Senin, 23 Januari 2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2009 TENTANG BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 24 TAHUN 2009

TENTANG

BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

b.bahwa bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan manifestasikebudayaan yang berakar pada sejarah perjuanganbangsa, kesatuan dalam keragaman budaya, dankesamaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa danNegara Kesatuan Republik Indonesia;

c.bahwa pengaturan tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia belum diatur di dalam bentuk undang-undang;

d.bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimanadimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlumembentuk Undang-Undang tentang Bendera, Bahasa,dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan;

Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C

Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia yangselanjutnya disebut Bendera Negara adalah Sang Merah Putih.

2. Bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Bahasa Indonesia adalah bahasaresmi nasional yang digunakan di seluruh wilayahNegara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia yangselanjutnya disebut Lambang Negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

4. Lagu Kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesiayang selanjutnya disebut Lagu Kebangsaan adalahIndonesia Raya.

5. Panji adalah bendera yang dibuat untuk menunjukkankedudukan dan kebesaran suatu jabatan atauorganisasi.

6. Bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan secara turun-temurun oleh warga negara Indonesia di daerah daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

7. Bahasa asing adalah bahasa selain Bahasa Indonesia dan bahasa daerah.

8. Menteri adalah menteri yang menangani urusanpemerintahan di bidang pendidikan.

9. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintahadalah Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesiasebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

10. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atauwalikota dan perangkat daerah

sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Pasal 2

Pengaturan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan sebagai simbol identitas wujud eksistensi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan berdasarkan asas:

a. persatuan;

b. kedaulatan;

c. kehormatan;

d. kebangsaan;

e. kebhinnekatunggalikaan;

f. ketertiban;

g. kepastian hukum;

h. keseimbangan;

i. keserasian; dan

j. keselarasan.

Pasal 3

Pengaturan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan bertujuan untuk:

a. memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. menjaga kehormatan yang menunjukkan kedaulatanbangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan

c. menciptakan ketertiban, kepastian, dan standardisasipenggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan.

BAB II

BENDERA NEGARA

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 4

(1) Bendera Negara Sang Merah Putih berbentuk empatpersegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 (dua-pertiga) dari panjang serta bagian atas berwarna merah dan bagian bawah berwarna putih yang kedua bagiannya berukuran sama.

(2) Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dibuat dari kain yang warnanya tidak luntur.

(3) Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan ketentuan ukuran:

a. 200 cm x 300 cm untuk penggunaan di lapangan istana kepresidenan;

b. 120 cm x 180 cm untuk penggunaan di lapangan umum;

c. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di ruangan;

d. 36 cm x 54 cm untuk penggunaan di mobil Presiden dan Wakil Presiden;

e. 30 cm x 45 cm untuk penggunaan di mobil pejabat negara;

f. 20 cm x 30 cm untuk penggunaan di kendaraan umum;

g. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di kapal;

h. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di kereta api;

i. 30 cm x 45 cm untuk penggunaan di pesawat udara;dan

j. 10 cm x 15 cm untuk penggunaan di meja.

(4) Untuk keperluan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), bendera yang merepresentasikan Bendera Negara dapat dibuat dari bahan yang berbeda dengan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat

(2), ukuran yang berbeda dengan ukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan bentuk yang berbeda dengan bentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 5

(1) Bendera Negara yang dikibarkan pada ProklamasiKemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17Agustus1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta disebut Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih.

(2) Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih disimpan dandipelihara di Monumen Nasional Jakarta.

Bagian Kedua

Penggunaan Bendera Negara

Pasal 6

Penggunaan Bendera Negara dapat berupa pengibaran dan/atau pemasangan.

Pasal 7 . . .

(1) Pengibaran dan/atau pemasangan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan pada waktu antara matahari terbit hingga matahari terbenam.

(2) Dalam keadaan tertentu pengibaran dan/atau pemasangan Bendera Negara dapat dilakukan pada malam hari.

(3) Bendera Negara wajib dikibarkan pada setiap peringatan Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus ,oleh warga negara yang menguasai hak penggunaanrumah, gedung atau kantor, satuan pendidikan,transportasi umum, dan transportasi pribadi di seluruhwilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan di kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.

(4) Dalam rangka pengibaran Bendera Negara di rumahsebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemerintahdaerahmemberikan Bendera Negara kepada warga negaraIndonesia yang tidak mampu.

(5) Selain pengibaran pada setiap tanggal 17 Agustussebagaimana dimaksud pada ayat (3),

Pasal 8

Bendera Negara dikibarkan pada waktu peringatan hari-hari besarnasional atau peristiwa lain.

(1) Pengibaran Bendera Negara pada peristiwa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) secara nasional diatur oleh menteri yang tugas dan tanggungjawabnya berkaitan dengan kesekretariatan negara.

(2) Pengibaran Bendera Negera pada peristiwa lainsebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) di daerah,diatur oleh kepala daerah.

Pasal 9

(1) Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib dikibarkan setiap hari di:

a. istana Presiden dan Wakil Presiden;

b. gedung atau kantor lembaga negara;

c. gedung atau kantor lembaga pemerintah;

d. gedung atau kantor lembaga pemerintah nonkementerian;

e. gedung atau kantor lembaga pemerintah daerah;

f. gedung atau kantor dewan perwakilan rakyatdaerah;

g. gedung atau kantor perwakilan Republik Indonesiadi luar negeri;

h. gedung atau halaman satuan pendidikan;

i. gedung atau kantor swasta;

j. rumah jabatan Presiden dan Wakil Presiden;

k. rumah jabatan pimpinan lembaga negara;

l. rumah jabatan menteri;m. rumah jabatan pimpinan lembaga pemerintahannonkementerian;

n. rumah jabatan gubernur, bupati, walikota, dancamat;

o. gedung atau kantor atau rumah jabatan lain;

p. pos perbatasan dan pulau-pulau terluar di wilayahNegara Kesatuan Republik Indonesia;

q. lingkungan Tentara Nasional Indonesia danKepolisian Republik Indonesia; dan

r. taman makam pahlawan nasional.

(2) Penggunaan Bendera Negara di lingkungan TentaraNasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf q diaturter sendiri oleh pimpinan institusi dengan berpedoman pada Undang-Undang ini;

(3) Penggunaan Bendera Negara di kantor perwakilan negara Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dilakukan dengan berpedoman pada Undang-Undang ini.

(4) Dalam hal Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g digunakan di luar gedung atau kantorperwakilan Republik Indonesia di luar negeri dilakukan sesuai dengan peraturan penggunaanbendera asing yang berlaku di negara yang bersangkutan.

Pasal 10

(1) Bendera Negara wajib dipasang pada:

a. kereta api yang digunakan Presiden atau WakilPresiden;

b. kapal milik Pemerintah atau kapal yang terdaftar di Indonesia pada waktu berlabuh dan berlayar; atau

c. pesawat terbang milik Pemerintah atau pesawat terbang yang terdaftar di Indonesia.

(2) Pemasangan Bendera Negara di kereta api sebagaimanadimaksud pada ayat (1) huruf a ditempatkan di sebelah kanan kabin masinis.

(3) Pemasangan Bendera Negara sebagaimana dimaksudpada ayat (1) huruf b ditempatkan di tengah ,anjungan kapal.

(4) Pemasangan Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditempatkan di sebelah kanan ekor pesawat terbang.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemasangan Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)huruf a, huruf b, dan huruf c diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 11

(1) Bendera Negara dapat dikibarkan dan/atau dipasang pada:

a. kendaraan atau mobil dinas;

b. pertemuan resmi pemerintah dan/atau organisasi;

c. perayaan agama atau adat;

d. pertandingan olahraga; dan/atau

e. perayaan atau peristiwa lain.

(2) Bendera Negara dipasang pada mobil dinas Presiden,Wakil Presiden, Ketua Majelis Permusyawatan Rakyat, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua DewanPerwakilan Daerah, Ketua Mahkamah Agung, KetuaMahkamah Konstitusi, Ketua Badan PemeriksaKeuangan, menteri atau pejabat setingkat menteri,Gubernur Bank Indonesia, mantan Presiden, danmantan Wakil Presiden sebagai tanda

kedudukan.

(3) Bendera Negara sebagai tanda kedudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipasang di tengah-tengah pada bagian depan mobil.

(4) Dalam hal pejabat tinggi pemerintah negara asing menggunakan mobil yang disediakan Pemerintah,

Bendera Negara dipasang di sisi kiri bagian depan mobil.

Pasal 12

(1) Bendera Negara dapat digunakan sebagai:

a. tanda perdamaian;

b. tanda berkabung; dan/atau

c. penutup peti atau usungan jenazah.

(2) Bendera Negara sebagai tanda perdamaian sebagaimanadimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan apabilaterjadi konflik horizontal di wilayah Negara KesatuanRepublik Indonesia.

(3) Dalam hal Bendera Negara sebagai tanda perdamaiandikibarkan pada saat terjadi konflik horizontal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setiap pihak yangbertikai wajib menghentikan pertikaian.

(4) Bendera Negara digunakan sebagai tanda berkabungsebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b apabila Presiden atau Wakil Presiden, mantan Presiden ataumantan Wakil Presiden, pimpinan atau anggota lembaganegara, menteri atau pejabat setingkat menteri, kepaladaerah, dan/atau pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah meninggal dunia.

(5) Bendera Negara sebagai tanda berkabung sebagaimanadimaksud pada ayat (4) dikibarkan setengah tiang.

(6) Apabila Presiden atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meninggal dunia, pengibaran Bendera Negara setengah tiang dilakukan selama tigahari berturut-turut di seluruh wilayahNegara Kesatuan Republik Indonesia dan semua kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.

(7) Apabila pimpinan lembaga negara dan menteri ataupejabat setingkat menterisebagaimanadimaksud padaayat (4) meninggal dunia, pengibaran Bendera Negarasetengahtiang dilakukan selama dua hari berturut-turutterbatas pada gedung atau kantorpejabat negara yang bersangkutan.

(8) Apabila anggota lembaga negara, kepala daerahdan/atau pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meninggal dunia,pengibaran Bendera Negara setengah tiang dilakukanselama satu hari, terbatas pada gedung atau kantor pejabat yang bersangkutan.

(9) Dalam hal pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (4)meninggal dunia di luar negeri, pengibaran BenderaNegara setengah tiang dilakukan sejak tanggalkedatangan jenazah di Indonesia.

(10) Pengibaran Bendera Negara setengah tiang sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dilakukan sesuai dengan kententuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), ayat(7), dan ayat (8).

(11) Dalam hal Bendera Negara sebagai tanda berkabungsebagaimana dimaksud pada ayat (5)bersamaan denganpengibaran Bendera Negara dalam rangka peringatanhari-hari besar nasional, dua Bendera Negara dikibarkanberdampingan, yang sebelah kiri dipasang setengah tiangdan yang sebelah kanan dipasang penuh.

(12) Bendera Negara sebagai penutup peti atau usunganjenazah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf cdapat dipasang pada peti atau usungan jenazah Presidenatau Wakil Presiden, mantan Presiden atau mantan Wakil Presiden, anggota lembaga negara, menteri atau pejabat setingkat menteri, kepala daerah, anggota dewan perwakilan rakyat daerah, kepala perwakilan diplomatik,anggota TentaraNasional Indonesia, anggota Kepolisian Republik Indonesia yang meninggal dalam tugas,dan/atau warga negara Indonesia yang berjasa bagi bangsa dan negara.

(13) Bendera Negara sebagai penutup peti atau usungan jenazah sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dipasang lurus memanjang pada peti atau usungan jenazah,bagian yang berwarna merah di atas sebelah kiri badan jenazah.

(14) Bendera Negara sebagai penutup peti atau usungan jenazah sebagaimana dimaksud pada ayat (13) setelah digunakan dapat diberikan kepada pihak keluarga.

Bagian Ketiga

Tata Cara Penggunaan Bendera Negara

Pasal 13

(1) Bendera Negara dikibarkan dan/atau dipasang padatiang yang besar dan tingginya seimbang dengan ukuran Bendera Negara.

(2) Bendera Negara yang dipasang pada tali diikatkan padasisi dalam kibaran Bendera Negara.

(3) Bendera Negara yang dipasang pada dinding, dipasangmembujur rata.

Pasal 14

(1) Bendera Negara dinaikkan atau diturunkan pada tiang secara perlahan-lahan, dengan khidmat, dan tidak menyentuh tanah.

(2) Bendera Negara yang dikibarkan setengah tiang,dinaikkan hingga ke ujung tiang, dihentikan sebentar dan diturunkan tepat setengah tiang.

(3) Dalam hal Bendera Negara sebagaimana dimaksud padaayat (2) hendak diturunkan, dinaikkan terlebih dahulu hingga ujung tiang, dihentikan sebentar, kemudian diturunkan.

Pasal 15

(1) Pada waktu penaikan atau penurunan Bendera Negara,semua orang yang hadir memberi hormat dengan berdiri tegak dan khidmat sambil menghadapkan muka pada Bendera Negara sampai penaikan atau penurunan Bendera Negara selesai.

(2) Penaikan atau penurunan Bendera Negara sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dapat diiringi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.

Pasal 16

(1) Dalam hal Bendera Negara dikibarkan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Bendera Negara ditempatkan di halaman depan, di tengah-tengah atau disebelah kanan gedung atau kantor, rumah, satuan pendidikan, dan taman makam pahlawan.

(2) Dalam pertemuan atau rapat yang menggunakanBendera Negara:

a. apabila dipasang pada dinding, Bendera Negara ditempatkan rata pada dinding di atas sebelah belakang pimpinan rapat;

b. apabila dipasang pada tiang, Bendera Negara ditempatkan di sebelah kanan pimpinan rapat atau

mimbar.

Pasal 17

(1) Dalam hal Bendera Negara dikibarkan atau dipasang secara berdampingan dengan bendera negara lain,ukuran bendera seimbang dan ukuran tiang bendera negara sama.

(2) Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikibarkan sebagai berikut:

a. apabila ada satu bendera negara lain, BenderaNegara ditempatkan di sebelah kanan;

b. apabila ada sejumlah bendera negara lain, semua bendera ditempatkan pada satu baris dengan kententuan:

1. jumlah semua bendera ganjil, Bendera Negara ditempatkan di tengah; dan

2. apabila jumlah semua bendera genap, BenderaNegara ditempatkan di tengah sebelah kanan.

(3) Penempatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dalam acara internasional yang dihadiri oleh kepala negara, wakil kepala negara, dan kepala pemerintahan dapat dilakukan menurut kebiasaan internasional.

(4) Penempatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berlaku untuk Bendera Negara yang dibawa bersama-sama dengan bendera negara lain dalam pawai atau defile.

Pasal 18

Dalam hal penandatanganan perjanjian internasional antara pejabat Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan pejabat negara lain, Bendera Negara ditempatkan dengan ketentuan:

a. apabila di belakang meja pimpinan dipasang duabendera negara pada dua tiang, Bendera Negara

ditempatkan di sebelah kanan dan bendera negara lain ditempatkan di sebelah kiri;

b. bendera meja dapat diletakkan di atas meja dengan sistem bersilang atau paralel.

Pasal 19

Dalam hal Bendera Negara dan bendera negara lain dipasangpada tiang yang bersilang, Bendera Negara ditempatkan disebelah kanan dan tiangnya ditempatkan di depan tiang

bendera negara lain.

Pasal 20

Dalam hal Bendera Negara yang berbentuk bendera mejadi pasang bersama dengan bendera negara lain pada konferensi internasional, Bendera Negara ditempatkan di depan tempat duduk delegasi Republik Indonesia.

Pasal 21

(1) Dalam hal Bendera Negara dipasang bersama dengan bendera atau panji organisasi, Bendera Negara ditempatkan dengan ketentuan:

a. apabila ada sebuah bendera atau panji organisasi,Bendera Negara dipasang di sebelah kanan;

b. apabila ada dua atau lebih bendera atau panji organisasi dipasang dalam satu baris, BenderaNegara ditempatkan di depan baris bendera ataupanji organisasi di posisi tengah;

c. apabila Bendera Negara dibawa dengan tiang bersama dengan bendera atau panji organisasi dalam pawai atau defile, Bendera Negara dibawa didepan rombongan; dan

d. Bendera Negara tidak dipasang bersilang dengan bendera atau panji organisasi.

(2) Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dibuat lebih besar dan dipasang lebih tinggi daripada bendera atau panji organisasi.

Pasal 22

(1) Bendera Negara yang dipasang berderet pada tali sebagai hiasan, ukurannya dibuat sama besar dan disusun dengan urutan warna merah putih.

(2) Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)tidak dapat dipasang berselingan dengan bendera organisasi atau bendera lain.

Pasal 23

Bendera Negara yang digunakan sebagai lencana dipasang pada pakaian di dada sebelah kiri.

Bagian Keempat

Larangan

Pasal 24

Setiap orang dilarang:

a. merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, ataumelakukan perbuatan lain dengan maksud menodai,menghina, atau merendahkan kehormatan BenderaNegara;

b. memakai Bendera Negara untuk reklame atau iklankomersial;

c. mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur,kusut, atau kusam;

d. mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau bendaapapun pada Bendera Negara; dan

e. memakai Bendera Negara untuk langit-langit, atap,pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan Bendera Negara.

BAB III

BAHASA NEGARA

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 25

(1) Bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bersumberdari bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan yangdikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa.

(2) Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional,sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antar daerah dan antar budaya daerah.

(3) Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebaga bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan,komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga,serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa.

Bagian Kedua

Penggunaan Bahasa Indonesia

Pasal 26

Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 27

Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam dokumen resmi negara.

Pasal 28

Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmiPresiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yangdisampaikan di dalam atau di luar negeri.

Pasal 29

(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasapengantar dalam pendidikan nasional.

(2) Bahasa pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dapat menggunakan bahasa asing untuk tujuan yang mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.

(3) Penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk satuan pendidikan asing atau satuan pendidikan khusus yang mendidik warga negara asing.

Pasal 30

Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pelayanan administrasi publik di instansi pemerintahan.

Pasal 31

(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga

negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.

(2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimanadimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing

ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebutdan/atau bahasa Inggris.

Pasal 32

(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum yangbersifat nasional atau forum yang bersifat internasional di Indonesia.

(2) Bahasa Indonesia dapat digunakan dalam forum yang bersifat internasional di luar negeri.

Pasal 33

(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasiresmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta.

(2) Pegawai di lingkungan kerja lembaga pemerintah danswasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum mampu berbahasa Indonesia wajib mengikuti ataudiikutsertakan dalam pembelajaran untuk meraih kemampuan berbahasa Indonesia.

Pasal 34

Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam laporan setiap lembaga atau perseorangan kepada instansi pemerintahan.

Pasal 35

(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam penulisankarya ilmiah dan publikasi karya ilmiah di Indonesia.

(2) Penulisan dan publikasi sebagaimana dimaksud padaayat (1) untuk tujuan atau bidang kajian khusus dapatmenggunakan bahasa daerah atau bahasa asing.

Pasal 36

(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nama geografidi Indonesia.

(2) Nama geografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)hanya memiliki 1 (satu) nama resmi.

(3) Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk namabangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan,merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan,

organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.

(4) Penamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat(3) dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasaasing apabila memiliki nilai sejarah, budaya, adatistiadat, dan/atau keagamaan.

Pasal 37

(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia.

(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapatdilengkapi dengan bahasa daerah atau bahasa asing sesuai dengan keperluan.

Pasal 38

(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum,penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum.

(2) Penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksudpada ayat (1) dapat disertai bahasa daerah dan/ataubahasa asing.

Pasal 39

(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasimelalui media massa.

(2) Media massa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapatmenggunakan bahasa daerah atau bahasa asing yang mempunyai tujuan khusus atau sasaran khusus.

Pasal 40

Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 39 diatur dalam Peraturan Presiden.

Bagian Ketiga

Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa Indonesia

Pasal 41

(1) Pemerintah wajib mengembangkan, membina, danmelindungi bahasa dan sastra Indonesia agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupanbermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,sesuai dengan perkembangan zaman.

(2) Pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan oleh lembaga kebahasaan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan,pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 42

(1) Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina,dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya

Indonesia.

(2) Pengembangan, pembinaan, dan pelindungansebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara

bertahap, sistematis, dan berkelanjutan oleh pemerintah daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan,pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksudpada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 43

(1) Pemerintah dapat memfasilitasi warga negara Indonesiayang ingin memiliki kompetensi berbahasa asing dalam rangka peningkatan daya saing bangsa.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi untukmeningkatkan kompetensi berbahasa asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam PeraturanPemerintah.

Bagian Keempat

Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Internasional

Pasal 44

(1) Pemerintah meningkatkan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap,

sistematis, dan berkelanjutan.

(2) Peningkatan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasainternasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasi oleh lembaga kebahasaan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima . . .

Lembaga Kebahasaan

Pasal 45

Lembaga kebahasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41ayat (2), Pasal 42 ayat (2), dan Pasal 44 ayat (2) dibentuk sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan bertanggung jawab kepada Menteri.

BAB IV

LAMBANG NEGARA

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 46

Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia berbentukGaruda Pancasila yang kepalanya menoleh lurus ke sebelah kanan, perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda.

Pasal 47

(1) Garuda dengan perisai sebagaimana dimaksud dalamPasal 46 memiliki paruh, sayap, ekor, dan cakar yang mewujudkan lambang tenaga pembangunan.

(2) Garuda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memilikisayap yang masing-masing berbulu 17, ekor berbulu 8,pangkal ekor berbulu 19, dan leher berbulu 45

Pasal 48

(1) Di tengah-tengah perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan katulistiwa.

(2) Pada perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila sebagai berikut:

a. dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima;

b. dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan

dan persegi di bagian kiri bawah perisai;

c. dasar Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai;

d. dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas perisai; dan

e. dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesiadilambangkan dengan kapas dan padi di bagian

kanan bawah perisai.

Pasal 49

Lambang Negara menggunakan warna pokok yang terdiri atas:

a. warna merah di bagian kanan atas dan kiri bawahperisai;

b. warna putih di bagian kiri atas dan kanan bawah perisai;

c. warna kuning emas untuk seluruh burung Garuda;

d. warna hitam di tengah-tengah perisai yang berbentuk jantung; dan

e. warna alam untuk seluruh gambar lambang.

Pasal 50

Bentuk, warna, dan perbandingan ukuran Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal 49 tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Bagian Kedua

Penggunaan Lambang Negara

Pasal 51

Lambang Negara wajib digunakan di:

a. dalam gedung, kantor, atau ruang kelas satuanpendidikan;

b. luar gedung atau kantor;

c. lembaran negara, tambahan lembaran negara, berita negara, dan tambahan berita negara;

d. paspor, ijazah, dan dokumen resmi yang diterbitkan pemerintah;

e. uang logam dan uang kertas; atau

f. materai.

Pasal 52

Lambang Negara dapat digunakan:

a. sebagai cap atau kop surat jabatan;

b. sebagai cap dinas untuk kantor;

c. pada kertas bermaterai;

d. pada surat dan lencana gelar pahlawan, tanda jasa, dantanda kehormatan;

e. sebagai lencana atau atribut pejabat negara, pejabatpemerintah atau warga negara Indonesia yang sedang mengemban tugas negara di luar negeri;

f. dalam penyelenggaraan peristiwa resmi;

g. dalam buku dan majalah yang diterbitkan oleh Pemerintah;

h. dalam buku kumpulan undang-undang; dan/atau

i. di rumah warga negara Indonesia.

Pasal 53

(1) Penggunaan Lambang Negara di dalam gedung, kantor atau ruang kelas satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a dipasang pada:

a. gedung dan/atau kantor Presiden dan Wakil Presiden;

b. gedung dan/atau kantor lembaga negara;

c. gedung dan/atau kantor instansi pemerintah; dan

d. gedung dan/atau kantor lainnya.

(2) Penggunaan Lambang Negara di luar gedung atau kantorsebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf b pada:

a. istana Presiden dan Wakil Presiden;

b. rumah jabatan Presiden dan Wakil Presiden;

c. gedung atau kantor dan rumah jabatan kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri; dan

d. rumah jabatan gubernur, bupati, walikota, dan camat.

(3) Penggunaan Lambang Negara di dalam gedung atau kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a dan di luar gedung atau kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf b diletakkan pada tempat tertentu.

(4) Penggunaan Lambang Negara pada lembaran negara, tambahan lembaran negara, berita negara, dan tambahan berita negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf c diletakkan di bagian tengah atas halaman pertama dokumen.

(5) Penggunaan Lambang Negara pada paspor, ijazah, dandokumen resmi yang diterbitkan pemerintah

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf d diletakkan di bagian tengah halaman dokumen.

Pasal 54

(1) Lambang Negara sebagai cap atau kop surat jabatansebagaimanadimaksud dalam Pasal 52 huruf a digunakan oleh:

a. Presiden dan Wakil Presiden;

b. Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Dewan Perwakilan Rakyat;

d. Dewan Perwakilan Daerah;

e. Mahkamah Agung dan badan peradilan;

f. Badan Pemeriksa Keuangan;

g. menteri dan pejabat setingkat menteri;

h. kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa danberkuasa penuh, konsul jenderal, konsul, dan kuasa usaha tetap, konsul jenderal kehormatan, dan konsul kehormatan;

i. gubernur, bupati atau walikota;

j. notaris; dan

k. pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang undang.

(2) Penggunaan Lambang Negara sebagai cap dinas untuk kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf b digunakan untuk kantor:

a. Presiden dan Wakil Presiden;

b. Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Dewan Perwakilan Rakyat;

d. Dewan Perwakilan Daerah;

e. Mahkamah Agung dan badan peradilan;

f. Badan Pemeriksa Keuangan;

g. menteri dan pejabat setingkat menteri;

h. kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri

yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan

berkuasa penuh, konsul jenderal, konsul, dan kuasa

usaha tetap, konsul jenderal kehormatan, dan konsul

kehormatan;

i. gubernur, bupati atau walikota;

j. notaris; dan

k. pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undangundang.

(3) Lambang Negara sebagai lencana atau atributsebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf e dipasang pada pakaian di dada sebelah kiri.

(4) Lambang Negara yang digunakan dalam penyelenggaraan

peristiwa resmi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf f dipasang pada gapura dan/atau bangunan lain yang pantas.

Pasal 55

(1) Dalam hal Lambang Negara ditempatkan bersama-samadengan Bendera Negara, gambar Presiden dan/ataugambar Wakil Presiden, penggunaannya diatur denganketentuan:

a. Lambang Negara ditempatkan di sebelah kiri dan lebih tinggi daripada Bendera Negara; dan

b. gambar resmi Presiden dan/atau gambar Wakil Presiden ditempatkan sejajar dan dipasang lebih

rendah daripada Lambang Negara.

(2) Dalam hal Bendera Negara sebagaimana dimaksud padaayat (1) huruf a dipasang di dinding, Lambang Negara diletakkan di tengah atas antara gambar resmi Presiden dan/atau gambar Wakil Presiden.

Pasal 56

(1) Ukuran Lambang Negara disesuaikan dengan ukuranruangan dan tempat sebagaimana tercantum dalamlampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undangini.

(2) Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dibuat dari bahan yang kuat.

Bagian Ketiga

Larangan

Pasal 57

Setiap orang dilarang:

a. mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusaLambang Negara dengan maksud menodai, menghina,atau merendahkan kehormatan Lambang Negara;

b. menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;

c. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik,perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; dan

d. menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.

BAB V

LAGU KEBANGSAAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 58

(1) Lagu Kebangsaan adalah Indonesia Raya yang digubah oleh Wage Rudolf Supratman.

(2) Lagu Kebangsaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.

Bagian Kedua

Penggunaan Lagu Kebangsaan

Pasal 59

(1) Lagu Kebangsaan wajib diperdengarkan dan/atau dinyanyikan:

a. untuk menghormati Presiden dan/atau Wakil Presiden;

b. untuk menghormati Bendera Negara pada waktupengibaran atau penurunan Bendera Negara yang diadakan dalam upacara;

c. dalam acara resmi yang diselenggarakan olehpemerintah;

d. dalam acara pembukaan sidang paripurna MajelisPermusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah;

e. untuk menghormati kepala negara atau kepalapemerintahan negara sahabat dalam kunjunganresmi;

f. dalam acara atau kegiatan olahraga internasional; dan

g. dalam acara ataupun kompetisi ilmu pengetahuan,teknologi, dan seni internasional yang diselenggarakan di Indonesia.

(2) Lagu Kebangsaan dapat diperdengarkan dan/ataudinyanyikan:

a. sebagai pernyataan rasa kebangsaan;

b. dalam rangkaian program pendidikan danpengajaran;

c. dalam acara resmi lainnya yang diselenggarakanoleh organisasi, partai politik, dan kelompok masyarakat lain; dan/atau

d. dalam acara ataupun kompetisi ilmu pengetahuan, teknologi dan seni internasional.

Bagian Ketiga

Tata Cara Penggunaan Lagu Kebangsaan

Pasal 60

(1) Lagu Kebangsaan dapat dinyanyikan dengan diiringi alat musik, tanpa diiringi alat musik, ataupun

diperdengarkan secara instrumental.

(2) Lagu Kebangsaan yang diiringi alat musik, dinyanyikanlengkap satu strofe, dengan satu kali ulangan pada refrein.

(3) Lagu Kebangsaan yang tidak diiringi alat musik,dinyanyikan lengkap satu stanza pertama, dengansatu kali ulangan pada bait ketiga stanza pertama.

Pasal 61

Apabila Lagu Kebangsaan dinyanyikan lengkap tiga stanza,bait ketiga pada stanza kedua dan stanza ketiga dinyanyikan ulang satu kali.

Pasal 62

Setiap orang yang hadir pada saat Lagu Kebangsaan diperdengarkan dan/atau dinyanyikan, wajib berdiri tegak dengan sikap hormat.

Pasal 63

(1) Dalam hal Presiden atau Wakil Presiden Republik Indonesia menerima kunjungan kepala negara atau

kepala pemerintahan negara lain, lagu kebangsaan negara lain diperdengarkan lebih dahulu, selanjutnya

Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.

(2) Dalam hal Presiden Republik Indonesia menerima duta besar negara lain dalam upacara penyerahan surat kepercayaan, lagu kebangsaan negara lain diperdengarkan pada saat duta besar negara lain tiba, dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya diperdengarkan pada saat duta besar negara lain akan meninggalkan istana.

Bagian Keempat

Larangan

Pasal 64

Setiap orang dilarang:

a. mengubah Lagu Kebangsaan dengan nada, irama, katakata, dan gubahan lain dengan maksud untuk menghina atau merendahkan kehormatan Lagu Kebangsaan;

b. memperdengarkan, menyanyikan, ataupun menyebarluaskan hasil ubahan Lagu Kebangsaan dengan maksud untuk tujuan komersial; atau

c. menggunakan Lagu Kebangsaan untuk iklan dengan maksud untuk tujuan komersial.

BAB VI

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA

Pasal 65

Warga Negara Indonesia berhak dan wajib memelihara, menjaga, dan menggunakan Bendera Negara, Bahasa Indonesia, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan untuk kehormatan dan kedaulatan bangsa dan negara sesuai ndengan Undang-Undang ini.

BAB VII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 66

Setiap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun

atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 67

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), setiap orang yang:

a. dengan sengaja memakai Bendera Negara untuk reklame atau iklan komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b;

b. dengan sengaja mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c;

c. mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf d;

d. dengan sengaja memakai Bendera Negara untuk langitlangit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf e.

Pasal 68

Setiap orang yang mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda

paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 69

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), setiap orang yang:

a. dengan sengaja menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;

b. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; atau

c. dengan sengaja menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 70

Setiap orang yang mengubah Lagu Kebangsaan dengan nada, irama, kata-kata, dan gubahan lain dengan maksud untuk menghina atau merendahkan kehormatan Lagu Kebangsaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda

paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 71

(1) Setiap orang yang dengan sengaja memperdengarkan, menyanyikan, ataupun menyebarluaskan hasil ubahan Lagu Kebangsaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama n1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(2) Ketentuan ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi setiap orang yang dengan sengaja menggunakan Lagu Kebangsaan untuk iklan komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c.

BAB VIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 72

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-Undang ini.

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 73

Peraturan pelaksana yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-Undang ini diselesaikan paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 74

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di :Jakarta

pada tanggal:9 Juli 2009

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Minggu, 15 Januari 2017

Takfir dan Masa Depan Islam Indonesia

Takfir dan Masa Depan Islam Indonesia

Saat ini penyakit kafir-mengafirkan sedang menggejala di negeri ini. Bagaimana sejarahnya?

Mengapa beberapa kalangan Muslim tertentu senang sekali menghukumi saudara seiman dan seagama mereka yang berbeda dalam hal pemahaman mengenai akidah dan syariah? Bukankah penghakiman soal keyakinan bukan perkara kecil di dalam sistem teologi Islam? Bagaimana sesungguhnya sejarah konsep tafkir ini, dari mana dan dalam konteks apa ide tentang takfir muncul? Pengertian takfir secara sederhana adalah pengkafiran atas orang Muslim lain karena keyakinan, ucapan dan tindakan orang tersebut yang melawan Islam. Meskipun takfir merupakan tindakan yang harus dibarengi dengan kehatian-hatian yang ekstra ketat, namun dalam konteks Indonesia pentakfiran gampang sekali dilafalkan. Bagaimana sesungguhnya pengertian tafkir termasuk jenisnya, syarat-syarat apa yang harus dipenuhi dan bagaimana dinamika penggunaan istilah ini oleh ulama-ulama Islam masa lalu. Meskipun wacana tentang takfir hampir menjadi pembicaraan umum di kalangan teolog klasik Islam, seperti al-Ghazālī, Ibn Ṣalāḥ dan lain sebagainya,[2] namun tulisan ini akan berusaha melihat persoalan takfir dari kacamata yang lebih khusus yakni dari tradisi Neo-Hanbalisme; tradisi yang dikembangkan dari ajaran Imam Ibn Ḥanbal dan kemudian diteruskan oleh para murid-muridnya seperti Ibn Taymiyyah, Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Muḥammad b. ‘Abd. Wahhāb, dan belakangan lagi adalah Syaikh al-Albāni, Bin Bāz, ‘Uthaymīn dan masih banyak lagi. Secara geografis, para pengikut madzhab Imam Aḥmad ini paling subur berkembang di kawasan Saudi Arabia dan sayup-sayup mendapatkan simpati di kawasan lainnya. Bahkan di Indonesia, kelompok ini mulai tampil ke publik dan melakukan pewacanaan atas konsep teologi mereka yang menurutnya paling absah (aṣāh). Sebagai pendakwa pengikut golongan salafus ṣāliḥ, ciri kelompok ini adalah kembali kepada makna lahir dari ayat al-Qur’an dan Sunnah, memerangi setiap bentuk inovasi dalam beribadah (bid‘ah) dan yang paling sering kita dengar dan lihat dalam perdebatan-perdebatan baik di media dan di sosial media adalah pentakfiran atas kelompok lain berbeda dengannya. Bagaimana sesungguhnya tradisi ini berkembang dan dibangun atas dasar pengetahuan apakah wacana takfir di kalangan Neo-Hanbali ini dibangun.

 

Imam Aḥmad merupakan satu dari empat imam madzhab yang memiliki fokus pada pentingnya pembicaraan masalah akidah. Sebagai konsekwensi logis, dia berbicara banyak mengenai keimanan, keislaman dan kekafiran. Abū Zahrah membenarkan anggapan ini dan menjelaskan bahwa ḥaqāiq (kebenaran-kebenaran) menurut Imam Ibn Ḥanbal berpusat pada tigal, al-iman, al-islam dan al-kufr, dimana keislaman berada di tengah keimanan dan kekufuran.[3] Dia dikenal sebagai Imam yang mementingkan aspek literal dalam memahami Islam sehingga apa saja yang dinyatakan secara lahir oleh al-Qur’an dan Sunnah, maka ikutilah, āmannā bihi kullun min ‘indi rabbinā. Inilah cikal bakal dari teologi salafi.[4] Namun demikian, pandangannya yang sangat literalis ini bukan keluar dari sejarah yang kosong, artinya semata-mata pertimbangan tekstual saja (manqūl), namun secara historis dan politis, dipengaruhi oleh pengalaman pribadinya yang ditekan oleh regim al-Makmun dalam miḥnah.

 

Meskipun dipandang sangat rigid, namun Imam Aḥmad tidak gampang membuat keputusan dalam hal takfir. Bahkan dia dibilang memiliki posisi yang moderat dibandingkan dengan kalangan Mu’tazilah dan Murji’ah. Pelaku dosa yang bertumpuk-tumpuk, yang oleh Mu’tazilah, dikategorikan sebagai kafir, oleh Imam Akhmad tidak menganggap cukup para pendosa sebagai kafir, la yakfuru aḥadun min ahl al-tawhīd, wa in ‘amilū bi al-kabā‘ir (tidak kafir seseorang dari ahli tauhid meskipun mereka melakukan dosa besar).[5] Bagaimana pandangan dia yang sering dinukil, wa laitha min al-a‘māli shay’un tarkuhu kufrun illā al-salāta, man tarakahu fahuwa kāfirun, wa qad aḥalla l-llāhu qatlahu (tidak ada satupun dari amal-amal yang meninggalkannya menyebabkan kekafiran kecuali salat, barang siapa yang meninggalkan salat maka dia adalah orang kafir, dan sungguh Allah menghalalkan untuk membunuh (memerangi)nya). Pernyataan ini memang sering dinisbahkan kepada Imam Akhmad, namun perlu dilihat lagi keasliannya. Abu Zahrah menyatakan bahwa teks ini mengandung al-ghirābah (kejanggalan). Sekiranya yang dimaksud dengan teks ini adalah salat dalam karakteristik yang di atas, maka harusnya teks ini benar-benar dinukilkan darinya, akan tetapi sayangnya sanad tidak jelaskan. Abu Zahrah menafsirkan pernyataan di atas sebagai al-tark al-mustamir yash’uru bi al-juḥūd, meninggalkan terus menerus dengan rasa kebencian. Jika yang terjadi demikian, orang membenci rukun agama yang ditetapkan, maka orang tersebut masuk dalam kategori kafir, bukan saja oleh Imam Aḥmad, namun juga oleh kesepakatan ulama (ijma’).[6]

Apa yang kita bisa ambil pelajaran dari Ibn Ḥanbal sebagaimana juga kalangan salafus al-ṣaliḥ yang lain adalah persoalan takfir bukan hal yang sederhana. Pasti kekufuran adalah sesuatu yang nyata, namun kenyataan itu tidak menjadi hal yang dengan mudah disifatkan pada orang lain sebagaimana yang dengan mudahnya orang-orang zaman sekarang dari kalangan tertentu baik di Indonesia maupun di negara lain sangat mudah melakukannya.

 

Generasi berikutnya melakukan konseptualisasi takfir dengan agak lebih jelas dan keras. Tokoh utamanya adalah Ibn Taymiyyah dan muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Sejarah hidup Ibn Taymiyyah sendiri adalah sangat getir dan penuh kekerasan. Literatur-literatur baik di kalangan salafi maupun non salafi menggambarkan Ibn Taymiyyah selain sebagai orang yang alim (berilmu), penulis, dan mufti, juga sebagai ulama yang menegakkan jihad dengan pedangnya, mendorong kaum Muslimin untuk qital (peperangan) dengan pikiran dan perbuatannya. Hal ini bisa dilihat dari keterlibatan Ibn Taymiyyah dalam laga perang pada zamannya.[7] Dalam hal perjuangannya di bidang penulisan, Ibn Taymiyyah disebutkan berdiri dari garis depan dalam memusuhi kelompok-kelompok dan aliran-aliran yang batil dan bid’ah dalam pengertian kelompok salafi. Mereka-mereka yang yang diperangi oleh Ibn Taymiyyah secara tertulis misalnya adalah kelompok filsafat, bāṭiniyyah (spiritualitas), sufi, Ismā‘iliyyah, Jahmiyyah, dan juga tidak luput para pengikut al-Ash‘arī, yang oleh NU dijadikan sebagai salah satu imam aqidah selain al-Māturidī, dan sejenisnya.[8] Dari sini sangat jelas alasannya kenapa kelompok salafi sangat mengidolakan Ibn Taymiyyah bahkan kadar pengidolaannya bisa sampai kepada bentuk pemazdhaban dan bid’ah baru atas diri Ibn Taymiyyah sendiri. Sangat jarang sekali para pengikut Ibn Taymiyyah bisa menerima kritik akan kelemahan pemikiran gurunya ini. Kalangan Ibn Taymiyyah menyebut alamat kebaikan dan penerimaan adalah saat kematian. Ibn Taymiyyah meninggal dalam kesendirian namun banyak orang yang menshalati jenazahnya. Ini adalah tanda diterimanya Ibn Taymiyyah. Bagi kalangan salafi, argumentasi ini diambil dari perkataan Imam Aḥmad, qūlū li ahl al-bid‘ai, baynanā wa baynakum al-janā’iz, katakanlah kepada ahli bid’ah, antara kita dan kalian semua adalah kematian (mayat). Artinya, ahli bidʿah nanti jika meninggal maka sedikit orang yang menshalati dan sebaliknya jika salafi yang meninggal banyak yang menshalati.[9] Argumen ini sekarang sudah tidak cocok lagi karena yang terjadi adalah hal yang sebaliknya. Ketika Abdurrahman Wahid meninggal dunia dan ratusan ribu orang yang melayak dan bahkan ratusan juta yang bergabung untuk mendoakannya, maka diskursus yang dikembangkan oleh kaum salafi Indonesia adalah hal yang berbeda dengan kematian Ibn Taymiyyah. Inilah adalah bentuk nyata bahwa salafipun melaksanakan keyakinannya dengan cara berpolitik, bukan dengan cara pertimbangan kemurnian agama yang selama ini digembar gemborkan.

 

Pendek kata, Ibn Taymiyyah bisa dikatakan sebagai pihak pertama, dalam tradisi keulamaan madzhab Imam Aḥmad yang merumuskan dan membangun konsep yang sangat literal tentang the otherness melalui takfir. Dia misalnya membagi kekafiran ke dalam dua bagian; kafir keyakinan (al-kufr al-i‘tiqādī) dan kafir perbuatan (al-kufr al-‘amalī).[10] Yang pertama, kekafiran yang disebabkan oleh pemikiran soal keyakinan yang keliru dan kedua kekafiran karena tindakan kita yang menyimpang dari garis aqidah. Lebih lanjut, Ibn Taymiyyah membedakan juga apa yang disebutnya sebagai takfīr ‘ām dan takfīr mu‘ayyan. Dia menyatakan takfīr ‘ām itu bagaikan ancaman yang umum  pula, wajib menyatakan kemutlakan dan keumumannya sementara takfīr mu‘ayyan adalah kekafiran yang diberitakan oleh dalil yang nyata. Penghukuman atas jenis kafir terakhir ini butuh persyaratan-persyaratan khusus serta keharusan tidak adanya hal yang membatalkannya. Pengkafiran jenis pertama itu bisa terjadi atas dasar tindakan dan ucapan yang umum seperti jika anda melakukan ini maka kafir, jika anda melakukan itu, maka kafir. Kafir mutlak, bahasa lain kafir umum, tidak menyasar pada pribadi-pribadi yang tertentu, tapi pada tindakan seseorang yang dikafirkan. Pengkafiran jenis kedua terjadi secara tertentu pada orang tertentu yang melakukan kekafiran. Sudah barang tentu, penghukuman demikian harus lebih dahulu memenuhi syaratnya serta tidak ada hal satupun yang membatalkannya.[11] Syarat takfir menurutnya terbagi ke dalam beberapa bagian. Pertama, syarat yang harus ada pada pelaku (al-fā’il), dimana harus berakal –tidak gila atau kurang sehat akalnya–, berumur baligh, secara sengaja menyatakan kekafiran dan tidak dipaksa. Kedua, dari segi perbuatan dan ucapan pihak yang ditakfirkan dimana ucapan dan perbuatannya tersebut telah ditetapkan oleh dali-dalil syariah sebagai hal yang kafir dan syirik yang besar (akbar), atau  berdasarkan kategori para ahli bahwa apa yang dilakukan oleh orang ditakfirkan memang sudah masuk dalam batasan kekafiran. Perlu diingat di sini bahwa ungkapan dan perbuatan harus benar-benar jelas (ṣarīh) artinya menggunakan kata yang jelas sekali, tanpa ada perdebatan.[12] Syarat untuk takfīr al-mu‘ayyan, penetapan hukum kafir atas mereka juga harus berdasarkan pada ketetapan syariah yang valid. Seorang mukallaf tidak akan dihukumi dari ucapan dan perbuatannya kecuali melalui garis syariah seperti pengakuan atau kesaksian para saksi. Kesaksian riddah mungkin sedikit agak berbeda dengan takfir, diperlukan kerincian yang lebih mendalam.

 

Konsep takfir yang dikembangkan ini pada dasarnya konsep membangun madzhab karena di dalam al-Qur’an dan Sunnah persoalan ini tidak separah yang dibayangkan oleh Ibn Taymiyyah dan para neo-Hanbalis lainnya. Kecenderungan literalis merekalah yang menyebabkan dengan mudah menggunakan dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah Nabi untuk melakukan penilaian orang lain kafir dan diri mereka tidak. Hal ini perlu mereka lakukan untuk memperkuat identitas kemadzhaban mereka karena kategori-kategori takfir yang dibangun pada dasarnya adalah untuk mendukung konstruksi konsep teologi salaf al-salih. Hal ini misalnya terlihat bagaimana al-Albani memasukkan konsep penilai sebuah hadis sahih atau tidak berdasarkan kategori adanya unsur bid’ah atau kemusyrikan di dalamnya sehingga semua hadis yang di dalamnya ada indikasi tersebut harus ditolak. Namun sayangnya, konsep bidʿah yang mereka bangun didasarkan pada tafsir-tafsir mereka sendiri, tanpa berusaha memahami aliran lain yang memiliki persepsi dan tafsir lain. Namun hal ini juga harus dipahami, jika mereka bisa menerima pandangan lain, maka identitas salaf al-salih yang mereka konstruksikan akan bisa terhapus.

 

Muḥammad b. ʿAbd al-Wahhāb adalah pengikut Ibn Taymiyyah dalam era modern. Seorang pembaharu teologi dari Najd yang berada dalam lingkungan sosial keagamaan yang dihegemoni oleh Shiʿa Dinasti Safavid dan Sunni Dinasti Usmani dan juga tidak kalah penting adalah dominasi kelompok Sufi. Richard Gauvain menyatakan target utama Muḥammad b. ʿAbd. Al-Wahhāb adalah kalangan sufi dan Shiʿa.[1] Sebagaimana Ibn Taymiyyah, Ibn ʿAbd. Al-Wahhāb juga bernada menyerang dimana dia katakan seluruh orang yang tidak memeluk doktrin tauhid (monoteisme) menurut cara pandang mereka adalah kuffār. Pada titik ini pengaruh tauhid Ibn Taymiyyah betul-betul terlihat pada Ibn ʿAbd. Al-Wahhāb.[2] Roel Meijer berpendapat bahwa kaum Wahhabi –para pengikut Ibn ʿAbd. Al-Wahhāb terutama Wahhabi klasik—memiliki karakteristik sikap xenophobic dan sektarian terhadap orang asing dan kalangan Muslim non-Wahhabi.  Bahkan, masih menurut Meijer, seorang yang benar-benar beriman adalah mereka yang melakukan peperangan dan permusuhan terhadap kalangan pensukutu Tuhan (bahasa Arab: mushrikūn).  Di sinilah sekali lagi ideologi al-wala’ wa al-bara’ benar-benar merupakan soko guru dari ajaran Wahhabi. Bahkan Wahhabilah yang memberikan status kalangan Yahudi dan Nasrani yang sebetulnya dalam al-Qur’an dikatakan masyarakat kitab (Ahl al-Kitab) sebagai mushrikūn.  Dalam konteks Indonesia, jargon tauhid salafi al-wala’ wa al-bara’ dulu sering didengungkan oleh Laskar Jihad, pimpinan Ustadz Ja’far Umar Thalib dan juga oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Menurut media salafi, Muslim Indonesia masih banyak yang buta dengan pengalaman doktrin ini dimana ini merupakan konsekwensi dari penerimaan tauhid seorang Muslim.[3] Namun demikian, unsur politis dari penerapan konsep al-wala’ wa al-bara’ banyak memakan korban intra salafi sendiri di mana satu sama lainnya mempertanyakan kadar loyalitas mereka kepada Allah. Bukan rahasia lagi, fenomena Ja’far Umar Thalib dan Abu Bakar Ba’asyir, dua tokoh salafi-Wahhabi yang idealnya berjuang bersama-sama, namun karena keduanya saling mencurigai kadar loyalitas masing-masing mereka dalam menegakkan syariah Allah akhirnya mereka terjebak dalam permusuhan yang tidak kunjung selesai.

 

Selanjutnya, sebagai hal penting dari penerapan konsep idelogi takfiri dikalangan Wahhabi adalah penerapannya pada tingkat lapangan. Ciri menonjol dari mereka adalah hisbah (moral inspection). Dalam konsep Wahhabi, ḥisbah diterapkan untuk mengawasi penyelewengan tauhid seperti melarang orang menziarahi tempat wali atau orang terhormat dalam agama, menyerang para pelaku bidʿah, melarang orang mendengarkan musik, dan juga melarang orang merokok. Dan hal-hal seperti ini lah yang sekarang ini menjadi lahan jihad bagi kalangan Wahhabi. Jika kita refleksikan ke Indonesia, kegaduhan social media dalam menanggapi aksi-aksi Front Pembela Islam yang menuduh bahwa kelompok ini adalah sayap Wahhabisme memang ada benarnya jika dikaitkan dengan kegetolan mereka melaksanakan hisbah. Namun, secara teologis, FPI lebih dekat dengan ultra-konservatif NU. Kalangan Salafi Indonesia sebagaimana dilansir oleh media-media online mereka melakukan proyeksi yang tidak adil pada FPI selama ini. Mereka memberikan apresiasi pada FPI jika apa yang dilakukan oleh organisai hisbah ini sesuai dengan keinginan kaum Salafi-Wahhabi. Namun FPI bisa dianggap sesat oleh mereka jika FPI melakukan peringatan maulid Nabi. Lihat misalnya pemberitaan-pemberitaan di media online kaum salafi.[4] Habib Riziq sendiri dalam beberapa kesempatan melakukan balasan atas pernyataannya tentang kekafiran Wahhabi yang menolak teologi Ashʿarī.[5] Di sini sebenarnya perlunya kajian yang hati-hati dalam melihat dinamika kelompok Islam agar kita tidak terjebak dalam cara model-model kategorisasi yang hitam putih dan serampangan.      

 

Tokoh penting lain alam pemikiran Salafi setelah Ibn ʿAbd. al-Wahhab adalah Muḥammad Nāṣiruddin al-Albānī. Dia seorang ahli hadis yang tekun. Puluhan jilid buku dihasilkan dari ketekunannya belajar di perpustakaan daripada mengajar di halaqah-halaqah sebagaimana yang dilakukan oleh Bin Baz dan Ibn Uthyaimīn. Al-Albāni pada mulanya lebih dekat pada pemikiran Rashīd Riḍā.[6] Namun dalam kesempatan lain dia lebih senang dikatakan sebagai pengikut Imam Ibn Ḥanbal. Tapi yang jelas, dia dan Bin Baz menerima pengaruh kuat dari Saʿd b. ʿAṭiq dalam hal penolakannya untuk menggunakan nalar ketika menformulasikan pendapat hukum.[7] Al-Albāni berpendapat jika maraknya tradisi tafkir yang selama ini terjadi disebabkan karena dua hal; pertama, karena kedangkalan ilmu dan sedikitnya pemahaman atas Islam; kedua, mereka, gerakan takfir, tidak mendalami kaidah-kaidah syariah.[8] Dalam penjelasannya yang agak panjang, al-Albāni mengkritik mereka yang tidak paham pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Menurutnya, amal baik dan keikhlasan tidaklah cukup jika tidak disertai dengan kebaikan untuk itbā‘kepada pada apa yang dibawa Nabi.[9] Tidak hanya paham akan kedua sumber Islam di atas, takfir juga harus didasarkan pada kedalaman penguasaan pada ilmu bahasa –Nahwu dan Saraf—, nāsikh dan mansūkh dan perangkat yang lainnya. Lebih lanjut dia menyoroti banyaknya orang berhujjah untuk mentakfirkan orang lain dengan surat al-Mā’idah: 44, “wa man lam yaḥkum bimā anzala l-llāhu fa ulā’ika hum al-kāfirūn.” Ayat ini tiga kali diulang dalam al-Qur’an dan akhir ayat ada tiga bentuk, “fa ulā’ika hum al-kāfirūn, fa ulā’ika hum al-ẓālimūn” (ayat 45), dan “fa ulā’ika hum al-fāsiqūn” (ayat 47). Menurutnya, kebanyakan orang tidak memahami sisi bahasa dari ayat ini, dan dia mengatakan jika yang dimaksud dengan kafir pada ayat di atas bukanlah kafir dalam pengertian keluar dari agama sebagaimana juga dengan pengertian lalim dan pendosa besar. Dalam pernyataanya, fa sha’nu lafzati al-kufri min haythu innahā la tadullu ‘alā ma’na wahidin sha’na al-lafẓayni al-akharayani, maka keadaan kata kufr itu dimaksudkan tidak untuk menunjukkan makna yang tunggal sebagaimana juga keadaan kedua lafal berikutnya. Dia melanjutkan, barang siapa yang disifati sebagai lalim dan pendosa besar, maka keduanya bukan berarti telah murtad dan demikian juga berlaku dengan mereka yang dihukumi kafir tidak bisa dihukum bahwa dia keluar dari Islam.[10] Al-Albāni menyatakan semua perdebatan tentang makna lafal ini adalah apa yang ditunjukkan oleh bahasa Arab dan kemudian syariah yang juga datang dengan bahasa Arab, bahasa al-Qur’an yang mulia. Dia mewajibkan semua orang yang ingin mengambil hukum, baik posisi dia sebagai rakyat maupun sebagai pemerintah, maka dia harus memiliki ilmu untuk memahami Qur’an, Sunnah dan tradisi Salafus al-Ṣāliḥ.[11] Sampai di sini jelas pandangan al-Albānī sangat hati-hati dalam memandang persoalan takfir. Jika dilihat dari konteks pertanyaannya, maka jawaban-jawaban yang diberikan oleh al-Albani nampaknya merupakan upaya kritik terhadap beberapa kalangan yang menempatkan posisi dia dalam golongan kaum kafir.

Lalu apa tafsir al-Albāni atas al-Mā’idah: 44? Pada titik ini, uraian al-Albānī pun masih sangat hati-hati, dimana dia memaknai kafir dalam ayat ini sebagai kafir perbuatan (al-kufr al-‘amalī), bukan i’tiqadī. Artinya, jika ada rezim yang tidak menerapkan secara keseluruhan hukum Tuhan, maka dia bukan rezim yang kafir secara akidah. Pandangan dia didasarkan tafsir dan penjelasan Ibn ‘Abbās yang mengakui keseluruhan umat Islam dimana sebagian kita memahami ayat tersebut lahirnya saja, tanpa perincian yang mendalam. Apa yang dikatakan Ibn ‘Abbās di sini adalah laytha al-kufru alladhī tadhhabūna ilayhi, innahu laytha kufran yanqilu an al-millah, huwa kufrun dūna kufrin, tidaklah kafir orang yang demikian, sesungguhnya dia bukan kafir yang memindahkan dari agamanya, akan tetap kafir tanpa kekafiran.[12] Ini nampaknya ditujukan oleh Ibn Abbās untuk kaum Khawārij yang telah menyebabkan pertumpahan darah di kalangan umat Islam sendiri pada saat itu. Dengan pendekatan semantiknya, al-Albāni memainkan pemaknaan lain dimana pendosa besar bisa saja disamakan maknanya (murādifan) dengan kafir keyakinan. Dalam menafsirkan al-Mā’idah: 47, al-fāsiqūn 

Uthaymīn adalah salah satu ulama Saudi terkemuka yang sangat berani mendefinisikan takfir. Ketika tanya tentang fenomena pengkafiran yang akhir-akhir ini marak terjadi. Dia mengemukakan dua kategori utama; pertama, adanya petunjuk tekstual (naṣ) bahwa perbuatan tersebut adalah kekufuran, karena di dalam teks adalah kekufuran namun yang dimaksud denganya bukan kekufuran yang keluar dari agama, jadi teksnya benar-benar menyatakan kekufuran; kedua, menerapkan teks ini untuk menghukumi orang yang menurut teks tersebut sudah dihukumi melakukan kekafiran. Uthaymin menyatakan ada dua persyaratan penting untuk melakukan takfir: pertama, adanya dilalāt al-nāṣ, teks yang jelas yang menyebutkan suatu perbuatan dianggap kafir; dan kedua, menerapkan teks tsrebut untuk menghukumi orang tertentu mengingat ada beberapa hal yang melarang kita (kontraindikasi) melakukan takfir. Jika dua hal ini tidak terpenuhi syaratnya, maka siapa saja yang menghukumi orang lain sebagai kafir, menurut Uthaymin adalah dihukumi.  Lalu dia ditanya, bagaimana seseorang bisa menjadi kafir sementara dia mengkafirkan  dengan dalih ghirah karena Allah? Uthaymin tetap menjawab si orang ini tetap dihukumi sebagai orang yang kafir. Argumentasi yang digunakan oleh Uthaymin sangat menarik, bahwa orang ini tetap dianggap kafir karena dia telah menempatkan diri bersama Allah dalam membuat keputusan tentang kekufuran tersebut (innahu kufrun haythu ittakhadha nafsahu mushr’ian ma‘a l-llāhi).[13] Dia meneruskan, ada kesalahan mendasar orang ini; pertama, menjadikan dirinya sebagai sekutu Allah dalam menghukumi kekufuran, kedua, dia telah mencetak di dalam hatinya dan berlindung diri kepada Allah dan pada akhirnya dia menjadi kafir yang jelas. Jelas, atas dasar pendapat ini, maka takfir bukanlah perkara mudah, perlu hati-hati dan tidak sembarang dikeluarkan.

Islam Indonesia dan Media Baru[14]

Sebagaimana dipaparkan di atas takfir bukan gejala baru, dan bisa dikatakan sebagai bagian dari sejarah Islam Indonesia. Jeffrey Hadler menunjukkan adanya pengaruh kuat Wahhabisme di kalangan Padri. Zaman dulu, Muhammadiyah pernah gencar menggunakan isu TBC (Takhayyul, Bid’ah dan Khurafat) untuk mengekslusi kelompok lain dari barisan Islam yang murni, Islam yang tidak bersumber kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Meskipun agak samar, semua pelaku –pelaku tahlil, ziarah kubur, mauludan (Jawa: memperingati hari lahir Nabi Muhammad dengan membaca riwayat-riwayat Beliau bisanya di 12 hari bulan pertama), manaqiban (Jawa: membaca riwayat hidup Syaikh Abdul Qadir al-Jaylani) dan hal-hal lain dulu pernah dikategorikan sebagai kelompok yang keluar dari kemurnian Islam karena semua praktik tersebut dianggap sebagai jenis ibadah baru. Kini, persoalan takfir masih menggejala, bahkan mungkin semakin vulgar dan polemis dibandingkan dengan masa lalu. Bahkan, kini takfir tidak hanya dilontarkan melalui buku-buku, rapat dan diskusi akbar keagamaan, koran dan majalah cetak, namun bisa melalui media yang lebih intim  dan pribadi seperti facebook, twitter dan blogpage. Ini bisa terjadi berkat kemajuan teknologi informasi. Jika zaman dulu, orang mendengar dan mengetahui pentakfiran dengan datang ke pengajian-pengajian dan membaca buku-buku, kini dengan fabebook, twitter, blog yang bisa diakses melalui internet, orang akan dengan mudah mengetahui siapa hari ini, minggu ini, dan bulan ini yang mengkafirkan dan dikafirkan. Sudah barang tentu ini merupakan tantangan baru bagi masa depan pengembangan wacana Islam Indonesia. Menggunakan jargon Henri Lefebvre, dalam bukunya yang sangat terkenal The Production of Space,[15] kalangan takfiri menemukan ruang ekpresinya di dunia online karena di dunia offline masih belum menemukan dukungan berarti di hati kalangan Muslim Indonesia.

Pertanyaannya, apa yang terjadi sesungguhnya dengan medialisasi ini? Apa yang saya sebut sebagai media baru dalam anak judul di atas adalah media sosial (social media). Sebagaimana saya singgung sedikit di atas bahwa kini isu takfir sudah out of date dari wacana umum Muhammadiyah, kali ini yang paling getol menggunakannya adalah pemikiran dan organisasi-organisasi keagamaan yang menyebut diri mereka sebagai salafi. Kelompok ini sangat agresif baik dengan terbuka maupun tertutup menularkan gagasan purifikasi Islam dalam bidang aqidah (tauhidisme) dan menyerang secara terbuka kelompok lain sebagai kafir. Berbeda dengan masa lalu, dimana perdebatan tentang takfir masih sangat terbatas di kalangan para elit dalam majelis-majelis tertertu, kini suasana seperti itu tidak lagi seperti itu. Keterbukaan dan teknologi informasi yang murah menjadi penyangga diseminasi wacana tentang takfir. Kelebihan media sosial ini selain bisa aktual, dinikmati secara “live” pelaku bisa terlibat langsung. Tidak jarang perdebatan justru lebih sengit di media tersebut karena melalui media sosial seperti ini tidak diperlukan formalisme yang berlebihan. Siapa saja bisa menyahut, mendukung, menolak, mencaci, dan memuji, tanpa harus dibarengi dengan argumentasi yang mendalam. Tidak bermaksud menggeneralisasi sebab banyak juga halaman-halaman debat di media sosial ini yang bagus dan mendalam, namun watak diskusi soal takfir, karena ini menyangkut aqidah, cenderung bersifat cekak dan judgmental (menghakimi), hitam putih, baik bagi mereka yang membela maupun yang menolak. Lebih menarik lagi, jika seseorang ingin menolak ataupun membantah, maka cukup dengan cara copy-paste yang semuanya bisa dilakukan melalui mesin pencari di internet seperti google, dan lainnya. Cara ini sangat memudahkan sekali dimana seseorang bisa mendapatkan argumen yang diinginkannya secara cepat atas topik yang diinginkannya bahkan tanpa harus mengetahui kedalaman yang sesungguhnya diperlukan untuk berargumen. Yang lebih menguntungkan lagi, jati diri bisa tertutupi (anonim) karena membuat komentar lewat online berbeda dengan perdebatan tatap muka. Di sini baik pembuat atau penyangga diskursus sama-sama bisa berteduh dari ketidakharusan untuk tampil dalam formalisme dan verbalisme diskusi dan perdebatan. Bahkan, para pelaku bisa bersumbunyi dari kapabilitas yang seharusnya mereka miliki untuk masuk dalam sebuah perdebatan dan diskusi. Teknologi copy-paste yang disediakan oleh mesin pencari internet bisa dengan mudah memindahkan teks-teks dalam bentuk yang hampir dalam keadaan yang mendekati sempurna secara tertulis. Para discoure makers maupun para penolaknya tidak harus menverbalisasikan argumen di hadapan lawannya. Cukup dengan mengirimkan teks yang dicopy-pastenya ke dinding atau bidang lawannya, maka teks itu sendiri yang berbicara pada lawannya.

Hal yang demikianlah yang kini secara umum terjadi dalam medialisasi takfir di Indonesia. Orang dengan mudah melakukan pengkafiran atas pihak lain tanpa harus menulis dan mencetak buku sendiri. Bahkan pengkafiran dengan cara demikian bisa dieksekusi oleh siapapun, tidak harus punya segudang dalil dan argumen, namun prasangka, asumsi dan kedengkian sudah lebih sekedar cukup untuk menghukumi orang menjadi kafir. Meskipun bukan ruang ilmiah, namun dampaknya ternyata tidak bisa diremehkan. Kasus Rhoma Irama yang mengaku mendapatkan informasi dari social media mengenai kekafiran orang tua Joko Widodo  –populer disebut Jokowi—adalah hal yang paling baru bagaimana efektifitas ruang ini.

Selain itu, sifat pemindahan data dengan mudah melalui share yang disediakan menyebabkan proses diseminasi informasi dari media-media online secara cepat. Kelompok salafi dan sejenisnya kini memiliki media online yang cukup lumayan sistematis dan up to date seperti http://arrahmah.com/,http://www.eramuslim.com/,http://nahimunkar.com/, http://www.voa-islam.com/. Tidak semua media yang mendukung pentakfiran ternyata bisa diklaim sebagai salafi jika dilihat dari kecenderungan kandungan yang dimuatnya. Namun mereka bisa bersatu untuk isu-isu takfir dalam parameter dan ukuran mereka sendiri-sendiri.

Baik para penganjur pentakfiran maupun penolaknya sebenarnya memiliki peluang yang sama dalam mengambil manfaat dari medialisasi yang masif ini. Mereka sama-sama memiliki kelebihan dalam mengelola media. Namun lalu apa yang berbekas dari semua ini? Pengamatan saya, apa yang tertinggal tidak ada lain kecuali kegaduhan, kengototan dan kegetolan untuk mempertahankan ide masing-masing. Di ruang ini tidak ada benar salah, tidak ada sah dan tidak sah, yang ada adalah kekuatan untuk menerus melontarkan, menjawab dan melontarkan kembali serta menjawab lagi wacana-wacana yang disebarkan. Di sini kita tidak tahu lagi siapa yang hadir, apakah mereka yang berotoritas ataukah preman agama. Jika ruang ini memungkin verbalisme, maka kapabilitas dan kapasitas bisa dikenali.

Di Indonesia, dengan pengguna social media yang cukup tinggi, orang bebas mendiskusikan keyakinan mereka dan termasuk melakukan takfir satu sesama lainnya. Dalam konteks negara demokrasi, kemajuan di bidang teknologi informasi selalu membawa dua sisi; pertama, konstruktif dan kedua, dekonstruktif. Dalam hal wacana takfir, konstruktifnya adalah teknologi ini membuka ruang baru untuk eksistensi diri, tanpa harus menampilkan kesejatian seorang discourse maker; bisa saja memberikan atribut yang kurang—rendah hati dan sopan santun—namun bisa saja narsisisme. Sementara dekonstruktifnya adalah karena siapa saja boleh membuka, membuat, menanggapi discourse, maka language gamenya menjadi kompleks dan semrawut karena ini semua bisa meruntuhkan bangunan keilmuan dan keyakinan konvensional. Yang saya maksud dengan keyakinan konvensional adalah pengetahuan dan keyakinan yang dibangun melalui ruang-ruang yang kongkrit seperti tatap muka, verbalisme, dan serious writing and speech. Anda menuduh seseorang telah kafir, maka lakukan saja, tulis di dinding facebook atau twitter anda, setelah itu bisa ditinggalkan begitu saja, menunggu komentar, mengundang perdebatan, atau sekedar narsisme teologis. Argumentasi tidak perlu benar, karena status[16] atau tweet, atau komentar kita di blog, tidak dipertanggungjawabkan kepada sekelompok editor profesional. Dunia legal formal sudah memberikan jawaban atas problematika ini memang, karena jika kita tidak terima dengan status, tweet atau pernyataan di blogpage akan takfir, kita bisa menuntut secara hukum, namun untuk perkembangan keilmuan apa yang bisa diharapkan tidak lain hanyalah sirkulasi perdebatan saja. Perdebatan jarang berakhir dengan pencarian jalan bersama, lebih-lebih jika perdebatan ini dilakukan oleh dua kelompok yang bertikai secara aqidah.

Sekali lagi, ini membutuhkan kajian dan riset yang mendalam, namun pengamatan secara sepintas, perdebatan tentang persoalan keagamaan di facebook atau twitter atau media sosial yang lain, lebih banyak menimbulkan kegaduhan dan caci makian daripada kedalaman dan apresiasi. Labelisasi, stereotype, hatred dan tentu juga apresiasi adalah hal yang tidak bisa dihindarkan dari kenyataan seperti ini. Lihat saja group-group seperti Jaringan Islam Liberal,http://www.facebook.com/groups/47566034694/, dukungan untuk FPIhttp://www.facebook.com/pages/Dukungan-untuk-FPI-indonesia-tanpa-JIL-Jaringan-Iblis-Lanatullah/189344087838616?ref=ts, dan group-group lainnya, maka anda akan mudah menemukan nuansa-nuansa pentakfiran di atas dalam setiap posting-posting di dinding mereka. Ini adalah cara mereka beragama dan lebih dari sekedar ini semua, pertanyaan kita bersama adalah apakah kita akan menggantungkan perkembangan wacana keagamaan Islam Indonesia pada ruang publik seperti ini?