Sabtu, 28 September 2019

Silsilah Nasab Pengurus NU kepada Hadratussyekh Hasyim Asy'ari

Silsilah Nasab Pengurus NU kepada Hadratussyekh Hasyim Asy'ari

Ketua PCNU Kabupaten Bandung KH Asep Jamaluddin mengatakan, umumnya, setiap orang yang terlibat aktif di kegiatan organisasi Nahdlatul Ulama, baik sebagai anggota maupun menjadi pengurus kerap memiliki keterikatan nasab kepada pendiri organisasi, KH Hasyim Asy'ari. Keterikatan nasab ini dapat berupa nasab biologis atau keturunan dan nasab keilmuan melalui hubungan guru-murid. 

“Disadari atau tidak, orang yang aktif di NU, kalau diteliti ke atas pasti memiliki leluhur yang sama, bertemu dengan nasab kiai-kiai NU,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Al-Husaeniyah ini di kediamannya, Kampung Ciheulang, Ciparay, Kabupaten Bandung, Kamis (21/6).

Hal serupa juga berlaku dalam nasab pesantren NU yang jika ditarik ke atas, nasab keilmuan pesantren di NU akan 'sambung' dengan keilmuan Hadratussyekh. Seperti contoh, nasab kiai Asep sendiri terhubung langsung kepada Hadratussyekh lantaran kakeknya, KH Abdullah Cicukang yang pernah nyantri langsung kepada Hadratussyekh pada 1918 hingga 1926. 

Ia juga menyebutkan bahwa Kiai A. Qulyubi Tasikmalaya yang merupakan salah seorang pendiri NU di Tasikmalaya memiliki keterhubungan nasab baik secara biologis dan keilmuan kepada Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Maka sudah tentu, lanjut dia, seseorang yang secara keilmuan terhubung dengan Rais Akbar NU tersebut, ia juga terhubung dengan Rasulullah Muhammad SAW. 

Hadratussyekh Hasyim Asy'ari sendiri "terhubung" langsung dengan Nabi Muhammad SAW melalui silsilah berikut: 

Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ariSyaikh Mahfudz at-Termasi.Syaikh Nawawi al-BantaniSayyid Ahmad Zaini Dahlan.Imam Ahmad ad-Dasuqi.Imam Ibrahim al-Baijuri.Imam Abdullah as-Sanusi.Imam ‘Abduddin al-‘Iji.Imam Muhammad bin Umar Fakhrurrazi.Imam Abdul Karim asy-Syahrastani.Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad al-Ghozali.Imam Abdul Malik al-Haramain al-Juwaini.Imam Abubakar al-Baqillani.Imam Abdullah al-Bahili.Imam Abu al-Hasan Ali al-Asy’ari.Abu Ali al-Juba’i.Abu Hasyim al-Juba’i.Abu al-Hudzail al-‘Allaf.Ibrahim an-Nadzdzam.Amr bin Ubaid.Washil bin Atha’.Sayyidina Muhammad bin Ali bin Abi Thalib.Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kw.Sayyidina Rasulullah Muhammad SAW

Dengan demikian, menurut Kiai Said Aqil Siroj, sanad keilmuan yang dikembangkan dan dipertahankan NU terhubung atau mutawatir kepada Rasulullah SAW. (Abdullah Alawi/Rozali) 

Rabu, 25 September 2019

GAGALNYA DZIKIR SESEORANG KEPADA ALLAH

GAGALNYA DZIKIR SESEORANG KEPADA ALLAH
""""""""""""""""""""""""""""

YAA SALAAM ●●●

.
Didalam dzikirmu engkau harus mengenal Allah, janganlah sebatas mengenal dari ilmu" kalam yg engkau pelajari, harus dg rahasia misykat qalbumu yg terdalam.
Jika engkau tidak mengenal Allah dg qalbumu, maka dasar niatmu tuk berdzikir itu, tidak akan terbuka tujuanmu, harus engkau bangun dari sudut yg benar dan sempurna  yakni perbaiki niatmu dg cara membina niat karena Allah semata".

Jadi saudaraku sekalian....
Ibadah itu harus dibangun atas dasar tauhid dan takwa, bukan mendambakan ganjarannya.
Tetapi harus berada dalam maqam ikhlas.
Jika engkau tidak mengenal Allah melalui misykat qalbumu, maka dzikirmu itu akan bertindak atas kemauan nafsumu.

Kekhilafan seseorang beribadah itu kebanyakan bergantung pada amal, tidak disertai rahmat kasih-sayang Allah, karena itulah menganggap dzikirnya merupakan usahanya sendiri bukan dari karunia-Nya●

Janganlah engkau beranggap dzikirmu itu engkau yg berdzikir, tetapi dzikirmu itulah yg mengingat Allah,  serahkanlah dzikirmu itu pada-Nya, sebab engkau adalah fakir, membutuhkan sifat tawakkal dan keridhaan Allah swt. Dekatnya seseorang hamba kepada Allah itu ialah berserah diri bukan atas kemauan sendiri ●

Sebenarnya dzikirmu itu adalah Allah yg berdzikir, bukan kemauanmu melainkan Allah yg berkehendak berdzikir dan memuji Diri-Nya.
Engkau hanyalah alat penzahiran yg di adakan sifatnya kosong semata".
Suaramu yg engkau lantunkan melalui lisanmu itu hanyalah alat, tetapi suaramu itu hakikatnya adalah suara Allah. Lisanmu hanya sekedar bergerak dalam berdzikir. Sedangkan qalbumu itulah pedzikir hakiki yg takluk kepada sifat kalamnya Allah.

Ketahuilah saudaraku....
Gema dzikrullah didalam alam batinmu sebenarnya kalamullah.
Engkau sadari itu, itulah ma'rifat dzikrullah.
Dia- lah dibalik misykat rahasia itu.
Janganlah  engkau berdzikir dg tujuan dzikir saja, nanti engkau akan terjebak dalam pesona maqam keajaiban. Ini akan menghambat perjalananmu menuju pengenalan pada Allah.
Jauhkan pesona itu, sebab keajaiban" dzikir itu akan mendatangkan pujian.
Berdzikirlah yg sebenar dzikir yaitu karena Allah, bersama Allah dan untuk Allah ●

Tutuplah pintu bibirmu rapat" agar dzikirmu itu tidak didengar oleh siapapun, bahkan malaikat pun yg mencatat amalmu, itupun tidak mengetahuinya dimana munculnya dzikir itu.
Biarkan Allah saja yg tahu dzikir itu berada didalam " sirr mu " yakni dikamar yg Jibril sendiripun dilarang memasukinya.

Jumat, 20 September 2019

Khutbah Jum'at jangan bangga dengan ibadah


*JANGAN BANGGA DENGAN BANYAK SHALAT, PUASA DAN ZIKIR KARENA ITU SEMUA BELUM MEMBUAT ALLAH  SENANG*...
MAU TAHU APA YANG MEMBUAT ALLAH  SENANG...

Nabi Musa :"Wahai Allah, aku sudah melaksanakan ibadah. Lalu manakah ibadahku yang membuat Engkau senang..'
Allah..
*SHOLAT* Sholat mu itu untukmu sendiri, karena dengan mengerjakan sholat.. engkau terpelihara dari perbuatan keji dan munkar...
*DZIKIR* Dzikirmu itu hanya untukmu sendiri, membuat hatimu menjadi tenang...
*PUASA*  Puasamu itu untukmu sendiri, melatih dirimu untuk memerangi hawa nafsumu sendiri...
Nabi Musa : Lalu apa ibadahku yang membuat hatiMu senang Ya Allah ...
Allah : *SEDEKAH, INFAQ, ZAKAT serta PERBUATAN BAIKmu.*
Itulah yang membuat AKU senang, karena tatkala engkau membahagiakan orang yang sedang susah, AKU hadir disampingnya.
Dan AKU akan mengganti dengan ganjaran 700 kali (Al-Baqarah 261-262)...
Nah, bila kamu sibuk dengan ibadah ritual dan bangga akan itu... maka itu tandanya kamu hanya mencintai dirimu sendiri, bukan Allah.
Tapi, bila kau berbuat baik dan berkorban untuk orang lain... maka itu tandanya kau mencintai Allah dan tentu Allah senang karenanya.
Buatlah Allah senang maka Allah akan limpahkan rahmat-Nya dengan membuat hidupmu lapang  dan bahagia...
(Kitab Mukasyafatul Qulub  Karya Imam Al Ghazali...

Khutbah Kunci menjadi manusia terbaik

Kunci Menjadi Manusia Terbaik

Khutbah I

اْلحَمْدُ للهِ اْلحَمْدُ للهِ الّذي هَدَانَا سُبُلَ السّلاَمِ، وَأَفْهَمَنَا بِشَرِيْعَةِ النَّبِيّ الكَريمِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلَهَ إِلَّا الله وَحْدَهُ لا شَرِيك لَه، ذُو اْلجَلالِ وَالإكْرام، وَأَشْهَدُ أَنّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسولُه، اللّهُمَّ صَلِّ و سَلِّمْ وَبارِكْ عَلَى سَيِّدِنا مُحَمّدٍ وعلى اله وأصْحابِهِ وَالتَّابِعينَ بِإحْسانِ إلَى يَوْمِ الدِّين، أما بعد: فيايها الإخوان، أوصيكم و نفسي بتقوى الله وطاعته لعلكم تفلحون، قال الله تعالى في القران الكريم: أعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمان الرحيم: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا الله وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا، يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ الله وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
صدق الله العظيم

Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,

Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari, Baihaqi, dan Hakim:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخَلاقِ

Artinya: “Sungguh aku diutus menjadi Rasul untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”

Hadits ini menegaskan bahwa Islam hadir ke dunia ini untuk memperbaiki akhlak manusia. Dengan kata lain, Islam sangat berkepentingan dengan bagaimana umat manusia ini berperilaku yang baik yang disebut akhlak mulia. Maka tidak mengherankan apabila terdapat banyak hadits Rasulullah SAW yang membahas tentang akhlak, misalnya hadits yang diriwayatkan Thabrani dari Ibnu Umar sebagai berikut:

خَيْرُ النَّاسِ أحْسَنُهُمْ خُلُقًا

Artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling baik akhlaknya.”

Hadits tersebut menegaskan bahwa baik buruk manusia sejatinya bergantung pada akhlak mereka, baik akhlak kepada Sang Pencipta maupun kepada sesama makhluk terutama sesama manusia. Hadits ini menjadi sangat penting dan relevan pada saat sekarang dimana manusia berlomba-lomba memburu hal-hal yang bersifat duniawi tanpa menghiraukan norma-norma hukum agama - halal dan haram - maupun etika bermasyarakat. Berita-berita di media massa masih banyak dipenuhi hal-hal negatif seperti  korupsi, penipuan, kejahatan, penganiayaan, pembunuhan dan sebagainya. Semua perbuatan itu merupakan perilaku yang tidak terpuji atau akhlak yang buruk.

Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,

Dalam suatu hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda:

أَبْغَضُ الْعِبَادِ إِلَى اللهِ مَنْ كَانَ ثَوْبُهُ خَيْراً مِنْ عَمَلِهِ

Artinya: “Hamba yang paling dibenci Allah adalah orang yang pakainnya lebih baik dari pada amal perbuatannya.”

Hadits tersebut tentu tidak dimaksudkan untuk melarang kita berpakaian yang baik, tetapi Rasulullah SAW mengingatkan kepada kita untuk tidak semata-mata mengutamakan hal-hal yang bersifat lahiriah atau duniawi dengan mengabaikan hal-hal ukhrawi. Jangan sampai amal perbuatan kita yang bersifat ukhrawi ternyata lebih buruk daripada baju bagus yang kita kenakan. Jika orang menilai baju kita dengan nilai 7 atau 8, misalnya,  maka akhlak kita harus memiliki nilai lebih tinggi dari itu, semisal 9 atau bahkan 10. Maka setiap kali kita hendak memakai  baju, bertanyalah pada diri sendiri, apakah kita pantas memakai baju sebagus ini?

Jika tidak pantas, maka jangan urungkan memakai baju yang bagus itu, tetapi cobalah menasehati diri sendiri, misalnya dengan mengatakan, “Jika aku sanggup memakai baju sebagus ini, maka akhlakku harus lebih bagus.” Dengan begitu, maka kita akan terhindar dari kemarahan Allah SWT karena Allah memang membenci orang-orang yang pakaiannya lebih baik daripada akhlaknya sebagai dinyatakan dalam hadits tadi.

Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,

Rasulullah SAW memang sangat menekankan kepada kaum Muslimin untuk senantiasa berakhlak yang baik, seperti jujur, adil, rendah hati, dapat dipercaya, sabar, syukur, qana’ah, istiqamah, menyayangi yang lebih kecil atau muda, menghormati yang lebih tua, tidak suka menyakiti orang lain, suka menolong, bersedekah, dan lain sebagainya.  Semua akhlak yang terpuji itu telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW secara nyata sehingga beliau  mampu melakukan perubahan besar terhadap umat manusia.

Oleh karena itu, tidak mengherankan Micheal H. Hart dalam bukunya berjudul “The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History” menempatkan Nabi Muhammad SAW pada urutan pertama di antara 100 tokoh dunia sebagai orang paling berpengaruh sepanjang sejarah. Argumentasi dari sang penulis buku yang terbit pada tahun 1978 tersebut adalah karena Nabi Muhammad SAW merupakan orang paling sukses dalam memberikan pengaruh positif kepada umat manusia baik di bidang yang berkaitan dengan kebaikan  ukhrawi maupun kebaikan duniawi. .  

Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,

Dalam hadits yang lain lagi yang diriwayatkan Ibnu Majah, Rasululllah SAW bersabda:

سُوءُ الْخُلُقِ يُفْسِدُ الْعَمَلَ كَمَا يُفْسِدُ الْخَلُّ الْعَسَلَ

Artinya: “Akhlak yang buruk merusak amal kebaikan sepeti cuka merusak madu”

Hadits ini memberikan gambaran yang jelas bahwa perbuatan baik itu bisa rusak oleh akhlak yang tidak baik sebagaimana rusaknya madu oleh cuka. Kita  tahu bahwa madu adalah sesuatu yang bermanfaat bagi kesehatan manusia. Tetapi ketika madu itu bercampur dengan cuka, dalam hal ini adalah cuka putih atau cuka  yang disuling dari alkohol untuk keperluan industri, maka rusaklah madu itu. Ia tidak lagi memberikan manfaat positif bagi kesehatan manusia. Yang terjadi kemudian justru ia membahayakan keselamatannya. Ini seperti sebuah pepatah yang berbunyi, “Karena setitik nila, rusaklah susu sebelanga.” Artinya, amal yang baik dan banyak bisa rusak karena akhlak yang buruk dan dianggap sepele. Hal ini bisa menimbulkan kebangkrutan amal sebagaimana disinyalir dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Hurairoh R.A. berbunyi:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ “أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا : الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لا دِرْهَمَ لَهُ وَلا مَتَاعَ ، فَقَالَ : إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ”

Artinya: “Tahukah kalian siapakah yang dinamakan Muflis atau orang bangkrut? Orang-orang menjawab: Orang bangkrut menurut pendapat kami ialah mereka yang tiada mempunyai uang dan tiada pula mempunyai harta benda. Nabi menjawab: Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku, ialah mereka  yang  pada hari kiamat membawa amal kebaikan dari shalat, puasa, dan zakat. Tetapi mereka dahulu pernah mencaci maki orang lain, menuduh (mencemarkan nama baik) orang lain , memakan harta orang lain, menumpahkan darah orang lain  dan memukul orang lain. Maka kepada orang yang mereka salahi itu diberikan pahala amal baik mereka; dan kepada orang yang lain lagi diberikan pula amal baik mereka. Apabila amal baik mereka telah habis sebelum hutangnya lunas, maka diambillah kesalahan orang yang disalahi itu dan diberikan kepada mereka; Sesudah itu, mereka yang suka mencaci, menuduh, memakan harta orang lain seperti korupsi, menunpahkan darah orang lain, dan memukul orang lain itu,  akan  dilemparkan ke dalam neraka.”

Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,

Hadits ini hendaklah dapat kita hayati bersama dan memberikan kesadaran kepada kita betapa pentingnya menghindari akhlak yang buruk sebab dapat merugikan kita sendiri, yakni ludesnya amal-amal kebaikan kita yang telah kita kumpulkan dengan susah payah selama bertahun-tahun, bahkan selama hidup kita. Utuk itu apabila kita sayang pada diri sendiri, maka kita harus bisa menjaga agar amal-amal baik itu kita bisa kita rawat dengan sebaik-baiknya sehingga tidak musnah sia-sia. Caranya adalah dengan mengendalikan diri kita sehingga orang lain selamat dari akhlak kita yang buruk seperti: menyakiti hati, menghujat dan memaki, memfitnah dan menuduh tanpa bukti, mengambil hak seperti mencuri dan korupsi, membunuh, menyakiti secara fisik, dan sebagainya.

Jamaah shalat Jumat rahimakumullah,

Mudah-mudahan apa yang saya uraikan dapat memberikan dorongan kepada kita semua, khususnya  diri saya sendiri, untuk berakhlak mulia secara istiqamah. Mudah-mudahan pula kita senantiasa dimudahkan oleh  Allah SWT dalam menghindari dan meninggalkan akhlak-akhlak yang buruk.  Amin… Amin ya Rabbal Alamin.

جَعَلَنا اللهُ وَإيَّاكم مِنَ الفَائِزِين الآمِنِين، وَأدْخَلَنَا وإِيَّاكم فِي زُمْرَةِ عِبَادِهِ المُؤْمِنِيْنَ : أعوذ بالله من الشيطان الرجيم، بسم الله الرحمن الرحيم: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ وذِكْرِ الحَكِيْمِ.  إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ

Khutbah II

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا

أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ

Khutbah Jum'at Akhlaq

Yang Hilang dari Diri Kita: Akhlak!

“Innama buitstu liutamima makarimal akhlak”, sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak. Begitulah bunyi salah satu hadits Nabi Muhammad SAW. Sabda Rasulullah tersebut menunjukkan bahwa akhlak yang baik atau akhklakul karimah menjadi pondasi penting orang-orang beragama.

Akhlak ini berbasis nilai. Nilai merupakan sesuatu yang bersifat universal. Sehingga pada dasarnya, akhlak yang baik ada pada diri setiap orang beragama, setiap manusia. Apalagi ajaran Rasulullah penuh dengan teladan-teladan akhlak yang baik di tengah masyarakat.

Membahas persoalan akhlak, globalisasi yang disertai dengan perubahan sosial yang begitu cepat salah satunya berdampak pada pergeseran nilai sekaligus mendegradasi akhlak manusia. Tidak terhitungnya jumlahnya krisis kemanusiaan dan kemerosotan akhlak dalam kehidupan sehari-hari menjadi perhatian Pakar Tafsir Prof Dr Muhammad Quraish Shihab untuk menulis buku Yang Hilang dari Kita: Akhlak.

Dalam buku setebal 303 halaman itu, Quraish Shihab tidak hanya memaparkan epistemologi akhlak, tetapi juga memberikan teladan sehari-hari tentang akhlak berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits. Dalam Islam, akhlak menjadi disiplin ilmu tersendiri yang kadang diintegrasikan tasawuf dan filsafat karena terkait erat dengan konsep etika, dan lain-lain.

Akhlak dan budi pekerti yang luhur sangat dibutuhkan untuk mengisi kehidupan masyarakat. Buku ini menjelaskan bahwa akhlak luhur merupakan keniscayaan dari kedudukan manusia sebagai makhluk sosial. Semakin luhur akhlak seseorang, maka semakin mantap kebahagiaannya. Demikian juga dengan masyarakat, semakin kompak anggota-anggotanya secara bersama-sama melaksanakan nilai-nilai akhlak yang disepakati bersama, maka semakin bahagia masyarakat tersebut.

Dalam buku terbitan Lentera Hati ini, Quraish Shihab juga menjelaskan Akhlak secara filosofis. Ia mengemukakan sejumlah konsep etika dan nilai dari para filsuf Yunani dan filsuf Barat. Tentu saja penguatan ilmu akhlak banyak ia kutip dari Al-Qur’an, Hadits, dan kitab-kitab klasik para ulama. Secara historis, para filsuf Yunani kuno sangat menjunjung tinggi etika dan kemanusiaan. Langkah-langkah kaki mereka tidak pernah berhenti mencari ruang-ruang kehidupan manusia, dimana akhlak, etika, dan kemanusiaan dihidupkan.

Dalam buku ini juga dijelaskan terkait konsep Nurani. Nurani sangat terkait dengan perkembangan akhlak luhur pada diri manusia. Layaknya pelita yang selalu menerangi, nurani merupakan pencerah hati dan perasaaan manusia sehingga memungkinkan dirinya terhindar dari hal-hal negatif. Namun demikian, hati nuarani bukan hasil dari pemikiran teoritis akliah. Tetapi ia lahir dari kerja perasaaan yang bisa jadi tidak mudah untuk didefinisikan substansinya. Namun, setiap orang dapat merasakan hati nurani dan tidak mudah untuk mengabaikannya. 

Akhlak juga berkaitan dengan kebaikan dan keburukan/kejahatan. Keburukan atau kejahatan adalah lawan dari kebaikan. Ia mencakup dua hal pokok, pertama, sakit/perih, baik jasmani maupun rohani, seperti musibah kebakaran atau tenggelam. Kedua, adalah yang mengantar pada sakit atau perih seperti kebodohan dan kedurhakaan. Keburukan dan kejahatan itu bisa jadi bersumber dari pihak lain dan bisa juga akibat ulah yang mengalaminya sendiri.

Quraish Shihab mengungkapkan salah satu doa yang diamalkan dan diajarkan Rasulullah ketika akan keluar rumah, ialah: “Ya Allah, kami memohon perlindungan-Mu sehingga kami tidak sesat, tidak juga disesatkan, tidak tergelincir atau digelincirkan, tidak menganiaya tidak juga dianiaya, serta tidak berbuat jahil (picik), tidak juga kami diperlakukan dengan picik.” (Halaman 57). Doa tersebut mengisyaratkan potensi terjadinya keburukan dan kejahatan akibat ulah pihak lain maupun ulah kita sendiri.

Dalam konteks keterbukaan informasi  dan perkembangan teknologi digital, Quraish Shihab juga menekankan akhlak bertabayun atau melakukan kroscek kebernaran terhadap informasi dan berita yang beredar melalui media cetak, website, maupun media sosial. Dalam hal ini, Allah SWT dalam QS Al-Hujurat [49] ayat 6 memerintahkan manusia untuk senantiasa melakukan tabayyun atau check and richeck.

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa suatu berita, maka bersungguh-sungguhlah mencari kejelasan agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa pengetahuan yang menyebabkan kamu atas perbuatan kamu menjadi orang-orang yang menyesal.” (QS Al-Hujurat: 6)

Tanpa upaya bertabayun terlebih dahulu, tidak terhitung orang-orang yang aktif di media sosial termakan oleh berita-berita palsu dan bohong. Agaknya pasar netizen yang mudah dibohongi makin marak, dampaknya seolah kebohongan dalam bentuk informasi menjadi sebuah industri. Lagi-lagi, di sinilah akhlak luhur harus dikedepankan. Jika sebelum era digital langsung dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, saat ini akhlak juga harus dijunjung tinggi ketika berinteraksi di media sosial.

Quraish Shihab dalam buku ini mengisahkan bahwa pada masa Rasulullah SAW, ada sekelompok orang yang menyebarkan rumor tentang istri Nabi SAW, Aisyah ra yang cukup meresahkan Nabi dan sahabat-sahabat karib beliau. Setelah sebulan rumor itu berkembang, baru Allah SWT ayat-ayat yang membantah rumor tersebut sambil memberi pengajaran kepada umat bagaimana langkah yang harus ditempuh jika tabayyun tidak menghasilkan apa yang diharapkan atau bila rumor itu menyangkut orang yang selama ini dikenal baik.

Allah berpesan dalam QS An-Nur [24]: 12 yang maksudnya antara lain menyatakan bahwa mestinya sewaktu kamu mendengar rumor itu, kamu selaku orang-orang mukmin dan mukminah bersangka baik terhadap yang dicemarkan namanya karena yang dicemarkan namanya itu adalah bagian kamu sesama orang beriman. Pada ayat 24 dalam surat di atas, Allah dengan jelas memperingatkan bahwa orang-orang yang senang tersebarnya berita-berita yang mencemarkan dalam masyarakat Islam, mereka itu akan ditimpa siksa yang pedih.

Krisis akhlak yang semakin akut terutama di kalangan generasi muda, menjadikan buku ini penting untuk dibaca, dipahami, dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari. Bangsa Indonesia, terutama umat Islam perlu memperhatikan tradisi keilmuan dan pendidikan di pesantren yang integratif antara akhlak, ilmu, dan amal. Bahkan, pengembangan adab dan budi pekerti luhur sangat ditekankan di pesantren sehingga lembaga pendidikan asli Indonesia tersebut mampu menjadi benteng moral bagi generasi bangsa sejak berabad-abad lalu hingga saat ini. 


Minggu, 15 September 2019

Surah Al-Ikhlas dan Keutamaan Membacanya


Tafsir Surah Al-Ikhlas dan Keutamaan Membacanya

Surah al-Ikhlas memiliki banyak nama. Ada hampir 20 nama. Surah al-Muqasqisah, surah an-Najaah, al-Jamaal, al-Amaan, an-Nisbah dan lain-lain. Surah ini merupakan wahyu yang ke-19.

Pada wahyu-wahyu pertama, tidak disebut kata Allah tapi memakai kata rabb yang berarti Tuhan. Misalnya dalam surah al-Alaq 1-5, surah al-Mudatsir 1-7, dan seterusnya. Ini menjadi tanda tanya, mengapa pada wahyu pertama tidak disebut nama Allah?

Jawabnya sederhana, yakni karena kaum musyrik (penyekutu Tuhan) juga percaya Allah. Akan tetapi kepercayaan mereka tentang Allah berbeda dengan orang Islam. Orang Islam misalnya percaya bahwa Allah Maha Esa, Maha Suci, tidak memiliki anak dan tidak ada yang sama dengannya.

Karena ayat-ayat pertama turun hanya memakai lafal “rabb”, maka orang-orang Yahudi bertanya,

“Hai Muhammad, Kau selalu menyebut ‘rabb’, selalu menyebut nama ‘Tuhan’. Seperti apa sebetulnya Tuhan yang Kau maksud? Terbuat dari emaskah? Terbuat dari kayukah atau terbuat dari perak? Bagaimana Sifatnya?”

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Malaikat Jibril mendatangi Rasulullah dan menyampaikan wahyu surah al-Ikhlas. Demikian sebagaimana disebutkan dalam kitab Tafsir at-Tabari.

Kata “Ikhlas” di dalam Tafsir al-Mishbah dimaknai dengan suatu upaya menyingkirkan segala sesuatu yang tidak berhubungan dengan Tuhan sehingga yang tersisa hanya gambaran tentang Tuhan. Misalnya anggapan manusia pada waktu itu yang menganggap Tuhan lebih dari satu, bahwa Tuhan memiliki anak dan lain sebagainya.


Surah al-Ikhlas bila diterjemahkan seperti demikian:

Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala urusan. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.

Allah adalah zat yang Maha Esa. Kata Esa merupakan terjemahan dari kata ahad. Di dalam bahasa Arab, ada kata ahad, ada kata wahid. Keduanya bermakna satu. Apa bedanya? Ahad dalam zatnya, dalam sifatnya dan dalam perbuatannya. Misalnya jam tangan yang dipakai seseorang ada satu. Jam tangan tersebut satu namun terdiri atas beberapa unsur. Jam tangan membutuhkan jarum dan beberapa bahan. Satu yang terdiri atas beberapa unsur seabagaimana contoh jam tangan menggunakan kata wahid. Sedangkan Tuhan yang Maha Esa tidak membutuhkan unsur yang lain untuk keesaannya. Inilah yang disebut dengan ahad.

Suatu riwayat disandarkan kepada Ibnu ‘Abbas ra, menyatakan bahwa ash-shamad berarti: “tokoh yang telah sempurna ketokohannya, mulia dan mencapai puncak kemuliaan, yang agung dan mencapai puncak keagungan, yang penyantun dan tiada yang melebihi santunannya, yang mengetahui lagi sempurna pengetahuannya, yang bijaksana dan tiada cacat dalam kebijaksanaannya.”

Baca juga:  Tafsir Surah Al-Kautsar (Bagian 2)

Al-Allamah Ismail Haqqy dalam Tafsir Ruhul Bayan menyebutkan bahwa kata ash-shamad yang berpola Fa’al maknanya berpola maf’ul. Maknanya yang dituju oleh siapa saja yang memohon pertolongan. Yakni, Allah adalah Tuan yang dituju, tempat bergantung segala sesuatu dan tempat memohon segala jenis permohonan. Selain Allah pasti membutuhkan Allah dalam seluruh aspeknya. Di alam raya ini tidak ada yang pantas dituju selain Allah.

Adapun makna dari firman Allah lam yalid wa lam yuulad, Ibnu ‘Abbas menafsirkan, bahwa makna dari firman Allah (لَمْ يَلِدْ) “Dia tiada beranak.” Adalah: Allah tidak beranak seperti halnya Maryam. (وَ لَمْ يُوْلَدْ) “dan tiada pula diperanakkan.” Yakni: Allah tidak diperanakkan seperti halnya ‘Isa dan ‘Uzair.

Ayat ini sekaligus menjadi sindiran terhadap orang-orang Nashrani dan Yahudi yang menganggap ‘Isa dan ‘Uzair adalah Anak Allah. Setiap yang terlahirkan pasti akan mati, dan setiap yang mati pasti akan mewariskan, sedangkan Allah tidak akan pernah mati dan tidak pula mewariskan.

(وَ لَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ) “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” Yakni: tidak ada yang menyerupai-Nya. “Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” Adalah: Allah tidak serupa atau setara dengan siapapun, dan tidak ada yang dapat menyerupai atau menyetarakan-Nya.

Binatang dalam Alquran

Pada ayat yang terakhir ini terdapat taqdim dan ta’khir (kata yang “dimajukan” dan kata yang “diakhirkan”), di mana khabar kana (yaitu kata (كُفُوًا)) dimajukan terhadap isim kana (أَحَدٌ). Biasanya kalimat yang menyebutkan kata kana seperti ini, maka yang disebutkan setelahnya adalah isim-nya dahulu baru setelah itu khabar-nya. Namun untuk menyesuaikan irama akhir-akhirnya ayat agar terbentuk menjadi satu, maka khabar kana pada ayat ini diakhirkan, dan bentuk kalimat seperti ini merupakan bentuk bahasa yang sangat tinggi.

Demikianlah penjelasan singkat mengenai surah al-Ikhlas. Tujuan utama kehadiran Alquran adalah memperkenalkan Allah dan mengajak manusia untuk mengesakan-Nya serta patuh kepada-Nya. Surah ini memperkenalkan Allah dengan memerintahkan Nabi Muhammad untuk menyampaikan sekaligus menjawab pertanyaan sementara orang tentang Tuhan yang beliau sembah.

Surah al-Ikhlas memiliki beberapa khasiat. berikut adalah khasiat Surah al-Ikhlas. Pertama, orang yang membaca Surah al-Ikhlas lima puluh kali, ia akan mendapatkan panggilan masuk surga di hari kiamat. Jabir bin Abdullah  meriwayatkan bahwa Kanjeng Nabi Muhammad bersabda,

“Siapa yang membaca Surah al-ikhlas setiap hari 50 kali, maka pada hari kiamat, ia akan dipanggil dari kuburnya ‘Bangkitlah, wahai orang yang memuji Allah, dan masuklah ke dalam surga!” (HR. Thabrani).

Kedua, orang yang membaca surah al-Ikhlas sebanyak tujuh kali sesudah salat Jumat bersama-sama surah al-Falaq dan an-Nas, maka dirinya akan dijaga oleh Allah Swt, dari berbagai kejahatan sampai hari Jumat berikutnya.

Ketiga, surah al-Ikhlas, dikenal pula sebagai sepertiga Alquran, disebutkan dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari, Kanjeng Nabi Muhammad kepada para sahabatnya, “Apakah tidak ada yang mampu di antara kalian untuk membaca sepertiga Alquran dalam satu malam?”

Karena hal itu dirasa sulit bagi mereka, maka mereka menjawab, “Mana mungkin di antara kami ada yang mampu melakukannya, wahai Kanjeng Nabi?”

Rasulullah pun menjawab, “Qul huwa Allahu aḥad, Allahussamad adalah sepertiga Alquran.”

Keempat, keutamaan membaca surah al-Ikhlas adalah terhindar dari kefakiran. Cara pengamalannya adalah dengan membacanya setiap kali masuk rumah. Hal ini berdasarkan riwayat berikut, Rasulullah bersabda.

“Barang siapa membaca ‘Qul Huwallahu Ahad’ ketika akan masuk rumah, maka akan dijauhkan dari kefakiran dalam rumah dan tetangganya.” (HR. Ath-Thabrani dari Jarir ra).

Tentu saja masih ada banyak sekali khasiat membaca surah Al-Ikhlas yang tidak tertulis di sini. 
Wa ila-Allahi turja’ul umuur.

Referensi:
Tafsir Al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab
Al Jaami’ liahkamil Qur’an karya Imam al-Qurtubhy
Jami’ al-Bayan ’an ta’wil al-Qur’an karya Imam Al-Tabari
Tafsir Ruhul Bayan karya Al-Alamah Ismail Haqqy.

HADITS-HADITS YANG MENERANGKAN KEUTAMAAN SURAT AL-IKHLAS

Hadits-Hadits Yang Menerangkan Keutamaan Surat Al Ikhlash

HADITS-HADITS YANG MENERANGKAN KEUTAMAAN SURAT AL-IKHLAS

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ {1} اللَّهُ الصَّمَدُ {2} لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ {3} وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُواً أَحَدٌ {4}‏

Katakanlah : Dialah Allah, Yang Maha Esa. (1)
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu. (2)
Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, (3)
dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia (4).

KEUTAMAAN SURAT AL IKHLASH SECARA UMUM

1. Hadits A’isyah Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ بَعَثَ رَجُلاً عَلَى سَرِيَّةٍ، وَكَانَ يَقْرَأُ لأَصْحَابِهِ فِي صَلاَتِهِ، فَيَخْتِمُ بِـ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، فَلَمَّا رَجَعُوا، ذَكَرُوا ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ ، فَقَالَ: ((سَلُوْهُ، لأَيِّ شَيْءٍ يَصْنَعُ ذَلِكَ؟))، فَسَأَلُوْهُ، فَقَالَ: لأَنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ، وَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَقْرَأَ بِهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ : ((أَخْبِرُوْهُ أَنَّ اللهَ يُحِبُّهُ)).

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepada sekelompok pasukan, dan ketika orang itu mengimami yang lainnya di dalam shalatnya, ia membaca, dan mengakhiri (bacaannya) dengan قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ, maka tatkala mereka kembali pulang, mereka menceritakan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau pun bersabda: “Tanyalah ia, mengapa ia berbuat demikian?” Lalu mereka bertanya kepadanya. Ia pun menjawab: “Karena surat ini (mengandung) sifat ar Rahman, dan aku mencintai untuk membaca surat ini,” lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Beritahu dia, sesungguhnya Allah pun mencintainya”.[1]

2. Hadits Anas bin Malik Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata :

كَانَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يَؤُمُّهُمْ فِي مَسْجِدِ قُبَاءٍ، وَكَانَ كُلَّمَا اِفْتَتَحَ سُوْرَةً يَقْرَأُ بِهَا لَهُمْ فِي الصَّلاَةِ مِمَّا يَقْرَأُ بِهِ، اِفْتَتَحَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، حَتَّى يَفْرَغَ مِنْهَا. ثُمَّ يَقْرَأُ سُوْرَةً أُخْرَى مَعَهَا، وَكَانَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ. فَكَلَّمَهُ أَصْحَابُهُ، فَقَالُوا: إِنَّكَ تَفْتَتِحُ بِهَذِهِ السُّوْرَةِ، ثُمَّ لاَ تَرَى أَنَّهَا تُجْزِئُكَ حَتَّى تَقْرَأَ بِأُخْرَى، فَإِمَّا تَقْرَأُ بِهَا، وَإِمَّا أَنْ تَدَعَهَا وَتَقْرَأَ بِأُخْرَى. فَقَالَ: مَا أَنَا بِتَارِكِهَا، إِنْ أَحْبَبْتُمْ أَنْ أَؤُمَّكُمْ بِذَلِكَ فَعَلْتُ، وَإِنْ كَرِهْتُمْ تَرَكْتُكُمْ. وَكَانُوا يَرَوْنَ أَنَّهُ مِنْ أَفْضَلِهِمْ، وَكَرِهُوا أَنْ يَؤُمَّهُمْ غَيْرُهُ. فَلَمَّا أَتَاهُمْ النَّبِيُّ n أَخْبَرُوْهُ الخَبَرَ، فَقَالَ: ((يَا فُلاَنُ، مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَفْعَلَ مَا يَأْمُرُكَ بِهِ أَصْحَابُكَ؟ وَمَا يَحْمِلُكَ عَلَى لُزُوْمِ هَذِهِ السُّوْرَةِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ؟)) فَقَالَ: إِنِّي أُحِبُّهَا، فَقَالَ: ((حُبُّكَ إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ الْجَـنَّةَ)).

“Seseorang (sahabat) dari al Anshar mengimami (shalat) mereka (para shahabat lainnya) di Masjid Quba. Setiap ia membuka bacaan (di dalam shalatnya), ia membaca sebuah surat dari surat-surat (lainnya) yang ia (selalu) membacanya. Ia membuka bacaan surat di dalam shalatnya dengan قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ, sampai ia selesai membacanya, kemudian ia lanjutkan dengan membaca surat lainnya bersamanya. Ia pun melakukan hal demikan itu di setiap raka’at (shalat)nya. (Akhirnya) para sahabat lainnya berbicara kepadanya, mereka berkata: “Sesungguhnya engkau membuka bacaanmu dengan surat ini, kemudian engkau tidak menganggap hal itu telah cukup bagimu sampai (engkau pun) membaca surat lainnya. Maka, (jika engkau ingin membacanya) bacalah surat itu (saja), atau engkau tidak membacanya dan engkau (hanya boleh) membaca surat lainnya”. Ia berkata: “Aku tidak akan meninggalkannya. Jika kalian suka untuk aku imami kalian dengannya, maka aku lakukan. Namun, jika kalian tidak suka, aku tinggalkan kalian,” dan mereka telah menganggapnya orang yang paling utama di antara mereka, sehingga mereka pun tidak suka jika yang mengimami (shalat) mereka adalah orang selainnya. Sehingga tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi mereka, maka mereka pun menceritakan kabar (tentang itu), lalu ia (Nabi) bersabda: “Wahai fulan, apa yang menghalangimu untuk melakukan sesuatu yang telah diperintahkan para sahabatmu? Dan apa pula yang membuatmu selalu membaca surat ini di setiap raka’at (shalat)?” Dia menjawab,”Sesungguhnya aku mencintai surat ini,” lalu Rasulullah n bersabda: “Cintamu kepadanya memasukkanmu ke dalam surga”.[2]

HADITS YANG MENJELASKAN SURAT AL IKHLASH SEBANDING DENGAN SEPERTIGA AL QUR`AN

1. Hadits Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

أَنَّ رَجُلاً سَمِعَ رَجُلاً يَقْرَأُ: قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ يُرَدِّدُهَا، فَلَمَّا أَصْبَحَ جَاءَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ ، فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ، وَكَأَنَّ الرَّجُلَ يَتَقَالُّهَا، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : ((وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ، إِنَّهَا لَتَعْدِلُ ثُلُثَ القُرْآنِ.

“Sesungguhnya seseorang mendengar orang lain membaca قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ dengan mengulang-ulangnya, maka tatkala pagi harinya, ia mendatangi Rasulullah n dan menceritakan hal itu kepadanya, dan seolah-olah orang itu menganggap remeh surat itu, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya surat itu sebanding dengan sepertiga al Qur`an”.[3]

2. Hadits Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu ‘anhu pula, ia berkata:

قَالَ النَّبِيُّ لأَصْحَابِهِ: ((أَيُـعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ ثُلُثَ القُرْآنِ فِي لَيْلَةٍ))، فَـشَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ، وَقَالُوا: أَيُّـنَا يُطِيْقُ ذَلِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ: ((اللهُ الوَاحِدُ الصَّمَدُ، ثُلُثُ القُرْآنِ)).

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada para sahabatnya: “Apakah seseorang dari kalian tidak mampu membaca sepertiga al Qur`an dalam satu malam (saja)?” Hal itu membuat mereka keberatan, (sehingga) mereka pun berkata: “Siapa di antara kami yang mampu melalukan hal itu, wahai Rasulullah?” Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allahul Wahidush Shamad (surat al Ikhlash, Red), (adalah) sepertiga al Qur`an”.[4]

3. Hadits Abu ad Darda` Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

عَنِ النَّبِيِّ قَالَ: ((أَيَـعْجِزُ أَحَدُكُمْ أَنْ يَقْرَأَ فِي لَيْلَةٍ ثُلُثَ القُرْآنِ؟))، قَالُوْا: وَكَيْفَ يَقْرَأُ ثُلُثَ القُرْآنِ؟ قَالَ: ((قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ تَعْدِلُ ثُلُثَ القُرْآنِ)).

“Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda: “Apakah seseorang dari kalian tidak mampu membaca dalam satu malam (saja) sepertiga al Qur`an?” Mereka pun berkata: “Dan siapa (di antara kami) yang mampu membaca sepertiga al Qur`an (dalam satu malam, Red)?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ sebanding dengan sepertiga al Qur`an.”[5]

4. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : ((اِحْشِدُوْا فَإِنِّي سَأَقْرَأُ عَلَيْكُمْ ثُلُثَ القُرْآنِ))، فَحَشَدَ مَنْ حَشَدَ، ثُمَّ خَرَجَ نَبِيُّ اللهِ فَقَرَأَ: قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، ثُمَّ دَخَلَ، فَقَالَ بَعْضُنَا لِبَعْضٍ: إِنِّي أَرَى هَذَا خَبَرٌ جَاءَهُ مِنَ السَّمَاءِ، فَذَاكَ الَّذِي أَدْخَلَهُ، ثُمَّ خَرَجَ نَبِيُّ اللهِ فَقَالَ: ((إِنِّي قُلْتُ لَكُمْ سَأَقْرَأُ عَلَيْكُمْ ثُلُثَ القُرْآنِ، أَلاَ إِنَّهَا تَعْدِلُ ثُلُثَ القُرْآنِ)).

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Berkumpullah kalian, karena sesungguhnya aku akan membacakan kepada kalian sepertiga al Qur`an,” maka berkumpullah orang yang berkumpul, kemudian Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wa asllam keluar dan membaca قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ (surat al Ikhlash, Red), kemudian beliau masuk (kembali). Maka sebagian dari kami berkata kepada sebagian yang lain: “Sesungguhnya aku menganggap hal ini kabar (yang datang) dari langit, maka itulah pula yang membuat beliau masuk (kembali),” lalu Nabiyullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dan bersabda: “Sesungguhnya aku telah berkata kepada kalian akan membacakan sepertiga al Qur`an. Ketahuilah, sesungguhnya surat itu sebanding dengan sepertiga al Qur`an”.[6]

Dan masih banyak lagi hadits-hadits lainnya yang semakna dengan hadits-hadits yang telah disebutkan di atas, seperti hadits Abu Ayyub al Anshari Radhiyallahu ‘anhu[7], Abu Mas’ud al Anshari Radhiyallahu ‘anhu [8], dan lain-lain.[9]

MEMBACA SURAT AL IKHLASH DAPAT MENJADI PENYEBAB MASUK SURGA

1. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

أَقْبَلْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ، فَسَمِعَ رَجُلاً يَقْرَأُ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ. اللهُ الصَّمَدُ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : ((وَجَبَتْ))، قُلْتُ: وَمَا وَجَبَتْ؟ قَالَ: ((الجَـنَّةُ)).

“Aku datang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mendengar seseorang membaca:

قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ. اللهُ الصَّمَدُ

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Telah wajib,” aku bertanya: “Apa yang wajib?” Beliau bersabda, “(Telah wajib baginya) surga.”[10]

SURAT AL IKHLASH -DENGAN IZIN ALLAH MELINDUNGI ORANG YANG MEMBACANYA, JIKA DIBACA BERSAMA SURAT AL FALAQ DAN AN NAAS

1. Hadits Uqbah bin ‘Amir al Juhani Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

بَيْنَا أَنَا أَقُوْدُ بِرَسُوْلِ اللهِ رَاحِلَتَهُ فِي غَزْوَةٍ، إِذْ قَالَ: ((يَا عُقْبَةُ، قُلْ!))، فَاسْتَمَعْتُ، ثُمَّ قَالَ: ((يَا عُقْبَةُ، قُلْ!))، فَاسْتَمَعْتُ، فَقَالَهَا الثَّالِثَةَ، فَقُلْتُ: مَا أَقُوْلُ؟ فَقَالَ: قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ فَقَرَأَ السُّوْرَةَ حَتَّى خَتَمَهَا، ثُمَّ قَرَأَ قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الفَلَقِ، وَقَرَأْتُ مَعَهُ حَتَّى خَتَمَهَا، ثُمَّ قَرَأَ قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ، فَقَرَأْتُ مَعَهُ حَتَّى خَتَمَهَا، ثُمَّ قَالَ: ((مَا تَعَوَّذَ بِمِثْلِهِنَّ أَحَدٌ)).

“Tatkala aku menuntun kendaraan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah peperangan, tiba-tiba beliau berkata: “Wahai Uqbah, katakana,” aku pun mendengarkan, kemudian beliau berkata (lagi): “Wahai Uqbah, katakana,” aku pun mendengarkan. Dan beliau mengatakannya sampai tiga kali, lalu aku bertanya: “Apa yang aku katakan?” Beliau pun bersabda: “Katakan قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ”, lalu beliau membacanya sampai selesai. Kemudian beliau membaca قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّالفَلَقِ, aku pun membacanya bersamanya hingga selesai. Kemudian beliau membaca قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ النَّاسِ, aku pun membacanya bersamanya hingga selesai. Kemudian beliau bersabda: “Tidak ada seorang pun yang berlindung (dari segala keburukan) seperti orang orang yang berlindung dengannya (tiga surat) tersebut”.[11]

KEUTAMAAN SURAT AL IKHLASH, JIKA DIBACA BERSAMA SURAT AL FALAQ DAN AN NAAS KETIKA SESEORANG HENDAK TIDUR

1. Hadits A’isyah Radhiyallahu ‘anha, beliau berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ، ثُمَّ نَفَثَ فِيْهِمَا، فَقَرَأَ فِيْهِمَا قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَ قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الفَلَقِ، وَ قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الـنَّاسِ، ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ، يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ، يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ.

Sesungguhnya apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin merebahkan tubuhnya (tidur) di tempat tidurnya setiap malam, beliau mengumpulkan ke dua telapak tangannya, kemudian beliau sedikit meludah padanya sambil membaca surat “Qul Huwallahu Ahad” dan “Qul A’udzu bi Rabbin Naas” dan “Qul A’udzu bi Rabbil Falaq,” kemudian (setelah itu) beliau mengusapkan ke dua telapak tangannya ke seluruh tubuhnya yang dapat beliau jangkau. Beliau memulainya dari kepalanya, wajahnya, dan bagian depan tubuhnya. Beliau melakukannya sebanyak tiga kali.[12]

ORANG YANG BERDOA DENGAN MAKNA SURAT AL IKHLASH INI, IA AKAN DIAMPUNI DOSA-DOSANYA DENGAN IZIN ALLAH

1. Hadits Mihjan bin al Adru’ Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ دَخَلَ المَسْجِدَ، إِذَا رَجُلٌ قَدْ قَضَى صَلاَتَهُ وَهُوَ يَتَشَهَّدُ، فَقَالَ: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ يَا اَللهُ بِأَنَّكَ الوَاحِدُ الأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُواً أَحَدٌ، أَنْ تَغْفِرَ لِي ذُنُوْبِي، إِنَّكَ أَنْتَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : ((قَدْ غُفِرَ لَهُ))، ثَلاَثاً.

Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke dalam masjid, tiba-tiba (ada) seseorang yang telah selesai dari shalatnya, dan ia sedang bertasyahhud, lalu ia berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta (kepadaMu) bahwa sesungguhnya Engkau (adalah) Yang Maha Esa, Yang bergantung (kepadaMu) segala sesuatu, Yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara denganNya, ampunilah dosa-dosaku, (karena) sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,” kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh ia telah diampuni (dosa-dosanya),” beliau mengatakannya sebanyak tiga kali.[13]

2. Hadits Buraidah bin al Hushaib al Aslami Radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ سَمِعَ رَجُلاً يَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ أَنِّي أَشْهَدُ أَنَّكَ أَنْتَ اللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ الأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِيْ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُواً أَحَدٌ، فَقَالَ: ((لَقَدْ سَأَلْتَ اللهَ بِالاِسْمِ الَّذِي إِذَا سُئِلَ بِهِ أَعْطَى، وَإِذَا دُعِيَ بِهِ أَجَابَ)).

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seseorang berkata: “Ya Allah, sesungguhnya aku meminta kepadaMu, bahwa diriku bersaksi sesungguhnya Engkau (adalah) Allah yang tidak ada ilah yang haq disembah kecuali Engkau Yang Maha Esa, Yang bergantung (kepadaMu) segala sesuatu, Yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara denganNya,” kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh dirimu telah meminta kepada Allah dengan namaNya, yang jika Ia dimintai dengannya (pasti akan) memberi, dan jika Ia diseru dengannya, (pasti akan) mengabulkannya”.

Demikianlah Kumpulan Hadist yang menerangkan tentang surat Al Ikhlas.

Baca Tiga Kali Al-Ikhlas Sama dengan Khatamkan Al-Qur'an?

Baca Tiga Kali Al-Ikhlas Sama dengan Khatamkan Al-Qur'an?


Al-Qur'an adalah kitab yang mengandung pesan (risalah) untuk manusia. Namun pensakralan (baca: proses chosifikasi/tasyyi') oleh umat Islam terhadap kitab petunjuk tersebut telah mengabaikan risalah yang dikandungnya. Di saat Islam mengalami kemandekan, Al-Qur'an sudah tidak lagi sebagai pedoman atau petunjuk hidup, tetapi sekadar "sesuatu" yang --meminjam istilah Nasr Hamid Abu Zayd-- menjadi perhiasan wanita, pengobatan bagi anak-anak dan hiasan yang digantungkan di tembok serta dipampang di samping benda-beda emas dan perak.

Al-Qur'an juga tidak didekati dengan kesadaran ilmiah namun terbatas pada seni musik dan seni lukis. Dalam kaitannya dengan seni musik, umpamanya, Al-Qur'an adalah serangkaian kata dan nada indah yang mendengarkannya saja sudah mendapat pahala dari Allah Swt. dan sambil mengikuti bacaan yang didengarkan akan mendapat dua kali pahala, yakni sebab mendengar dan membacanya. Praktis, pesan (risalah) yang dikandungnya pun sama sekali tersingkirkan.

Kesadaran untuk membaca dengan iming-iming pahala memiliki implikasi yang cukup penting, yaitu munculnya umat yang cenderung kompetitif membaca Al-Qur'an, di mana yang terbanyak membaca akan memperoleh pahala sesuai banyaknya bacaannya. Dalil yang dipakainya pun, di samping hadis Nabi bahwa "satu huruf Al-Qur'an dibalas sepuluh pahala" juga hadis lain bahwa qul huwallahu ahad (al-Ikhlas) adalah sepertiga Al-Qur'an."

Secara literer hadis tersebut mengungkapkan sisi kuantitas pahala dalam setiap haruf Al-Qur'an, seperti pada hadis pertama. Yang kedua menunjukkan bahwa membaca satu kali surah al-Ikhlash sama pahalanya dengan membaca sepertiga Al-Qur'an. Ini adalah pemahaman masyarakat mainstream yang jelas-jelas hanya memprioritaskan kuantitas bacaan, bukan kualitas pesan kandungannya. Secara kualitas, hadis tersebut merupakan hadis sahih yang diriwayatkan dalam Sahih Bukhari dalam bab Keutamaan Al-Qur'an. Redaksi lengkapnya:

"Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh, telah menceritakan kepada kami bapakku, telah menceritakan kepada kami al-A'masy, telah menceritakan kepada kami Ibrahim dan al-Dhahhak al-Masyriqi dari Abu Sa'id al-Khudri r.a, ia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepada para sahabatnya: "Apakah salah seorang dari kalian tidak mampu bila ia membaca sepertiga dari Al-Qur'an pada setiap malamnya?" dan ternyata para sahabat merasa kesulitan seraya berkata, "Siapakah di antara kami yang mampu melakukan hal itu wahai Rasulullah?" maka beliau pun bersabda: Allahul Wahid ash-Shamad (maksudnya surat al-Ikhlash) nilainya adalah sepertiga Al-Qur'an."

Jika al-Ikhlas sebanding dengan sepertiga Al-Qur'an maka membaca tiga kali setara dengan mengkhatamkan Al-Qur'an. Kita telah melihat bagaimana orang-orang membaca surah ini sebanyak mungkin dengan harapan mendapat pahala khataman Al-Qur'an sebanyak-banyaknya. Tetapi benarkah demikian?

Seorang sufi masyhur Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya, Jawahir al-Qur'an, secara tegas menolak pemahaman tersebut. Menurutnya, Nabi Muhammad tidak mungkin mengatakan bahwa memperbanyak bacaan al-Ikhlash setara dengan mengkhatamkan Al-Qur'an. Al-Ghazali memahami maksud sabda Nabi di atas sebagai penegasan bahwa kuantitas ayat tidak menentukan kualitasnya. Dengan kata lain bahwa sebagian teks (ayat) meskipun sedikit terkadang memiliki keutamaan dari yang lainnya. Ia mengatakan:

Saya melihat engkau tidak memahami aspek ini (nilai al-Ikhlash sepertiga). Mungkin engkau mengatakan: hal ini disebutkan hanya untuk memberikan dorongan agar gemar membaca, maksudnya bukan ukuran nilai. Kedudukan kenabian sangat tidak mungkin melakukan hal itu. Mungkin engkau (juga) akan mengatakan: hal ini sulit untuk dipahami dan di-ta'wil, sementara ayat Al-Qur'an lebih dari 6000 ayat, bagaimana mungkin jumlah yang sedikit ini sebanding dengan sepertiganya? Hal ini muncul karena pengetahuan yang sedikit tentang hakikat Al-Qur'an, dan pandangan secara zahir terhadap kata-kata Al-Qur'an sehingga engkau beranggapan bahwa ayat-ayat itu banyak diukur dengan panjangnya kata, dan pendek diukur dengan pendeknya kata. Hal ini bagaikan anggapan orang memilih uang dirham yang banyak daripada satu permata, hanya karena melihat banyaknya (dirham). [h. 47]

Persepsi masyarakat bahwa "sepertiga" adalah indikasi kegemaran memperbanyak membaca al-Ikhlas bagi al-Ghazali jelas merupakan kekeliruan yang muncul akibat sedikitnya pengetahuan tentang hakikat Kitab Suci. Al-Qur'an sekadar dilihat dari segi banyak-sedikit, bukan dari hierarki maknanya. Selain itu dalam pernyataan di atas, al-Ghazali juga mengkritik jika ada yang meragukan hierarki teks hanya karena melihat sedikitnya ayat, hal itu diibaratkan mengabaikan permata karena sedikit dan memilih dirham karena banyak, padahal dari segi "nilai" jelas pertama lebih unggul. Dengan demikian al-Ikhlas semestinya tidak dipahami sebanding dengan sepertiga Al-Qur'an namun dengan sepertiga "kandungan" Al-Qur'an. Al-Ghazali melanjutkan:

Perhatikanlah kembali ketiga klasifikasi yang telah kami sebutkan mengenai hal-hal pokok Al-Qur'an, yaitu ma'rifatullah, pengetahuan akhirat dan pengetahuan mengenai shirat mustaqim. Ketiga klasifikasi ini merupakan hal pokok, sementara yang lainnya berada di belakangnya (tawabi'). Surah al-Ikhlas memuat satu dari ketiganya, yaitu ma'rifatullah, baik tentang ketauhidan-Nya dan kesucian-Nya dari yang menyekutui-Nya, baik jenis (genus) maupun spesiesnya... Memang benar dalam surah ini tidak ada ungkapan mengenai akhirat dan shirat mustaqim. Telah kami sebutkan bahwa dasar-dasar yang penting dari Al-Qur'an adalah ma'rifatullah, pengetahuan akhirat dan pengetahuan shirat mustaqim. Oleh karena itu, surah ini sebanding dengan sepertiga dasar-dasar (kandungan) Al-Qur'an sebagaimana yang disabdakan Rasulullah. [h. 48]

Jika demikian, bahwa maksud sepertiga dalam hadis Nabi adalah sepertiga kandungannya bukan sepertiga bacaannya, maka dapat dipahami bahwa membaca tiga kali surah al-Ikhlas tidak bisa dianggap setara dengan mengkhatamkan Al-Qur'an. Al-Qur'an, sebagaimana dalam pandangan al-Ghazali memiliki tiga pokok kandungan, yaitu ma'rifatullah (seperti dalam kandungan surah al-Ikhlas), pengetahuan akhirat dan pengetahuan shirat mustaqim.

 

Membaca satu, dua atau tiga kali surah al-Ikhlash tetap saja hanya membaca sepertiga kandungan Al-Qur'an, yaitu ma'rifatullah, karena surah al-Ikhlas tidak memiliki dua kandungan pokok yang lain, yakni pengetahuan akhirat dan pengetahuan mengenai shirat mustaqim. Pemahaman ini secara otomatis meruntuhkan persepsi yang sudah menyebar di masyarakat bahwa pengkhataman Al-Qur'an dapat diringkas hanya dengan membaca tiga kali surah al-Ikhlas saja.