Kamis, 30 Agustus 2018

Perempuan Lebih Utama Shalat di Rumah atau Masjid?

Perempuan Lebih Utama Shalat di Rumah atau Masjid?


Assalamu'alaikum ustadz. Saya ingin bertanya mengenai hukum sebenarnya tentang seorang wanita (istri) shalat di masjid? Saya pasangan suami-istri yang baru menikah, saya dengan istri kebetulan mempunyai pemahaman yang berbeda, saya ingin setiap hari bisa shalat berjamaah di masjid bersama istri, namun istri saya mempunyai pemahaman bahwa shalat wanita lebih afdhol di rumah.

Bagaimana jika seperti itu ustadz? Apa sebenarnya hukum wanita di masjid? apa pula hukum wanita pergi ke pasar/mall? Wassalamualaikum ….. Sukamto Budiman 

Jawaban :

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

Bapak Sukamto yang Budiman. Dalam pertanyaan yang disampaikan di atas ada dua poin pembahasan. Pertama, tentang shalat berjamaah bagi wanita di masjid. Kedua, tentang wanita pergi ke pasar/mall. Dalam kesempatan ini, kami akan menjawab poin pertama terlebih dahulu yaitu shalat berjamaah bagi wanita di masjid.

Bapak Sukamto yang baik, shalat berjamaah memang lebih utama 27 derjat dari pada shalat munfarid(sendirian). Begitulah yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits.

Kemudian, bagaimana dengan pelaksanaannya? Apakah harus di masjid atau cukup di rumah? Dalam hal ini ulama menjelaskan, laki-laki lebih utama melaksanakan shalat fardhu berjamaah di masjid dan perempuan lebih utama melaksanakan shalat fardhu berjamaah di rumah. Penjelasan ini dapat kita lihat dalam kitab Ianatut Tholibin karya Syaikh Abu Bakr bin Muhammad Ad-Dimyathi juz 2 hal. 5 sebagai berikut ;

قوله: والجماعة في مكتوبة لذكر بمسجد أفضل-- وذلك لخبر: صلوا - أيها الناس - في بيوتكم، فإن أفضل الصلاة صلاة المرء في بيته إلا المكتوبة.…….. وخرج بالذكر المرأة، فإن الجماعة لها في البيت أفضل منها في المسجد

Artinya : (Ungkapan Syaikh Zainuddin Al-Malibari : Shalat Fardhu berjamaah di masjid lebih utama bagi laki-laki)hal tersebut berdasarkan hadits : shalatlah kalian di rumah-rumah kalian karena shalat yang paling utama adalah shalatnya seseorang di rumahnya kecuali shalat fardhu……dan di sini terdapat pengecualian bagi perempuan. Untuk perempuan shalat berjamaah lebih utama dilaksanakan di rumahnya dari pada di masjid.

Kemudian, terkait shalat berjamaah untuk suami istri, dalam kitab Hasyiyah Al-Bajuri Ala Syarhi ibn Qosimkarangan syaikh Ibrahim Al-Baijuri juz 1 hal. 250 disebutkan : 

 وتحصل فضيلة الجماعة بصلاته بزوجته أو نحوها بل تحصيله الجماعة لأهل بيته أفضل

Artinya: Seorang laki-laki juga mendapatkan keutamaan shalat berjamaah dengan melaksanakannya bersama istri atau keluarga yang lain, bahkan pelaksanaan shalat berjamaah bersama keluarga di rumahnya lebih utama.


Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِى بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى حُجْرَتِهَا وَصَلاَتُهَا فِى مَخْدَعِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى بَيْتِهَا

Shalat seorang wanita di kamar khusus untuknya lebih afdhal daripada shalatnya di ruang tengah rumahnya. Shalat wanita di kamar kecilnya (tempat simpanan barang berharganya, pen.) lebih utama dari shalatnya di kamarnya.” (HR. Abu Daud, no. 570).

ARTINYA, TEMPAT SHALAT WANITA DI DALAM RUMAH SEMAKIN TIDAK TERLIHAT DAN JAUH DARI IKHTILATH (CAMPUR BAUR DENGAN LAWAN JENIS), AKAN SEMAKIN UTAMA.


Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُ مَسَاجِدِ النِّسَاءِ قَعْرُ بُيُوتِهِنَّ

Sebaik-baik masjid bagi para wanita adalah di bagian dalam rumah mereka.” (HR. Ahmad, 6: 297. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dengan berbagai penguatnya).

Istri dari Abu Humaid As-Sa’idi, yaitu Ummu Humaid pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, saya sangat ingin sekali shalat berjamaah bersamamu.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab,

قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلاَةَ مَعِى وَصَلاَتُكِ فِى بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى حُجْرَتِكِ وَصَلاَتُكِ فِى حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِى دَارِكِ وَصَلاَتُكِ فِى دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاَتُكِ فِى مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِى مَسْجِدِى

“Aku telah mengetahui hal itu bahwa engkau sangat ingin shalat berjamaah bersamaku. Namun shalatmu di dalam kamar khusus untukmu (bait) lebih utama dari shalat di ruang tengah rumahmu (hujrah). Shalatmu di ruang tengah rumahmu lebih utama dari shalatmu di ruang terdepan rumahmu. Shalatmu di ruang luar rumahmu lebih utama dari shalat di masjid kaummu. Shalat di masjid kaummu lebih utama dari shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi).” Ummu Humaid lantas meminta dibangunkan tempat shalat di pojok kamar khusus miliknya, beliau melakukan shalat di situ hingga berjumpa dengan Allah (meninggal dunia, pen.) (HR. Ahmad, 6: 371. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Namun jika wanita ingin melaksanakan shalat berjama’ah di masjid selama memperhatikan aturan seperti menutupi aurat dan tidak memakai harum-haruman, maka janganlah dilarang. Dari Salim bin ‘Abdullah bin ‘Umar bahwasanya ‘Abdullah bin ‘Umar berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا

Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Jika mereka meminta izin pada kalian maka izinkanlah dia.” (HR. Muslim, no. 442).

Ada tiga syarat yang mesti dipenuhi ketika seorang wanita ingin shalat berjamaah di masjid: (1) menutup aurat, (2) tidak memakai minyak wangi, (3) harus mendapatkan izin suami.

Demikian dinyatakan oleh Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab, no. 3457.

Dari Abu Musa Al-Asy’ary bahwanya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ

Seorang perempuan yang mengenakan wewangian lalu melalui sekumpulan laki-laki agar mereka mencium bau harum yang dia pakai maka perempuan tersebut adalah seorang pelacur.” (HR. An-Nasa’i, no. 5126; Tirmidzi, no. 2786; Ahmad, 4: 413. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Maksudnya wanita semacam itu akan membangkitkan syahwat pria yang mencium bau wanginya. (Lihat Tuhfah Al-Ahwadzi, 8: 74)

Apakah jika wanita ikut shalat berjama’ah di masjid akan mendapatkan pahala 27 derajat?

Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam Fath Al-Bari (4: 34) menyatakan bahwa hadits shalat laki-laki dengan berjamaah akan dilipatgandakan menunjukkan bahwa shalat  wanita tidak dilipatgandakan ketika dilakukan secara berjamaah. Karena shalat wanita di rumahnya lebih baik dan lebih afdhal.

Dalam Fath Al-Bari (2: 147), Ibnu Hajar Al-Asqalani juga menjelaskan tentang hadits “laki-laki yang terkait hatinya dengan masjid” menunjukkan bahwa pahala shalat di masjid 27 derajat hanya ditujukan pada laki-laki karena shalat wanita tetap lebih baik di rumahnya dibanding masjid.

 
Baca bahasan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid dalam Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab no. 122393:

هل تنال المرأة أجر صلاة الجماعة إذا ذهبت للمسجد؟

Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat.

Bapak sukamto yang budiman, perlu diingat bahwa paparan di atas terkait masalah lebih utama atau tidak, bukan masalah boleh atau tidaknya perempuan melaksanakan shalat berjamaah di masjid. Jadi, perbedaan pemahaman Bapak dengan istri tentang hal tersebut tidak perlu disikapi dengan kaku. Mudah-mudahan jawaban ini memberikan pencerahan bagi Bapak dan keluarga. Semoga kita selalu mendapat taufiq dan hidayah dari Allah Ta’ala untuk melaksanakan ibadah dengan sempurna. Aaamiin…

والله أعلم بالصواب

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

 

Ihya’ Ulumuddin

Minggu, 26 Agustus 2018

Meratapi Mayyit


Larangan Meratapi Mayit Berlebihan dan Dibolehkanya Menangisi Mayit

بِسْــــــمِ اللهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ

Menangisi mayyit

عَنْ جَابِرٍ قَالَ: اُصِيْبَ اَبِى يَوْمَ اُحُدٍ، فَجَعَلْتُ اَبْكِى فَجَعَلُوْا يَنْهَوْنِى وَ رَسُوْلُ اللهِ ص لاَ يَنْهَانِى. فَجَعَلَتْ عَمَّتِى فَاطِمَةُ تَبْكِى. فَقَالَ النَّبِيُّ ص تَبْكِيْنَ اَوْ لاَ تَبْكِيْنَ مَا زَالَتِ اْلمَلاَئِكَةُ تُظِلُّهُ بِأَجْنِحَتِهَا حَتَّى رَفَعْتُمُوْهُ. احمد و البخارى و مسلم

Dari Jabir (bin ‘Abdullah), ia berkata : Ketika ayahku gugur pada perang Uhud, lalu aku menangis, kemudian orang-orang melarangku, sedang Rasulullah SAW (sendiri) tidak melarang ku. Lalu bibiku Fathimah (juga) menangis. Lalu Nabi SAW bersabda, “Kamu menangis ataupun tidak, para malaikat tetap menaunginya dengan sayap-sayap mereka, sehingga kamu sekalian mengangkatnya". [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim, dalam Nailul Authar juz 4, hal, 111]

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: مَاتَتْ زَيْنَبُ بِنْتُ رَسُوْلِ اللهِ ص فَبَكَتِ النّسَاءُ، فَجَعَلَ عُمَرُ يَضْرِبُهُنَّ بِسَوْطِهِ، فَأَخَذَ رَسُوْلُ اللهِ ص بِيَدِهِ وَ قَالَ: مَهْلاً يَا عُمَرُ. ثُمَّ قَالَ: اِيَّاكُنَّ وَ نَعِيْقَ الشَّيْطَانِ. ثُمَّ قَالَ: اِنَّهُ مَهْمَا كَانَ مِنَ اْلعَيْنِ وَ اْلقَلْبِ فَمِنَ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَ مِنَ الرَّحْمَةِ. وَ مَا كَانَ مِنَ اْليَدِ وَ اللّسَانِ فَمِنَ الشَّيْطَانِ. احمد، فى نيل الاوطار 4: 111

Dari Ibnu 'Abbas, ia berkata : Ketika Zainab binti Rasulullah SAW meninggal dunia, lalu para wanita menangis. Kemudian 'Umar memukul mereka dengan cambuknya. Lalu Rasulullah SAW memegang tangan 'Umar sambil bersabda, “Sabar ya 'Umar!" Kemudian beliau bersabda, “Jauhkankah diri kalian dari raungan syaithan". Kemudian beliau bersabda (pula), “Karena sesungguhnya bila tangisan itu hanya sekedar mengeluarkan air mata dan kesedihan hati, maka ia itu berasal dari Allah 'Azza wa Jalla dan dari perasaan iba. Dan bila tangisan itu diikuti perbuatan tangan dan lisan, maka ia itu berasal dari syaithan". [HR. Ahmad, dalam Nailul Authar juz 4, hal. 111]

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: اِشْتَكَى سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ شَكْوًى لَهُ، فَاَتَاهُ النَّبِيُِّ ص يَعُوْدُهُ مَعَ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ عَوْفٍ، وَ سَعْدِ بْنِ اَبِى وَقَّاصٍ، وَ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ. فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهِ وَجَدَهُ فِى غَشِيّهِ، فَقَالَ: قَدْ قُضِيَ؟ فَقَالُوْا: لاَ يَا رَسُوْلَ اللهِ. فَبَكَى رَسُوْلُ اللهِ ص. فَلَمَّا رَأَى اْلقَوْمُ بُكَاءَهُ بَكَوْا، قَالَ: اَلاَ تَسْمَعُوْنَ؟ اِنَّ اللهَ لاَ يُعَذّبُ بِدَمْعِ اْلعَيْنِ وَ لاَ بِحُزْنِ اْلقَلْبِ، وَ لكِنْ يُعَذّبُ بِهذَا. وَ اَشَارَ اِلَى لِسَانِهِ اَوْ يَرْحَمُ. احمد و البخارى و مسلم، فى نيل الاوطار 4: 112

Dari Ibnu 'Umar, ia berkata : Sa'ad bin 'Ubadah mengadukan sakitnya, lalu Nabi SAW datang menjenguknya bersama Abdurrahman bin 'Auf, Sa'ad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Mas'ud. Kemudian ketika Nabi SAW masuk kepadanya, beliau mendapatinya dalam keadaan kritis. Lalu Nabi SAW bertanya (kepada para shahabat), “Apakah ia sudah mati?" Mereka menjawab, “Belum, ya Rasulullah". Lalu Rasulullah SAW menangis. Setelah orang-orang melihat Nabi SAW menangis, merekapun ikut menangis. Lalu Nabi SAW bersabda, “Apakah kalian tidak mendengar? Sesungguhnya Allah tidak menyiksa sebab melelehnya air mata dan tidak pula susahnya hati, tetapi Allah akan menyiksa atau memberi rahmat sebab ini", beliau sambil berisyarat ke lisannya. [HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim, dalam Nailul Authar juz 4, hal, 112]

عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ سَعْدَ بْنَ مُعَاذٍ لَمَّا مَاتَ حَضَرَهُ رَسُوْلُ اللهِ ص وَ اَبُوْ بَكْرٍ وَ عُمَرُ. قَالَتْ: فَوَ الَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ اِنّى َلاَعْرِفُ بُكَاءَ اَبِى بَكْرٍ مِنْ بُكَاءِ عُمَرَ. وَاَنَا فِى حُجْرَتِى. احمد، فى نيل الاوطار 4:

Dari 'Aisyah, bahwa ketika Sa'ad bin Mu'adz meninggal dunia, maka Rasulullah SAW, Abu Bakar, dan 'Umar mendatanginya. 'Aisyah berkata, “Demi Tuhan yang diriku di tangan-Nya, sungguh aku lebih mengenal tangisan Abu Bakar daripada tangisan 'Umar, sedang aku berada di dalam kamarku". [HR. Ahmad, dalam Nailul Authar juz 4, hal. 114]

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَتِيْكٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص جَاءَ يَعُوْدُ عَبْدَ اللهِ بْنَ ثَابِتٍ فَوَجَدَهُ قَدْ غُلِبَ. فَصَاحَ بِهِ فَلَمْ يُجِبْهُ. فَاسْتَرْجَعَ، وَ قَالَ: غُلِبْنَا عَلَيْكَ يَا اَبَا الرَّبِيْعِ! فَصَاحَ النّسْوَةُ وَ بَكَيْنَ. فَجَعَلَ ابْنُ عَتِيْكٍ يُسَكّنُهُنَّ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: دَعْهُنَّ فَاِذَا وَجَبَ فَلاَ تَبْكِيَنَّ بَاكِيَةٌ. قَالُوْا: وَ مَا اْلوُجُوْبُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: اَلْمَوْتُ. ابو داود و النسائى، فى نيل الاوطار 4: 114

Dari Jabir bin 'Atiek, bahwasanya Rasulullah SAW datang menjenguk 'Abdullah bin Tsabit, dan beliau mendapatinya sudah kritis, lalu beliau memanggil dengan suara keras, namun ia tidak menjawab, lalu beliau mengucapkan "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji'uun" dan bersabda, “Kamu mendahului kami wahai Abu Rabi' ", lalu para wanita menjerit dan menangis. Kemudian Ibnu 'Atiek berusaha menenangkan mereka. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Biarkanlah mereka, dan apabila sudah pasti, jangan ada seorangpun yang menangis". Mereka bertanya, “Apa yang dimaksud "pasti" itu, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, “Mati". [HR. Abu Dawud dan Nasai, dalam Nailul Authar juz 4, hal. 114]

Keterangan :

Dari Hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa menangisi mayyit yang tidak berlebih-lebihan itu boleh.

Larangan meratapi mayit, memukul pipi, mencakar-cakar wajah dan merobek-robek pakaian.

عَنْ عُمَرَ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: اَلْمَيّتُ يُعَذَّبُ فِى قَبْرِهِ بِمَا نِيْحَ عَلَيْهِ. مسلم 2: 639

Dari Umar (bin Khaththab) dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Mayyit itu disiksa dikuburnya dengan sebab diratapi atasnya". [HR. Muslim juz 2, hal. 639].

عَنِ اْلمُغِيْرَةِِ رض قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ ص يَقُوْلُ: مَنْ نِيْحَ عَلَيْهِ يُعَذَّبْ بِمَا نِيْحَ عَلَيْهِ. البخارى 2: 81

Dari Mughirah (bin Syu'bah) RA, ia berkata : Saya mendengar Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa yang diratapi atasnya, maka ia disiksa dengan sebab diratapi atasnya". [HR. Bukhari juz 2, hal. 81]

عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ رض قَالَ: اُغْمِيَ عَلَى عَبْدِ اللهِ بْنِ رَوَاحَةَ فَجَعَلَتْ اُخْتُهُ عَمْرَةُ تَبْكِى، وَاجَبَلاَهْ، وَا كَذَا، وَا كَذَا، تُعَدّدُ عَلَيْهِ، فَقَالَ حِيْنَ اَفَاقَ: مَا قُلْتِ شَيْئًا اِلاَّ قِيْلَ لِى: آنْتَ كَذلِكَ. فَلَمَّا مَاتَ لَمْ تَبْكِ عَلَيْهِ. البخارى 5: 88

Dari Nu'man bin Basyir RA, ia berkata : Ketika Abdullah bin Rawahah pingsan, 'Amrah (yaitu) saudara perempuannya menangis (sambil berteriak-teriak) dengan menyebut-nyebutnya, “Oh, pelindungku, oh ini, oh itu", ia menyebut-nyebut berbagai kebaikannya. Ketika (Abdullah bin Rawahah) siuman, ia berkata, “Tidaklah engkau mengatakan sesuatu, kecuali dikatakan kepadaku. Apakah kamu seperti yang dikatakan itu ?!" Maka setelah (Abdullah bin Rawahah) meninggal, 'Amrah tidak menangisinya. [HR. Bukhari juz 5, hal. 88]

عَنْ اَبِى مُوْسَى رض عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: اِنَّ اْلمَيّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ اْلحَيّ. اِذَا قَالَتْ وَ اعَضُدَاهْ، وَا مَانِعَاهْ، وَا نَاصِرَاهْ، وَا كَاسِبَاهْ جُبِذَ اْلمَيّتُ فَقِيْلَ: اَنَاصِرُهَا اَنْتَ؟ اَكَاسِبُهَا اَنْتَ؟. احمد 7: 168 رقم

Dari Abu Musa RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Sesungguhnya mayyit itu disiksa dengan sebab tangisnya orang yang hidup, apabila ia menyebut-nyebutnya, “Oh penanggungku, oh penjagaku, oh penolongku, oh tumpuan harapanku”, maka mayyit itu ditarik dan ditanya dengan pertanyaan-pertanyaan“Apakah kamu penolongnya ? Apakah kamu tumpuan harapannya ?” [HR. Ahmad juz 7, hal. 168, no. 19737]

عَنْ اَبِى مُوْسَى اْلاَشْعَرِيّ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: مَا مِنْ مَيّتٍ يَمُوْتُ فَيَقُوْمُ بَاكِيْهِمْ فَيَقُوْلُ: وَا جَبَلاَهْ، وَا سَيّدَاهْ اَوْ نَحْوَ ذلِكَ اِلاَّ وُكّلَ بِهِ مَلَكَانِ يَلْهَزَانِهِ اَهكَذَا كُنْتَ. الترمذى 2: 236 هذا حديث حسن غريب

Dari Abu Musa Al-Asy‘ariy, ia berkata : Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang mayyit yang meninggal, lalu ada orang yang menangisi diantara mereka dengan menyebut-nyebutnya, “Oh pelindungku, oh penanggungku" atau seperti itu, kecuali dengannya ada dua malaikat yang diserahi untuk memukul dada (mayyit itu) dengan bertanya, “Apakah seperti itu keadaanmu ?". [HR. Tirmidzi juz 2, hal. 236, ia berkata, “Ini hadits Hasan Gharib"]

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اِثْنَتَانِ فِى النَّاسِ هُمَابِهِمْ كُفْرٌ: اَلطَّعْنُ فِى النَّسَبِ،وَ النّيَاحَةُ عَلَى اْلمَيّتِ. مسلم 1: 82

Dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Ada dua perkara yangmana dua perkara itu merupakan kekufuran padanya, yaitu : 1. Mencaci nasab (keturunan) dan, 2. Niyahah (meratapi) atas mayyit". [HR. Muslim juz 1, hal. 82]

عَنْ اَنَسٍ اَنَّ عُمَرَ بْنَ اْلخَطَّابِ لَمَّا طُعِنَ عَوَّلَتْ عَلَيْهِ حَفْصَةُ فَقَالَ: يَا حَفْصَةُ اَمَا سَمِعْتِ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: اْلمُعَوَّلُ عَلَيْهِ يُعَذَّبُ؟ وَ عَوَّلَ عَلَيْهِ صُهَيْبٌ. فَقَالَ عُمَرُ: يَا صُهَيْبُ، اَمَا عَلِمْتَ اَنّ اْلمُعَوَّلَ عَلَيْهِ يُعَذَّبُ؟. مسلم 2: 640

Dari Anas (bin Malik), bahwasanya ‘Umar bin Khaththab ketika dia ditikam orang, Hafshah menangisinya. Maka ‘Umar berkata kepadanya, “Hai Hafshah, apakah kamu tidak mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya (mayyit) yang ditangisi itu disiksa ?” Dan Shuhaib juga menangisinya. Maka ‘Umar berkata,“Hai Shuhaib, apakah kamu tidak tahu bahwa mayyit yang ditangisi itu disiksa ?”. [HR. Muslim juz 2, hal. 640]

عَنْ اَبِى سَعِيْدٍ اْلخُدْرِيّ رض قَالَ: لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ ص: اَلنَّائِحَةَ وَ اْلمُسْتَمِعَةَ. ابو داود 3: 194

Dari Abu Sa'id Al-Khudriy RA, ia berkata, “Rasulullah SAW melaknat orang perempuan yang meratapi mayyit dan orang perempuan yang sengaja duduk untuk mendengarkan orang yang meratap tersebut". [HR. Abu Dawud juz 3, hal. 194]

Keterangan :

Tentang Orang yang mati (mayyit) disiksa karena tangisan/ratapan yang hidup, ini maksudnya : Si mayyit sedih dan susah mengetahui orang-orang yang menangisi atau meratapinya karena mereka melanggar larangan agama.

عَنْ اَنَسٍ رض قَالَ: لَمَّا ثَقُلَ النَّبِيُّ ص جَعَلَ يَتَغَشَّاهُ فَقَالَتْ فَاطِمَةُ عَلَيْهَا السَّلاَمُ: وَاكَرْبَ اَبَاهْ، فَقَالَ لَهَا: لَيْسَ عَلَى اَبِيْكِ كَرْبٌ بَعْدَ اْليَوْمِ. فَلَمَّا مَاتَ قَالَتْ: يَا اَبَتَاهْ اَجَابَ رَبًّا دَعَاهْ، يَا اَبَتَاهْ مَنْ جَنَّةُ اْلفِرْدَوْسِ مَأْوَاهْ يَا اَبَتَاهْ اِلَى جِبْرِيْلَ نَنْعَاهْ. فَلَمَّا دُفِنَ قَالَتْ فَاطِمَةُ عَلَيْهَا السَّلاَمُ: يَا اَنَسُ اَطَابَتْ اَنْفُسُكُمْ اَنْ تَحْثُوْا عَلَى رَسُوْلِ اللهِ ص التُّرَابَ. البخارى 5: 144

Dari Anas RA, ia berkata : Ketika Nabi SAW bertambah berat sakitnya sehingga diliputi kesedihan, lalu Fathimah AS berkata, “Oh sedihnya ayahku". Lalu (Nabi SAW) bersabda kepadanya, “Tidak ada kesedihan bagi ayahmu sesudah hari ini !". Lalu ketika beliau wafat, Fathimah berkata, “Oh ayahku, ia telah memenuhi panggilan Tuhannya. Oh ayahku orang yang surga Firdaus tempat kembalinya. Oh ayahku, kepada Jibril kami beritakan". Lalu ketika beliau dimakamkan, Fathimah berkata, “Hai Anas, sampai hatikah kalian menaburkan tanah atas jenazah Rasulullah SAW ?". [HR. Bukhari juz 5, hal. 144]

عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ اَبَا بَكْرٍ دَخَلَ عَلَى النَّبِيّ ص بَعْدَ وَفَاتِهِ فَوَضَعَ فَمَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى صُدْغَيْهِ وَ قَالَ: وَا نَبِيَّاهْ وَا خَلِيْلاَهْ وَا صَفِيَّاهْ. احمد 9: 271، رقم 24084

Dari ‘Aisyah, sesungguhnya Abu Bakar masuk ke (kamar) Nabi SAW setelah beliau wafat, lalu ia meletakkan mulutnya diantara kedua mata beliau, dan meletakkan kedua tangannya pada dua pelipisnya sambil berkata, “Oh Nabi, oh kekasih, oh orang pilihan". [HR. Ahmad juz 9, hal. 271, no. 24084]

Keterangan :

Yang dilakukan Fathimah dan Abu Bakar tersebut tidak termasuk meratap, atau menyebut-nyebut yang dilarang agama, karena tidak dilakukan dengan cara Jahiliyah.

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص ثَلاَثَةٌ مِنَ اْلكُفْرِ بِاللهِ: شَقُّ اْلجَيْبِ، وَ النّيَاحَةُ، وَ الطَّعْنُ فِى النَّسَبِ. الحاكم، فى المستدرك 1: 540، و قال: صحيح الاسناد

Dari Abu Hurarirah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Ada tiga perkara termasuk kufur kepada Allah : 1. Merobek-robek pakaian, 2. Niyahah (meratap) dan, 3. Mencaci nasab". [HR. Hakim dalam Al-Mustadrak juz 1, hal. 540, dan ia berkata, “Shahih sanadnya"].

عَنْ اَبِى اُمَامَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص لَعَنَ اْلخَامِشَةَ وَجْهَهَا، وَ الشَّاقَّةَ جَيْبَهَا، وَ الدَّاعِيَةَ بِاْلوَيْلِ. ابن حبان فى صحيحه 4: 45

Dari Abu Umamah, ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah SAW melaknat wanita yang mencakar-cakar wajahnya, wanita yang merobek-robek bajunya dan wanita yang berdoa (meminta) supaya ditimpa kecelakaan". [HR. Ibnu Hibban di dalam shahihnya juz 4, hal. 45]

عَنْ عَبْدِ اللهِ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ اْلخُدُوْدَ، وَ شَقَّ اْلجُيُوْبَ، وَ دَعَا بِدَعْوَى اْلجَاهِلِيَّةِ. البخارى 2: 83

Dari Abdullah (bin Mas'ud) RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Bukanlah dari golongan kita orang yang memukul pipi, yang merobek-robek baju dan yang memanggil-manggil secara jahiliyah". [HR. Bukhari juz 2, hal. 83]

عَنْ اَسِيْدِ بْنِ اَبِى اَسِيْدٍ التَّابِعِيّ عَنِ امْرَأَةٍ مِنَ اْلمُبَايِعَاتِ قَالَتْ: كَانَ فِيْمَا اَخَذَ عَلَيْنَارَسُوْلُ اللهِ ص فِى اْلمَعْرُوْفِ الَّذِى اَخَذَ عَلَيْنَا اَنْ لاَ نَعْصِيَهُ فِيْهِ اَنْ لاَ نَخْمِشَ وَجْهًا، وَ لاَ نَدْعُوَ وَيْلاً، وَ لاَ نَشُقَّ جَيْبًا، وَ لاَ نَنْشُرَ شَعْرًا. ابو داود 3: 194

Dari Asid bin Abi Asid seorang tabi'in dari seorang wanita yang ikut bai'at kepada Rasulullah SAW, ia berkata, “Adalah diantara apa-apa yang Rasulullah SAW ambil dari bai'at kami di dalam kebaikan yang beliau menyuruh kami supaya dipegang teguh agar kami tidak ma’shiyat padanya, ialah agar kami tidak mencakar-cakar muka, tidak berdoa dengan kebinasaan, tidak merobek-robek baju dan tidak mengurai rambut". [HR. Abu Dawud juz 3, hal. 194]

Menyiarkan Kabar Kematian

عَنِ عَبْدِ اللهِ عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: اِيَّاكُمْ وَ النَّعْيَ فَاِنَّ النَّعْيَ مِنْ عَمَلِ اْلجَاهِلِيَّةِ. الترمذى 2: 228

Dari ‘Abdullah (bin Mas'ud) dari Nabi SAW beliau bersabda, “Takutlah kalian akan menyiar-nyiarkan kabar kematian, karena menyiar-nyiarkan kabar kematian itu termasuk perbuatan Jahiliyah". [HR. Tirmidzi juz 2, hal. 228].

عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ: اِذَا مِتُّ فَلاَ تُؤْذِنُوْا بِى اَحَدًا. اِنّى اَخَافُ اَنْ يَكُوْنَ نَعْيًا. وَ اِنّى سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَنْهَى عَنِ النَّعْيِ. الترمذى 2: 227، و قال: هذا حديث حسن

Dari Hudzaifah, ia berkata, “Apabila aku telah meninggal, maka janganlah kalian menyiarkan kematianku kepada seorangpun, karena aku khawatir itu merupakan menyiarkan kabar kematian, sebab aku pernah mendengar Rasulullah SAW melarang menyiarkan khabar kematian". [HR. Tirmidzi juz 2, hal. 227, dan ia berkata,“Ini hadits hasan”]

عَنْ اَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رض قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ص: اَخَذَ الرَّايَةَ زَيْدٌ فَاُصِيْبَ، ثُمَّ اَخَذَهَا جَعْفَرٌ فَاُصِيْبَ، ثُمَّ اَخَذَهَا عَبْدُ اللهِ بْنُ رَوَاحَةَ فَاُصِيْبَ. وَ اِنَّ عَيْنَيْ رَسُوْلِ اللهِ ص لَتَذْرِفَانِ. ثُمَّ اَخَذَهَا خَالِدُ بْنُ اْلوَلِيْدِ مِنْ غَيْرِ اِمْرَةٍِ، فَفُتِحَ لَهُ. البخارى 2: 72

Dari Anas bin Malik RA, ia berkata : Nabi SAW bersabda (memberitahukan kepada para shahabat), “Zaid (bin Haritsah) membawa bendera lalu terbunuh kemudian diambil oleh Ja'far lalu ia pun terbunuh, kemudian diambil oleh Abdullah bin Rawahah lalu ia juga terbunuh (sedang kedua mata Rasulullah SAW bercucuran), lalu diambil oleh Khalid bin Walid tanpa diperintah, lalu ia diberi kemenangan". [HR. Bukhari juz 2, hal. 72]

Keterangan :

Mengkhabarkan kematian yang dilarang oleh Nabi SAW adalah sebagaimana yang biasa dilakukan oleh kaum jahiliyah, yaitu : Apabila ada seorang yang terpandang di masyarakat meninggal dunia, mereka menyiarkan berita kematian itu ke seluruh penjuru kota dengan berteriak-teriak sambil menyebut-nyebut kebaikan yang meninggal, dan kecelakaan bangsa Arab karena ditinggal olehnya.Adapun kalau tidak sebagaimana cara Jahiliyah tersebut tidaklah mengapa, lagi pula karena merawat dan mengurus orang yang mati itu adalah kewajiban bagi qaum Muslimin, maka bagaimana mungkin kewajiban itu dapat terlaksana dengan baik tanpa menyiarkan berita kematiannya ?. Lagi pula ada riwayat sebagai berikut :

عَنْ اَنَسٍ رض اَنَّ النَّبِيَّ ص نَعَى زَيْدًا وَ جَعْفَرًا وَ ابْنَ رَوَاحَةَ لِلنَّاسِ قَبْلَ اَنْ يَأْتِيَهُمْ خَبَرُهُمْ. البخارى 4: 218

Dari Anas RA bahwasanya Nabi SAW mengkhabarkan meninggalnya Zaid, Ja'far dan Ibnu Rawahah kepada orang banyak sebelum berita kematian itu sampai kepada mereka. [HR. Bukhari juz 4, hal. 218]

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص نَعَى النَّجَاشِيَّ فِى اْليَوْمِ الَّذِى مَاتَ فِيْهِ. خَرَجَ اِلىَ اْلمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَ كَبَّرَ اَرْبَعًا. البخارى 2: 71

Dari Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah SAW menyiarkan berita wafatnya Raja Najasyi pada hari kematiannya itu. Kemudian beliau berangkat ke mushalla, lalu membuat shaff dengan para shahabat (untuk menshalatkannya) dan beliau takbir empat kali (dalam shalat jenazah tersebut). [HR. Bukhari juz 2, hal. 71]

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ اَنَّ امْرَأَةً سَوْدَاءَ كَانَتْ تَقُمُّ اْلمَسْجِدَ (اَوْ شَابًّا) فَفَقَدَهَا رَسُوْلُ اللهِ ص: فَسأَلَ عَنْهَا (اَوْ عَنْهُ) فَقَالُوْا: مَاتَ. قَالَ: اَفَلاَ كُنْتُمْ آذَنْتُمُوْنِى؟ قَالَ: فَكَأَنَّهُمْ صَغَّرُوْا اَمْرَهَا (اَوْ اَمْرَهُ) فَقَالَ: دُلُّوْنِى عَلَى قَبْرِهِ. فَدَلُّوْهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا. ثُمَّ قَالَ: اِنَّ هذِهِ اْلقُبُوْرَ مَمْلُوْءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى اَهْلِهَا، وَ اِنَّ اللهَ عَزَّ وَ جَلَّ يُنَوّرُهَا لَهُمْ بِصَلاَتِى عَلَيْهِمْ. مسلم 2: 659

Dari Abu Hurairah bahwasanya ada seorang wanita kulit hitam (atau seorang pemuda) yang biasa menyapu masjid. Kemudian Rasulullah SAW merasa kehilangan dia, maka beliau menanyakan tentang wanita atau pemuda itu. Para shahabat menjawab, “Ia sudah meninggal". Beliau SAW bersabda, “Mengapa kalian tidak memberitahukan kepadaku?". (Abu Hurairah) berkata, seolah-olah para shahabat menganggap remeh perkara wanita atau pemuda itu. Kemudian beliau bersabda,“Tunjukkanlah kepadaku quburnya". Lalu para shahabat menunjukkan nya, kemudian beliau menshalatkannya. (Setelah selesai) kemudian beliau bersabda,“Sesungguhnya qubur ini penuh kegelapan bagi penghuninya, lalu Allah ‘Azza wa Jalla menerangi mereka dengan sebab shalatku untuk mereka”. [HR. Bukhari juz 2, hal. 72]


سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ وَ بِحَمْدِكَ اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اَنْتَ اَسْتَغْفِرُكَ وَ اَتُوْبُ اِلَيك...



Sabtu, 25 Agustus 2018

HARI TASRIK 'IDUL ADHA


HARI TASRIK 'IDUL ADHA




HARI TASYRIK?

Hari tasyrik itu apa sih? Yang jelas hari tersebut adalah tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah.

Dari Nubaisyah Al Hudzali, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ

Hari-hari tasyrik adalah hari makan dan minum.” (HR. Muslim no. 1141)

Hari tasyrik adalah tiga hari setelah Idul Adha (hari nahr). (Lihat Al Iqna’, 1: 412).

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Hari tasyrik adalah tiga hari setelah Idul Adha (yaitu 11, 12, 13 Dzulhijjah). Disebut tasyrik karena tasyrik itu berarti mendendeng atau menjemur daging qurban di terik matahari. Dalam hadits disebutkan, hari tasyrik adalah hari untuk memperbanyak dzikir yaitu takbir dan lainnya.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 18).

NAH ITULAH KENAPA DISEBUT HARI TASYRIK, MAKSUDNYA ADALAH MENJEMUR DAGING QURBAN DI TERIK MATAHARI KARENA DI MASA SILAM TIDAK ADA PENDINGIN ATAU FREEZER SEPERTI SAAT INI. YANG ADA BIAR DAGING ITU AWET, DAGING TERSEBUT DIJEMUR ATAU DIDENDENG.


Kalau hari tasyrik disebut hari makan dan minum berarti ketika itu tidak dibolehkan untuk berpuasa apa pun di hari-hari tersebut (11, 12, 13 Dzulhijjah). Inilah pendapat yang lebih dikuatkan dalam madzhab Syafi’i.

Selamat menikmati daging qurban dengan berbagai macam menu spesial. Semoga hari tasyrik menjadi hari penuh berkah.

Disusun di sore hari di hari tasyrik, 12 Dzulhijjah1439H (24/08/2018).




Selasa, 14 Agustus 2018

Sumber Hukum islam


4 Sumber Hukum islam dalam Aswaja

Sering kita mendengar oleh para penceramah atau orang2 yg menurut mereka pintar sendiri bahwa hayu kita kembali ke Al-Qur'an dan Al hadits, manakala dalam menentukan hukum, sebenarnya Mereka bukan kembali ke Al-Quran dan Al hadist, tapi kembali pada terjemahannya.... Bukan Tafsirnya, dan kita tentunya mengetahui bahwa sumber hukum Islam itu bukan Al-Quran dan Al hadist saja...
Di dalam menentukan hukum fiqih, madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) bersumber kepada empat pokok; Al-Qur’an, Hadits/as-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Secara singkat, paparannya sebagai berikut;

1. Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam pengambilan hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada Al-Qur’an. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 2; Al-Maidah Ayat 44-45, 47 :

ذلِكَ اْلكِتَبَ لاَرَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ

Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”. (Al-Baqarah; 2)

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ اْلكفِرُوْنَ

Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah golongan orang-orang kafir”.

Tentu dalam hal ini yang bersangkutan dengan aqidah, lalu;

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ الظّلِمُوْنَ

Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang dhalim”.

Dalam hal ini urusan yang berkenaan dengan hak-hak sesama manusia

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ اْلفسِقُوْن َ

Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah golongan orang-orang fasik”.

Dalam hal ini yang berkenaan dengan ibadat dan larangan-larangan Allah.

2.Al-Hadits/Sunnah

Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah Rasulullah ٍSAW. Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 44 dan al-Hasyr ayat 7, sebagai berikut;

وَاَنْزَلْنَا اِلَيْكَ الذِكْرَ لِتُبَيِنَ لِلنَّاسِ مَانُزِلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan”. (An-Nahl : 44)

وَمَاءَاتَكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَانَهكُمْ عَنْهُ فَانْتَهَوْاوَاتَّقُوْااللهَ, اِنَّ اللهَ شَدِيْدُاْلعِقَابِ

Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras sikapnya”. (Al-Hasyr: 7)

Kedua ayat tersebut di atas jelas bahwa Hadits atau Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an dalam menentukan hukum.

3. Al-Ijma’

Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya Nabi maka hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid.

Kemudian ijma’ ada 2 macam :
1. Ijma’ Bayani (الاجماع البياني ) ialah apabila semua Mujtahid mengeluarkan pendapatnya baik berbentuk perkataan maupun tulisan yang menunjukan kesepakatannya.
2. Ijma’ Sukuti (الاجماع السكوتي) ialah apabila sebagian Mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan sebagian yang lain diam, sedang diamnya menunjukan setuju, bukan karena takut atau malu.

Dalam ijma’ sukuti ini Ulama’ masih berselisih faham untuk diikuti, karena setuju dengan sikap diam tidak dapat dipastikan. Adapun ijma’ bayani telah disepakati suatu hukum, wajib bagi ummat Islam untuk mengikuti dan menta’ati.

Karena para Ulama’ Mujtahid itu termasuk orang-orang yang lebih mengerti dalam maksud yang dikandung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits, dan mereka itulah yang disebut Ulil Amri Minkum (اولىالامر منكم  ) Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat : 59

ياأَيُّهَاالَّذِيْنَ أَمَنُوْاأَطِيْعُوْااللهَ وَأَطِيْعُوْاالرَّسُوْلَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنْكُمْ

“Hai orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu”.

Dan para Sahabat pernah melaksanakan ijma’ apabila terjadi suatu masalah yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah S.A.W. Pada zaman sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar r.a jika mereka sudah sepakat maka wajib diikuti oleh seluruh ummat Islam. Inilah beberapa Hadits yang memperkuat Ijma’ sebagai sumber hokum, seperti disebut dalam Sunan Termidzi Juz IV hal 466.

اِنَّ اللهَ لاَ يَجْمَعُ اُمَّتىِ عَلىَ ضَلاَ لَةٍ, وَيَدُاللهِ مَعَ اْلَجَماعَةِ

Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku atas kesesatan dan perlindungan Allah beserta orang banyak.

Selanjutnya, dalam kitab Faidlul Qadir Juz 2 hal 431

اِنَّ اُمَّتىِ لاَتَجْتَمِعُ عَلىَ ضَلاَ لَةٍ فَاءِذَارَأَيْتُمُ اخْتِلاَ فًا فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِاْ لأَعْظَمِ.

 “Sesungguhnya ummatku tidak berkumpul atas kesesatan maka apabila engkau melihat perselisihan, maka hendaknya engkau berpihak kepada golongan yang terbanyak”.

4. Al-Qiyas

Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara etimologi kata itu berasal dari kata Qasa (قا س  ). Yang disebut Qiyas ialah menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab yang antara keduanya. Rukun Qiyas ada 4 macam: al-ashlu, al-far’u, al-hukmu dan as-sabab. Contoh penggunaan qiyas, misalnya gandum, seperti disebutkan dalam suatu hadits sebagai yang pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-far’u-nya adalah beras (tidak tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits), al-hukmu, atau hukum gandum itu wajib zakatnya, as-sabab atau alasan hukumnya karena makanan pokok.

Dengan demikian, hasil gandum itu wajib dikeluarkan zakatnya, sesuai dengan hadits Nabi, dan begitupun dengan beras, wajib dikeluarkan zakat. Meskipun, dalam hadits tidak dicantumkan nama beras. Tetapi, karena beras dan gandum itu kedua-duanya sebagai makanan pokok. Di sinilah aspek qiyas menjadi sumber hukum dalam syareat Islam. Dalam Al-Qur’an Allah S.WT. berfirman :

فَاعْتَبِرُوْا يأُوْلِى اْلأَيْصَارِ

Ambilah ibarat (pelajaran dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan”. (Al-Hasyr : 2)

عَنْ مُعَاذٍ قَالَ : لَمَا بَعَثَهُ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم اِلىَ اْليَمَنِى قَالَ: كَيْفَ تَقْضِى اِذَا عَرَضَ قَضَاءٌ ؟ قَالَ اَقْضِى بِكَتَابِ اللهِ قَالَ فَاءِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ, قَالَ فَاءِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلاَ فىِ كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ اَجْتَهِدُ بِرَأْيِى وَلاَ الُوْ قَالَ فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَدْرَهُ وَقَالَ اْلحَمْدُ للهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَا يَرْضَاهُ رَسُوْلُ اللهِ. رواه أحمد وابو داود والترمذى.

Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu’adz menjawab; saya akan menentukan hukum dengan kitab Allah? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah dan dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat saya dan saya tidak kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya, kemudian Mu’adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai-Nya.

Kemudian Al-Imam Syafi’i memperkuat pula tentang qiyas dengan firman Allah S.W.T dalam Al-Qur’an :

ياأَيُّهَااَّلذِيْنَ ءَ امَنُوْا لاَتَقْتُلُوْاا لصَّيْدَوَاَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَاعَدْلٍ مِنْكُمْ

 “Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram, barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu”. (Al-Maidah: 95).

Sebagaimana madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah lebih mendahulukan dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits dari pada akal. Maka dari itu madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah mempergunakan Ijma’ dan Qiyas kalau tidak mendapatkan dalil nash yang shareh (jelas) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Senin, 13 Agustus 2018

Hukum Sembelihan Hewan oleh Perempuan


Hukum Sembelihan Hewan oleh Perempuan


Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Ustadz  yang saya hormati, saya mau bertanya, bagaimana hukum seorang wanita dewasa menyembelih hewan peliharaan? Atas perhatiannya, saya ucapkan terima kasih.

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Dalam kesempatan kali ini kami berusaha untuk merumuskan jawaban pertanyaan tentang seorang wanita yang menyembelih hewan ternak. Apakah sah? Apakah daging hewan sembelihannya halal dimakan? Tentunya untuk menjawab pertanyaan ini kami akan merujuk pada dalil Al-Qur’an, hadits, dan penjelasan ulama.

Terkait permasalahan wanita yang menyembelih hewan, terdapat sebuah hadits yang menyebutkan.

أَنَّ جَارِيَةً لِكَعْبِ بْنِ مَالِكٍ كَانَتْ تَرْعَى غَنَمًا بِسَلْعٍ فَأُصِيبَتْ شَاةٌ مِنْهَا فَأَدْرَكَتْهَا فَذَبَحَتْهَا بِحَجَرٍ فَسُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كُلُوهَا

Artinya, “Seorang budak perempuan Ka’ab bin Malik pernah menggembalakan kambing di Sala’. Lalu salah seekor di antaranya menderita sesuatu, lalu budak itu mendapatinya dan menyembelih kambing itu dengan batu. Kemudian ditanya mengenai hal itu, Nabi Muhammad SAW berkata, ‘Makanlah kambing itu,’” (HR Bukhari, no 5081).

Berdasarkan hadits ini Imam Ibnu Qudamah berpendapat.

وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ فَوَائِدُ سَبْعٌ ؛ أَحَدُهَا ، إبَاحَةُ ذَبِيحَةِ الْمَرْأَةِ

Artinya, “Hadis ini mengandung tujuh informasi di mana salah satunya adalah kebolehan penyembelihan hewan oleh wanita,” (Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 21/370).

Adapun pendapat ulama mengenai hal ini, bisa dilihat pada penjelasan Ibnul Mundzir dalam kitab Al-Ijma’yang menyebutkan.

وأجمعوا على إباحة ذبيحة الصبي والمرأة إذا أطاقا الذبح، وأتيا على ما يجب أن يؤتى عليه

Artinya, “Ulama bersepakat mengenai kebolehan penyembelihan oleh anak-anak dan wanita, dengan syarat keduanya mampu menyembelih dan melaksanakan apa-apa yang wajib ada dalam penyembelihan,” (Lihat Ibnul Munzir An-Naisaburi As-Syafi’i, Al-Ijma’, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, 2010, hal 14).

Dari pelbagai keterangan di atas kita dapat mengatakan bahwa diperbolehkan bagi seorang perempuan dewasa menyembelih hewan ternak selagi dia memiliki kemampuan dan memenuhi syarat penyembelihan pada lazimnya. Artinya, masalah penyembelihan hewan bukan masalah jenis kelamin penyembelih, tetapi terletak pada persoalan profesionalitas dan kompetensi.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.

Jumat, 10 Agustus 2018

KISAH ULAR DAN GERGAJI

KISAH ULAR DAN GERGAJI

Sanhaji 11 Agustus 2018

Seekor ular memasuki gudang tempat kerja seorang tukang kayu di malam hari.
Kebiasaan si tukang kayu adalah membiarkan sebagian peralatan kerjanya berserakan dan tidak merapikannya.

Nah ketika seekor ular itu masuk ke gudang tukang kayu, secara kebetulan ia merayap diatas gergaji, tajamnya gergaji menyebabkan perut ular terluka. Ular beranggapan gergaji itu menyerangnya,ular itu pun membalas dgn mematuk gergaji itu berkali - kali.

Serangan yg bertubi-tubi menyebabkan luka parah di bagian mulutnya, marah dan putus asa ular berusaha mengerahkan kemampuan terakhirnya untuk mengalahkan musuhnya. Ular pun lalu membelit kuat gergaji itu, belitan yang menyebabkan tubuhnya terluka parah akhirnya ular itu mati binasa. Di pagi hari si tukang kayu menemukan bangkai ular tersebut di sebelah gergaji kesayangannya.

Saudaraku.....
Kadangkala di saat marah, kita ingin  melukai orang lain. Setelah semua berlalu, kita baru menyadari bahwa yang terluka sebenarnya adalah diri kita sendiri. Banyak perkataan yang terucap dan tindakan yang dilakukan saat amarah menguasai, sebanyak itu pula kita melukai diri kita sendiri.

Ketahuilah dendam benci/curiga/pikiran negatif apapun itu, sebenarnya bagaikan ular yang membelit gergaji, telah ribuan kali muncul dalam pikiran kita yg menusuk dan membakar hati kita sendiri.

Latihlah setiap saat untuk mengampuni, memaafkan dengan tulus, mampu dgn cepat melepaskan & membuang sampah pengotor hati dan pikiran kita sendiri.


Rabu, 08 Agustus 2018

TAFSIR SURAT ADH-DHUHA


TAFSIR SURAT ADH-DHUHA

وَالضُّحَىٰ﴿١﴾
وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَىٰ﴿٢﴾
مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ﴿٣﴾
وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَكَ مِنَ الْأُولَىٰ﴿٤﴾
وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَىٰ﴿٥﴾
أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَىٰوَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَىٰ﴿٧﴾
وَوَجَدَكَ عَائِلًا فَأَغْنَىٰ﴿٨﴾
فَأَمَّا الْيَتِيمَ فَلَا تَقْهَرْ﴿٩﴾
وَأَمَّا السَّائِلَ فَلَا تَنْهَرْ﴿١٠﴾
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ

1. Demi waktu matahari sepenggalahan naik.
2. Dan demi malam apabila telah sunyi.
3. Rabbmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.
4. Dan sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu daripada permulaan.
5. Dan kelak pasti Rabbmu memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.
6. Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim lalu Dia melindungimu?
7. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung lalu Dia memberikan petunjuk?
8. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan lalu Dia memberikan kecukupan?
9. Adapun terhadap anak yatim, maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang!
10. Dan terhadap orang yang minta-minta, maka janganlah kamu menghardiknya!
11. Dan terhadap nikmat Rabbmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).

Surat yang mulia ini adalah makkiyah.[1]
Berkaitan dengan asbab nuzul (sebab turunnya) surat ini, ada beberapa riwayat atau hadits yang shahih, di antaranya hadits Jundub bin Abdillah bin Sufyan al Bajali Radhiyallahu anhu , ia berkata :

اِحْتَبَسَ جِبْرِيْلُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ، فَقَالَتْ اِمْرَأَةٌ مِنْ قُرَيْشٍ: أَبْطَأَ عَلَيْهِ شَيْطَانُهُ. فَنَـزَلَتْ: وَالضُّحَى. وَاللَّـيْلِ إِذاَ سَجَى. مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى

Jibril Alaihisallam tertahan (tidak kunjung datang) kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, , lalu berkata seorang wanita[2] dari Quraisy : “Setannya terlambat datang kepadanya,” maka turunlah :

وَالضُّحَىٰ﴿١﴾وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَىٰ﴿٢﴾مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى

(Demi waktu matahari sepenggalahan naik. Dan demi malam apabila telah sunyi. Rabb-mu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu).[3]

Pada riwayat yang lain dengan sedikit perbedaan lafazh, Jundub bin Abdillah al Bajali Radhiyallahu anhu berkata:

اِشْتَكَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَلَمْ يَقُمْ لَيْلَـتَيْنِ أَوْ ثَلاَثاً، فَجَاءَتْ اِمْرَأَةٌ، فَقَالَتْ: يَا مُحَمَّدُ، إِنِّيْ لأَرْجُوْ أَنْ يَكُوْنَ شَيْطَانُكَ قَدْ تَرَكَكَ، لَمْ أَرَهُ قُرْبَكَ مُنْذُ لَيْلَتَيْنِ أَوْ ثَلاَثاً. فَأَنْزَلَ الله ُعَزَّ وَجَلَّ: وَالضُّحَى. وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى. مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَى

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadu dan tidak keluar selama dua atau tiga malam. Lalu datang seorang wanita, dan berkata: “Wahai, Muhammad! Sesungguhnya aku sangat berharap agar setanmu benar-benar telah meninggalkanmu. Aku tidak melihatnya selama dua atau tiga malam,” maka Allah turunkan …” (surat adh Dhuha).[4]

Ada juga beberapa riwayat dan hadits lainnya yang berkaitan dengan (sebab turunnya) surat ini, namun seluruhnya berkisar antara dha’if (lemah), dha’ifun jiddan (lemah sekali), dan munkar (menyelisihi riwayat yang shahih).[5]

Pada ayat pertama surat adh Dhuha ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan waktu dhuha. Yaitu waktu ketika menjelang siang, saat matahari mulai naik dan menerangi dengan cahayanya. Dan di ayat yang kedua, Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan waktu malam yang tenang, sunyi dan gelap gulita.[6]

Ayat ketiga pada surat ini, merupakan jawaban dari sumpahNya terhadap hal-hal yang disebutkan pada dua ayat sebelumnya. Yang maknanya ialah, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak meninggalkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak (pula) membencinya sejak Allah Subhanahu wa Ta’ala mencintainya. Bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap bersamanya, membimbingnya, dan meninggikan derajatnya setingkat demi setingkat. Hal ini menunjukkan, bahwa keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dari dahulu sampai pada saat turunnya ayat ini, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada dalam keadaan yang sangat baik dan sempurna. Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa mencintai dan membimbingnya. Sehingga, ayat ini juga merupakan bantahan terhadap orang-orang musyrik dan wanita musyrik tersebut yang berprasangka bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah ditinggalkan dan dibenci Allah Subhanahu wa Ta’ala.[7]

Pada ayat berikutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan bahwa keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada masa yang akan datang akan jauh lebih baik dari sebelumnya. Sehingga, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan terus selalu mendapatkan bimbingan Allah Subhanahu wa Ta’ala , hingga beliau benar-benar mendapatkan derajat tertinggi di sisiNya. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan senantiasa membelanya, memenangkan agamaNya di atas musuh-musuhnya, senantiasa membimbingnya hingga beliau wafat. Dan sungguh, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencapai derajat tersebut. Yaitu sebuah derajat yang tidak akan pernah dicapai oleh siapapun dari orang-orang terdahulu sebelum beliau n dan orang-orang yang datang sepeninggal beliau, berupa keutamaan-keutamaan dan kenikmatan-kenikmatan yang begitu banyak dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.[8]

Al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata,”Maksud ayat ini adalah, akhirat lebih baik bagimu (wahai Muhammad) daripada dunia ini. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling zuhud (merasa cukup dan tidak terlalu membutuhkan, Pen) di dunia ini. Beliau adalah orang yang paling jauh dari keduniaan, sebagaimana telah diketahui dari seputar sejarah hidup beliau. Tatkala beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberikan pilihan (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) pada akhir usia beliau, (yakni pilihan) antara tetap hidup kekal di dunia ini yang akhirnya mengantarkan beliau ke surga, dan (pilihan berupa) segera pergi menuju Allah Azza wa Jalla, beliaupun memilih apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala , daripada kehidupan di dunia ini”. [9]

Kemudian al Hafizh Ibnu Katsir t membawakan hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu , ia berkata:

نَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ عَلَى حَصِيْرٍ، فَقَامَ وَقَدْ أَثَّرَ فِي جَنْبِهِ، فَقُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لَوْ اتَّخَذْنَا لَكَ وِطَاءً، فَقَالَ: ((مَا لِيْ وَمَا لِلدُّنْيَا، مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ أَسْتَظِلُّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا)).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di atas tikar, kemudian beliau bangun, sedangkan di tubuh beliau terdapat bekas tikar, kamipun berkata: “Wahai, Rasulullah. Seandainya (tadi) kami siapkan untukmu alas pelapis (tikar),” beliaupun bersabda : “Apalah (artinya) untukku semua yang ada di dunia ini? Tidaklah diriku berada di dunia ini, melainkan bagai pengendara yang berteduh di bawah sebuah pohon, kemudian ia pergi dan meninggalkannya?” [10]

Berkaitan dengan penjelasan al Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah di atas, juga ada sebuah hadits shahih dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma , ia berkata :

كَانَ النَِّبيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ يَقُوْلُ وَهُوَ صَحِيْحٌ: ((إِنَّهُ لَمْ يُقْبَضْ نَبِيٌّ قَطُّ حَتَّى يَرَى مَقْعَدَهُ مِنَ الْجَنَّةِ، ثُمَّ يُخَيَّرُ))، فَلَمَّا نُزِلَ بِهِ وَرَأْسُهُ عَلَى فَخِذِيْ، غُشِيَ عَلَيْهِ سَاعَةً، ثُمَّ أَفَاقَ، فَأَشْخَصَ بَصَرَهُ إِلَى السَّقْفِ، ثُمَّ قَالَ: ((اَللَّهُمَّ الرَّفِيْقَ الأَعْلَى))، قُلْتُ: إِذاً، لاَ يَخْتَارُنَا، وَعَرَفْتُ أَنَّهُ الْحَدِيْثُ الَّذِيْ كَانَ يُحَدِّثُنَا بِهِ، قَالَتْ: فَكَانَتْ تِلْكَ آخِرَ كَلِمَةٍ تَكَلَّمَ بِهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ قَوْلَهُ: ((اَللَّهُمَّ الرَّفِيْقَ الأَعْلَى)).

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda tatkala masih dalam keadaan sehat : “Sesungguhnya, tidak ada seorang nabi pun yang diwafatkan (oleh Allah) hingga ia melihat tempatnya di surga, kemudian ia diberi pilihan,” maka tatkala beliau sakit dan kepalanya berada di atas pahaku, beliau pingsan sejenak, kemudian beliau sadarkan diri dan membelalakkan matanya ke langit-langit, kemudian berkata: “Ya, Allah. (Aku memilih derajat di sisiMu) Yang Maha Tinggi”, aku berkata: “Kalau begitu, beliau tidak lagi memilih kami. Akupun mengetahui bahwa itu adalah hadits yang dahulu pernah beliau sampaikan kepada kami. Itulah kata terakhir yang beliau ucapkan, yaitu: “Ya, Allah. (Aku memilih derajat di sisiMu) Yang Maha Tinggi”[11].

Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pada ayat yang ke lima :

وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَىٰ

“Dan kelak pasti Rabb-mu memberikan karuniaNya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas”.

Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan dan menegaskan kembali bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan diberi karunia dan pemberianNya sampai beliau ridha.

Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di t berkata,”Ayat ini merupakan sebuah ungkapan (atas karunia dan pemberian Allah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), yang tidak mungkin ada ungkapan lainnya yang lebih umum dan gamblang dari ungkapan ini.”[12]

Berkenaan dengan ayat ini, terdapat sebuah riwayat dari Ali bin Abdillah bin ‘Abbas, dari ayahnya (Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma ), ia berkata:

أُرِيَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ مَا يُفْتَحُ عَلَى أُمَّتِهِ مِنْ بَعْدِهِ، فَسُرَّ بِذَلِكَ فَأَنْزَلَ الله ُعَزَّ وَجَلَّ: وَالضُّحَى. وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى، إِلَى قَوْلِهِ: وَلَسَوْفَ يُعْطِيْكَ رَبُّكَ فَتَرْضَى، قَالَ: فَأَعْطَاهُ أَلْفَ قَصْرٍ فِي الْجَنَّةِ مِنْ لُؤْلُؤٍ تُرَابُهُ الْمِسْكُ، فِي كُلِّ قَصْرٍ مِنْهَا مَا يَنْبَغِيْ لَهُ.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperlihatkan hal-hal yang akan dibukakan (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala) untuk umatnya sepeninggalnya. Beliaupun merasa gembira dengannya, maka Allah turunkan:

وَالضُّحَىٰ﴿١﴾وَاللَّيْلِ إِذَا سَجَى

(Demi waktu matahari sepenggalahan naik. Dan demi malam apabila telah sunyi), sampai firmanNya:

وَلَسَوْفَ يُعْطِيكَ رَبُّكَ فَتَرْضَىٰ

(Dan kelak pasti Rabb-mu memberikan karuniaNya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas).

Ia (Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu anhuma) berkata: “Maka Allah pun memberinya seribu istana yang terbuat dari mutiara di surga. Tanahnya adalah misik (minyak wangi). Dan di setiap istana tersebut (tersedia) apa-apa yang sudah selayaknya untuknya”. [13]

Al Hafizh Ibnu Katsir berkata,”(Hadits ini) diriwayatkan oleh Ibnu Jarir (ath Thabari) dari jalannya. Dan sanad (hadits ini) shahih sampai Ibnu ‘Abbas. Dan perkara seperti ini tidak mungkin dikatakan, keculi dengan persaksian (pembenaran) (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam).”[14]

Ada juga hadits shahih lainnya yang berkaitan dengan ayat ini, yaitu hadits Abdullah bin ‘Amr bin al ‘Ash Radhiyallahu anuma , ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ تَلاَ قَوْلَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فِيْ إِبْرَاهِيْمَ: رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيْرًا مِنَ النَّاسِ فَمَنْ تَبِعَنِيْ فَإِنَّهُ مِنِّيْ، وَقَالَ عِيْسَى عَلَيْهِ السَّلاَمُ: إِنْ تُعَذَِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ، فَرَفَعَ يَدَيْهِ وَقَالَ: ((اَللَّهُمَّ أُمَّتِيْ أُمَّتِيْ))، وَبَكَى، فَقَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: يَا جِبْرِيْلُ، اِذْهَبْ إِلَى مُحَمَّدٍ وَرَبُّكَ أَعْلَمُ، فَسَلْهُ مَا يُبْكِيْكَ؟ فَأَتَاهُ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَسَأَلَهُ، فَأَخْبَرَهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ بِمَا قَالَ وَهُوَ أَعْلَمُ، فَقَالَ اللهُ: يَا جِبْرِيْلُ، اِذْهَبْ إِلَى مُحَمَّدٍ فَقُلْ: إِنَّا سَنُرْضِيْكَ فِيْ أُمَّتِكَ وَلاَ نَسُوْءُكَ.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah (atas lisan) Ibrahim Alaihissallam :

رَبِّ إِنَّهُنَّ أَضْلَلْنَ كَثِيرًا مِنَ النَّاسِ ۖ فَمَنْ تَبِعَنِي فَإِنَّهُ مِنِّي

(Ya Rabbku, sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan daripada manusia, maka barang siapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku – Ibrahim ayat 36).

Dan berkata ‘Isa Alaihissallam :

إِنْ تُعَذِّبْهُمْ فَإِنَّهُمْ عِبَادُكَ ۖ وَإِنْ تَغْفِرْ لَهُمْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

(Jika engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana – al Maidah ayat 118).

Lalu beliau (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) mengangkat ke dua tangannya dan berkata: “Ya Allah, umatku…umatku,” dan menangis. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berkata: “Wahai Jibril, pergilah kepada Muhammad, dan Rabb-mu lebih mengetahui. Dan tanyalah (kepadanya), apa yang membuatmu menangis?” Lalu Jibril Alaihissallam pun mendatanginya dan bertanya kepadanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukannya, dan Allah lebih mengetahuinya, kemudian Allah berkata: “Wahai Jibril, pergilah kepada Muhammad, dan katakana,’Sesungguhnya Kami akan membuatmu ridha dan (Kami) tidak akan berbuat buruk kepadamu’.”[15]

Senin, 06 Agustus 2018

Nikah Sedarah, Syariat yang Punah

Tapi
Nikah Sedarah, Syariat yang Punah

Pada masa awal peradaban manusia, jumlah manusia sangat sedikit, hanya ada Adam dan Hawa beserta anak-anaknya.

Lalu, bagaimana hingga akhirnya jumlah manusia bertambah banyak?

Proses reproduksi manusia yang akhirnya menghasilkan banyak keturunan tidak bisa sembarangan. Hubungan antardua manusia perlu diatur agar bisa meneruskan keturunan yang lebih baik. Pengaturannya adalah dengan pernikahan.

Lalu bagaimana Nabi Adam mengatur pernikahan bagi putra-putranya? At-Thaba'thaba'i, penulis Tafsir al-Mizan menuliskan bahwa pada waktu itu karena hukum larangan pernikahan saudara sedarah atau kandung belum diturunkan maka mau tak mau pernikahan dilakukan sesama saudara. “Generasi manusia tidak dapat dipertahankan dan lestari kecuali melalui jalan ini,” tulisnya.

Ibnu Katsir mengemukakan dalam Qashah al-Anbiyaa' setiap kali mengandung, Hawa kemudian melahirkan dua anak kembar, laki-laki dan perempuan. “Adam diperintahkan untuk menikahkan anak laki-lakinya dengan putri dari kembaran anak laki-laki yang lain, dan seterusnya,” tulisnya. 

Ini berarti Allah telah memberikan petunjuk agar manusia terus melanjutkan keturunannya, namun dalam kasus Nabi Adam ini, yang dibolehkan adalah pernikahan silang, bukan dengan saudara kembar yang lahirnya bersamaan dengannya. “Tidak dihalalkan menikah dengan saudara kembarnya sendiri,” katanya.

Semakin bertambahnya jumlah manusia, pilihan antara laki-laki dan perempuan pun semakin banyak. Hingga kemudian pernikahan sesama saudara pun kemudian tidak dibenarkan, bahkan pernikahan sesama saudara sepersusuan.

Sejak zaman Nabi Muhammad AS, hukum ini mulai dijalankan. Apalagi diperkuat dengan turunnya surah an-Nisa ayat 23, “Diharamkan atas kamu menikahi ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan.”

Dalam Agama islam merupakan suatu hal yang sangat tabu dalam larangan perkawinan sdarah ini.

Firman Allah dalam surat An Nisa’ ayat 23 yang artinya berbunyi :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُوَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Artinya : “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibu yang menyusukan kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isterimu (mertua), anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaan kamu dari isteri yang kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (dan diharamkam bagimu) isteri-isteri anak kandungmu(menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masalampau, sesunggguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Dalam kajian sosioantropologi, hubungan sedarah itu disebut dengan inses. Syariat menikah dengan saudara kandung itu diperbolehkan sebelum datangnya Risalah Muhammad SAW. Sejak Rasulullah diutus, ketentuan menikah saudara sedarah itu dihapuskan mutlak.

Sumber: Disarikan dari Pusat Data Republika

 

    

Sabtu, 04 Agustus 2018

DOA PILIHAN UTK 'ID MILAD..

DOA PILIHAN UTK 'ID MILAD..

Berikut ini doa-doa pilihan yang baik untuk ulang tahun, semoga Allah SWT senantiasa menyayangi kita semua.

1. Doa Mohon Panjang Umur

اَللَّهُمَّ طَوِّلْ عُمُورَنَا وَصَحِّحْ أَجْسَادَنَا وَنَوِّرْ قُلُوْبَنَا وَثَبِّتْ إِيْمَانَنَا وَأَحْسِنْ أَعْمَالَنَا وَوَسِّعْ أَرْزَقَنَا وَإِلَى الخَيْرِ قَرِّبْنَا وَعَنِ الشَّرِّ اَبْعِدْنَا وَاقْضِ حَوَائِجَنَا فِى الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَالۤاخِرَةِ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيْرٌ

Allaahumma thowwil ‘umuuronaa, wa shohhih ajsaadanaa, wa nawwir quluubanaa, wa sabbit iimaananaa wa ahsin a’maalanaa, wa wassi’ arzaqonaa, wa ilal khoiri qorribnaa wa ‘anisy-syarri ab’idnaa, waqdhi khawaa-ijanaa fiddiini waddunyaa wal aakhirati innaka ‘alaa kulli syai-in qodiirun

Artinya:
Ya Allah! Panjangkan umur kami, sehatkan jasad kami, terangi hati kami, tetapkan iman kami, baikkan amalan kami, luaskan rezeki kami, dekatkan kami pada kebaikan dan jauhkan kami dari keburukan, kabulkan semua kebutuhan kami dalam urusan agama, dunia, dan akhirat. Sesungguhnya Engkau (Allah) Maha Kuasa atas segala sesuatu.


2. Doa Mohon Kemuliaan untuk Keluarga

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَ اِمَامًا

Robbanaa hablanaa min azwaajinaa wa dzurriyyaatinaa qurrota a’yuun waj-‘alnaa lilmuttaqiina imaama

Artinya:
Ya Rabb kami, anugerahkan kepada kami, istri-istri kami dan anak cucu kami sebagai penyenang hati kami, dan jadikan kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.

3. Mohon Keselamatan dan Kesejahteraan

اَللهُمَّ اِنَّا نَسْأَلُكَ سَلاَمَةً فِى الدِّيْنِ وَعَافِيَةً فِى الْجَسَدِ وَزِيَادَةً فِى الْعِلْمِ وَبَرَكَةً فِى الرِّزْقِ وَتَوْبَةً قَبْلَ الْمَوْتِ وَرَحْمَةً عِنْدَ الْمَوْتِ وَمَغْفِرَةً بَعْدَ الْمَوْتِ

Allaahumma innaa nas-aluka salaamatan fid diini wa ‘aafiyatan fil jasadi wa ziyaadatan fil ‘ilmi wa barokatan fir rizqi wa taubatan qoblal mauti wa rohmatan ‘indal mauti wa maghfirotan ba’dal mauti

Artinya:
Ya Allah kami memohon kepadaMu keselamatan dalam agama, dan kesejahteraan/kesegaran pada tubuh dan penambahan ilmu, dan keberkahan rizqi, serta taubat sebelum mati dan rahmat di waktu mati, dan keampunan sesudah mati.


4. Mohon Anak yang Sholeh

رَبِّ هَبْلِيْ مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً اِنَّكَ سَمِيْعُ الدُّعَاءِ

Robbi hablii min ladunka dzurriyyatan thoyyibatan innaka samii’ud du’aa-i

Artinya :
Ya Rabbi, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa (hambamu).

5. Doa Mohon Rezeki Yang Halal dan Baik

اَللهُمَّ اِنِّىْ اَسْأَلُكَ اَنْ تَرْزُقَنِىْ رِزْقًا حَلاَلاً وَاسِعًا طَيِّبًا مِنْ غَيْرِ تَعَبٍ وَلاَمَشَقَّةٍ وَلاَضَيْرٍ وَلاَنَصَبٍ اِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيْرٌ

Allahumma innii as-aluka an tarzuqonii rizqon halaalan waasi’an thoyyiban min ghairi ta’abin wala masyaqqatin walaa dloirin walaa nashabin innaka ‘a-laa kulli syai-in qodiir.

Artinya :
Ya Allah, aku minta pada Engkau akan pemberian rizki yang halal, luas, baik tidak tanpa repot dan juga tanpa kemelaratan dan tanpa keberatan sesungguhnya Engkau kuasa atas segala sesuatu.


Itulah beberapa doa dan ucapan selamat ulang tahun dalam bahasa arab beserta terjemahan dan artinya, saat perayaan sederhana bersama keluarga tercinta, bersama kerabat maupun sahabat dekat doa ini bisa kita amalkan, semoga bermanfaat.