tanggal 12 Rabiul Awal Tahun Gajah atau sekitar tahun 570 Masehi, yang di kalangan umat islam lebih dikenal dengan Maulid Nabi.Perayaan Maulid Nabi merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Secara substansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW sendiri pernah merayakan maulid nya. Beliau menyambut hari kelahirannya dengan cara yg lain yaitu berpuasa hari senin, maka tak pantas umat Islam menganggap perayaan Maulid ini bid’ah, Maulid merupakan penghormatan kepada Baginda Nabi SAW, dan bernilai positif, sebagian besar Muslim Indonesia merayakan Maulid Nabi setiap tahun, termasuk Maulid Nabi yang dilaksanakan secara Nasioanal, yang selalu dihadiri oleh Kepala Negara, para pejabat tinggi dan duta besar negara-negara Islam.

Maka, "suatu hal yang Esensial atau sangat penting dan utama dalam peringtan Maulid Nabi Muhammad SAW ini, adalah hendaknya kitadapat meneladani atau mencontoh cara hidup beliau, berdasarkan apa yang diajarkan dan dicontohkan NabiSAW".

Saudaraku Karena, hanya dengan mencontoh kehidupan Rasulullah SAW itu, kita akan menjadi orang yang beruntung, sebagaimana firman Allah:"(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Al-A'raa 7:157) Pribadi Yang Mulia Nabi Muhammad  SAW adalah seorang manusia yang sangat sempurna, yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Dia-lah Kekasih Allah. Nama Nabi Muhammad SAW selalu ”digandengkan” dengan Nama Allah. Nama Muhammad Saw sendiri sudah ada sejak Nabi Adam diciptakan. Allah sendiri memuji akhlak dan budi pekerti Nabi Muhammad SAW sebagaimana firman-Nya:”Sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung! (QS. Al-Qalam: 4). Jangankan kita, para sahabat saja tak sanggup melukiskan keindahan akhlak Rasulullah SAW. Apabila mereka ditanya tentang bagaimana akhlak Rasulullah SAW, mereka hanya bisa menangis. Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya dengan Nabi SAW. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak Nabi, linangan air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang akan junjungan mereka. Paling-paling mereka hanya mampu menceritakan satu peristiwa yang paling indah dan berkesan dalam interaksi mereka dengan Nabi terakhir ini.

KetikaSiti Aisyah r.a, istri Nabi SAW ditanya oleh seorang Badui tentang akhlak Nabi SAW, beliau hanya menjawab: ”Akhlak Muhammad itu Al-Qur’an”. Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi SAW itu bagaikan Al-Qur’an berjalan. Badui itu tidak puas, bagaimana mungkin ia segera mengetahu akhlak Nabi kalau ia harus membaca seluruh kandungan Al Qur’an. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak Surat Al-Mu’minun ayat 1-11, yaitu:”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang khusuk dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari perbuuatan dan perkataan yang tidak berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang selain itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat yang dipikulnya dan janjinya, dan orang-orang yang menjaga shalatnya. Mereka itulah orang-orang yang mewarisi, mewarisi surga Firadaus. Mereka kekal di dalamnya”

Adab Rasulullah tehadap Istrinya AisyahDan ketika didesak pertanyaan tentang kesan beliau terhadap suaminya, Nabi Muhammad SAW, Aisyah menjawab, “Ah semua perilakunya indah.” Ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. “Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, ”Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.” Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah.

Suatu saat, Nabi Muhammad SAW membuat khawatir hati Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya, Aisyah keluar membuka pintu rumah, Dia terkejut bukan kepalang melihat suaminya tidur di depan pintu, Aisyah berkata, “Mengapa engkau tidur di sini?” Nabi Muhammmad menjawab, “Aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan pintu.” 

Begitulah akhlak Rasulullah SAW, sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani bawahannya,Dan tengoklah diri kita, Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil sekalipun, sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia?. 

Allah pun sangat menghormati Nabi Muhammad SAW Buktinya, dalam Al-Qur’an Allah memanggil para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dll. tetapi ketika memanggil Nabi Muhammad SAW Allah menyapanya dengan “Wahai Nabi” Ternyata Allah saja sangat menghormati beliau. 

Detik-detik Terakhir Kehidupan Rasulullah SAW Menjelang akhir hayatnya, Rasulullah SAW berkata pada para sahabat, “Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak ingin di Padang Mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan perbuatanku pada kalian, ucapkanlah!” Para sahabatterdiam, namun ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, “Dahulu ketika engkau memeriksa barisan di saat ingin pergi perang, kau meluruskan posisiku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak, tapi aku ingin menuntut balas hari ini.” Para sahabat lain terpana, tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu. Umar langsung berdiri dan siap “membereskan” orang itu. Tapi Rasulullah SAW melarangnya. Rasulullah SAW menyuruh Bilal mengambil tongkat ke rumah beliau. Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi SAW keheranan ketika Nabi Rasulullah SAW meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang terjadi, Aisyah pun semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani berbuat senekad itu setelah semua yang Rasulullah SAW berikan pada mereka. Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu seraya menyingkapkan bajunya, sehingga terlihatlah tubuh Rasulullah SAW. Nabi SAW berkata, “Lakukanlah!” Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi Rasulullah SAW dan memeluk Nabi seraya menangis, “Sungguh maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!.Aku ikhlas atas semua perilakumu wahai Rasulullah”. Seketika itu juga terdengar ucapan, “Allahu Akbar” berkali-kali.

Sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi SAW itu tidak mungkin diucapkan kalau Rasulullah SAW tidak merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Rasulullah SAW sebelum Allah memanggil Rasulullah SAW ke hadirat-Nya. 

Nabi Muhammad SAW ketikamelaksanakan Haji Wada’, di Padang Arafah yang terik, dalam keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya itu Nabi SAW dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, “Nanti di hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah aku, sebagai Nabi, perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa jawaban kalian?” Para sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan air mata. Nabi Rasulullah SAW melanjutkan, “Bukankah telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku karena menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah kusampaikan pada kalian wahyu dari Allah…..?” Untuk semua pertanyaan itu, para sahabat menjawab, “Benar ya Rasulullah!” Kemudian, Rasulullah SAW pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, “Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah!”. Nabi SAW meminta kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya. 

Rakhmatan Lil Alamin (Rahmat bagi Seluruh Alam)
Nabi Muhammad SAW sebenarnya bukan untuk orang Islam saja, atau hanya untuk manusia saja. Tapi Nabi Muhammad Saw merupakan rakhmat bagi seluruh alam, artinya bagi seluruh jagat raya ini, baik bumi, langit dan tata surya serta semua makhluk yang ada di antara keduanya, seperti matahari, bulan, bintang, manusia, hewan, tumbuh-tumbuahan dlsb. Firman Allah SWT :“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Surah Al-Anbiya’:107). 

Tanamkanlah cinta sedalamnya kepada Rasulullah SAW dengan mencontoh akhlak, ibadah dan sunnah beliau, Bersalawatlah selalu kepada Nabi, karena bukti orang yang mencintai seseorang, ialah sering menyebut-nyebut namanya. Lihatlah betapa cintanya Bilal bin Rabbah kepada Nabi SAW. Setelah wafatnya Rasulullah SAW, beliau menolak untuk menjadi muazzin di Mesjid Nabawi, karena khawatir dirinya tidak dapat membendung air mata dan rasa rindu mengenang saat bersama Rasulullah. Beliau akhirnya hijrah ke Syam untuk berjihad mengikuti jejak langkah para sahabat Nabi, meninggalkan Madinah, kota dimana dia selalu bersama orang yang sangat dikasihinya. 

Setelah sekian lama berada di kota Damascus, Bilal didatangi Rasulullah SAW di dalam mimpi. Rasul bersabda: “Wahai Bilal, apakah yang menahanmu? Sudah lama engkau tidak datang menjengukku?.” Lalu Bilal pun bergegas menziarahi Madinah. Di Madinah, Bilal dibujuk oleh cucunda Nabi, yakni Hassan dan Hussein untuk mengumandangkan azan. Bilal akhirnya setuju. Saat mendengar suara emas Bilal, sayup-sayup di Madinah terdengar dengan ratapan dan tangisan. Banyak orang melihat melalui jendela dan keluar dari rumah menuju ke jalanan. Sambil menahan rasa rindu kepada Rasulullah SAW, mereka bertanya, “Apakah Rasulullah SAW telah dihidupkan kembali?” Ada pula yang berbisik dengan linangan air mata, “Marhaban ya Rasulullah, Marhaban ya Rasulullah.” AllahummaSolli ala Muhammad. 

Uswatun Khasanah (Contoh Kehidupan Yang Baik) Secara fisik, Muhammad merupakan manusia sempurna yang patut menjadi Uswatun Hasanah, suri tauladan bagi seluruh umat manusia, sesuai dengan firman-Nya: “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kamu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan menemui Allah dan Hari Akhir dan mengingat Allah sebanyak-banyak” (QS Al Ahzab: 21). Secara batiniah Rasulullah mempunyai sifat-sifat yang terpuji, yang telah dimiliki oleh setiap manusia tanpa kecuali. Tetapi sayang, tidak semua manusia menyadari keberadaan unsur tersebut, apalagi mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga tidak mengherankan bila banyak orang yang mengaku umat Nabi Muhammad SAW. umat yang sangat terpuji, justru banyak melakukan perbuatan tercela. Hal ini karena mereka belum dapat menghayati Muhammad dalam nilai-nilai terpuji, di setiap aktivitas hidupnya dalam bermasyarakat. Padahal setiap hari mereka selalu mengatakan dalam shalat: “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Utusan Allah”. Kalimat Syahadat tersebut mempunyai makna yang sangat dalam sekali, yaitu saksinya seorang yang menyaksikan kepada siapa dia bersaksi. Secara hakikat, makna simbolis dari “wa asyhadu an la Muhammad Rasulullah” adalah sebuah pengakuan bahwa setiap diri telah ditempati oleh unsur terpuji yaitu Nur Muhammad, yang harus diimani dan diikuti sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur’an: ”Katakanlah : “Jika kamu benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” QS Ali Imran: 31).

Rasulullah SAW Sangat Mencintai Ummatnya Rasulullah SAW adalah orang yang sangat cinta dan peduli dengan umatnya, sehingga digambarkan Allah SWT: ”Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kaum kalian sendiri. Iamerasakan beratnya penderitaan kalian, sangat mendambakan (keimanan dan keselamatan) kalian, dan amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang beriman' (QS At Taubah:128) Begitu cintanya Rasul terhadap umatnya sehingga ucapan terakhir beliau sesaat sebelum menghembuskan nafas terakhir adalah: ”umatti... umatti ... ummatti..'.Annisa,....annisa ,annisa dan As-shalat, .... as-shalat, as shalat.... Karena Rasulullah SAW telah menyaksikan, bahwa di akhir zaman, umat Islam semakin banyak jumlahnya, tapi cuma KTP saja. Tidak menjalankan perintah-perintah Allah, terutama shalat, padahal amal yang paling utama setelah iman kepada Allah, adalah shalat. Apabila shalat kita baik, maka amal-amal yang lain akan menjadi baik. Tapi bila shalatnya amburadul, apalagi bila tidak shalat sama sekali, maka amal-amal yang lain seperti puasa, zakat, haji dlsb, tidak akan ”diperhitungkan” sama sekali.Bila Kita Mengaku Cinta Rasulullah SAW, bila kita benar-benar cinta kepada Rasulullah SAW, tidak cukup hanya dengan pujian dan salawat saja. Bukti cinta kita kepada Rasulullah SAW adalah dengan mengamalkan seluruh hadist-hadistnya. Hadist Nabi iniada tiga bagian besar, yaitu :
1. Penampilan (termasuk cara berpakaian).
2. Cara hidup sehari hari (mulai bangun tidur sampai tidur kembali) seperti makan, minum, mandi, buang air, tidur, ibadah shalat, puasa, pernikahan, hubungan suami-istri, perdagangan, dlsb), dan
3. Fikir Rasulullah, bagaimana agar semua umat Rasulullah SAW masuk surga :
1. Mengamalkan hadist-hadist dan ajaran Rasulullah SAW. Banyak sekali hadist-hadist Rasulullah sebagai kecintaan Rasul kepada umatnya. Tentu bukti cinta kita adalah dengan mengamalkan hadist-hadist tersebut. 'Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku (Nabi), maka Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu' (QS Ali Imran:31)
 2. Memperbanyak shalawat dan pujian untuk Nabi SAW Allah SWT berfirman: ”Sesungguhnya Allah dan para Malaikat bershalawat kepada Nabi . Wahai orang-orang beriman, bershalawatlah kepadanya dan ucapkanlah salam 
3. Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar Allah berfirman: ”Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah yang mungkar, dan kalian beriman kepada Allah....(QS Ali Imran:110)Selama 23 tahun Nabi Muhammad SAW sejak diangkat sebagai Rasulullah SAW, beliau dan para sahabat bukan hanya menjalankan ibadah, tapi berdakwah.

Karena dakwah, Islam tersebar ke seluruh dunia, sehingga sampai ke negara kita Indonesia. Islam masuk ke Indonesia bukan karena dibawa oleh burung atau diterbangkan oleh angin, tapi oleh manusia, juru dakwah.Indonesia saat ini merupakan ”negara Islam” terbesar, tapi hanya dalam jumlah, tidak dalam kualitas. Islam tersebar di Indonesia bukan dengan cara kekerasan atau perang, tapi dengan akhlak yang indah, yang dibawa oleh para da’i terdahulu, yang lebih dikenal sebagai ”pedagang” sehingga orang dengan sukarela masuk Islam. 

Tapi kehidupan kebanyakan kaum Muslimin dan Muslimat saat ini sangat menyedihkan, jauh dari ajaran agama Islam. Mesjid tidak terhitung jumlahnya dan megah-megah tapi umumnya kosong. Yang shalat paling banyak 1-2 saf saja. Banyak Muslim Indonesia tidak shalat, terutama anak-anak muda. Mesjid hanya diisi jamaah yang sudah ”hampir magrib”, yang KTP-nya sudah ”seumur hidup”.Umat Islam Indonesia saat ini tingkah laku dan cara hidupnya, tidak lagi Islami, baik cara berpakaian, berdandan, berdagang, acara pernikahan, dlsb. Banyak orang Islam yang minum khamar, berjudi, korupsi, berzinah, dlsb, jauh dari akhlaq yang dicontohkan Rasulullah SAW dan para sahabat.

Marilah kita kembali kepada ajaran Agama Islam yang sesungguhnya dengan menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangnnya, sebagaimana yang telah dicontohkan dalam kehidupan Nabi Muhammad Rasulullah SAW.

Sumber: Al Quran dan Al Hadist. (penulis sanhaji).

Meninjau Kembali Hadits 'Islam yang Asing'

Meninjau Kembali Hadits 'Islam yang Asing'


Dalam berbagai kesempatan, kita sering mendengar soal keterasingan dan keanehan Islam. Bahwa Islam dimulai dengan keadaan yang asing dan aneh, selanjutnya akan berakhir dalam keterasingan dan keanehan pula. Diucapkan dalam khutbah dan ceramah untuk membesarkan hati mereka yang “galau” dalam hijrahnya. Seolah ada pemahaman bahwa Islam yang benar adalah Islam yang teralienasi. Yang asing dan tidak familiar, itulah Islam yang sejati.

Seseorang yang pindah (hijrah) dari sifat dan laku non-Islami menuju jalan hidup yang dianggapnya lebih Islami, memang kadang diselimuti kegalauan. Seseorang yang baru saja memutuskan bercadar, misalnya, harus menata diri berjumpa dengan kawan-kawan lamanya yang tidak sepemahaman. Saya tidak ingin membahas soal hukum cadar, tapi kondisi seperti ini jelas memerlukan pegangan yang kuat. Hadits soal “asingnya” Islam adalah satu di antaranya.

Kondisi di atas sebenarnya bukanlah masalah serius. Menjadi genting ketika hadits yang sama digunakan oleh para pendukung radikalisme dan terorisme. Seolah menjadi pembenar bahwa meski tindakannya dikutuk mayoritas umat beragama, ia tetaplah aksi yang heroik. Tidak mengapa ada anggapan  aneh dan “asing”. Toh Islam juga dimulai dari situasi yang aneh dan asing. Kira-kira seperti itulah argumen yang sedang dibangun.

Doktrin seperti ini nyata. Kita bisa melacaknya jika memiliki banyak waktu untuk lakukan cyber-patrol. Cukup banyak penghuni dunia maya yang sorak-sorai rayakan aksi teror, alih-alih mengutuknya. Mengambil sisi mendukung tindakan pemerintahan yang (dalam kacamata mereka) thaghut. Hal yang demikian, saya rasa patut diluruskan.

Hadtis keterasingan Islam yang dimaksud, tertuang dalam Shahih Muslim dari Abi Hurairah yang berbunyi:

إنّ الإسلام بدأ غريبا وسيعود غريبا كما بدأ، فطوبى للغرباء

“Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang asing”

Merujuk pada sejarah Islam awal, keadaan asing yang dimaksud cukup beralasan. Nabi diutus dengan ajaran tauhid di tengah masyarakat yang mayoritas menyembah banyak berhala. Islam datang dengan ajaran-ajaran yang sebagian besarnya asing di telinga masyarakat. Keadaan asing yang dimiliki oleh Islam awal ini cocok digambarkan dengan hadits di atas.

Lantas bagaimana dengan keadaan Islam di masa depan? Apakah akan betul-betul asing seperti awal kehadirannya?

Pertama, perlu kita kompromikan hadits tersebut dengan ayat 33 dari at-Taubah yang artinya:

“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.”

Potongan ayat di atas berbicara mengenai janji Allah yang akan memenangkan Islam atas kelompok lain. “Menang” di sini tentu masih butuh banyak penafsiran. Namun tetap saja, menang dan asing adalah dua hal yang bertolak belakang. Pemenang biasanya akan dikenal, atau yang dikenal biasanya adalah yang menang. Bagaimana mungkin Islam dalam keadaan asing, tapi menjadi pemenang? Atau bagaimana mungkin Islam menang tapi tetap terasing? 

Ada banyak tawaran untuk memaknai arti “asing” pada hadits tersebut. Salah satunya dengan mencerna riwayat Sahl bin Sa’d al-Sa’idi. Berdasar riwayat tersebut, ada penambahan kalimat tanya yang berbunyi, “siapakah mereka yang asing itu?” Rasul menjawab, “orang-orang yang mengadakan perbaikan di tengah manusia yang berbuat kerusakan”.

Dengan mengambil tawaran makna ini, bisa kita ajukan pertanyaan: apakah aksi teror adalah aksi perbaikan? Apakah sekian banyak manusia di Kampung Melayu, misalnya, sedang berbuat kerusakan, sehingga perlu “diperbaiki” dengan bom? Atau bukankah justru pelaku teror itu sedang—literally—melakukan kerusakan itu sendiri? Ini pertanyaan yang mestinya tidak terlalu sulit dijawab.

Alternatif pemaknaan yang kedua adalah dari riwayat Amr bin ‘Ash. Ketika Rasulullah Saw ditanya perihal orang asing yang beruntung tersebut, Rasulullah Saw menjawab, “Mereka (orang asing) adalah orang-orang salih di tengah-tengah mayoritas masyarakat yang buruk. Yang membangkang orang-orang shalih, lebih banyak dari yang menaatinya”.

Dalam kerangka ini, maka perlu dibuat kategori asing:

1. Asing dalam kebenaran di tengah masyarakat yang batil.
2. Asing dalam kebatilan di tengah masyarakat yang benar.

Jadi, tidak serta merta keterasingan dimaknai sebagai sesuatu yang Islami. Salah besar jika ada anggapan “semakin asing seseorang, semakin ia dekat dengan Islam”. Bukan begitu!

Yang juga menarik adalah jika memaknai “orang asing” sebagaimana riwayat Imam Baihaqi yang mengisahkan dialog antara Umar bin Khattab dan Mu’adz bin Jabal. Mu’adz menceritakan pada Umar satu hadits dari Rasulullah Saw yang berbunyi:

“Allah mencintai orang-orang yang tersembunyi, takwa, dan suci. Ketika mereka tidak ada, masyarakat tidak merasa kehilangan; ketika mereka ada, masyarakat tidak menyadari. (Namun demikian) Hati mereka (seperti) lampu-lampu hidayah, mereka keluar (menjauh) dari fitnah”. Gambaran di atas sangat identik dengan laku para sufi. Low profile, tidak menonjolkan diri, hidup damai, dan tentram. Jauh dari hingar-bingar kehidupan duniawi.

Apa pun yang digunakan untuk memaknai “orang asing”, tidak ada satupun yang bisa menjadi pembenar untuk pelaku teror. 

Sebebarnya, hadits tersebut juga sama sekali tidak berisi perintah untuk mengasingkan diri. Untuk jauh dari kerumunan. Di banyak kesempatan justru sebaliknya, kita diminta untuk ambil peran dalam kehidupan masyarakat. Umat Islam diminta menjadi ummatan-wasathan. Secara literal berarti umat yang berada di tengah. Namun, secara kontekstual adalah umat yang senantiasa mengambil peran. 

Senin, 27 November 2017

Sumber-sumber Radikalisme


Sumber-sumber Radikalisme


Radikalisme agama dibentuk oleh pikiran radikal. Pikiran radikal menghasilkan sikap eksklusif dan intoleran. Sikap eksklusif dan intoleran pintu masuk untuk bertindak radikal, melakukan teror, dan kekerasan. Orang yang berpikir radikal dan bersikap eksklusif belum tentu bersedia melakukan tindakan radikal, kekerasan, apalagi teror. Tetapi semua teroris atas nama agama bertindak karena pikiran-pikiran radikal. Bahan baku pikiran radikal di kalangan Muslim adalah kombinasi kompleks dari bermacam-macam sumber. 

Sumber pertama adalah teks-teks agama (النصوص الدينيۃ)  baik Al-Qur'an, Hadits maupun pendapat ulama  yang dijustifikasi sebagai referensi untuk berpikir dan bertindak radikal. Teks-teks ini umumnya dipahami secara harfiah, dilepaskan dari konteksnya, tidak mengikuti metodologi istinbath, dan dilepaskan dari 'illat (faktor) kekinian. Jika ada ayat "Bunuhlah orang-orang kafir di mana pun kalian temukan mereka," maka  tidak ada tafsir lain selain perintah menghunus pedang dan memanggul senjata. Jika ada ayat "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela sebelum kalian ikuti agama mereka," maka tidak ada makna lain selain kita harus bersitegang dan curiga tanpa batas tanpa reserve. Kita bisa temukan banyak ayat lain yang bisa jadi bahan baku berpikir dan bertindak radikal, termasuk larangan mengangkat orang kafir sebagai اولياء yang bikin geger orang Indonesia tempo hari itu.

Sumber kedua adalah klaim tentang kebusukan demokrasi, nation-state, dan pemimpin politik yang mengakui demokrasi dan nation-state. Radikalisme memikat anak-anak muda karena menyediakan alternatif untuk memahami deprivasi relatif yang menimpa mereka. Seluruh kekacauan tertib sosial dan politik, termasuk isu pengangguran, kemiskinan, ketimpangan, dan dominasi asing dalam perekonomian adalah kesalahan sistem sekuler. Mereka mengutuk pemimpin demokrasi dan negara-bangsa, mencari celah membusukkan mereka, dan menyodorkan alternatif Islam (دولۃ اسلاميۃ atau خلافۃ اسلاميۃ) bagi nation-state sekuler.

Jadi masalahnya bukan siapa presidennya, tetapi sistem yang diikutinya. Karena itu, tidak perlu heran, radikalis yang sekarang kritis sama Jokowi dan punya agenda membusukkan rezim Jokowi, dulu juga kritis sama SBY dan ingin membusukkan rezim SBY. Jika sekarang mereka 'berteman' dg SBY dan memuji SBY yang dulu lunak kepada mereka, itu semata karena SBY tidak lagi jadi presiden dari sebuah sistem sekuler.

Sumber ketiga adalah perasaan teraniaya dari Barat dan ingin membalas seluruh kekejian mereka terhadap Islam dan kaum Muslimin. Para pelaku teror adalah mereka yang marah dengan Amerika dan Israrel serta sekutu-sekutu mereka yang keji terhadap Islam dan kaum Muslimin. Teror di sini adalah dalam rangka membalas perbuatan mereka di sana. Bunuh diri adalah cara terhormat untuk membalas perbuatan Amerika yang membunuh banyak orang di Timur Tengah, Asia Tengah, Afrika dan merampok kekayaan alam mereka.

Inilah sumber-sumber nalar radikal. Tanpa kejujuran mengakui sumber-sumber ini, kita tidak akan bisa membereskan gejala radikalisme Islam yang mewabah dimana-mana, termasuk Indonesia.

Penulis sanhaji 

Kamis, 16 November 2017

Kisah Hasan Al Bashri dan Tetangga Nasrani.

Kisah Hasan Al Bashri dan Tetangga Nasrani.

Saudaraku sekalian Jama'ah Jum'at Rohimakumullloh...

Imam Hasan Al Bashri adalah seorang ulama tabi’in terkemukan dikota Basrah, Irak. Berliau dikenal sebagai ulama yang berjiwa besar dan mengambalkan apa yang beliau ajarkan. Beliau juga dekat dengan rakyat kecil dan dicintai oleh rakyat kecil.

Imam Hasan Al Bashri memiliki seorang tetangga nasrani. Tetangganya ini memiliki kamar kecil untuk kencing di loteng di atas rumahnya. Atap rumah keduanya bersambung menjadi satu. Air kencing dari kamar kecil tetangganya itu merembes dan menetes kedalam kamar Imam Hasan Al Bashri. Namun berliau sabar dan tidak mempermasalahkan hal itu sama sekali. Beliau menyuruh istrinya meletakkan wadah untuk menadahi tetesan air kencing itu agar tidak mengalir kemana-mana.

Selama dua puluh tahun hal itu berlangsung dan Imam Hasan Al Bashri tidak membicarakan dan memberitahukan hal itu kepada tetangganya sama sekali. Dia ingin benar-benar mengamalkan sabda Rasulullah saw. “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka muliakanlah tetangganya.”
Suatu hari Imam Hasan Al Bashri sakit. Tetangganya yang nasrani itu datang kerumahnya menjenguk. Ia merasa aneh melihat ada air menetes dari atas di dalam kamar sang Imam. Ia melihat dengan seksama tetesan air yang berkumpul dalam wadah. Ternyata air kencing. Tetangganya itu langsung mengerti bahwa air kencing itu merembes dari kamar kecilnya yang dibuat di atas loteng rumahnya. Dan yang membuatnya bertambah heran kenapa Imam Hasan Al Bashri tidak bilang padanya.

“Imam, sejak kapan engkau bersabar atas tetesan air kencing kamar ini?” tanya si tetangga. Imam Hasan Al Bashri diam dan tidak mejawab. Beliau tidak mau membuat tetangganya merasa tidak enak. Namun...”Imam, katakanlah dengan jujur sejak kapan engkau bersabar atas tetasan air kencing kami? Jika tidak kau katakan maka kami akan sangat merasa tidak enak,”desak tetangganya.

“Kenapa engkau tidak memberitahuku?” “Nabi mengajarkan untuk memuliakan tetangga, beliau bersabda :

عَن أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: (مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَاْليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَو لِيَصْمُتْ، وَمَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَاْليَومِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ، ومَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ واليَومِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ) رَوَاهُ اْلبُخَارِي وَمُسْلِمٌ.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhudia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Barangsiapa yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan hari akhir maka hendaknya dia berbicara yang baik atau (kalau tidak bisa hendaknya) dia diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia memuliakan tamunya.” (HR. al Bukhari dan Muslim)

Saudara sekalian...
Seketika itu si Tetangga langsung mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia dan seluruh keluarganya masuk Islam.

Begitulah Islam mengajarkan tentang beretika dalam bertetangga sekalipun dengan orang yg berbeda keyakinan dengan Kita beliau tetap menghargai dan menghormatinya...

Islâm adalah agama damai, islam tak mengajarkan kebencian, perselisihan dan permusuhan...

Saudaraku sekalian Jama'ah Jum'at Rohimakumullloh, maka sangatlah Ironis memang dan sangat bertentangan dengan apa yg diajarkan oleh baginda Nabi Muhammad SAW kalau ada diantara ummat islam yg menyiarkan utk memerangi kaum yg tdk seiman dengan kita...

Apakah mereka sudah lebih baik dari, Baginda Nabi SAW, apakah mereka sudah Lebih baik dari para sahabat, para Ulama2 jaman dahulu, padahal jelas Baginda Nabi SAW, para sahabat dan para tabi’in pun tdk mengajarkan utk memusuhi atau bahkan memerangi kaum yg tdk seiman dgn kita...

Jangan jadikan Islâm sebagai kedok utk mencapai suatu tujuan, dan jangan jadikan Islâm sebagai sarana utk masuk surga secara Instan tanpa ada syarat dan rukun sesuai tuntunan NABI SAW. 

Jawaban Metodologis untuk Orang yang Gemar Menvonis Bid’ah


Jawaban Metodologis untuk Orang yang Gemar Menvonis Bid’ah


Perkataan yang sering dikemukakan oleh sebagian orang ketika membid’ahkan suatu amalan, “Itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi, dan para sahabat tidak pernah melakukannya. Seandainya itu perkara baik, niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya.”

 

Tark Tak Selalu Bermakna Tahrim

Ketika Nabi tidak melakukan suatu hal–dalam istilah ilmu Ushul Fiqh disebut “at-tark”— mengandung beberapa kemungkinan selain tahrim (pengharaman). Mungkin saja Nabi tidak melakukan suatu hal hanya karena tidak terbiasa, atau karena lupa atau karena memang tidak terpikirkan sama sekali oleh beliau (sebab sebagai manusia, Nabi yang suci dari dosa [ma’shum] diliputi pula oleh keterbatasan fisik dan lingkungan kultural—red), atau karena takut hal tersebut difardlukan atas umatnya sehingga memberatkan atau karena hal tersebut sudah masuk dalam keumuman sebuah ayat atau hadits atau kemungkinan-kemungkinan yang lain. Jelas bahwa tidak mungkin Nabi bisa melakukan semua hal yang dianjurkan, karena begitu sibuknya beliau dengan tugas-tugas dakwah, kemasyarakatan atau kenegaraan. Jadi, hanya karena Nabi tidak melakukan sesuatu lalu sesuatu itu diharamkan, ini adalah istinbath yang keliru.

Demikian juga ketika para ulama salaf tidak melakukan suatu hal itu mengandung beberapa kemungkinan. Mungkin saja mereka tidak melakukannya karena kebetulan saja, atau karena menganggapnya tidak boleh atau menganggapnya boleh tetapi ada yang lebih afdlal sehingga mereka melakukan yang lebih afdlal, dan beberapa kemungkinan lain. Jika demikian halnya at-tark (tidak melakukan) saja tidak bisa dijadikan dalil, karena kaidah mengatakan:

 

  مَا دَخَلَهُ الاحْتِمَالُ سَقَطَ بِهِ الاسْتِدْلاَلُ

 

"Dalil yang mengandung beberapa kemungkinan tidak bisa lagi dijadikan dalil (untuk salah satu kemungkinan saja tanpa ada dalil lain)".

 

Oleh karena itu al Imam asy-Syafi'i mengatakan:

 

  كُلُّ مَا لَهُ مُسْتَنَدٌ مِنَ الشَّرْعِ فَلَيْسَ بِبِدْعَةٍ وَلَوْ لَمْ يَعْمَلْ بِهِ السَّلَفُ

 

"Setiap perkara yang memiliki sandaran dari syara' bukanlah bid'ah meskipun tidak pernah dilakukan oleh ulama salaf."

Jadi, perlu diketahui bahwa ada sebuah kaidah ushul fiqh:

 

  تَرْكُ الشَّىْءِ لاَ يَدُلُّ عَلَى مَنْعِهِ

 

"Tidak melakukan sesuatu tidak menunjukkan bahwa sesuatu tersebut terlarang". 

 

At-tark yang dimaksud adalah ketika Nabi tidak melakukan sesuatu atau salaf tidak melakukan sesuatu, tanpa ada hadits atau atsar lain yang melarang (untuk melakukan) sesuatu (yang ditinggalkan) tersebut yang menunjukkan keharaman atau kemakruhannya. Jadi at-tark saja tidak menunjukkan keharaman sesuatu. At-tark saja jika tidak disertai nash lain yang menunjukkan bahwa al-matruk dilarang bukanlah dalil bahwa sesuatu itu haram, paling jauh itu menunjukkan bahwa meninggalkan sesuatu itu boleh. Sedangkan bahwa sesuatu itu dilarang tidak bisa dipahami dari at-tark saja, tetapi harus diambil dari dalil lain yang menunjukkan pelarangan, jika tidak ada berarti tidak terlarang dengan dalil at-tark saja.

 

Perlu diketahui bahwa pengharaman sesuatu hanya bisa diambil dari salah satu di antara tiga hal: ada (1) nahy (larangan), atau (2) lafazh tahrim atau (3) dicela dan diancam pelaku suatu perbuatan dengan dosa atau siksa. Karena at-tark tidak termasuk dalam tiga hal ini berarti at-tark bukan dalil pengharaman. Karena itulah Allah berfirman:

 

وَمَآءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَانَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا 

 

Maknanya: "..Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…" (Q.S. al Hasyr: 7)

Allah tidak menyatakan:

 

  وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا تَرَكَهُ فَانْتَهُوْا عَنْهُ

 

"Apa yang diberikan Rasulullah kepadamu maka terimalah dia dan apa yang ditinggalkannya maka tinggalkanlah."

 

Al Imam Abu Sa'id ibn Lubb mengatakan:

 

"فَالتَّرْكُ لَيْسَ بِمُوْجِبٍ لِحُكْمٍ فِي ذَلِكَ الْمَتْرُوْكِ إِلاَّ جَوَازَ التَّرْكِ وَانْتِفَاءَ الْحَرَجِ فِيْهِ، وَأَمَّا تَحْرِيْمٌ أَوْ لُصُوْقُ كَرَاهِيَةٍ بِالْمَتْرُوْكِ فَلاَ، وَلاَ سِيَّمَا فِيْمَا لَهُ أَصْلٌ جُمْلِيٌّ مُتَقَرِّرٌ مِنَ الشَّرْعِ كَالدُّعَاءِ".

 

"Jadi at-tark tidak memiliki akibat hukum apa pun terhadap al Matruk kecuali hanya kebolehan meninggalkan al Matruk dan ketiadaan cela dalam meninggalkan hal tersebut. Sedangkan pengharaman atau pengenaan kemakruhan terhadap al Matruk itu tidak ada padanya, apalagi dalam hal yang tentangnya terdapat dalil umum dan global dari syara' seperti doa misalnya".

 

Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Syarh al Bukhari:

 

قَالَ ابْنُ بَطَّالٍ: فِعْلُ الرَّسُوْلِ إِذَا تَجَرَّدَ عَنِ القَرَائِنِ –وَكَذَا تَرْكُهُ- لاَ يَدُلُّ عَلَى وُجُوْبٍ وَتَحْرِيْمٍ

 

"Ibnu Baththal mengatakan, ‘Perbuatan Rasulullah jika tidak ada qarinah (konteks, red) lain –demikian pula tark-nya—tidak menunjukkan kewajiban dan keharaman’." (Kitab Fathul Bari, 9/14)

 

Jadi perkataan al Hafizh Ibnu Hajar "وَكَذَا تَرْكُهُ" menunjukkan bahwa at-tark saja (mujarrad at-tark) tidak menunjukkan pengharaman.

 

Perihal Tuntutan “Mana Dalilnya?”

 

Sebagian kalangan sering mengatakan ketika melihat orang melakukan suatu amalan, “Ini tidak ada dalilnya!”, dengan maksud tidak ada ayat atau hadits khusus yang berbicara tentang masalah tersebut.

 

Pertama, dalam ushul fiqh dijelaskan bahwa jika sebuah ayat atau hadits dengan keumumannya mencakup suatu perkara, itu menunjukkan bahwa perkara tersebut masyru'. Jadi keumuman ayat atau hadits adalah dalil syar'i. Dalil-dalil umum tersebut adalah seperti:

 

وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ 

 

Maknanya: “Dan lakukan kebaikan supaya kalian beruntung” (Q.S. al Hajj: 77)

 

Jadi dalil yang umum diberlakukan untuk semua cakupannya. Kaidah mengatakan:

 

  العَامُّ يُعْمَلُ بِهِ فِيْ جَمِيْعِ جُزْئِيَّاتِهِ

 

"Dalil yang umum diterapkan (digunakan) dalam semua bagian-bagian (cakupannya)."

 

Ini sangat bertentangan dengan kebiasaan sebagian orang. Sebagian orang tidak menganggap cukup sebagai dalil dalam suatu masalah tertentu bahwa hal tersebut dicakup oleh keumuman sebuah dalil. Mereka selalu menuntut dalil khusus tentang masalah tersebut.

Sikap seperti ini sangat berbahaya dan bahkan bisa mengantarkan kepada kekufuran tanpa mereka sadari. Karena jika setiap peristiwa atau masalah disyaratkan untuk dikatakan masyru' dan tidak disebut sebagai bid'ah bahwa ada dalil khusus tentangnya, niscaya akan tidak berfungsi keumuman Al-Qur'an dan Sunnah dan tidak sah lagi berdalil dengan keumuman tersebut.

Ini artinya merobohkan sebagian besar dalil-dalil syar'i dan mempersempit wilayah hukum dan itu artinya bahwa syari'at ini tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan tentang hukum peristiwa-peristiwa yang terus berkembang dengan berkembangnya zaman. Ini semua adalah akibat-akibat yang bisa mengantarkan kepada penghinaan dan pelecehan terhadap syari'at, padahal jelas penghinaan terhadap syari'at merupakan kekufuran yang sangat nyata.

 

Kedua, dalam menetapkan hukum suatu permasalahan tidak diharuskan ada banyak dalil; berupa beberapa ayat atau beberapa hadits misalnya. Jika memang sudah ada satu hadits saja, misalnya, dan para mujtahid menetapkan hukum berdasarkan hadits tersebut maka hal itu sudah cukup.

 

Ketiga, dalam beristidlal sering dijumpai adanya hadits yang diperselisihkan status dan kehujjahannya di kalangan para ulama hadits sendiri. Perbedaan penilaian terhadap suatu hadits inilah salah satu faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan para ulama mujtahid. Seandainya bukan karena hal ini, niscaya para ulama tidak akan berbeda pendapat dalam sekian banyak masalah furu’ dalam bab ibadah dan mu’amalah.

Oleh karenanya, jika ada hadits yang statusnya masih diperselisihkan di kalangan para ahli maka sah-sah saja jika kita mengikuti salah seorang ulama hadits, apalagi jika yang kita ikuti betul-betul ahli di bidangnya seperti Ibnu Hibban, Abu Dawud, at-Tirmidzi, al Hakim, al Bayhaqi, an-Nawawi, al Hafizh Ibnu Hajar, as-Sakhawi, as-Suyuthi dan semacamnya. Karena memang menurut para ulama hadits sendiri, hadits itu ada yang muttafaq ‘ala shihhatihi dan ada yang mukhtalaf fi shihhatihi (Lihat as-Suyuthi, al-Hawi lil Fataawi (2/210), Risalah Bulugh al Ma’mul fi Khidmah ar-Rasul).

 

Dari penjelasan ini diketahui bahwa jika ada sebagian kalangan yang mengira bahwa hanya mereka yang mengetahui hadits yang sahih dan hanya mereka yang memiliki hadits yang sahih, hadits yang ada pada mereka saja yang sahih dan semua hadits yang ada pada selain mereka tidak sahih, maka orang seperti ini betul-betul tidak mengerti tentang apa yang dia katakan. Orang seperti ini tidak tahu menahu tentang ilmu hadits dan para ahli hadits yang sebenarnya.

 

Hati-hati Terperosok!

 

Ada sebuah kaidah yang sangat penting dalam beristidlal—orang yang tidak mengetahuinya bisa terperosok dalam kesesatan mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah atau sebaliknya. Al Hafizh al Faqih al Khathib al Baghdadi menyebutkan kaidah tersebut dalam kitab al-Faqih wal Mutafaqqih (h. 132):

 

وَإِذَا رَوَى الثِّقَةُ الْمَأْمُوْنُ خَبَرًا مُتَّصِلَ الإِسْنَادِ رُدَّ بِأُمُوْرٍ" ثُمَّ قَالَ: "وَالثَّانِيْ أَنْ يُخَالِفَ نَصَّ الْكِتَابِ أَوْ السُّـنَّةِ الْمُتَوَاتِرَةِ فَيُعْلَمُ أَنَّهُ لاَ أَصْلَ لَهُ أَوْ مَنْسُوْخٌ، وَالثَّالِثُ أَنْ يُخَالِفَ الإِجْمَاعَ فَيُسْتَدَلُّ عَلَى أَنَّهُ مَنْسُوْخٌ أَوْ لاَ أَصْلَ لَهُ، لأَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ صَحِيْحًا غَيْرَ مَنْسُوْخٍ وَتُجْمِعُ الأُمَّةُ عَلَى خِلاَفِهِ  ا.هـ.

 

"Jika seorang perawi yang tsiqah ma'mun (terpercaya) meriwayatkan hadits yang bersambung sanadnya, hadits itu bisa tertolak karena beberapa hal. Kemudian beliau mengatakan: ‘Kedua: hadits tersebut menyalahi nash Al-Qur’an, hadits mutawatir, sehingga dari sini diketahui bahwa hadits tersebut sebenarnya tidak memiliki asal atau mansukh (telah dihapus dan tidak berlaku lagi). Ketiga: hadits tersebut menyalahi ijma', sehingga itu menjadi petunjuk bahwa hadits tersebut sebenarnya mansukh atau tidak memiliki asal, karena tidak mungkin hadits tersebut sahih dan tidak mansukh lalu umat sepakat untuk menyalahinya".

 

Orang yang tidak mengetahui kaidah ini bisa mengharamkan perkara yang dihalalkan oleh Allah, seperti sebagian orang yang mengaku mujtahid di masa kini yang mengharamkan bagi perempuan untuk memakai perhiasan emas yang berbentuk lingkaran (adz-Dzahab al Muhallaq) seperti cincin, gelang, kalung, anting dan semacamnya. Pengharaman itu dikarenakan ia menemukan beberapa hadits yang sahih menurutnya yang mengharamkan perhiasan emas tersebut. Padahal hadits-hadits tersebut sebenarnya menyalahi nash Al-Qur'an seperti firman Allah:

 

أَوَ مَن يُنَشَّؤُا فِي الْحِلْيَةِ وَهُوَ فِي الْخِصَامِ غَيْرُ مُبِينٍ 

 

Maknanya: "Dan apakah patut (menjadi anak Allah) orang yang dibesarkan dalam keadaan berperhiasan sedang dia tidak dapat memberi alasan yang terang dalam pertengkaran". (Q.S. az-Zukhruf: 18)

 

Hadits-hadits tersebut juga menyalahi ijma' sehingga dengan begitu diketahui bahwa hadits tersebut telah dinasakh (telah dihapus dan tidak berlaku lagi). Al Hafizh al Bayhaqi mengatakan:

 

فَهذِهِ الأَخْبَارُ أَيْ فِيْ الإِبَاحَةِ وَمَا وَرَدَ فِيْ مَعْنَاهَا تَدُلُّ عَلَى إِبَاحَةِ التَّحَلِّيْ بِالذَّهَبِ لِلنِّسَاءِ، وَاسْتَدْلَلْنَا بِحُصُوْلِ الإِجْمَاعِ عَلَى إِبَاحَتِهِ لَهُنَّ عَلَى نَسْخِ الأَخْبَارِ الدَّالَّةِ عَلَى تَحْرِيْمِهِ فِيْهِنَّ خَاصَّةً ا.هـ.

 

"Jadi hadits-hadits ini dan semacamnya menunjukkan dibolehkannya berhias dengan emas bagi perempuan, dan kita menjadikan adanya ijma' atas kebolehan permpuan memakai perhiasan emas sebagai dalil bahwa hadits-hadits yang mengharamkan emas bagi perempuan secara khusus telah dinasakh" (Lebih lanjut lihat Syekh Abdullah al Harari, Sharih al Bayan, 2/20-22).

 

Anehnya, di sisi lain, orang-orang semacam ini ketika bertemu dengan hadits yang bertentangan dengan pendapat mereka, dengan mudah mereka mengklaim bahwa hadits tersebut mansukh atau khusus berlaku bagi Nabi tanpa ada dalil yang menunjukkan nasakh atau-pun khushushiyyah. Tetapi dalam hal yang oleh para ulama ditegaskan ada nasikh mereka tidak mau mengikutinya sambil berlagak menegakkan dan membela sunnah Nabi.

 

Teladan Toleransi Ulama Salaf

 

Dalam bidang furu’ tidak pernah salah seorang dari para ulama mujtahid mengklaim bahwa dirinya saja yang benar dan selainnya sesat. Mereka tidak pernah mengatakan kepada mujtahid lain yang berbeda pendapat dengan mereka bahwa anda sesat dan haram orang mengikuti anda.

Umar bin al Khaththab tidak pernah mengatakan hal itu kepada Ali bin Abi Thalib ketika mereka berbeda pendapat, demikian pula sebaliknya Ali tidak pernah mengatakan hal seperti itu kepada Umar. Demikian pula para ulama ahli ijtihad yang lain seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ibnu al Mundzir, Ibnu Jarir ath-Thabari dan lainnya.

Mereka juga tidak pernah melarang orang untuk mengikuti madzhab orang lain selama yang diikuti memang seorang ahli ijtihad. Mereka juga tidak pernah berambisi mengajak semua umat Islam untuk mengikuti pendapatnya. Mereka tahu betul bahwa perbedaan dalam masalah-masalah furu’ telah terjadi sejak awal di masa para sahabat Nabi dan mereka tidak pernah saling menyesatkan atau melarang orang untuk mengikuti salah satu di antara mereka. Dalam berbeda pendapat, mereka berpegang pada sebuah kaidah yang disepakati:

 

لاَ يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ الْمُجْمَعُ عَلَيْهِ

 

“Tidak diingkari orang yang mengikuti salah satu pendapat para mujtahid dalam masalah yang memang diperselisihkan hukumnya (mukhtalaf fih) di kalangan mereka, melainkan yang diingkari adalah orang yang menyalahi para ulama mujtahid dalam masalah yang mereka sepakati hukumnya (mujma’ ‘alayhi).” (Lihat as-Suyuthi, al-Asybaah wa an-Nazha-ir, h. 107, Syekh Yasin al Fadani, al-Fawa-id al-Janiyyah, h. 579-584)

Maksud dari kaidah ini bahwa jika para ulama mujtahid berbeda pendapat tentang suatu permasalahan, ada yang mengatakan wajib, sunnah atau makruh, haram, atau boleh dan tidak boleh, maka tidak dilarang seseorang untuk mengikuti salah satu pendapat mereka. Tetapi jika hukum suatu permasalahan telah mereka sepakati, mereka memiliki pendapat yang sama dan satu tentang masalah tersebut maka tidak diperbolehkan orang menyalahi kesepakatan mereka tersebut dan mengikuti pendapat lain atau memunculkan pendapat pribadi yang berbeda. 

Wallahu a'lam.

 

Rabu, 15 November 2017

LARANGAN MENYAMPAIKAN HADITS LEMAH/ PALSU

LARANGAN MENYAMPAIKAN HADITS LEMAH/ PALSU

بسم الله الرحمن الرحيــم

Sekarang ini, sungguh-sungguh kita telah mendengar banyak dai/ah, ustadz/ah, mamah/ aa, habaib, syaikh dan semisalnya menyampaikan di dalam banyak ceramah mereka di berbagai tempat berbagai hadits yang dinisbahkan kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Atau juga kita banyak melihat di dalam aneka tulisan mereka apakah berupa buku, diktat, artikel di majalah, surat kabar, internet, postingan status di fesbuk, twitter dan yang sejenisnya tentang hal tersebut. Mereka menyampaikan hadits-hadits itu sesuai dengan tujuan dan keinginan mereka tanpa mau menerangkan hadits itu diriwayatkan oleh siapa, bagaimana kedudukan derajat hadits tersebut”, shahih atau tidak dan tidak pula menerangkan buku-buku rujukannya. Padahal boleh jadi, hadits yang dibawakan itu adalah hadits maudlu’ (palsu) atau dlo’if (lemah) yang tidak boleh diamalkan atau dijadikan dasar dalam perkara-perkara agama. Karena pada dasarnya hadits tersebut bukan perkataan atau perbuatan Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, namun dinisbahkan kepada Beliau Shallallahu alaihi wa sallam, maka jadilah mereka dengan sebab itu sebagai ‘orang yang berdusta atas nama Rosul Shallallahu alaihi wa sallam’.

Hal ini, mungkin karena kebodohan mereka tentang suatu hadits dan bahayanya menyampaikan hadits lemah/ palsu, rasa malas yang menghimpit mereka untuk membuka buku-buku yang berkenaan dengan hadits-hadits tersebut atau karena mereka memang suka memudah-mudahkan diri di dalam mempelajari dan menerangkan perkara-perkara agama mereka?.

Simaklah perkataan Abu Syamah rahimahullah (lihat Tamam al-Minnah halaman 32), “Perbuatan para ulama yang membawakan hadits-hadits dla’if ini, menurut para muhaqqiq (ahli) hadits, ulama ushul dan pakar Fikih adalah SUATU KEKELIRUAN. Bahkan mereka wajib menjelaskan perkara tersebut jika mampu. Jika tidak, mereka akan terkena ancaman Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits berikut,

عن سمرة قال: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: مَنْ حَدَّثَ عَنىِّ بِحَدِيْثٍ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ اْلكَاذِبِيْنَ

1). Dari Samurah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang menyampaikan suatu hadits dariku padahal ia mengetahui bahwasanya ia berdusta maka dia adalah salah seorang pendusta”. [HR Muslim, at-Turmudziy: 2664 dan Ahmad: V/ 19].

عن سلمة بن الأكوع قال: سَمِعْتُ  النَّبِيَّ صلى الله عليه و سلم  يَقُوْلُ: مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَاَ لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

2). Dari Salamah bin al-Akwa’ radliyallahu anhu berkata, aku pernah mendengar Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berkata atas namaku sesuatu yang TIDAK pernah aku katakan, maka siapkan tempatnya  di neraka”. [HR al-Bukhoriy: 109 dan Ahmad: II/ 501 dari Abu Hurairah]

عن أبي هريرة  قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم : مَنْ تَقَوَّلَ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

3). Dari Abu Hurairah radliyallahu anhu berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “ Barangsiapa yang berucap atas namaku yang TIDAK pernah aku ucapkan maka siapkan tempatnya di neraka. [HR Ibnu Majah: 34 dan Ahmad II/ 321].

عن أبى قتادة قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ عَلىَ اْلمِـنْبَرِ : إِيَّاكُمْ وَ كَثْرَةَ اْلحَدِيْثِ عَنىِّ فَمَنْ قَالَ عَلَيَّ فَلْيَقُلْ حَقًّا أَوْ صِدْقًا وَ مَنْ تَقَوَّلَ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

4). Dari Abu Qotadah berkata, “Aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda di atas mimbar, “Waspadalah kalian dari banyak menyampaikan hadits dariku. Barangsiapa yang hendak berkata maka berkatalah yang benar atau yang hak. Dan barangsiapa yang berucap atas namaku yang TIDAK pernah aku ucapkan maka siapkan tempatnya di neraka”. [HR Ibnu Majah: 35, Ahmad: V/ 297 dan ad-Darimiy]

 عن المغيرة قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلىَ أَحَدٍ فَمَنْ كَذِبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

5). Dari al-Mughirah berkata, aku pernah mendengar Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya berdusta atas namaku itu tidaklah seperti berdusta atas nama seseorang. Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka siapkan tempatnya itu di neraka”. [HR Muslim:
Adapun hadits,

مَنْ كَذِبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

6). “Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka siapkan tempatnya itu di neraka”.

Hadits ini adalah mutawatir (yakni hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu shahabat). [HR al-Bukhoriy: 107 dari Zubair, 110, 7197 dari Abu Hurairah,Muslim: 3, at-Turmudziy: 2257, 2659 dari Ibnu Mas’ud, 2661 dari Anas, 2669 dari Ibnu Amr, Ibnu Majah: 30 dari Ibnu Mas’ud, 32 dari Anas, 33 dari Jabir, 36 dari Zubair, 37 dari Abu Sa’id, Abu Dawud: 3651 dari Zubair, danAhmad: II/ 159, 171, 214 dari Ibnu Amr, IV/ 47 dariSalamah bin al-Akwa’, I/ 389, 401, 402, 405, 436 dari Ibnu Mas’ud, II/ 410, 413, 469, 519 dari Abu Hurairah, III/ 39, 44, 56 dari Abu Sa’id, III/ 98, 113, 116, 166, 173, 176, 203, 223, 278, 279, 280 dari Anas.

عن علي يقول: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلم: لاَ تَكْذِبُوْا عَلَيَّ فَإِنَّهُ مَنْ كَذِبَ عَلَيَّ فَلْيَلِجِ النَّارَ

7). Dari Ali berkata, telah bersabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, “Janganlah kalian berdusta atas namaku, karena barangsiapa yang berdusta atas namaku maka hendaklah ia masuk neraka”. [HR al-Bukhoriy: 106, Muslim: 1, at-Turmudziy: 2660, Ibnu Majah: 31 dan Ahmad: I/ 83].

عن ابن عمر أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم قَالَ: إِنَّ الَّذِي يَكْذِبُ عَلَيَّ يُبْنىَ لَهُ بَيْتٌ فىِ النَّارِ

8). Dari Ibnu Umar radliyallahu anhuma bahwasanya Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang berdusta atas namaku akan dibangunkan untuknya sebuah rumah di dalam neraka”. [HR Ahmad: II/ 32, 103, 144].

عن أبي هريرة قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: كَفَى بِالْمَـرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ

9). Dari Abu Hurairah berkata, telah bersabda Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, “Cukuplah seseorang itu berdosa bahwa ia menceritakan semua yang ia dengar”. [HR Muslim: 5 dan Abu Dawud: 4992].

Berkata al-Imam Ibnu Hibban rahimahullah, “Di dalam hadits ini terdapat ancaman bagi seseorang yang menyampaikan setiap apa yang ia dengar sampai ia tahu dengan seyakin-yakinnya bahwasanya hadits atau riwayat tersebut adalah shahih. [Kitab Majruhin minal Muhadditsin: I/ 16-17 oleh al-Imam Ibnu Hibban, tahqiq Hamdi Abdul Majid as-Salafi].

عن أبي هريرة عَن رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه و سلم أَنَّهُ قَالَ: سَيَكُوْنُ فىِ آخِرِ الزَّمَانِ نَاسٌ مِنْ أُمَّتىِ يُحَدِّثُوْنَكُمْ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوْا أَنْتُمْ وَ لاَ آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَ إِيَّاهُمْ

10). Dari Abu Hurairah dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, bahwasanya Beliau bersabda, “Akan ada sekelompok orang dari umatku di akhir zaman yang menceritakan (hadits) kepada kalian yang tidak pernah didengar oleh kalian dan bapak-bapak kalian. Waspadalah kalian terhadap mereka”. [HR Muslim: 6].

Wahai saudara-saudara muslimku, berdasarkan beberapa riwayat hadits di atas, dapat dipahami bahwa,

1]. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah mengisyaratkan bahwa sepeninggalnya nanti akan ada orang-orang yang suka berkata atas nama Beliau padahal Beliau Shallallahu alaihi wa sallam sendiri tidak pernah mengatakannya.

Maka tak heran di masa sekarang ini banyak diantara umat yang mengaku-ngaku ustadz/ah, dai/ah, aa/ mamah dan yang semisalnya yang gemar mengatakan, “Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda/ berkata/ menyuruh/ melarang/ menganjurkan/ menyontohkan, melakukan ini dan itu,  dan sebagainya”, padahal tidak ada satupun dalil hadits yang menjadi rujukannya. Kalau toh ada, hadits itu ternyata (di dalam ilmu hadits) dikategorikan sebagai hadits dlo’if (lemah) atau maudlu” (palsu).

2]. Ada perintah dari Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam agar waspada dari banyak menyampaikan hadits dari Beliau.

Artinya setiap muslim ketika akan menyampaikan hadits dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam maka hendaklah ia berusaha mencari tahu dulu (dari para ahli hadits) akan derajat hadits tersebut apakah termasuk hadits shahih atau tidak. Maksudnya hadits itu benar-benar dari Beliau atau hanya mengada-ada??

Mengapa???.

Jika nama kita saja dicatut oleh seseorang untuk keuntungan diri dan kelompoknya, tentu kita akan marah dan bahkan kalau perlu akan menuntutnya ke meja hijau. Lalu bagaimana jika nama Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam dicatut. Tidakkah kita marah..??

Lalu kenapa kepada para ahli hadits??? Kalau kita ingin memperbaiki apa yang ada pada kita saja kita harus datang kepada orang yang memang ahlinya. Mobil/ motor rusak, kita akan datang pada montir, rumah/ bangunan rusak, kita akan datang pada ahli bangunan, kita/ diantara keluarga kita ada yang sakit maka kita akan datang pada dokter spesialis, begitu seterusnya. Tiap-tiap sesuatu itu harus kepada ahlinya. Jadi untuk mengetahui akan keshahihan suatu hadits, ya tentu kita harus datang kepada ahlinya yaitu ahli hadits..

Sebagai umat yang berpendidikan dan berakhlak mulia, maka kita harus profesialisme yaitu mengembalikan sesuatu perkara itu kepada ahli/ profesinya. Kita tentu akan menghargai orang yang bekerja dan berbicara sesuai dengan keahliannya.

3]. Seseorang dikatakan berdusta jika ia selalu berbicara atau menyampaikan segala sesuatu yang didengar.

Di masa sekarang ini, banyak dari kaum muslimin yang suka menyampaikan ucapan-ucapan yang dianggap dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, padahal ia cuma dengar-dengar saja dari ustadz fulan dan fulan. Ia tidak mau tahu atau memang enggan mencari tahu akan keberadaan hadits tersebut. Coba jika ia bertanya kepada sang ustadz yang menyampaikan hadits tersebut akan keberadaan dan derajatnya tentu itu lebih baik untuk menguatkan keyakinannya. Sehingga ia dapat kembali menyampaikan hadits tersebut kepada keluarga atau kawannya dengan tenang tanpa keraguan.

Sebab bila ia gemar menyampaikan sesuatu yang ia dengar (tanpa mau mengetahui sumbernya) maka ia dicap oleh Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagai seorang “pendusta”.

4]. Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam mengancam setiap orang yang berkata atas namanya padahal Beliau tidak pernah mengatakannya dengan mendapatkan tempat/ rumah di NERAKA. Apalagi dengan sengaja ia berdusta atas nama Beliau Shallallahu alaihi wa sallam.

Maksudnya jika ada orang yang karena kebodohannya berkata tentang sesuatu pada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam apakah berupa ucapan ataupun perbuatan (hadits). Padahal perkataannya (yang dikutipnya) itu bukan sabda/ perbuatan Beliau karena hadits tersebut adalah hadits lemah atau palsu maka ia kelak akan masuk ke dalam neraka.

Maka bagaimana dengan orang yang sengaja berdusta atas nama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, yaitu ia tahu hadits itu lemah/ palsu tetapi ia tetap menyampaikannya dan mengatakan kepada umat Islam sebagai sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.

5]. Banyak mudlarat yang dapat ditimbulkan oleh hadits lemah dan palsu itu. Diantaranya; berbohong atas nama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, menyebabkan terjadinya banyak tambahan dalam agama, khususnya di dalam perkara-perkara bid’ah, menyebabkan banyaknya terjadi perselisihan, perpecahan, pertikaian dan permusuhan dalam agama padahal Islam telah menganjurkan persatuan dan perdamaian, banyak di antara umat Islam yang lebih mengenal dan menghafal hadits-hadits lemah dan palsu daripada hadits-hadits shahih dan ayat-ayat alqur’an dan masih banyak lainnya.

6]. Terdapat larangan dari menyampaikan hadits lemah/ palsu. Hal ini dikarenakan untuk menjaga kemurnian agama dari campur tangan manusia di dalam menegakkan Islam. Sebab diantara keberadaannya hadits lemah dan palsu itu dikarenakan campur tangan manusia yang lemah agamanya untuk membela keyakinannya yang keliru, fanatik golongan, ingin dekat dengan para penguasa di saat itu, sengaja merusak Islam dan sebagainya. Jika setiap orang apalagi para ustadz itu dapat dengan bebasnya menyampaikan sesuatu perkara agama sesuai dengan akal logika atau hawa nafsunya tanpa dalil yang menyertainya niscaya agama kita akan rusak sebagaimana telah rusaknya agama-agama terdahulu. Kalau toh berdalil, sayangnya dalil hadits-hadits itu juga dalam keadaan cacat lantaran dikategorikan sebagai hadits lemah atau palsu. Na’udzu billah….

Wahai saudaraku, marilah kita muliakan Nabi kita Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dengan cara membaca, mempelajari, memahami, menghafal, mengamalkan dan menyebarluaskan hadits-haditsnya yang telah tsabit dari Beliau Shallallahu alaihi wa sallam. Milikilah buku-buku hadits dan yang berkenaan dengannya sebagaimana kita mempunyai kitab suci alqur’an. Jangan hanya mendengar tanpa mau mengetahui sumber haditsnya dan jangan cuma menyampaikan tanpa mau menyebutkan asal dan derajat haditsnya…

Mudah-mudahan penjelasan ini bermanfaat dan menjadi bahan pertimbangan lain bagi kita dari sisi lain yang selama ini kita pahami dan yakini. Karena terkadang kita tidak akan melihat keberadaan kita di posisi yang mana, apakah di posisi yang salah atau benar?, jika kita tidak melihat kedudukan lainnya dan bersikap obyektif di dalam menilai kebenaran yang hakiki.

Wallahu a’lam bi ash-Showab

Selasa, 14 November 2017

Tiga waktu utama membaca ayat kursi

Ada beberapa waktu utama membaca ayat kursi. Dan silakan bisa dipraktikkan.

Ayat Kursi

اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ، لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ، لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ، مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ، وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ، وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ، وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا، وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ

Allah, tidak ada ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya). Dia tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi-Nya tanpa seizin-Nya. Dia mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka. Mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Dia Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. Al Baqarah: 255)

1- Ketika pagi dan petang

Mengenai orang yang membaca ayat kursi di pagi dan petang hari, dari Ubay bin Ka’ab, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَرَأَتْهَا غُدْوَةً أُجِرَتْ مِنَّا حَتَّى تُمْسِيَ ، وَإِذَا قَرَأَتْهَا حِيْنَ تُمْسِي أُجِرَتْ مِنَّا حَتَّى تُصْبِحَ

Siapa yang membacanya ketika petang, maka ia akan dilindungi (oleh Allah dari berbagai gangguan) hingga pagi. Siapa yang membacanya ketika pagi, maka ia akan dilindungi hingga petang.” (HR. Al Hakim 1: 562. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits tersebut dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 655)

2- Sebelum tidur

Hal ini dapat dilihat dari pengaduan Abu Hurairah pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seseorang yang mengajarkan padanya ayat kursi.

دَعْنِى أُعَلِّمْكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهَا . قُلْتُ مَا هُوَ قَالَ إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ ( اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ ) حَتَّى تَخْتِمَ الآيَةَ ، فَإِنَّكَ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ وَلاَ يَقْرَبَنَّكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ . فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ فَأَصْبَحْتُ ، فَقَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ الْبَارِحَةَ » . قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ زَعَمَ أَنَّهُ يُعَلِّمُنِى كَلِمَاتٍ ، يَنْفَعُنِى اللَّهُ بِهَا ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ . قَالَ « مَا هِىَ » . قُلْتُ قَالَ لِى إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ مِنْ أَوَّلِهَا حَتَّى تَخْتِمَ ( اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ ) وَقَالَ لِى لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ وَلاَ يَقْرَبَكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ ، وَكَانُوا أَحْرَصَ شَىْءٍ عَلَى الْخَيْرِ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ ، تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ ثَلاَثِ لَيَالٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ » . قَالَ لاَ . قَالَ « ذَاكَ شَيْطَانٌ »

Abu Hurairah menjawab, “Wahai Rasulullah, ia mengaku bahwa ia mengajarkan suatu kalimat yang Allah beri manfaat padaku jika membacanya. Sehingga aku pun melepaskan dirinya.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apa kalimat tersebut?” Abu Hurairah menjawab, “Ia mengatakan padaku, jika aku hendak pergi tidur di ranjang, hendaklah membaca ayat kursi hingga selesai yaitu bacaan ‘Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum’. Lalu ia mengatakan padaku bahwa Allah akan senantiasa menjagaku dan setan pun tidak akan mendekatimu hingga pagi hari. Dan para sahabat lebih semangat dalam melakukan kebaikan.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Adapun dia kala itu berkata benar, namun asalnya dia pendusta. Engkau tahu siapa yang bercakap denganmu sampai tiga malam itu, wahai Abu Hurairah?” “Tidak”, jawab Abu Hurairah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia adalah setan.” (HR. Bukhari no. 2311)

3- Setelah shalat lima waktu

Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَرَأَ آيَةَ الكُرْسِيِّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةٍ لَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ دُخُوْلِ الجَنَّةِ اِلاَّ اَنْ يَمُوْتَ

Siapa membaca ayat Kursi setiap selesai shalat, tidak ada yang menghalanginya masuk surga selain kematian.” (HR. An-Nasai dalam Al Kubro 9: 44. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban, sebagaimana disebut oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram). Maksudnya, tidak ada yang menghalanginya masuk surga ketika mati.

Intinya, ayat kursi punya keutamaan yang luar biasa sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut.

عَنْ أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يَا أَبَا الْمُنْذِرِ أَتَدْرِى أَىُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَعَكَ أَعْظَمُ ». قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ « يَا أَبَا الْمُنْذِرِ أَتَدْرِى أَىُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَعَكَ أَعْظَمُ ». قَالَ قُلْتُ اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ. قَالَ فَضَرَبَ فِى صَدْرِى وَقَالَ « وَاللَّهِ لِيَهْنِكَ الْعِلْمُ أَبَا الْمُنْذِرِ »

Dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Abul Mundzir, ayat apa dari kitab Allah yang ada bersamamu yang paling agung?” Aku menjawab, “Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qayyum.” Lalu beliau memukul dadaku dan berkata, “Semoga engkau mudah memperoleh imu, wahai Abul Mundzir.” (HR. Muslim no. 810)

Al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan, “Hadits ini adalah dalil akan bolehnya mengutamakan sebagian Al-Qur’an dari lainnya dan mengutamakannya dari selain kitab-kitab Allah. … Maknanya adalah pahala membacanya begitu besar, itulah makna hadits.”

Apa sebab ayat kursi lebih agung? Imam Nawawi menyebutkan, para ulama berkata bahwa hal itu dikarenakan di dalamnya terdapat nama dan sifat Allah yang penting yaitu sifat ilahiyah, wahdaniyah (keesaan), sifat hidup, sifat ilmu, sifat kerajaan, sifat kekuasaan, sifat kehendak. Itulah tujuh nama dan sifat dasar yang disebutkan dalam ayat kursi.
(Syarh Shahih Muslim, 6: 85)