Minggu, 15 Januari 2017

Takfir dan Masa Depan Islam Indonesia

Takfir dan Masa Depan Islam Indonesia

Saat ini penyakit kafir-mengafirkan sedang menggejala di negeri ini. Bagaimana sejarahnya?

Mengapa beberapa kalangan Muslim tertentu senang sekali menghukumi saudara seiman dan seagama mereka yang berbeda dalam hal pemahaman mengenai akidah dan syariah? Bukankah penghakiman soal keyakinan bukan perkara kecil di dalam sistem teologi Islam? Bagaimana sesungguhnya sejarah konsep tafkir ini, dari mana dan dalam konteks apa ide tentang takfir muncul? Pengertian takfir secara sederhana adalah pengkafiran atas orang Muslim lain karena keyakinan, ucapan dan tindakan orang tersebut yang melawan Islam. Meskipun takfir merupakan tindakan yang harus dibarengi dengan kehatian-hatian yang ekstra ketat, namun dalam konteks Indonesia pentakfiran gampang sekali dilafalkan. Bagaimana sesungguhnya pengertian tafkir termasuk jenisnya, syarat-syarat apa yang harus dipenuhi dan bagaimana dinamika penggunaan istilah ini oleh ulama-ulama Islam masa lalu. Meskipun wacana tentang takfir hampir menjadi pembicaraan umum di kalangan teolog klasik Islam, seperti al-Ghazālī, Ibn Ṣalāḥ dan lain sebagainya,[2] namun tulisan ini akan berusaha melihat persoalan takfir dari kacamata yang lebih khusus yakni dari tradisi Neo-Hanbalisme; tradisi yang dikembangkan dari ajaran Imam Ibn Ḥanbal dan kemudian diteruskan oleh para murid-muridnya seperti Ibn Taymiyyah, Ibn Qayyim al-Jawziyyah, Muḥammad b. ‘Abd. Wahhāb, dan belakangan lagi adalah Syaikh al-Albāni, Bin Bāz, ‘Uthaymīn dan masih banyak lagi. Secara geografis, para pengikut madzhab Imam Aḥmad ini paling subur berkembang di kawasan Saudi Arabia dan sayup-sayup mendapatkan simpati di kawasan lainnya. Bahkan di Indonesia, kelompok ini mulai tampil ke publik dan melakukan pewacanaan atas konsep teologi mereka yang menurutnya paling absah (aṣāh). Sebagai pendakwa pengikut golongan salafus ṣāliḥ, ciri kelompok ini adalah kembali kepada makna lahir dari ayat al-Qur’an dan Sunnah, memerangi setiap bentuk inovasi dalam beribadah (bid‘ah) dan yang paling sering kita dengar dan lihat dalam perdebatan-perdebatan baik di media dan di sosial media adalah pentakfiran atas kelompok lain berbeda dengannya. Bagaimana sesungguhnya tradisi ini berkembang dan dibangun atas dasar pengetahuan apakah wacana takfir di kalangan Neo-Hanbali ini dibangun.

 

Imam Aḥmad merupakan satu dari empat imam madzhab yang memiliki fokus pada pentingnya pembicaraan masalah akidah. Sebagai konsekwensi logis, dia berbicara banyak mengenai keimanan, keislaman dan kekafiran. Abū Zahrah membenarkan anggapan ini dan menjelaskan bahwa ḥaqāiq (kebenaran-kebenaran) menurut Imam Ibn Ḥanbal berpusat pada tigal, al-iman, al-islam dan al-kufr, dimana keislaman berada di tengah keimanan dan kekufuran.[3] Dia dikenal sebagai Imam yang mementingkan aspek literal dalam memahami Islam sehingga apa saja yang dinyatakan secara lahir oleh al-Qur’an dan Sunnah, maka ikutilah, āmannā bihi kullun min ‘indi rabbinā. Inilah cikal bakal dari teologi salafi.[4] Namun demikian, pandangannya yang sangat literalis ini bukan keluar dari sejarah yang kosong, artinya semata-mata pertimbangan tekstual saja (manqūl), namun secara historis dan politis, dipengaruhi oleh pengalaman pribadinya yang ditekan oleh regim al-Makmun dalam miḥnah.

 

Meskipun dipandang sangat rigid, namun Imam Aḥmad tidak gampang membuat keputusan dalam hal takfir. Bahkan dia dibilang memiliki posisi yang moderat dibandingkan dengan kalangan Mu’tazilah dan Murji’ah. Pelaku dosa yang bertumpuk-tumpuk, yang oleh Mu’tazilah, dikategorikan sebagai kafir, oleh Imam Akhmad tidak menganggap cukup para pendosa sebagai kafir, la yakfuru aḥadun min ahl al-tawhīd, wa in ‘amilū bi al-kabā‘ir (tidak kafir seseorang dari ahli tauhid meskipun mereka melakukan dosa besar).[5] Bagaimana pandangan dia yang sering dinukil, wa laitha min al-a‘māli shay’un tarkuhu kufrun illā al-salāta, man tarakahu fahuwa kāfirun, wa qad aḥalla l-llāhu qatlahu (tidak ada satupun dari amal-amal yang meninggalkannya menyebabkan kekafiran kecuali salat, barang siapa yang meninggalkan salat maka dia adalah orang kafir, dan sungguh Allah menghalalkan untuk membunuh (memerangi)nya). Pernyataan ini memang sering dinisbahkan kepada Imam Akhmad, namun perlu dilihat lagi keasliannya. Abu Zahrah menyatakan bahwa teks ini mengandung al-ghirābah (kejanggalan). Sekiranya yang dimaksud dengan teks ini adalah salat dalam karakteristik yang di atas, maka harusnya teks ini benar-benar dinukilkan darinya, akan tetapi sayangnya sanad tidak jelaskan. Abu Zahrah menafsirkan pernyataan di atas sebagai al-tark al-mustamir yash’uru bi al-juḥūd, meninggalkan terus menerus dengan rasa kebencian. Jika yang terjadi demikian, orang membenci rukun agama yang ditetapkan, maka orang tersebut masuk dalam kategori kafir, bukan saja oleh Imam Aḥmad, namun juga oleh kesepakatan ulama (ijma’).[6]

Apa yang kita bisa ambil pelajaran dari Ibn Ḥanbal sebagaimana juga kalangan salafus al-ṣaliḥ yang lain adalah persoalan takfir bukan hal yang sederhana. Pasti kekufuran adalah sesuatu yang nyata, namun kenyataan itu tidak menjadi hal yang dengan mudah disifatkan pada orang lain sebagaimana yang dengan mudahnya orang-orang zaman sekarang dari kalangan tertentu baik di Indonesia maupun di negara lain sangat mudah melakukannya.

 

Generasi berikutnya melakukan konseptualisasi takfir dengan agak lebih jelas dan keras. Tokoh utamanya adalah Ibn Taymiyyah dan muridnya Ibn Qayyim al-Jauziyyah. Sejarah hidup Ibn Taymiyyah sendiri adalah sangat getir dan penuh kekerasan. Literatur-literatur baik di kalangan salafi maupun non salafi menggambarkan Ibn Taymiyyah selain sebagai orang yang alim (berilmu), penulis, dan mufti, juga sebagai ulama yang menegakkan jihad dengan pedangnya, mendorong kaum Muslimin untuk qital (peperangan) dengan pikiran dan perbuatannya. Hal ini bisa dilihat dari keterlibatan Ibn Taymiyyah dalam laga perang pada zamannya.[7] Dalam hal perjuangannya di bidang penulisan, Ibn Taymiyyah disebutkan berdiri dari garis depan dalam memusuhi kelompok-kelompok dan aliran-aliran yang batil dan bid’ah dalam pengertian kelompok salafi. Mereka-mereka yang yang diperangi oleh Ibn Taymiyyah secara tertulis misalnya adalah kelompok filsafat, bāṭiniyyah (spiritualitas), sufi, Ismā‘iliyyah, Jahmiyyah, dan juga tidak luput para pengikut al-Ash‘arī, yang oleh NU dijadikan sebagai salah satu imam aqidah selain al-Māturidī, dan sejenisnya.[8] Dari sini sangat jelas alasannya kenapa kelompok salafi sangat mengidolakan Ibn Taymiyyah bahkan kadar pengidolaannya bisa sampai kepada bentuk pemazdhaban dan bid’ah baru atas diri Ibn Taymiyyah sendiri. Sangat jarang sekali para pengikut Ibn Taymiyyah bisa menerima kritik akan kelemahan pemikiran gurunya ini. Kalangan Ibn Taymiyyah menyebut alamat kebaikan dan penerimaan adalah saat kematian. Ibn Taymiyyah meninggal dalam kesendirian namun banyak orang yang menshalati jenazahnya. Ini adalah tanda diterimanya Ibn Taymiyyah. Bagi kalangan salafi, argumentasi ini diambil dari perkataan Imam Aḥmad, qūlū li ahl al-bid‘ai, baynanā wa baynakum al-janā’iz, katakanlah kepada ahli bid’ah, antara kita dan kalian semua adalah kematian (mayat). Artinya, ahli bidʿah nanti jika meninggal maka sedikit orang yang menshalati dan sebaliknya jika salafi yang meninggal banyak yang menshalati.[9] Argumen ini sekarang sudah tidak cocok lagi karena yang terjadi adalah hal yang sebaliknya. Ketika Abdurrahman Wahid meninggal dunia dan ratusan ribu orang yang melayak dan bahkan ratusan juta yang bergabung untuk mendoakannya, maka diskursus yang dikembangkan oleh kaum salafi Indonesia adalah hal yang berbeda dengan kematian Ibn Taymiyyah. Inilah adalah bentuk nyata bahwa salafipun melaksanakan keyakinannya dengan cara berpolitik, bukan dengan cara pertimbangan kemurnian agama yang selama ini digembar gemborkan.

 

Pendek kata, Ibn Taymiyyah bisa dikatakan sebagai pihak pertama, dalam tradisi keulamaan madzhab Imam Aḥmad yang merumuskan dan membangun konsep yang sangat literal tentang the otherness melalui takfir. Dia misalnya membagi kekafiran ke dalam dua bagian; kafir keyakinan (al-kufr al-i‘tiqādī) dan kafir perbuatan (al-kufr al-‘amalī).[10] Yang pertama, kekafiran yang disebabkan oleh pemikiran soal keyakinan yang keliru dan kedua kekafiran karena tindakan kita yang menyimpang dari garis aqidah. Lebih lanjut, Ibn Taymiyyah membedakan juga apa yang disebutnya sebagai takfīr ‘ām dan takfīr mu‘ayyan. Dia menyatakan takfīr ‘ām itu bagaikan ancaman yang umum  pula, wajib menyatakan kemutlakan dan keumumannya sementara takfīr mu‘ayyan adalah kekafiran yang diberitakan oleh dalil yang nyata. Penghukuman atas jenis kafir terakhir ini butuh persyaratan-persyaratan khusus serta keharusan tidak adanya hal yang membatalkannya. Pengkafiran jenis pertama itu bisa terjadi atas dasar tindakan dan ucapan yang umum seperti jika anda melakukan ini maka kafir, jika anda melakukan itu, maka kafir. Kafir mutlak, bahasa lain kafir umum, tidak menyasar pada pribadi-pribadi yang tertentu, tapi pada tindakan seseorang yang dikafirkan. Pengkafiran jenis kedua terjadi secara tertentu pada orang tertentu yang melakukan kekafiran. Sudah barang tentu, penghukuman demikian harus lebih dahulu memenuhi syaratnya serta tidak ada hal satupun yang membatalkannya.[11] Syarat takfir menurutnya terbagi ke dalam beberapa bagian. Pertama, syarat yang harus ada pada pelaku (al-fā’il), dimana harus berakal –tidak gila atau kurang sehat akalnya–, berumur baligh, secara sengaja menyatakan kekafiran dan tidak dipaksa. Kedua, dari segi perbuatan dan ucapan pihak yang ditakfirkan dimana ucapan dan perbuatannya tersebut telah ditetapkan oleh dali-dalil syariah sebagai hal yang kafir dan syirik yang besar (akbar), atau  berdasarkan kategori para ahli bahwa apa yang dilakukan oleh orang ditakfirkan memang sudah masuk dalam batasan kekafiran. Perlu diingat di sini bahwa ungkapan dan perbuatan harus benar-benar jelas (ṣarīh) artinya menggunakan kata yang jelas sekali, tanpa ada perdebatan.[12] Syarat untuk takfīr al-mu‘ayyan, penetapan hukum kafir atas mereka juga harus berdasarkan pada ketetapan syariah yang valid. Seorang mukallaf tidak akan dihukumi dari ucapan dan perbuatannya kecuali melalui garis syariah seperti pengakuan atau kesaksian para saksi. Kesaksian riddah mungkin sedikit agak berbeda dengan takfir, diperlukan kerincian yang lebih mendalam.

 

Konsep takfir yang dikembangkan ini pada dasarnya konsep membangun madzhab karena di dalam al-Qur’an dan Sunnah persoalan ini tidak separah yang dibayangkan oleh Ibn Taymiyyah dan para neo-Hanbalis lainnya. Kecenderungan literalis merekalah yang menyebabkan dengan mudah menggunakan dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah Nabi untuk melakukan penilaian orang lain kafir dan diri mereka tidak. Hal ini perlu mereka lakukan untuk memperkuat identitas kemadzhaban mereka karena kategori-kategori takfir yang dibangun pada dasarnya adalah untuk mendukung konstruksi konsep teologi salaf al-salih. Hal ini misalnya terlihat bagaimana al-Albani memasukkan konsep penilai sebuah hadis sahih atau tidak berdasarkan kategori adanya unsur bid’ah atau kemusyrikan di dalamnya sehingga semua hadis yang di dalamnya ada indikasi tersebut harus ditolak. Namun sayangnya, konsep bidʿah yang mereka bangun didasarkan pada tafsir-tafsir mereka sendiri, tanpa berusaha memahami aliran lain yang memiliki persepsi dan tafsir lain. Namun hal ini juga harus dipahami, jika mereka bisa menerima pandangan lain, maka identitas salaf al-salih yang mereka konstruksikan akan bisa terhapus.

 

Muḥammad b. ʿAbd al-Wahhāb adalah pengikut Ibn Taymiyyah dalam era modern. Seorang pembaharu teologi dari Najd yang berada dalam lingkungan sosial keagamaan yang dihegemoni oleh Shiʿa Dinasti Safavid dan Sunni Dinasti Usmani dan juga tidak kalah penting adalah dominasi kelompok Sufi. Richard Gauvain menyatakan target utama Muḥammad b. ʿAbd. Al-Wahhāb adalah kalangan sufi dan Shiʿa.[1] Sebagaimana Ibn Taymiyyah, Ibn ʿAbd. Al-Wahhāb juga bernada menyerang dimana dia katakan seluruh orang yang tidak memeluk doktrin tauhid (monoteisme) menurut cara pandang mereka adalah kuffār. Pada titik ini pengaruh tauhid Ibn Taymiyyah betul-betul terlihat pada Ibn ʿAbd. Al-Wahhāb.[2] Roel Meijer berpendapat bahwa kaum Wahhabi –para pengikut Ibn ʿAbd. Al-Wahhāb terutama Wahhabi klasik—memiliki karakteristik sikap xenophobic dan sektarian terhadap orang asing dan kalangan Muslim non-Wahhabi.  Bahkan, masih menurut Meijer, seorang yang benar-benar beriman adalah mereka yang melakukan peperangan dan permusuhan terhadap kalangan pensukutu Tuhan (bahasa Arab: mushrikūn).  Di sinilah sekali lagi ideologi al-wala’ wa al-bara’ benar-benar merupakan soko guru dari ajaran Wahhabi. Bahkan Wahhabilah yang memberikan status kalangan Yahudi dan Nasrani yang sebetulnya dalam al-Qur’an dikatakan masyarakat kitab (Ahl al-Kitab) sebagai mushrikūn.  Dalam konteks Indonesia, jargon tauhid salafi al-wala’ wa al-bara’ dulu sering didengungkan oleh Laskar Jihad, pimpinan Ustadz Ja’far Umar Thalib dan juga oleh Ustadz Abu Bakar Ba’asyir. Menurut media salafi, Muslim Indonesia masih banyak yang buta dengan pengalaman doktrin ini dimana ini merupakan konsekwensi dari penerimaan tauhid seorang Muslim.[3] Namun demikian, unsur politis dari penerapan konsep al-wala’ wa al-bara’ banyak memakan korban intra salafi sendiri di mana satu sama lainnya mempertanyakan kadar loyalitas mereka kepada Allah. Bukan rahasia lagi, fenomena Ja’far Umar Thalib dan Abu Bakar Ba’asyir, dua tokoh salafi-Wahhabi yang idealnya berjuang bersama-sama, namun karena keduanya saling mencurigai kadar loyalitas masing-masing mereka dalam menegakkan syariah Allah akhirnya mereka terjebak dalam permusuhan yang tidak kunjung selesai.

 

Selanjutnya, sebagai hal penting dari penerapan konsep idelogi takfiri dikalangan Wahhabi adalah penerapannya pada tingkat lapangan. Ciri menonjol dari mereka adalah hisbah (moral inspection). Dalam konsep Wahhabi, ḥisbah diterapkan untuk mengawasi penyelewengan tauhid seperti melarang orang menziarahi tempat wali atau orang terhormat dalam agama, menyerang para pelaku bidʿah, melarang orang mendengarkan musik, dan juga melarang orang merokok. Dan hal-hal seperti ini lah yang sekarang ini menjadi lahan jihad bagi kalangan Wahhabi. Jika kita refleksikan ke Indonesia, kegaduhan social media dalam menanggapi aksi-aksi Front Pembela Islam yang menuduh bahwa kelompok ini adalah sayap Wahhabisme memang ada benarnya jika dikaitkan dengan kegetolan mereka melaksanakan hisbah. Namun, secara teologis, FPI lebih dekat dengan ultra-konservatif NU. Kalangan Salafi Indonesia sebagaimana dilansir oleh media-media online mereka melakukan proyeksi yang tidak adil pada FPI selama ini. Mereka memberikan apresiasi pada FPI jika apa yang dilakukan oleh organisai hisbah ini sesuai dengan keinginan kaum Salafi-Wahhabi. Namun FPI bisa dianggap sesat oleh mereka jika FPI melakukan peringatan maulid Nabi. Lihat misalnya pemberitaan-pemberitaan di media online kaum salafi.[4] Habib Riziq sendiri dalam beberapa kesempatan melakukan balasan atas pernyataannya tentang kekafiran Wahhabi yang menolak teologi Ashʿarī.[5] Di sini sebenarnya perlunya kajian yang hati-hati dalam melihat dinamika kelompok Islam agar kita tidak terjebak dalam cara model-model kategorisasi yang hitam putih dan serampangan.      

 

Tokoh penting lain alam pemikiran Salafi setelah Ibn ʿAbd. al-Wahhab adalah Muḥammad Nāṣiruddin al-Albānī. Dia seorang ahli hadis yang tekun. Puluhan jilid buku dihasilkan dari ketekunannya belajar di perpustakaan daripada mengajar di halaqah-halaqah sebagaimana yang dilakukan oleh Bin Baz dan Ibn Uthyaimīn. Al-Albāni pada mulanya lebih dekat pada pemikiran Rashīd Riḍā.[6] Namun dalam kesempatan lain dia lebih senang dikatakan sebagai pengikut Imam Ibn Ḥanbal. Tapi yang jelas, dia dan Bin Baz menerima pengaruh kuat dari Saʿd b. ʿAṭiq dalam hal penolakannya untuk menggunakan nalar ketika menformulasikan pendapat hukum.[7] Al-Albāni berpendapat jika maraknya tradisi tafkir yang selama ini terjadi disebabkan karena dua hal; pertama, karena kedangkalan ilmu dan sedikitnya pemahaman atas Islam; kedua, mereka, gerakan takfir, tidak mendalami kaidah-kaidah syariah.[8] Dalam penjelasannya yang agak panjang, al-Albāni mengkritik mereka yang tidak paham pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Menurutnya, amal baik dan keikhlasan tidaklah cukup jika tidak disertai dengan kebaikan untuk itbā‘kepada pada apa yang dibawa Nabi.[9] Tidak hanya paham akan kedua sumber Islam di atas, takfir juga harus didasarkan pada kedalaman penguasaan pada ilmu bahasa –Nahwu dan Saraf—, nāsikh dan mansūkh dan perangkat yang lainnya. Lebih lanjut dia menyoroti banyaknya orang berhujjah untuk mentakfirkan orang lain dengan surat al-Mā’idah: 44, “wa man lam yaḥkum bimā anzala l-llāhu fa ulā’ika hum al-kāfirūn.” Ayat ini tiga kali diulang dalam al-Qur’an dan akhir ayat ada tiga bentuk, “fa ulā’ika hum al-kāfirūn, fa ulā’ika hum al-ẓālimūn” (ayat 45), dan “fa ulā’ika hum al-fāsiqūn” (ayat 47). Menurutnya, kebanyakan orang tidak memahami sisi bahasa dari ayat ini, dan dia mengatakan jika yang dimaksud dengan kafir pada ayat di atas bukanlah kafir dalam pengertian keluar dari agama sebagaimana juga dengan pengertian lalim dan pendosa besar. Dalam pernyataanya, fa sha’nu lafzati al-kufri min haythu innahā la tadullu ‘alā ma’na wahidin sha’na al-lafẓayni al-akharayani, maka keadaan kata kufr itu dimaksudkan tidak untuk menunjukkan makna yang tunggal sebagaimana juga keadaan kedua lafal berikutnya. Dia melanjutkan, barang siapa yang disifati sebagai lalim dan pendosa besar, maka keduanya bukan berarti telah murtad dan demikian juga berlaku dengan mereka yang dihukumi kafir tidak bisa dihukum bahwa dia keluar dari Islam.[10] Al-Albāni menyatakan semua perdebatan tentang makna lafal ini adalah apa yang ditunjukkan oleh bahasa Arab dan kemudian syariah yang juga datang dengan bahasa Arab, bahasa al-Qur’an yang mulia. Dia mewajibkan semua orang yang ingin mengambil hukum, baik posisi dia sebagai rakyat maupun sebagai pemerintah, maka dia harus memiliki ilmu untuk memahami Qur’an, Sunnah dan tradisi Salafus al-Ṣāliḥ.[11] Sampai di sini jelas pandangan al-Albānī sangat hati-hati dalam memandang persoalan takfir. Jika dilihat dari konteks pertanyaannya, maka jawaban-jawaban yang diberikan oleh al-Albani nampaknya merupakan upaya kritik terhadap beberapa kalangan yang menempatkan posisi dia dalam golongan kaum kafir.

Lalu apa tafsir al-Albāni atas al-Mā’idah: 44? Pada titik ini, uraian al-Albānī pun masih sangat hati-hati, dimana dia memaknai kafir dalam ayat ini sebagai kafir perbuatan (al-kufr al-‘amalī), bukan i’tiqadī. Artinya, jika ada rezim yang tidak menerapkan secara keseluruhan hukum Tuhan, maka dia bukan rezim yang kafir secara akidah. Pandangan dia didasarkan tafsir dan penjelasan Ibn ‘Abbās yang mengakui keseluruhan umat Islam dimana sebagian kita memahami ayat tersebut lahirnya saja, tanpa perincian yang mendalam. Apa yang dikatakan Ibn ‘Abbās di sini adalah laytha al-kufru alladhī tadhhabūna ilayhi, innahu laytha kufran yanqilu an al-millah, huwa kufrun dūna kufrin, tidaklah kafir orang yang demikian, sesungguhnya dia bukan kafir yang memindahkan dari agamanya, akan tetap kafir tanpa kekafiran.[12] Ini nampaknya ditujukan oleh Ibn Abbās untuk kaum Khawārij yang telah menyebabkan pertumpahan darah di kalangan umat Islam sendiri pada saat itu. Dengan pendekatan semantiknya, al-Albāni memainkan pemaknaan lain dimana pendosa besar bisa saja disamakan maknanya (murādifan) dengan kafir keyakinan. Dalam menafsirkan al-Mā’idah: 47, al-fāsiqūn 

Uthaymīn adalah salah satu ulama Saudi terkemuka yang sangat berani mendefinisikan takfir. Ketika tanya tentang fenomena pengkafiran yang akhir-akhir ini marak terjadi. Dia mengemukakan dua kategori utama; pertama, adanya petunjuk tekstual (naṣ) bahwa perbuatan tersebut adalah kekufuran, karena di dalam teks adalah kekufuran namun yang dimaksud denganya bukan kekufuran yang keluar dari agama, jadi teksnya benar-benar menyatakan kekufuran; kedua, menerapkan teks ini untuk menghukumi orang yang menurut teks tersebut sudah dihukumi melakukan kekafiran. Uthaymin menyatakan ada dua persyaratan penting untuk melakukan takfir: pertama, adanya dilalāt al-nāṣ, teks yang jelas yang menyebutkan suatu perbuatan dianggap kafir; dan kedua, menerapkan teks tsrebut untuk menghukumi orang tertentu mengingat ada beberapa hal yang melarang kita (kontraindikasi) melakukan takfir. Jika dua hal ini tidak terpenuhi syaratnya, maka siapa saja yang menghukumi orang lain sebagai kafir, menurut Uthaymin adalah dihukumi.  Lalu dia ditanya, bagaimana seseorang bisa menjadi kafir sementara dia mengkafirkan  dengan dalih ghirah karena Allah? Uthaymin tetap menjawab si orang ini tetap dihukumi sebagai orang yang kafir. Argumentasi yang digunakan oleh Uthaymin sangat menarik, bahwa orang ini tetap dianggap kafir karena dia telah menempatkan diri bersama Allah dalam membuat keputusan tentang kekufuran tersebut (innahu kufrun haythu ittakhadha nafsahu mushr’ian ma‘a l-llāhi).[13] Dia meneruskan, ada kesalahan mendasar orang ini; pertama, menjadikan dirinya sebagai sekutu Allah dalam menghukumi kekufuran, kedua, dia telah mencetak di dalam hatinya dan berlindung diri kepada Allah dan pada akhirnya dia menjadi kafir yang jelas. Jelas, atas dasar pendapat ini, maka takfir bukanlah perkara mudah, perlu hati-hati dan tidak sembarang dikeluarkan.

Islam Indonesia dan Media Baru[14]

Sebagaimana dipaparkan di atas takfir bukan gejala baru, dan bisa dikatakan sebagai bagian dari sejarah Islam Indonesia. Jeffrey Hadler menunjukkan adanya pengaruh kuat Wahhabisme di kalangan Padri. Zaman dulu, Muhammadiyah pernah gencar menggunakan isu TBC (Takhayyul, Bid’ah dan Khurafat) untuk mengekslusi kelompok lain dari barisan Islam yang murni, Islam yang tidak bersumber kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Meskipun agak samar, semua pelaku –pelaku tahlil, ziarah kubur, mauludan (Jawa: memperingati hari lahir Nabi Muhammad dengan membaca riwayat-riwayat Beliau bisanya di 12 hari bulan pertama), manaqiban (Jawa: membaca riwayat hidup Syaikh Abdul Qadir al-Jaylani) dan hal-hal lain dulu pernah dikategorikan sebagai kelompok yang keluar dari kemurnian Islam karena semua praktik tersebut dianggap sebagai jenis ibadah baru. Kini, persoalan takfir masih menggejala, bahkan mungkin semakin vulgar dan polemis dibandingkan dengan masa lalu. Bahkan, kini takfir tidak hanya dilontarkan melalui buku-buku, rapat dan diskusi akbar keagamaan, koran dan majalah cetak, namun bisa melalui media yang lebih intim  dan pribadi seperti facebook, twitter dan blogpage. Ini bisa terjadi berkat kemajuan teknologi informasi. Jika zaman dulu, orang mendengar dan mengetahui pentakfiran dengan datang ke pengajian-pengajian dan membaca buku-buku, kini dengan fabebook, twitter, blog yang bisa diakses melalui internet, orang akan dengan mudah mengetahui siapa hari ini, minggu ini, dan bulan ini yang mengkafirkan dan dikafirkan. Sudah barang tentu ini merupakan tantangan baru bagi masa depan pengembangan wacana Islam Indonesia. Menggunakan jargon Henri Lefebvre, dalam bukunya yang sangat terkenal The Production of Space,[15] kalangan takfiri menemukan ruang ekpresinya di dunia online karena di dunia offline masih belum menemukan dukungan berarti di hati kalangan Muslim Indonesia.

Pertanyaannya, apa yang terjadi sesungguhnya dengan medialisasi ini? Apa yang saya sebut sebagai media baru dalam anak judul di atas adalah media sosial (social media). Sebagaimana saya singgung sedikit di atas bahwa kini isu takfir sudah out of date dari wacana umum Muhammadiyah, kali ini yang paling getol menggunakannya adalah pemikiran dan organisasi-organisasi keagamaan yang menyebut diri mereka sebagai salafi. Kelompok ini sangat agresif baik dengan terbuka maupun tertutup menularkan gagasan purifikasi Islam dalam bidang aqidah (tauhidisme) dan menyerang secara terbuka kelompok lain sebagai kafir. Berbeda dengan masa lalu, dimana perdebatan tentang takfir masih sangat terbatas di kalangan para elit dalam majelis-majelis tertertu, kini suasana seperti itu tidak lagi seperti itu. Keterbukaan dan teknologi informasi yang murah menjadi penyangga diseminasi wacana tentang takfir. Kelebihan media sosial ini selain bisa aktual, dinikmati secara “live” pelaku bisa terlibat langsung. Tidak jarang perdebatan justru lebih sengit di media tersebut karena melalui media sosial seperti ini tidak diperlukan formalisme yang berlebihan. Siapa saja bisa menyahut, mendukung, menolak, mencaci, dan memuji, tanpa harus dibarengi dengan argumentasi yang mendalam. Tidak bermaksud menggeneralisasi sebab banyak juga halaman-halaman debat di media sosial ini yang bagus dan mendalam, namun watak diskusi soal takfir, karena ini menyangkut aqidah, cenderung bersifat cekak dan judgmental (menghakimi), hitam putih, baik bagi mereka yang membela maupun yang menolak. Lebih menarik lagi, jika seseorang ingin menolak ataupun membantah, maka cukup dengan cara copy-paste yang semuanya bisa dilakukan melalui mesin pencari di internet seperti google, dan lainnya. Cara ini sangat memudahkan sekali dimana seseorang bisa mendapatkan argumen yang diinginkannya secara cepat atas topik yang diinginkannya bahkan tanpa harus mengetahui kedalaman yang sesungguhnya diperlukan untuk berargumen. Yang lebih menguntungkan lagi, jati diri bisa tertutupi (anonim) karena membuat komentar lewat online berbeda dengan perdebatan tatap muka. Di sini baik pembuat atau penyangga diskursus sama-sama bisa berteduh dari ketidakharusan untuk tampil dalam formalisme dan verbalisme diskusi dan perdebatan. Bahkan, para pelaku bisa bersumbunyi dari kapabilitas yang seharusnya mereka miliki untuk masuk dalam sebuah perdebatan dan diskusi. Teknologi copy-paste yang disediakan oleh mesin pencari internet bisa dengan mudah memindahkan teks-teks dalam bentuk yang hampir dalam keadaan yang mendekati sempurna secara tertulis. Para discoure makers maupun para penolaknya tidak harus menverbalisasikan argumen di hadapan lawannya. Cukup dengan mengirimkan teks yang dicopy-pastenya ke dinding atau bidang lawannya, maka teks itu sendiri yang berbicara pada lawannya.

Hal yang demikianlah yang kini secara umum terjadi dalam medialisasi takfir di Indonesia. Orang dengan mudah melakukan pengkafiran atas pihak lain tanpa harus menulis dan mencetak buku sendiri. Bahkan pengkafiran dengan cara demikian bisa dieksekusi oleh siapapun, tidak harus punya segudang dalil dan argumen, namun prasangka, asumsi dan kedengkian sudah lebih sekedar cukup untuk menghukumi orang menjadi kafir. Meskipun bukan ruang ilmiah, namun dampaknya ternyata tidak bisa diremehkan. Kasus Rhoma Irama yang mengaku mendapatkan informasi dari social media mengenai kekafiran orang tua Joko Widodo  –populer disebut Jokowi—adalah hal yang paling baru bagaimana efektifitas ruang ini.

Selain itu, sifat pemindahan data dengan mudah melalui share yang disediakan menyebabkan proses diseminasi informasi dari media-media online secara cepat. Kelompok salafi dan sejenisnya kini memiliki media online yang cukup lumayan sistematis dan up to date seperti http://arrahmah.com/,http://www.eramuslim.com/,http://nahimunkar.com/, http://www.voa-islam.com/. Tidak semua media yang mendukung pentakfiran ternyata bisa diklaim sebagai salafi jika dilihat dari kecenderungan kandungan yang dimuatnya. Namun mereka bisa bersatu untuk isu-isu takfir dalam parameter dan ukuran mereka sendiri-sendiri.

Baik para penganjur pentakfiran maupun penolaknya sebenarnya memiliki peluang yang sama dalam mengambil manfaat dari medialisasi yang masif ini. Mereka sama-sama memiliki kelebihan dalam mengelola media. Namun lalu apa yang berbekas dari semua ini? Pengamatan saya, apa yang tertinggal tidak ada lain kecuali kegaduhan, kengototan dan kegetolan untuk mempertahankan ide masing-masing. Di ruang ini tidak ada benar salah, tidak ada sah dan tidak sah, yang ada adalah kekuatan untuk menerus melontarkan, menjawab dan melontarkan kembali serta menjawab lagi wacana-wacana yang disebarkan. Di sini kita tidak tahu lagi siapa yang hadir, apakah mereka yang berotoritas ataukah preman agama. Jika ruang ini memungkin verbalisme, maka kapabilitas dan kapasitas bisa dikenali.

Di Indonesia, dengan pengguna social media yang cukup tinggi, orang bebas mendiskusikan keyakinan mereka dan termasuk melakukan takfir satu sesama lainnya. Dalam konteks negara demokrasi, kemajuan di bidang teknologi informasi selalu membawa dua sisi; pertama, konstruktif dan kedua, dekonstruktif. Dalam hal wacana takfir, konstruktifnya adalah teknologi ini membuka ruang baru untuk eksistensi diri, tanpa harus menampilkan kesejatian seorang discourse maker; bisa saja memberikan atribut yang kurang—rendah hati dan sopan santun—namun bisa saja narsisisme. Sementara dekonstruktifnya adalah karena siapa saja boleh membuka, membuat, menanggapi discourse, maka language gamenya menjadi kompleks dan semrawut karena ini semua bisa meruntuhkan bangunan keilmuan dan keyakinan konvensional. Yang saya maksud dengan keyakinan konvensional adalah pengetahuan dan keyakinan yang dibangun melalui ruang-ruang yang kongkrit seperti tatap muka, verbalisme, dan serious writing and speech. Anda menuduh seseorang telah kafir, maka lakukan saja, tulis di dinding facebook atau twitter anda, setelah itu bisa ditinggalkan begitu saja, menunggu komentar, mengundang perdebatan, atau sekedar narsisme teologis. Argumentasi tidak perlu benar, karena status[16] atau tweet, atau komentar kita di blog, tidak dipertanggungjawabkan kepada sekelompok editor profesional. Dunia legal formal sudah memberikan jawaban atas problematika ini memang, karena jika kita tidak terima dengan status, tweet atau pernyataan di blogpage akan takfir, kita bisa menuntut secara hukum, namun untuk perkembangan keilmuan apa yang bisa diharapkan tidak lain hanyalah sirkulasi perdebatan saja. Perdebatan jarang berakhir dengan pencarian jalan bersama, lebih-lebih jika perdebatan ini dilakukan oleh dua kelompok yang bertikai secara aqidah.

Sekali lagi, ini membutuhkan kajian dan riset yang mendalam, namun pengamatan secara sepintas, perdebatan tentang persoalan keagamaan di facebook atau twitter atau media sosial yang lain, lebih banyak menimbulkan kegaduhan dan caci makian daripada kedalaman dan apresiasi. Labelisasi, stereotype, hatred dan tentu juga apresiasi adalah hal yang tidak bisa dihindarkan dari kenyataan seperti ini. Lihat saja group-group seperti Jaringan Islam Liberal,http://www.facebook.com/groups/47566034694/, dukungan untuk FPIhttp://www.facebook.com/pages/Dukungan-untuk-FPI-indonesia-tanpa-JIL-Jaringan-Iblis-Lanatullah/189344087838616?ref=ts, dan group-group lainnya, maka anda akan mudah menemukan nuansa-nuansa pentakfiran di atas dalam setiap posting-posting di dinding mereka. Ini adalah cara mereka beragama dan lebih dari sekedar ini semua, pertanyaan kita bersama adalah apakah kita akan menggantungkan perkembangan wacana keagamaan Islam Indonesia pada ruang publik seperti ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar