Menilik pada maknanya pengertian Ubudiyah secara umum dapat diterjemahkan sebagai Ibadah. Tetapi dalam makna yang lebih khusus Ubudiyah dapat dipahami sebagai ”Pengabdian”, yang tidak hanya ditujukan kepada Allah SWT semata tetapi juga harus mampu diterjemahkan lebih lanjut kedalam bentuk pengabdian kepada Islam, bangsa, dunia serta umat manusia dan kemanusiaan.
Macam-macam bentuk Ubudiyah
Bentuk Ubudiyah yang dapat kita persembahkan sebagai perwujudan pengabdian kita kepada Guru Waliyammursyida dapat dilakukan dengan banyak cara. Yang biasa dilakukan antara lain dalam bentuk membantu pekerjaan sang Mursyid, membangun surau atau tempat ibadah, menjaga dan merawat tempat Ibadah, dalam kata lain ber-karya dalam bentuk apapun selama hal itu bermanfaat bagi Islam dan Kemanusiaan. Yang perlu ditekankan adalah kualitas dari pengabdian tersebut, apakah pengabdian benar-benar dibangun diatas pondasi keikhlasan, ketulusan, kemurnian, tanpa dicemari oleh pamrih apapun kecuali hanya berlandaskan ilahi anta maqshudi wa ridhaka mathlubi.
Mengutip fatwa (alm) YM Buya pada peringatan haul ke 2 YM Ayahanda Guru tanggal 9 Mei 2003. ”Kebesaran thariqatullah, kekuatan metafisik Islam/teknologi Al Quran dalam tariqatullah yang diperlihatkan oleh YM Ayahanda Guru kita, seyogyanya telah membulatkan keyakinan dan kesadaran kita agar kita semua melaksanakan pengabdian kepada Allah. Tanpa pengabdian dan berkarya tentu hal tersebut tidak tercapai. Dalam berjuang mengemban amanah sebagai seorang hamba Allah YM Ayahanda Guru menetapkan mottonya yang menjiwai seluruh derap langlah beliau, yaitu:
1. Beribadatlah sebagaimana Nabi/Rasul beribadat
2. Berprinsiplah dalam hidup sebagai pengabdi
3. Berabdilah dalam mental sebagai pejuang
4. Berjuanglah dalam kegigihan dan ketabahan sebagai prajurit
5. Berkaryalah dalam pembangunan sebagai pemilik.”
Ubudiyah sebagai pilihan Pengabdian
Dalam bingkai pemahaman Ubudiyah sebagai pengabdian dalam bentuk karya yang dipersembahkan, teringat akan salah satu fatwa YM Buya yang sangat menarik dan menyimpan makna yang sangat dalam, ”Maka dari itu, jangan sampai ujar-ujar ini terjadi pada kita, yaitu: Dahulu, ketika tiang-tiang suraunya dari kayu, ikhwannya berhati emas. Kini, ketika tiang suraunya telah dari emas, ikhwannya berhati kayu.”
Sungguh dalam makna fatwa di atas dan bila kita cermati fatwa tersebut mengandung nilai-nilai Ubudiyah dalam bentuk lain yang bermuara pada ketinggian akhlak atau dengan kata lain akhlakul karimah dari ihwan yang menjadi penghuni surau.
Apakah keagungan dan ketinggian akhlak sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Agung Rasulullah Saw adalah juga mengandung makna Ubudiyah dalam bentuk lain? Bila pemahaman berikut kita sandarkan pada fatwa YM Buya di atas, tentu jawabannya adalah Ya!
Pada fatwa tersebut makna Ubudiyah/pengabdian dalam bentuk karya yang dilambangkan dengan tiang surau dari emas seolah menjadi kehilangan manfaat dan kesempurnaan mana kala kita tidak mampu mewujudkan pengabdian dalam menyempurnakan keagungan dan ketinggian akhlak kita yang dilambangkan dengan ikhwannya berhati kayu.
Hal itu sejalan dengan gerakan ”Islam Kaffah” dengan penekanan pada keagungan dan ketinggian akhlak/ akhlakul karimah yang tanpa kenal lelah secara terus menerus disosialisaikan oleh YM Abu sebagai manifestasi pengamalan perintah Allah dalam Al Quran (Al Baqarah : 208) ”Masuklah kamu semua ke dalam Islam secara keseluruhan.” Gerakan yang sekaligus mengembalikan pemahaman kethariqatan pada makna sebenarnya bahwa thariqat yang bernilai berdiri di atas syariat yang benar.
Pengertian Akhlak
Yang dimaksud dengan akhlak/moral dalam pengertian umum adalah”sebuah sistem yang lengkap yang terdiri dari karakteristik-karakteristik akal atau tingkah laku yang membuat orang menjadi istimewa. Karakteristik-karakteristik tersebut membentuk kerangka psikologi seseorang dan membuatnya berperilaku sesuai dengan dirinya dan nilai yang cocok dengan dirinya dalam kondisi yang berbeda-beda”.
Dalam bingkai agama Islam, para ulama mendefinisikan akhlak/moral adalah ”suatu sifat yang tertanam dalam diri dengan kuat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa diawali berfikir panjang, merenung dan memaksakan diri, seperti kemarahan seseorang yang asalnya pemaaf, maka itu bukan akhlak. Demikian juga seorang bakhil, Ia berusaha menjadi dermawan ketika ingin dipandang orang, Jika demikian maka tidaklah dapat dinamakan akhlak”.
Pada awalnya terdapat perbedaan dimensi pemahaman mengenai definisi akhlak antara pemikir barat dengan ulama Islam, dimana pemikir barat lebih menitikberatkan pada pemahaman dunia sementara ulama Islam meliputi 2 dimensi pemahaman dunia dan akhirat.
Dalam perkembangannya dewasa ini baik pemikir barat ataupun ulama Islam memiliki kesamaan pemahaman bahwa pada dasarnya akhlak mencakup/meliputi 4 dimensi kehidupan manusia Fisik, Mental, Emosional dan Spiritual.
Mengapa harus ber-akhlak?
Akhlak merupakan fondasi yang kokoh bagi terciptanya hubungan baik antara hamba dengan Allah swt (hablumminallah) dan antar sesama (hablumminannas). Akhlak yang mulia (akhlakul karimah) tidak lahir begitu saja sebagai kodrat manusia, atau terjadi secara tiba-tiba. Akan tetapi, membutuhkan proses panjang serta manifetasi seumur hidup melalui pembelajaran/pendidikan akhlak yang sistematis bersifat menyeluruh meliputi 4 dimensi kehidupan.
Akhlak mulia yang dikontrol oleh nilai-nilai agama Islam dapat membuat seorang muslim mampu menjalankan tiga hal berikut dengan baik:
- Dalam berinteraksi dengan Tuhannya, yaitu dengan akidah dan ibadah yang
benar disertai dengan akhlak mulia. - Dalam berinteraksi dengan diri sendiri, yaitu dengan bersifat objektif,
jujur, dan konsisten mengikuti manhaj Allah. - Dalam berinteraksi dengan orang-orang, yaitu dengan memberikan hak-hak
mereka, amanah, menunaikan kewajiban sebagaimana yang ditetapkan oleh syariat.
Dengan kesuksesan dalam menjalani ketiga hal di atas, maka kita akan mendapatkan ridha dari Allah, dari diri sendiri dan dari orang lain/masyarakat. Dan dengan berpegang teguh pada nilai-nilai akhlak yang dibawa oleh Islam, maka kita mampu mencapai kesuksesan dunia akhirat.
Posisi Akhlak dalam Islam dan Ilmu Pengetahuan
Marilah kita merenung sejenak. Sejak dari awal belajar Islam kita sudah dikenalkan pada pokok keimanan dalam Islam; antara lain tentang bagaimana kita harus mengimani Muhammad Saw sebagai utusan Allah. Dialah teladan terbaik umat manusia, maka dekatkanlah diri kita, kehidupan dan nafas kita pada akhlak Nabi Muhammad Saw karena sesungguhnya geraknya adalah gambaran gerak dan nafas hidup mulia. Segala hal yang diperintahkan Allah sebagaimana tergurat di dalam Al Quran telah menyatu dalam kesadaran tindakannya. Bahkan Allah sendiri memujinya. ”Sesungguhnya, engkau (wahai Muhammad) adalah benar-benar menampilkan akhlak yang agung” (QS Al-Qalam : 4)
Ketinggian dan kesempurnaan akhlak Nabi Muhammad Saw sangatlah memukau, agung dan mampu mempesona tidak saja umat Islam bahkan kaum non Islam sekalipun. Seorang pemikir barat George Bernard Shaw pernah mengatakan. ” Saya telah mempelajari kehidupan Muhammad yang betul-betul mengagumkan…Saya yakin sekali, orang seperti dia jika diserahi untuk memimpin dunia modern, tentu berhasil menyelesaikan segala persoalan dengan cara yang dapat membawa dunia ke dalam kesejahteraan dan kebahagiaan. Saya berani meramalkan bahwa akidah yang dibawa Muhammad akan diterima baik di Eropa kemudian hari.”
Posisi akhlak dalam Islam adalah dapat di ibaratkan sebagai fondasi yang melandasi sebuah konstruksi bangunan yang bernama ”Kesuksesan Dunia Akhirat ” bagi setiap manusia sebagai hamba Allah.
Dalam pandangan ilmu pengetahuan akhlak dapat memberi konstribusi yang sangat besar dalam menunjang prestasi/produktifitas. Memang banyak orang yang merasa bahwa tidak ada kaitan secara nyata antara prestasi/produktifitas dengan akhlak, jelas ini merupakan pandangan yang keliru. Bila kita memahami secara sungguh-sungguh nilai-nilai akhlak mulia/akhlakul karimah, maka kita akan menemukan bahwa nilai-nilai tersebut merupakan nilai-nilai yang dapat saling bersinergi dalam menumbuh kembangkan potensi manusia kita.
Dengan pemahaman seperti ini bayangkan betapa indahnya kombinasi antara keagungan/kemuliaan akhlak seorang hamba Allah dengan ketinggian produktifitas dan efektifitasnya dalam berkarya. Terlebih apabila kombinasi tersebut disertai dengan aktifitas ruhaniyah/spiritual dalam bingkai tarekat yang benar dan hak melalui bimbingan seorang wali yang Mursyid, maka dapatlah dipastikan bahwa kita akan menjadi pribadi-pribadi yang unggul dan mendapatkan kemenangan dunia akhirat. Inilah kemenangan dalam makna hakikat yang sebenarnya!
Bagaimana agar dapat ber-Akhlakul karimah
Pertanyaan mendasar apabila kita mencermati pernyataan di atas adalah, mampukah kita mengikuti/mentauladani perilaku Rasulullah saw dalam ber-akhlakul karimah? Seorang pemikir barat Marianne Williamson dengan indahnya menyatakan bahwa, ketakutan kita yang paling dalam bukanlah bahwa kita ini tidak mampu. Sebaliknya, ketakutan kita yang paling dalam adalah bahwa kita amat sangat berpotensi/berkuasa untuk mampu. Mengingat kodrat manusia sebagai mahluk Tuhan yang dilahirkan dengan potensi/kemampuan yang sangat luar biasa.
Mengingat kodrat manusia tersebut, maka masalahnya adalah bukan bagaimana memasukkan pemikiran-pemikiran baru tentang akhlak ke dalam kepala kita, tetapi bagaimana kita mampu mengeluarkan dan mengoptimalkan pemikiran-pemikiran lama sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Berikut tips bagaimana kita ber-akhlakul karimah, yang terdiri dari 1 pemahaman inti dan 3 langkah konkret:
Pemahaman Inti
Tanamkan, dedikasikan secara sungguh-sungguh dalam pemikiran dasar/mind set kita untuk ”Dahulukan nurani dari ego!”
3 langkah konkret,
1. Fahami secara mendasar nilai-nilai akhlakul karimah sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw.
2. Ajarkan kepada orang lain dalam setiap kesempatan mengenai hal-hal yang kita fahami mengenai akhlakul karimah tersebut.
3. Secara sistematik dan sungguh-sungguh menerapkan/ melaksanakan hal-hal yang difahami tersebut dalam kehidupan sehari-hari, dimulai dari hal-hal kecil dan sederhana pada lingkungan yang paling dekat dan bersifat privat, serta segerakan mulai dari saat ini.
Dengan pemahaman dan langkah-langkah tersebut diharapkan dapat tercipta suatu kebiasaan yang pada akhirnya bila kita lakukan secara konsisten maka akan terbentuk karakter/integritas akhlakul karimah dalam diri kita.
Selanjutnya dengan implementasi akhlakul karimah/akhlak mulia maka jaminannya adalah kita akan menjadi mukmin sempurna/pribadi unggul dan mendapatkan kemenangan dunia akhirat. Adapun ganjaran mukmin sempurna adalah:
1. Terhormat di mata Allah
2. Terhormat di mata masyarakat
3. Terhormat di mata diri sendiri
Fenomena keagungan akhlak pada jaman Rasulullah SAW
Berikut salah satu kisah yang pantas menjadi tauladan bagi kita pada masa Rasulullah SAW.
Salah seorang sahabat nabi yang terkenal dengan kealiman (tinggi ilmu) dan kezuhudannya (sederhana), Abdullah bin Umar suatu ketika bertemu dengan seorang pengembala kambing ditengah padang pasir yang tandus, muncul keingintahuannya untuk mengetahui apakah ajaran Islam dalam bingkai ak hlak mulia yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sampai ke tengah padang pasir yang sangat terpencil tersebut?
Setelah mengucapkan salam, Abdullah bin Umar berkata kepada pengembala yang masih bocah itu. ”Hai pengembala, aku ingin membeli seekor kambing yang kau gembala ini. Bekalku sudah habis.”
”Maaf Tuan, aku hanyalah seorang budak yang mengembalakan kambing-kambing ini. Aku tidak bisa menjualnya. Ini bukan milikku tapi milik majikanku.” Jawab pengembala itu.
”Ah itu masalah yang mudah. Begini, kau jual seekor saja kambingmu padaku. Kambing yang kau jaga ini sangat banyak, tentu akan sangat sulit bagi tuanmu untuk menghitung jumlahnya. Atau kalaupun dia tahu ada sesekor kambing yang berkurang, bilang saja telah dimangsa srigala padang pasir. Mudah sekali, bukan? Kau pun bisa menikmati uangnya.” Bujuk Abdullah bin Umar dengan serius.
”Lalu, di mana Allah? Majikanku memang tidak akan tahu dan bisa saja dibohongi, tetapi ada Dzat Mahatahu, yang pasti melihat apa yang kita lakukan. Apa kau kira Allah tidak ada?” Jawab pengembala itu mantap.
Sungguh jawaban itu membuat Abdullah bin Umar tersentak kaget.
”Aku tidak diberi kuasa oleh majikanku untuk menjual kambing ini. Aku hanya diperbolehkan mengembalanya dan meminum air susunya ketika aku membutuhkannya dan memberi minum para musafir yang kehausan.”
”Minumlah Tuan, kulihat anda kehausan. Jika masih kurang bisa tambah. Jangan kuatir, susu ini halal. Allah tahu ini halal sebab pemiliknya menyuruhku memberinya pada musafir yang kehausan.” Tutur pengembala dengan wajah ramah.
Abdullah bin Umar meminum susu itu dengan perasaan terharu. Dia minum sampai rasa hausnya hilang. Setelah itu, dia mohon diri.
Dijalan, dia tidak bisa menyembunyikan tangisnya, teringat kata-kata pengembala itu, ”Di mana Allah? Apakah kau kira Allah tidak ada?”
Dia menangis mengingat seorang bocah pengembala kambing di tengah padang pasir yang pakaiannya kumal, ternyata memiliki rasa takwa yang begitu dalam. Dia memiliki kejujuran yang tinggi. Hatinya menyinari keimanan. Akhlaknya sungguh mulia. Sesungguhnya ajaran Rasulullah telah terpatri dalam jiwanya. Abdullah bin Umar terus melangkahkan kakinya sambil bercucuran air mata. Sepantasnyalah seorang manusia yang berakhlak mulia dan memiliki ketakwaan kapada Allah yang begitu tinggi tidaklah sepatutnya menjadi hamba sahaya manusia. Dia hanya pantas menjadi hamba Allah Swt!
Selanjutnya Abdullah bin Umar membeli budak itu dan langsung memerdekakannya.
Akhlakul karimah sebagai Ubudiyah
Berdasarkan pembahasan sebelumnya menjadi jelaslah bagi kita bagaimana posisi aklakul karimah dalam Ubudiyah. Bahwa kagungan dan ketinggian akhlak kita merupakan manifestasi lain dalam Ubudiyah/pengabdian pribadi kita sebagai hamba Allah. Lalu kalau demikian mengapa kita tidak berupaya dengan sekuat tenaga untuk meningkatkan kualitas akhlak kita? Berupaya secara konsisten melakukan improvement untuk meninggikan dan menagungkan akhlak kita sebagaimana dicerminkan olah Rasulullah? Sementara kesadaran dalam diri kita mengatakan bahwa salah satu bentuk terbaik dari persembahan kepada sang Guru dalam pemahaman thareqat adalah Ubudiyah/Pengabdian!
Karena sesungguhnya berdasarkan cerita dan pengalaman para ihwan yang secara ikhlas dan sungguh-sungguh mengabdikan dirinya pada jalan Allah, telah banyak pembuktian bahwa memang Tuhan tidak mau kalah budi dengan umatnya. Bahwa apa yang kita abdikan dan sumbangsihkan kepada jalan Allah melalui pengabdian kita kepada Mursyid dan ajarannya pasti akan terbayar! Tidak akan pernah membuat kita tertinggal apalagi sia-sia!
Pada dasarnya nilai-nilai akhlak mulia (Akhlakul karimah) yang dibawa Islam-jika diamalkan secara konsisten dan penuh rasa tanggung jawab-mampu menjawab problematika yang sedang diderita umat Islam saat ini, baik permasalahan sosial, politik maupun ekonomi. Sejarah merupakan bukti konkret hal ini, bagaimana umat Islam dalam masyarakat Madinah pada zaman Rasulullah Saw menjadi masyarakat yang begitu mengagumkan dan tetap menjadi tauladan serta tolok ukur sampai dengan saat ini. Oleh karena itu, jika nilia-nilai akhlak tersebut dilaksanakan maka hari ini dan hari depan akan menjadi saksi kebenarannya.
|
Ber-Akhlakul karimah mampu mengilhami orang lain
Dengan terwujudnya perilaku berdasarkan nilai-nilai akhlakul karimah yang tercermin pada keagungan dan ketinggian budi pekerti pribadi-pribadi muslim tersebut, manakala hal itu dilakukan secara konsisten dan terus menerus, pada akhirnya dapat dipastikan bahwa pancaran cahaya dari dalam diri pribadi itu akan mampu menyinari sekelilingnya. Mampu menjadi pendorong terciptanya perubahan bagi orang lain dan lingkungannya, menjadi pribadi-pribadi unggul sebagaimana dirinya.
Sejalan dengan fatwa YM Ayahanda Guru, bahwa murid-murid tareket Naqsyabandiyah di seluruh muka bumi ini adalah laksana batu tawajjuh yang dapat memberikan perubahan, keberkahan dan terbukanya hijab untuk menerima petunjuk bagi siapa saja yang berada dalam lingkungan serta berinteraksi dengannya.
Dengan demikian setiap pribadi muslim pada umumnya dan khususnya ihwan pengamal tareket naksyabandiyah YM Ayahanda Guru mampu menjadi Agent of Change bagi orang lain , laksana virus yang menyebarkan nilai-nilai kebaikan sehingga akhlak mulia/akhlakul karimah benar-benar dapat menciptakan suatu kominitas/lingkungan dan pada akhirnya suatu negara sebagaimana terjadi pada zaman Rasulullah Saw dan para sahabat beliau yang telah terbukti oleh sejarah bahwa ketinggian akhlak kaum mukmin pada masa Rasulullah mampu menciptakan masyarakat yang ’baldatun toyibatun wa rabbun ghoffuur”.
Berikut sepenggal kisah keagungan dan ketinggian akhlak beliau yang sangat berharga untuk kita renungkan. Betapa konsistensi beliau terhadap nilai-nilai kemuliaan akhlak bahkan sampai menjelang wafat sekalipun.
Saat itu menjelang wafat, beliau mengumpulkan para sahabat, lalu beliau menyampaikan fatwa singkat.
”Wahai kaum muslimin, sesungguhnya aku adalah Nabimu, pemberi nasihat dan yang mengajak kepada Allah dengan seizin-Nya. Bagimu, aku tak berdaya seperti saudara seayah dan seibu. Siapa diantara kamu yang pernah kusakiti, bangkitlah dan balaslah aku sebelum datang pembalasan di hari kiamat nanti.”
Awalnya, tak ada tanggapan dari para sahabat, hingga ketiga kalinya Nabi Saw nampak marah sembari berteriak. ”Ayo, siapa yang pernah kusakiti bangkitlah, balaslah aku…ambil qisasnya pada diriku!”
Pada saat itula h Ukasyah, salah seorang sahabat Nabi yang hadir pada saat itu, bangkit dan berkata, ”Wahai Rasulullah, demi ayah ibuku yang menjadi tebusannya. Jika engkau tidak menyerukan hal itu hingga tiga kali, tentu tidak ada seorangpun yang dapat mendorong aku untuk menghadapmu.”
”Apa keinginanmu ya Ukasyah?” tanya Nabi.
”Begini Baginda, pada saat perang Badar, tiba-tiba saja unta yang kutunggangi lepas kendali dan mendahului unta Baginda, sehingga aku keluar barisan. Aku turun mendekat kepada Baginda. Saat itulah tiba-tiba baginda mengayunkan cambuk ketubuhku. Aku tidak tahu, apakah Baginda sengaja memukulku atau memukul unta.”
Meski motifnya belum jelas, Rasulullah segera mengambil sikap tegas, balasan harus ditunaikan. Beliau meminta Bilal untuk megambil cambuk dirumah Fatimah. Dengan tegopoh-gopoh Bilal kembali ke majelis dengan membawa cambuk, lalu diserahkan kepada Ukasyah. Ukasyah pun siap menunaikan qisas. Abu Bakar r.a dan Umar r.a. dua sahabat setia Rasulullah segera bangkit menghadangnya. ”Hai Ukasyah, sekarang kami dihadapanmu, ambillah qisasmu dari kami. Sedikitpun kami tidak rela kamu mengambil qisas kepada Rasul.” Tetapi Rasulullah menenangkan mereka dan meminta mereka untuk kembali duduk.
Tidak hanya Abu Bakar dan Umar, sahabat yang lainpun Ali serta Hasan dan Husein juga maju meminta hal yang sama kepada Ukasyah. Namun Rasulullah kembali menenanangkan mereka. Nabi kemudian meminta Ukasyah untuk segera melaksanakan qisas. ”Ukasyah, cambuklah aku. Lakukan jika aku pernah benar-benar melakukan kesalahan padamu.”
”Ya Rasul, ketika engkau memukulku, saat itu aku tidak memakai baju.” Jelas Ukasyah. Rasulullah pun langsung menuruti, dibukanya baju beliau. Begitu melihat Rasul tidak mengenakan bajunya, para sahabat menangis histeris. Ukasyah sendiri bergetar hatinya, meremang bulu kuduknya dan larut dalam keagungan serta kebesaran jiwa Nabi dihadapannya. Saat itulah dia melakukan keanehan, tidak melakukan qisas, tetapi justru menubruk tubuh Rasulullah seraya mencium kulit bagian perutnya sampil menangis sejadi-jadinya.
”Subhaanakaallahumma wabihamdika, Asyhadu al-laa ilaahailla Anta, Astaghfiruka wa atuubu ilaik.”
”Maha suci Engkau ya Allah. Dengan memuji-Mu saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Engkau. Saya memohon ampun dan bertobat kepada-Mu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar