Selasa, 24 April 2018

Hukum Bermakmum dengan Imam Lain Madzhab


Hukum Bermakmum dengan Imam Lain Madzhab

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Redaksi bahtsul masail NU Online, sebelumnya, izinkan saya memperkenalkan diri. Nama saya Sulkhan, seorang mahasiswa baru di salah satu universitas di Yogyakarta. Saya ingin bertanya, bagaimana hukumnya jika orang yang bermadzhab Imam Syafi'i yang notabene mewajibkan basmalah pada setiap Surat Al-Fatihah dalam shalat menjadi makmum terhadap imam yang tidak membaca basmalah pada Surat Al-Fatihah dalam shalat (bisa jadi madzhab lain, Muhammadiyah atau juga Wahabi)? Terima kasih. Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb. (Sulkhan/ Yoyakarta).

Jawaban
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmatNya untuk kita semua. Keragaman di negara kita ini tidak dapat dihindarkan. Ia adalah keniscayaan yang merupakan sunatullah yang patut untuk disyukuri dan disikapi dengan bijak, tidak terkecuali dalam urusan keyakinan bermadzhab.

Membaca basmalah dalam Surat Al-Fatihah memang menjadi permasalahan yang diperselisihkan di antara ulama. Menurut Madzhab Syafi’I, membaca basmalah di setiap rakaat sebelum membaca Surat Al-Fatihah adalah wajib. Kalangan madzhab Hanafi dan Hanbali berpendapat sunah. Menurut madzhab Maliki, hukumnya makruh sebagai tercantum pada kitab Al-Fiqh alal Madzahibil Arba'ah karya Syekh Abdurrahman Al-Jaziri, Beirut, Darul Fikr, 2008 M, juz I, halaman 221.

Dalam kaitannya dengan shalat berjama’ah, menurut pendapat kuat dalam madzhab Syafi’i, salah satu yang harus terpenuhi bagi makmum adalah tidak meyakini batal shalat imamnya. Semisal makmum bermadzhab Syafi’i yang meyakini wajibnya basmalah, sedangkan imamnya bermadzhab Hanafi yang meninggalkan bacaan basmalah karena meyakini bahwa basmalah hanya sunah. Dalam kasus tersebut, shalatnya makmum tidak sah.

Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Minhajul Qawimmengatakan sebagai berikut:

وَأَنْ لَا يَعْتَقِدَ بُطْلَانَهَا ) أَيْ بُطْلَانَ صَلَاةِ إِمَامِهِ ...اِلَى اَنْ قَالَ...(كَحَنَفِيٍّ) أَوْ غَيْرِهِ اِقْتَدَى بِهِ شَافِعِيٌّ وَقَدْ (عَلِمَهُ تَرَكَ فَرْضًا) كَالْبَسْمَلَةِ مَا لَمْ يَكُنْ أَمِيْراً أَوِ الطُّمَأْنِيْنَةِ أَوْ أَخَلَّ بِشَرْطٍ كَأَنْ لَمِسَ زَوْجَتَهُ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ فَلَا يَصِحُّ اقْتِدَاءُ الشَّافِعِيِّ بِهِ حِيْنَئِذٍ اِعْتِبَارًا بِاعْتِقَادِ الْمَأْمُوْمِ لِأَنَّهُ يَعْتَقِدُ أَنَّهُ لَيْسَ فِيْ صَلَاةٍ

Artinya, “Di antara syarat berjama’ah adalah makmum tidak meyakini batalnya shalat imamnya. Seperti imam yang bermadzhab Hanafi yang diikuti oleh makmum bermadzhab Syafi’i, sementara makmum Syafi’i mengetahui imamnya yang bermadzhab Hanafi meninggalkan kewajiban menurut keyakinannya seperti membaca basmalah atau thuma’ninah, selama imamnya bukan pemimpin. Atau makmum mengetahui imamnya meninggalkan syarat sah shalat seperti memegang istrinya dan langsung shalat tanpa berwudhu’ terlebih dahulu. Maka tidak sah shalatnya makmum yang bermadzhab Syafi’i dalam permasalah ini, karena mempertimbangkan keyakinan makmum, sebab ia meyakini bahwa imamnya tidak berada dalam shalat yang sah,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhajul Qawim Hamisy Hasyiyah At-Tarmasi, Jeddah, Darul Minhaj, cetakan pertama, 2011, juz III, halaman 700).

Sementara menurut pendapat lemah dari madzhab Syafi’i, permasalahan sahnya berjama’ah dititikberatkan pada keyakinan imamnya, meskipun menurut madzhab yang dianut makmum menghukumi tidak sah. Dalam permasalahan imamnya yang tidak membaca basmalah karena ia bermadzhab Hanafi, sementara makmumnya bermadzhab Syafi’i yang meyakini kewajiban basmalah, maka shalatnya makmum tetap dinyatakan sah. Karena imam sudah benar melakukan tuntunan shalat sesuai dengan madzhab yang dianutnya. Berbeda apabila yang imamnya bermadzhab Hanafi melakukan kesalahan menurut madzhabnya, meskipun menurut madzhab makmumnya bukan merupakan sebuah kesalahan, maka shalatnya makmum tidak sah.

Syekh Al-Khathib As-Syarbini mengatakan:

وَلَوْ اقْتَدَى شَافِعِيٌّ بِحَنَفِيٍّ ) فَعَلَ مُبْطِلًا عِنْدَنَا دُونَهُ كَأَنْ ( مَسَّ فَرْجَهُ ) أَوْ تَرَكَ الطُّمَأْنِينَةَ أَوْ الْبَسْمَلَةَ أَوْ الْفَاتِحَةَ أَوْ بَعْضَهَا ( أَوْ ) عِنْدَهُ دُونَنَا كَأَنْ ( افْتَصَدَ فَالْأَصَحُّ الصِّحَّةُ ) أَيْ صِحَّةُ الِاقْتِدَاءِ ( فِي الْفَصْدِ دُونَ الْمَسِّ ) وَنَحْوِهِ مِمَّا تَقَدَّمَ ( اعْتِبَارًا بِنِيَّةِ ) أَيْ اعْتِقَادِ ( الْمُقْتَدِي ) لِأَنَّهُ مُحْدِثٌ عِنْدَهُ بِالْمَسِّ دُونَ الْفَصْدِ ، وَالثَّانِي عَكْسُ ذَلِكَ اعْتِبَارًا بِاعْتِقَادِ الْمُقْتَدَى بِهِ

Artinya, “Apabila makmum penganut madzhab Syafi’i mengikuti imam penganut madzhab Hanafi yang melakukan perkara yang membatalkan shalat menurut keyakinan makmum, bukan keyakinan imam, seperti memegang kemaluan, meninggalkan thuma’ninah, basmalah, Surat Al-Fatihah atau sebagiannya, atau jika imam melakukan perkara yang membatalkan menurut keyakinannya, bukan menurut keyakinan makmum, seperti berbekam (menurut madzhab Hanafi dapat membatalkan wudhu’, sementara menurut madzhab Syafi’i tidak membatalkan), maka menurut pendapat kuat shalat jama’ahnya makmum sah dalam permasalahan imamnya berbekam, bukan permasalahan menyentuh kemaluannya, karena mempertimbangkan pada keyakinan makmum. Sebab imam dinyatakan berhadats menurut keyakinan makmum karena menyentuh kemaluan, bukan karena berbekam. Menurut pendapat kedua, berkebalikan dari pendapat pertama (sah dalam permasalahan imamnya menyentuh kemaluan, dan tidak sah dalam persoalan imamnya berbekam), karena mempertimbangkan kepada keyakinan imam,” (Lihat Syekh Khathib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, cetakan ketiga, 2011 M, juz I, halalaman 332).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum shalatnya makmum yang bermadzhab Syafi’i sebagaimana ditanyakan oleh penanya di atas merupakan ikhtilaf di kalangan ulama. Menurut pendapat kuat, tidak sah. Sementara menurut pendapat lemah, sah.

Kedua pendapat tersebut memiliki tendensi masing-masing. Keduanya dapat diikuti. Saran kami, dalam kondisi tidak terdesak, sebisa mungkin agar makmum memastikan shalatnya imam tidak batal menurut keyakinan yang dianut makmum. Namun apabila kondisinya menuntut agar bermakmum kepada imam yang berbeda madzhab, seperti untuk menjaga keharmonisan hubungan bertetangga, maka tidak ada salahnya mengikuti pendapat kedua dari madzhab Syafi’i yang menghukumi sah sebagaimana penjelasan di atas.

Demikian semoga bermanfaat. Semoga kita senantiasa diberi kekuatan untuk konsisten menjalankan ibadah. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,  
Wassalamu 'alaikum Wr. Wb.

(

Tidak ada komentar:

Posting Komentar