Tata Cara Pelaksanaan Shalat Tasbih
Salah
satu shalat sunnah yang dianjurkan oleh para ulama kita adalah shalat
tasbih. Dinamakan demikian karena di dalam shalat tersebut banyak dibaca
tasbih. Sebagian masyarakat muslim di Indonsia menjadikan shalat tasbih
sebagai sarana untuk mendapatkan lailatul qadr di bulan Ramadhan. Untuk
menjaring malam yang sangat mulia ini mereka melakukan shalat malam
secara berjamaah di sepuluh malam terakhir Ramadhan dan shalat tasbih
dipilih untuk menjadi sarananya.
Para
ulama mendasarkan kesunnahan shalat tasbih pada sebuah hadits riwayat
Abu Rafi’ di mana Rasulullah memberitahukan kepada paman beliau Abbas
tentang tata cara dan berbagai keutamaan melakukan shalat tasbih. Dalam
berbagai kitab fiqih yang menuturkan perihal shalat tasbih para ulama
menyebut hadits yang cukup panjang tersebut. Meski dipandang sebagai
hadits dlaif (lemah) namun
para ulama Syafi’iyah seperti Abu Muhammad Al-Baghawi dan Abul Mahasin
Ar-Rayani menetapkan kesunnahan shalat tasbih ini. Ini sebagaimana
dituturkan oleh Imam Nawawi dalam Al-Adzkâr (Jakarta, Darul Kutub Al-Islamiyah, 2004, hal. 202).
Bila
dilihat dari sisi keutamaannya para ulama memandang shalat tasbih
memiliki keutamaan yang begitu besar sampai Imam As-Subki menyatakan
bahwa tidaklah orang yang mendengar tentang keutamaan shalat tasbih
namun ia meninggalkannya (tidak melakukannya) kecuali orang itu adalah
orang yang merendahkan agama (lihat: Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhâjul Qawîm, Beirut: Darul Fikr, tt., hal. 203).
Adapun
waktu pelaksanaan shalat tasbih dapat dilakukan kapan saja, baik siang
hari ataupun malam hari, sepanjang tidak pada waktu yang dilarang untuk
shalat. Hanya saja Imam Nawawi memiliki pendapat yang menyatakan adanya
perbedaan dalam teknis pelaksanaan shalat tasbih di siang dan malam
hari. Bagi beliau bila shalat tasbih dilakukan di malam hari maka akan
lebih baik bila dilakukan dua rakaat – dua rakaat masing-masing dengan
satu salam. Namun bila dilakukan di siang hari maka bisa dilakukan dua
rakaat satu salam atau langsung empat rakaat dengan satu salam. Dalam
kitab Al-Adzkâr-nya beliau menyatakan:
فإن صلى ليلاً فأحبّ إليّ أن يسلّم في ركعتين؛ وإن صلّى نهاراً، فإن شاء سلّم، وإن شاء لم يسلم
Artinya:
“Bila shalat dilakukan di malam hari maka lebih kusukai bila bersalam
dalam dua rakaat. Namun bila di siang hari maka bila mau bersalam (pada
dua rakaat) dan bila mau maka tidak bersalam (di dua rakaat).”
Lalu bagaimana tata cara melakukan shalat tasbih?
Ibnu Hajar Al-Haitami di dalam kitabnya Al-Minhâjul Qawîm menuliskan:
و
صلاة التسبيح وهي أربع ركعات يقول في كل ركعة بعد الفاتحة والسورة: سبحان
الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر، زاد في الإحياء: ولا حول ولا
قوة إلا بالله خمس عشرة مرة وفي كل من الركوع والاعتدال وكل من السجدتين
والجلوس بينهما والجلوس بعد رفعه من السجدة الثانية في كل عشرة فذلك خمس
وسبعون مرة في كل ركعة
Artinya:
“dan (termasuk shalat sunnah) adalah shalat tasbih, yaitu shalat empat
rakaat di mana dalam setiap rakaatnya setelah membaca surat Al-Fatihah
dan surat lainnya membaca kalimat subhânallâh wal hamdu lillâh wa lâ
ilâha illallâhu wallâhu akbar—di dalam kitab Ihyâ ditambahi wa lâ haulâ wa lâ quwwata illâ billâh—sebanyak
15 kali, dan pada tiap-tiap ruku’, i’tidal, sujud, duduk di antara dua
sujud, dan duduk setelah sujud yang kedua masing-masing membaca (kalimat
tersebut) sebanyak 10 kali. Maka itu semua berjumlah 75 kali dalam
setiap satu rakaat.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhâjul Qawîm, Beirut: Darul Fikr, tt., hal. 203)
Dari penjelasan Ibnu Hajar di atas dapat disimpulkan tata cara pelaksanaan shalat tasbih sebagai berikut:
1.
Pada dasarnya tata cara pelaksanaan shalat sunnah tasbih tidak jauh
berbeda dengan tata cara pelaksanaan shalat-shalat lainnya, baik syarat
maupun rukunnya. Hanya saja di dalam shalat tasbih ada tambahan bacaan
kalimat thayibah dalam jumlah tertentu.
2. Setelah membaca surat Al-Fatihah dan surat lainnya, sebelum ruku’ terlebih dahulu membaca kalimat subhânallâh wal hamdu lillâh wa lâ ilâha illallâhu wallâhu akbar (selanjutnya kalimat ini disebut tasbih) sebanyak 15 kali. Setelah itu baru kemudian melakukan ruku’.
3.
Pada saat ruku’ sebelum bangun untuk i’tidal terlebih dahulu membaca
tasbih sebanyak 10 kali. Setelah itu baru kemudian bangun untuk i’tidal.
4. Pada saat i’tidal sebelum turun untuk sujud terlebih dahulu membaca tasbih sebanyak 10 kali, baru kemudian sujud.
5. Pada saat sujud yang pertama sebelum bangun membaca tasbih sebanyak 10 kali, baru kemudian bangun untuk duduk.
6.
Pada saat duduk di antara dua sujud sebelum melakukan sujud kedua
membaca tasbih sebanyak 10 kali, baru kemudian melakukan sujud yang
kedua.
7. Pada saat sujud kedua sebelum bangun membaca tasbih sebanyak 10 kali.
8.
Setelah sujud yang kedua tidak langsung bangun untuk berdiri memulai
rakaat yang kedua, namun terlebih dahulu duduk untuk membaca tasbih
sebanyak 10 kali. Setelah itu barulah bangun untuk berdiri kembali
memulai rakaat yang kedua.
Dengan
demikian maka dalam satu rakaat telah terbaca tasbih sebanyak 75 kali.
Untuk rakaat yang kedua tata cara pelaksanaan shalat dan jumlah bacaan
tasbihnya sama dengan rakaat pertama, hanya saja pada rakaat kedua
setelah membaca tasyahud sebelum salam terlebih dahulu membaca tasbih
sebanyak 10 kali, baru kemudian membaca salam sebagaimana biasa sebagai
penutup shalat.
Wallâhu a’lam. (sanhaji)
Shalat
fajar sebenarnya merujuk pada waktu pelaksanaan shalat yang dilakukan
kala fajar telah terbit, sehingga shalat tahajud, shalat tarawih, shalat
witir, dan shalat-shalat lain yang dilakukan mulai selepas isya’ hingga
sebelum masuk waktu subuh tidak termasuk dalam kategori penamaan shalat
fajar, melainkan shalat malam.
Hanya
ada dua shalat yang terkhusus dilakukan kala fajar telah terbit, yakni
shalat sunnah qabliyah subuh dan shalat subuh. Lantas sebenarnya makna
dari shalat fajar apakah merujuk pada shalat subuh atau qabliyah subuh?
Atau justru mencakup kedua-duanya?
Dalam
beberapa hadits dijelaskan berbagai keutamaan melaksanakan shalat
fajar. Hadits yang cukup masyhur adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Sayyidah ‘Aisyah berikut:
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Dua rakaat shalat fajar lebih utama dari dunia dan seisinya” (HR. Muslim).
Imam
Abu Hasan al-Mubarakfuri mengartikan dua rakaat shalat fajar pada
hadits di atas pada makna shalat sunnah fajar, sehingga yang dimaksud
adalah shalat qabliyah subuh. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam
karya beliau, Mir’ah al-Mafatih Syarah Misykat al-Mashabih:
قوله (ركعتا الفجر) أي سنة الفجر هي المشهورة بهذا الاسم
“Maksud
dari perkataan ‘dua rakaat shalat fajar’ (dalam hadits) adalah shalat
sunnah (qabliyah) fajar. Penyebutannya memang masyhur dengan nama ini”
(Abu al-Hasan al-Mubarakfuri, Mir’ah al-Mafatih Syarah Misykat al-Mashabih, juz 4, hal. 137).
Pemaknaan
shalat fajar sebagai shalat qabliyyah subuh juga dikuatkan dengan
berbagai kata “rak‘atai-l-fajr” (dua rakaat shalat fajar) yang terdapat
dalam beberapa hadits, misalnya dalam dua hadits berikut ini:
عن حفصة قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي ركعتي الفجر قبل الصبح في بيتي يخففهما جدا
“Diriwayatkan dari Sayyidah Hafshah, beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat dua rakaat fajar sebelum melaksanakan shalat subuh di rumahku dengan sangat cepat” (HR. Ahmad).
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ
تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ
“Diriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah radliyallahu ‘anha, beliau berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam belum pernah dalam melakukan shalat sunnah lebih diperhatikan dari dua rakaat fajar” (HR. Bukhari)
Sedangkan
dalam beberapa redaksi hadits yang lain, makna shalat fajar tidak
merujuk pada shalat sunnah, tapi justru merujuk pada shalat subuh yang
merupakan shalat fardhu, misalnya seperti dalam hadits berikut:
عَنْ
جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا
صَلَّى الْفَجْرَ جَلَسَ فِى مُصَلاَّهُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ
حَسَنًا
“Diriwayatkan
dari sahabat Jabir bin Samurah bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam ketika telah melaksanakan shalat fajar, beliau duduk di tempat
shalatnya sampai matahari terbit dengan terang” (HR. Muslim).
Makna
hadits di atas dapat dipastikan merujuk pada shalat subuh, dengan
berdasarkan indikasi (qarinah) lafadz setelahnya yang tidak menjelaskan
bahwa Nabi Muhammad melaksanakan shalat yang lain kecuali shalat subuh.
Dalam
beberapa hadits yang lain juga dijelaskan pemaknaan shalat fajar
sebagai shalat subuh, dengan melihat pada hadits yang semakna namun dari
riwayat yang berbeda, misalnya seperti yang dijelaskan oleh Imam
al-Munawi berikut ini:
ـ (من صلى الفجر) أي صلاة الفجر بإخلاص وفي رواية صلاة الصبح (فهو في ذمة الله) ـ
“Barangsiapa
melaksanakan shalat fajar dengan ikhlas—dalam sebagian riwayat
diungkapkan dengan kata shalat subuh—maka dia berada dalam jaminan
Allah” (Al-Munawi, Faid al-Qadir, juz 6, hal. 213).
Sedangkan
dalam hadits yang diriwayatkan dari Sahabat Abdullah bin ‘Umar, secara
tegas memaknai redaksi ‘shalat al-fajar” dengan makna shalat subuh,
berikut hadits tersebut:
لا صَلاةَ بَعْدَ الْفَجْرِ، إِلا الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاةِ الْفَجْرِ
“Tidak ada shalat setelah (terbit) fajar kecuali dua raka’at sebelum shalat fajar” (HR. Thabrani)
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ketika shalat fajar diredaksikan dengan kata “rak’atai-l-fajr”
(dua rakaat fajar) maka makna yang dimaksud adalah shalat sunnah
qabliyah subuh. Sedangkan ketika shalat fajar diredaksikan dengan kata “shalla-l-fajr” atau dengan kata “shalat al-fajr” maka makna yang dimaksud adalah shalat subuh.
Demikian
bila kita memaknainya berdasarkan pada analisis berbagai hadits Nabi.
Sedangkan jika meninjaunya dari segi ‘urf lughat (keumuman bahasa) yang
berlaku dalam masyarakat Arab, mereka umumnya memaknai shalat fajar
sebagai shalat subuh. Hal ini dapat kita amati ketika memperhatikan
berbagai redaksi dalam berbagai kitab turats saat menjelaskan tentang
shalat subuh yang biasanya menggunakan redaksi kata “shalat al-fajr”,
sama persis dengan pelafalan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani
di atas. Sedangkan ketika membahasakan shalat qabliyah subuh, maka
umumnya orang Arab dalam berbagai redaksi menggunakan kata “rak’atai-l-fajr”.
Wallahu a’lam.
Berikut
ini adalah lafal wirid Syekh Abu Bakar bin Salim RA. Lafal ini berisi
pujian dan doa penting kepada Allah. Lafal wirid ini biasa dibaca
setelah sembahyang lima waktu dan even-even keagamaan lainnya. Lafal
wirid ini lazim dibaca di kalangan masyarakat Jakarta dan sekitarnya.
Berikut ini lafal wirid Syekh Abu Bakar bin Salim RA:
اللَّهُمَّ
لَكَ الحَمْدُ شُكْرًا، وَلَكَ المَنُّ فَضْلًا، (وَأَنْتَ رَبُّنَا
حَقًّا)، وَنَحْنُ عَبِيْدُكَ رِقًّا، وَأَنْتَ لَمْ تَزَلْ لِذَلِكَ
أَهْلًا
Allāhumma
lakal hamdu syukrā, wa lakal mannu fadhlā, (wa anta rabbunā haqqā, pada
sebagian riwayat), wa nahnu ‘abīduka riqqā, wa anta lam tazal lidzālika
ahlā.
Artinya,
“Tuhan kami, segala puji hanya bagi-Mu sebagai syukur, hanya milik-Mu
segala pemberian sebagai kelebihan, (Kau Tuhan kami sebenarnya, pada
sebagian riwayat), kami adalah hamba-Mu sebagai sahaya, dan Kau selalu
pantas untuk semua itu.”
اللَّهُمَّ
يَا مُيَسِّرَ كُلِّ عَسِيْرٍ، وَيَا جَابِرَ كُلِّ كَسِيْرٍ، وَيَا
صَاحِبَ كُلِّ فَرِيْدٍ، وَيَا مُغْنِيَ كُلِّ فَقِيْرٍ، وَيَا مُقْوِيَ
كُلِّ ضَعِيْفٍ، وَيَا مَأْمَنَ كُلِّ مَخِيْفٍ، يَسِّرْ عَلَيْنَا كُلَّ
عَسِيْرٍ، فَتَيْسِيْرُ العَسِيْرِ عَلَيْكَ يَسِيْرٌ، اللَّهُمَّ يَا مَنْ
لَا يَحْتَاجُ إِلَى البَيَانِ وَالتَّفْسِيْرِ، حَاجَاتُنَا إِلَيْكَ
كَثِيْرٌ، وَأَنْتَ عَالِمٌ بِهَا وَبَصِيْرٌ.
Allāhumma
yā muyassira kulli ‘asīr, wa yā jābira kulli kasīr, wa yā shāhiba kulli
farīd, wa yā mughniya kulli faqīr, wa yā muqwiya kulli dha‘īf, wa yā
ma’mana kulli makhīf, yassir ‘alaynā kulla ‘asīr, fa taysīrul ‘asīr
‘alayka yasīr, allāhumma yā man lā yahtāju ilal bayāni wat tafsīr,
hājātunā ilayka katsīr, wa anta ‘ālimun bihā wa bashīr.
Artinya,
“Tuhan kami, wahai Zat yang memudahkan mereka yang kesulitan, wahai Zat
yang menggenapkan mereka yang patah hati, wahai Zat yang menemani
mereka yang dalam kesendirian, wahai Zat yang mencukupi mereka yang
fakir, wahai Zat yang menguatkan mereka yang daif, wahai Zat tempat aman
dari segala ketakutan, mudahkanlah segala kendala yang menyulitkan
kami. Sedangkan ‘upaya’ pembalikan yang sulit menjadi mudah bagi-Mu
adalah sesuatu yang mudah. Tuhan kami, wahai Zat yang tidak memerlukan
penjelasan dan tafsir, hajat kami kepada-Mu begitu banyak. Sedangkan Kau
maha tahu dan maha lihat atas itu.”
اللَّهُمَّ
إِنِّيْ أَخَافُ مِنْكَ، وَأَخَافُ مِمَّنْ يَخَافُ مِنْكَ، وَأَخَافُ
مِمَّنْ لَا يَخَافُ مِنْكَ. اللَّهُمَّ بِحَقِّ مَنْ يَخَافُ مِنْكَ،
نَجِّنِيْ مِمَّنْ لَا يَخَافُ مِنْكَ بِحُرْمَةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، احْرُسْنِيْ بِعَيْنِكَ الَّتِيْ لَا تَنَامُ،
وَاكْنُفْنِيْ بِكَنَفِكَ الَّذِيْ لَا يُرَامُ، وَارْحَمْنِيْ
بِقُدْرَتِكَ عَلَيَّ، فَلَا تُهْلِكْنِيْ وَأَنْتَ رَجَائِيْ
بِرَحْمَتِكَ، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
Allāhumma
innī akhāfu minka, wa akhāfu mimman yakhāfu minka, wa akhafu mimman lā
yakhāfu minka. Allāhumma bi haqqi man yakhāfu minka, najjinī mimman lā
yakhāfu minka bi hurmati Muhammadin shallallāhu 'alayhi wa sallam,
uhrusnī bi ‘aynikal latī lā tanām, waknufnī b kanafikal ladzī lā yurām,
warhamnī bi qudratika ‘alayya, fa lā tuhliknī, wa anta rajā’ī bi
rahmatika, yā arhamar rāhimīn.
Artinya,
“Tuhanku, aku takut kepada-Mu, aku takut kepada mereka yang juga takut
kepada-Mu, dan aku takut kepada mereka yang tidak takut kepada-Mu.
Tuhanku, berkat pangkat mereka yang takut kepada-Mu, aku mohon
selamatkanlah aku dari mereka yang tidak takut kepada-Mu, dengan
kehormatan Nabi Muhammad SAW. Jagalah diriku dengan ‘mata’-Mu yang tidak
pernah terpejam. Lindungilah diriku dengan perlindungan-Mu yang tiada
henti. Berikanlah rahmat-Mu untukku. Dengan kuasa-Mu atasku, janganlah
kau binasakan diriku. Sedangkan Kau adalah harapanku, dengan rahmat-Mu
waha Zat yang maha pengasih.”
وَصَلَّى
اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ
البَشِيْرِ النَّذِيْرِ السِّرَاجِ المُنِيْرِ، وَالحَمْدُ لِلهِ رَبِّ
العَالَمِيْنَ.
Wa
shallallāhu ‘alā sayyidinā Muhammadin wa ālihī wa shahbihī wa sallamal
basyīrin nadzīr, as-sirājil munīr, walhamdu lillāhi rabbil ‘ālamīn.
Artinya,
“Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad SAW
yang membawa kabar gembira dan peringatan serta lentera penerang,
keluarga, dan sahabatnya. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.”
Lafal wirid ini dikutip dari Kitab Ini Wiridku di Waktu Malam atau Siang Hari pada
halaman 24-26, karya KH Abdullah Syafi’i, Bali Matraman, Tebet, Jakarta
Selatan. Karya ini selesai ditulis pada Jumat, 4 Sya’ban 1375 H atau 16
Maret 1956 M.
Adapun teks terjemahannya kami sadur dari terjemahan dari Kitab Ini Wiridku di Waktu Malam atau Siang Hari. Hanya saja kami mengubah beberapa teks terjemahannya dengan sedikit penyesuaian.
Wallahu a‘lam.
Ini Lafal Shalawat Nur Fathimah
Berikut
ini adalah lafal shalawat yang kerap dibaca jamaah shalat Subuh sebagai
pengiring jabat tangan sebelum mereka membubarkan diri. Shalawat Nur
Fathimah ini berisi lafal shalawat, pujian kepada Allah, dan permohonan
agar wafat dalam keadaan sebagai Muslim atau Muslimah.
Berikut ini lafal Shalawat Nur Fathimah:
صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ
Shallallāhu ‘alā Muhammad.
Artinya, “Semoga Allah melimpahkan shalawat-Nya kepada Nabi Muhammad SAW.”
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
Artinya, “Semoga Allah melimpahkan shalawat dan salam-Nya kepada Nabi Muhammad SAW.”
صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ
Shallallāhu ‘alā Muhammad.
Artinya, “Semoga Allah melimpahkan shalawat-Nya kepada Nabi Muhammad SAW.”
يَا ذَا الجَلَالِ وَالإِكْرَاِم
Yā dzal jalāli wal ikrām.
Artinya, “Wahai Zat yang maha besar dan maha mulia.”
أَمِتْنَا عَلَى دِيْنِ الإِسْلَامِ
Amitnā ‘alā dīnil Islām.
Artinya, “Wafatkanlah kami atas agama Islam.”
صَلُّوْا عَلَى نُوْرِ فَاطِمَةَ
Shallū ‘alā nūri Fāthimah.
Artinya, “Bershalawatlah kamu untuk Nur Fathimah.”
يَا رَسُوْلَ اللهِ، المُصْطَفَى
Yā Rasūlallāh, Al-Musthafā.
Artinya, “Wahai Rasulullah, Al-Musthafa.”
اللهُ يَا رَبَّنَا، اللهُ يَا رَبَّنَا، اسْتَجِبْ دُعَاءَنَا
Allāhu yā rabbanā, Allāhu yā rabbanā, istajib du‘ā’anā.
Artinya, “Ya Allah, Tuhan kami. Ya Allah, Tuhan kami, penuhilah doa kami.”
يَا رَبَّنَا، اللهُ يَا رَبَّنَا، تَقَبَّلْ دُعَاءَنَا
Yā rabbanā, Allāhu yā rabbanā, taqabbal du‘ā’anā.
Artinya, “Ya Tuhan kami. Ya Allah, Tuhan kami, terimalah doa kami.”
اللهُ رَبُّ العَالَمِيْنَ
Allāhu rabbul ‘ālamīn.
Artinya, “Allah Tuhan sekalian alam.”
أَوْلِيَاء أَجْمَعِيْنَ
Auliyā ajma‘īn.
Artinya, “(Dan) sekalian para wali Allah.”
Lafal
shalawat ini biasa dibaca ketika jamaah shalat Subuh berjabat tangan
setelah wirid dan doa. Lafal shalawat ini merupakan pengiring jabat
tangan jamaah shalat Subuh. Lafal shalawat ini juga kerap dibaca sebagai
pengiring jamaah shalat Tarawih sebagai pengiring jabat tangan sebelum
membubarkan diri setelah mereka merampungkan wirid, doa, dan zikir
shalat witir.
Lafal
ini diamalkan secara lisan dan turun-temurun di masjid-masjid di
Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, khususnya di Masjid Dakwatul
Islamiyyah, Pondok Pinang, Kebayoran Lama. Masyarakat tidak pernah
memberikan nama pada shalawat ini. Tetapi penulis memberikan nama
shalawat ini dengan sebutan "Shalawat Nur Fathimah" untuk memudahkan
pemberian judul artikel.
Wallahu a‘lam.
(sanhaji)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar