Rabu, 28 Juni 2017

LATAR BELAKANG BERDIRINYA KERAJAAN ARAB SAUDI (YAHUDI) BERBAJU ISLAM

LATAR BELAKANG BERDIRINYA KERAJAAN ARAB SAUDI (YAHUDI) BERBAJU ISLAM

Kerajaan Arab Saudi adalah Kerajaan yang didirikan oleh orang Yahudi, dengan memakai kedok Islam, yang bertujuan untuk memecah belah Islam dengan ajaran-ajarannya yang mengkafirkan sesama Islam, membid’ahkan sesama Islam. Bahkan, memang dalam sejarahnya melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap umat Islam sendiri.

Bukti itu telah dilacak oleh seorang bernama Muhammad Sakher dalam penelitiannya, dan ringkasan penelitiannya dalam bahasa Arab berjudul Alu Su`ud min Aina wa ila Aina?Di bawah ini adalah tulisan Muhammad Sakher yang diterjemahkan oleh pengelola situs Wild West Wahabi, sedangkan sumber-sumber dari bahasa Inggris dan Arab, majlis para masyayikh sendiri yang melacaknya. Silahkan dinikmati suguhan sangat menarik ini.

Pada tahun 851 H, sebuah rombongan kafilah dari Kabilah Al-Masalih, salah satu kabilah dari Bani Anza, mengadakan perjalanan ke Irak dalam rangka membeli kebutuhan pangan seperti gandum, jagung dll. untuk dibawa kembali ke Najd. Kafilah itu dipimpin oleh Sahmi bin Hathlul.

Ketika rombongan kafilah sampai di Basra mereka bertemu dengan saudagar Yahudi yang kaya bernama Murdahai bin Ibrahim bin Musa yang menjual bahan2 kebutuhan pangan yang mereka perlukan. Disela-sela tawar menawar, saudagar Yahudi itu menanyakan mereka darimana dan dijawab bahwa mereka adalah Kabilah Al-Masalih dari Bani Anza. Mendengar hal ini, saudagar Yahudi ini kemudian memeluk satu persatu semua anggota rombongan itu sambil mengatakan bahwa dia juga berasal dari Kabilah Al-Masalih yang terpaksa pindah ke Basra karena perselisihan antara ayahnya dengan anggota Bani Anza lainnya.Mengiringi cerita bohong tersebut, dia memerintahkan pelayannya untuk memenuhi seluruh onta2 mereka dengan tepung gandum, kurma, tamman dan bahan2 kebutuhan pangan mereka lainnya. Kebaikan ini sangat berkesan dan sekaligus membuat mereka (kafilah dari Kabilah Al-Masalih) bangga karena bertemu “saudara” sendiri yang menjadi saudagar kaya di Irak. Mereka tidak saja sangat menyukainya tetapi juga sangat mempercayainya.

Ketika rombongan akan kembali ke Najd, saudagar Yahudi yang berpura-pura sebagai bagian dari Kabilah Al-Masalih itu meminta agar dia diperkenankan ikut rombongan itu pulang ke Najd. Dengan senang hati permintaan itu dipenuhi.

Sesampainya di Najd, saudagar Yahudi itu dengan dukungan penuh “saudara-saudaranya” mulai mempropagandakan dirinya. Namun pandangan-pandangannya ditentang masyarakat Al-Qasim dibawah pimpinan Syekh Saleh Salman Abdullah Al Tamimi, seorang ulama Muslim terkemuka. Dakwahnya meliputi kawasan Najd, Yaman dan Hijaz. Akibat penentangan ini dia pindah dari Al-Qasim ke Al- Ihsa dan mengganti namanya dengan Marhan bin Ibrahim Musa.Dia kemudian tinggal ditempat yang bernama Dir’iya dekat Al-Qatif. Di sini dia mulai menyebarkan cerita bohong tentang Perisai Nabi Muhammad saw bahwa perisai tersebut diambil oleh Kafir Quraisy pada waktu Perang Uhud dan kemudian dijual kepada sebuah kabilah Yahudi bernama Bani Qunaiqa’ yang menyimpannya sebagai pusaka. Dia secara bertahap menaikkan posisinya dimata kaum Badui dengan cerita2 bohong seperti itu dan sekaligus secara halus tersamar mempengaruhi orang2 Badui agar beranggapan bahwa orang Yahudi telah ikut berjasa menjaga peninggalan Islam yang sangat bersejarah.

Dengan semakin kuat posisi dan pengaruhnya dimata kaum Badui Arab, dia kemudian memutuskan untuk menjadikan Dir’iya sebagai ibukota kerajaan Yahudi di tanah Arab dan memproklamirkan dirinya sebagai raja mereka.

Sementara itu Bani Ajaman bersama dengan Bani Khalid menyadari bahaya dari Marhan setelah mereka mengetahui siapa dia sebenarnya dan rencana jahatnya. Mereka kemudian menyerang Dir’iya dan berhasil mendudukinya tetapi tidak berhasil menangkap Marhan karena keburu melarikan diri.

Dalam pelariannya, Marhan bin Ibrahim Musa yang nama aslinya Murdahai bin Ibrahim Musa yang adalah orang Yahudi ini, sampai disebuah tanah pertanian yang waktu itu disebut Al-Malibid Ghusaiba dekat Al-Arid, yang dikemudian hari dan sampai sekarang disebut Al-Riyadh.Dia meminta kepada pemilik tanah pertanian itu agar diperbolehkan tinggal disitu. Dengan baik hati dan penuh keramah-tamahan pemilik tanah pertanian tersebut memperkenankannya. Tetapi, kurang lebih satu bulan setelah ia tinggal disitu, pemilik tanah pertanian yang baik hati itu beserta seluruh keluarganya ia bunuh, dan berpura-pura bahwa pemilik tanah pertanian beserta seluruh keluarganya dibunuh oleh perampok. Kekejian dan kebohongannya tidak sampai disitu saja, ia juga menyebarkan berita bahwa ia sudah membeli seluruh tanah pertanian itu dari pemiliknya sebelum peristiwa tragis itu terjadi. Karenanya sekarang dia berhak atas tanah pertanian itu dan mengubah namanya menjadi Al-Dir’iya, sama dengan nama tempat sebelumnya yang lepas dari tangannya.

Di situ ia kemudian membangun sebuah Tempat Persinggahan yang diberi nama Madaffa, dan bersama-sama dengan para pengikutnya kembali menyebarkan propaganda yang menyesatkan bahwa dia adalah seorang Syeikh Arab tulen dan agung. Dia kemudian membunuh Syeikh Saleh Salman Abdullah Al-Tamimi, musuh bebuyutannya, di sebuah masjid di kota yang disebut Al-Zalafi.

Setelah puas dapat melenyapkan Syeikh Saleh, dia kemudian menjadikan tempat yang namanya sudah diubahnya menjadi Al-Dir’iya tersebut sebagai pusat kegiatannya. Dia mengawini banyak wanita dan memperoleh banyak anak yang semuanya dia beri nama-nama Arab. Salah satu anak lelakinya dia beri nama Al-Maqaran (berakar dari nama Yahudi: Mack-Ren) yang kemudian mempunyai anak lelaki yang diberi nama Muhammad. Anak lelakinya yang lain dia beri nama Saud, dan nama inilah yang kemudian dan sampai sekarang menjadi nama Dinasti Saudi.Dengan berjalannya waktu, keturunan Marhan si Yahudi ini telah berkembang biak semakin banyak dan semakin kuat di bawah nama Keluarga Saudi. Mengikuti jejak pendahulunya mereka meneruskan gerakan bawah tanah dan konspirasinya menentang Negeri/Bangsa Arab. Secara illegal mereka memperluas wilayahnya dan membunuh setiap orang yang menentang mereka. Mereka menghalalkan segala cara untuk meraih ambisi mereka. Mereka tidak saja menggunakan uang mereka tetapi juga para wanita mereka untuk membeli pengaruh, khususnya terhadap mereka yang mau menulis biografi asli dari Keluarga Yahudi ini.

Mereka menyewa penulis bayaran untuk merekayasa biografi mereka, yang sekaligus menyembunyikan keturunan siapa mereka sebenarnya, dengan mengaitkan mereka dengan kabilah-kabilah Arab terkenal seperti Rabi’a, Anza dan Al-Masalikh.

Sebagai contoh rekayasa penulis bayaran ditahun 1362 H atau 1943-an misalnya seperti Muhammad Amin Al-Tamimi, Direktur Perpustakaan Kerajaaan Saudi, membuatkan silsilah yang menyambung kepada Nabi Besar Kita Muhammad Rasulullah saw. Untuk itu ia mendapat hadiah 35.000 Pound Mesir dari Duta Besar Saudi untuk Mesir yang waktu itu dijabat oleh Ibrahim Al-Fadil.

Dalam Buku Sejarah Keluarga Saudi halaman 98 – 101 penulis sejarah bayaran mereka menyatakan bahwa Dinasti Saudi menganggap seluruh penduduk Najd adalah kafir dan karenanya wajib dibunuh, hartanya dirampas, dan para wanitanya dijadikan budak. Tidak ada seorang muslim/muslimah pun yang keyakinannya murni, kecuali mereka mengikuti paham Muhammad bin Abdul Wahab. Doktrinnya memberi kekuasaan kepada Keluarga Saudi untuk menghancurkan kota-kota, desa-desa, perkampungan beserta seluruh isinya, membunuh para lelaki dan anak-anak, memperkosa para wanitanya, merobek perut para wanita yang sedang hamil dan kemudian memotong tangan anak-anak mereka lalu membakar mereka. Doktrin brutalnya juga memberi kekuasaan kepada Keluarga Saudi untuk merampas dan menguasai seluruh harta benda dan kekayaan penduduk yang mereka anggap sesat (yaitu mereka yang tidak mengikuti paham Wahabi). 

Keturunan Saud (sekarang dikenal dengan Keluarga Saudi) mengkampanyekan pembunuhan terhadap para pemimpin kabilah-kabilah Arab dengan menuduhnya sebagai kaum kafir dan musyrik .Keluarga Saudi yang sejatinya adalah Keluarga Yahudi ini benar-benar telah melakukan segala macam perbuatan keji atas nama ajaran sesat mereka yaitu Wahabisme, dan benar-benar telah menimbulkan teror dihati para penduduk kota-kota dan desa-desa sejak tahun 1163 H. Mereka menamakan seluruh jazirah Arab yakni Negeri Rasulullah saw dengan nama keluarga mereka yaitu Saudi Arabia seakan seluruh kawasan di jazirah Arab adalah milik pribadi keluarga mereka, dan seluruh penduduk lainnya dianggap sebagai para pelayan dan budak mereka yang harus bekerja keras untuk kesenangan majikan mereka yakni Keluarga Saudi.Mereka benar-benar menguasai seluruh kekayaan alam sebagai milik pribadi mereka dan bila ada orang yang memprotes kelakuan Dinasti Yahudi ini maka orang tersebut akan dipancung didepan umum. Pernah salah seorang putri mereka pergi ke Florida, Amerika Serikat, dengan segala kebesarannya menyewa 90 (sembilan puluh) Suite Rooms di Grand Hotel dengan harga sewa US$ 1 juta per malam. Tidak ada yang berani memprotes kemewahan dan pemborosan ini karena takut akan dipancung didepan umum.

Kesaksian atas Darah Yahudi dari Keluarga Saudi

Pada tahun 1960, Radio Sawt Al Arab di Kairo Mesir dan Radio Yaman di Sana’a meng-konfirmasikan kebenaran Darah Yahudi dari Keluarga Saudi.Raja Faisal Al-Saud waktu itu tidak bisa menolak kenyataan Darah Yahudi dari Keluarga Saudi ketika dia menyatakan kepada Washington Post pada 17 September 1969 dengan berkata: ”Kami, Keluarga Saudi adalah saudara sepupu (cousins) Yahudi. Kami sama sekali tidak setuju kepada sebarang Pemerintah Negara Arab atau Pemerintah Negara Muslim yang menunjukkan kebencian kepada Yahudi, tetapi kita harus hidup berdampingan secara damai dengan mereka. Negara kami (Arabia) adalah asal muasal dari mana orang Yahudi pertama muncul, dan kemudian keturunannya menyebar keseluruh penjuru dunia”. Demikianlah deklarasi Raja Faisal Al-Saud bin Abdul Aziz.

Hafiz Wahbi, Penasehat Kerajaan Saudi, menyebutkan dalam bukunya yang berjudul ”Peninsula of Arabia” bahwa Raja Abdul Aziz Al Saud yang meninggal tahun 1953 telah berkata: ”Pesan kami (Pesan Saudi) kepada seluruh kabilah Arab yang menentang kami: Kakek saya, Saud Awal, pernah menawan sejumlah Sheikh dari Kabilah Mathir dan ketika serombongan orang dari kabilah yang sama datang menuntut pembebasan mereka, Saud Awal memerintahkan kepada para pengawalnya untuk memenggal kepala semua tawanan itu, kemudian, dia ingin menghinakan para penuntut itu dengan mengundang mereka untuk memakan daging korbannya yang sudah dimasak sementara potongan kepalanya ditaruh di atas nampan. Para penuntut itu sangat terkejut dan menolak untuk memakan daging keluarganya sendiri; dan karena penolakannya itu, dia memerintahkan kepada para pengawalnya untuk memenggal kepala mereka juga”.

Hafiz Wahbi mengatakan lebih jauh bahwa maksud Raja Abdul Aziz Al Saud menceritakan kisah berdarah itu agar delegasi dari Kabilah Mathir yang saat itu sedang datang untuk menuntut pembebasan pemimpin mereka saat itu, yakni Sheikh Faisal Al Darwish, untuk tidak meneruskan niat mereka. Karena bila tidak mereka akan mengalami nasib yang sama. Dia membunuh Sheikh itu dan menggunakan darahnya untuk wudhu tepat sebelum ia melakukan sholat (sesuai dengan fatwa sesat paham Wahabi ).

Kesalahan Sheikh Faisal Al Darwish saat itu adalah karena dia mengkritik Raja Abdul Aziz Al Saud yang telah menandatangi dokumen yang disiapkan pemerintah Inggris sebagai sebuah Deklarasi untuk memberikan Palestina kepada Yahudi. Penandatanganan itu dilakukan di sebuah konferensi yang diselenggarakan di Al Aqeer pada tahun 1922.Begitulah dan hal itu berlanjut terus sampai sekarang dalam sistem kekuasaan rezim Keluarga Saudi atau tepatnya Keluarga Yahudi ini.Semua tujuannya adalah: menguasai semua kekayaan dan keberkahan negeri Rasulullah saw; dengan cara merampok dan segala macam perbuatan keji lainnya, penyesatan, pengkafiran, mengeksekusi semua yang menentangnya dengan tuduhan kafir dan musyrik yang semuanya itu didasarkan atas doktrin paham wahabi.

Sumber dari bahasa Indonsia, Wajah Asli dinasti Saudi, dalam

http://wildwestwahabi.wordpress*com/2009/02/11/wajah-asli-dinasti-saudi/

Sumber dari bahasa Inggris, dengan judul: THE SAUDI DYNASTY: FROM WHERE IS IT? AND WHO IS THE REAL ANCESTOR OF THIS FAMILY?

Dapat diunduh di http://www.fortunecity*com/boozers/bridge/632/history.htmlJuga bisa diunduh dalam, Zionist Rulers of Saudi Arabia: Jewish Roots of the Saudi Ruling Family, dalam http://pakalert.wordpress*com/2008/12/24/zionist-rulers-of-saudi-arabia/

Sumber dalam bahasa Arab berjudul, Alu Su`ud min Aina wa Ila Aina? karangan Muhammad Sakher, dalamhttp://www.fortunecity*com/boozers/bridge/632/history.html

SEJARAH BERDIRINYA KERAJAAN SAUDI-WAHHABI

KERAJAAN SAUDI-WAHHABI PERTAMA : 1744-1818

Setelah kembali ke Najd dari perjalanannya, Ibn Abdul-Wahhab mulai “berdakwah” dengan gagasan-gagasan liarnya di Uyayna. Bagaimana pun, karena “dakwah”-nya yang keras dan kaku, dia diusir dari tempat kelahirannya. Dia kemudian pergi berdakwah di dekat Dir’iyyah, di mana sahabat karibnya, Hempher dan beberapa mata-mata Inggeris lainnya yang berada dalam penyamaran ikut bergabung dengannya. [5]Dia juga tanpa ampun membunuh seorang pezina penduduk setempat di hadapan orang banyak dengan cara yang sangat brutal, menghajar kepala pezina dengan batu besar.

Padahal, hukum Islam tidak mengajarkan hal seperti itu, beberapa hadis menunjukkan cukup dengan batu-batu kecil. Para ulama Islam (Ahlus Sunnah) tidak membenarkan tindakan Ibn Abdul-Wahhab yang sangat berlebihan seperti itu.

Walaupun banyak orang yang menentang ajaran Ibn Abdul-Wahhab yang keras dan kaku serta tindakan-tindakannya, termasuk ayah kandungnya sendiri dan saudaranya Sulaiman Ibn Abdul-Wahhab, – keduanya adalah orang-orang yang benar-benar memahami ajaran Islam -, dengan uang, mata-mata Inggeris telah berhasil membujuk Syeikh Dir’iyyah, Muhammad Saud untuk mendukung Ibn Abdul-Wahhab.

Pada 1744, al-Saud menggabungkan kekuatan dengan Ibn Abdul-Wahhab dengan membangun sebuah aliansi politik, agama dan perkawinan. Dengan aliansi ini, antara keluarga Saud dan Ibn Abdul-Wahhab, yang hingga saat ini masih eksis, Wahhabisme sebagai sebuah “agama” dan gerakan politik telah lahir !

Dengan penggabungan ini setiap kepala keluarga al-Saud beranggapan bahwa mereka menduduki posisi Imam Wahhabi (pemimpin agama), sementara itu setiap kepala keluarga Wahhabi memperoleh wewenang untuk mengontrol ketat setiap penafsiran agama (religious interpretation).

Mereka adalah orang-orang bodoh, yang melakukan kekerasan, menumpahkan darah, dan teror untuk menyebarkan paham Wahabi (Wahhabism) di Jazirah Arab. Sebagai hasil aliansi Saudi-Wahhabi pada 1774, sebuah kekuatan angkatan perang kecil yang terdiri dari orang-orang Arab Badui terbentuk melalui bantuan para mata-mata Inggeris yang melengkapi mereka dengan uang dan persenjataan.

Sampai pada waktunya, angkatan perang ini pun berkembang menjadi sebuah ancaman besar yang pada akhirnya melakukan teror di seluruh Jazirah Arab sampai ke Damaskus (Suriah), dan menjadi penyebab munculnya Fitnah Terburuk di dalam Sejarah Islam (Pembantaian atas Orang-orang Sipil dalam jumlah yang besar).

Dengan cara ini, angkatan perang ini dengan kejam telah mampu menaklukkan hampir seluruh Jazirah Arab untuk menciptakan Negara Saudi-Wahhabi yang pertama.

Sebagai contoh, untuk memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai syirik dan bid’ah yang dilakukan oleh kaum Muslim, Saudi-Wahhabi telah mengejutkan seluruh dunia Islam pada 1801, dengan tindakan brutal menghancurkan dan menodai kesucian makam Imam Husein bin Ali (cucu Nabi Muhammad Saw) di Karbala, Irak. Mereka juga tanpa ampun membantai lebih dari 4.000 orang di Karbala dan merampok lebih dari 4.000 unta yang mereka bawa sebagai harta rampasan.

Sekali lagi, pada 1810, mereka, kaum Wahabi dengan kejam membunuh penduduk tak berdosa di sepanjang Jazirah Arab. Mereka menggasak dan menjarah banyak kafilah peziarah dan sebagian besar di kota-kota Hijaz, termasuk 2 kota suci Makkah dan Madinah.

Di Makkah, mereka membubarkan para peziarah, dan di Madinah, mereka menyerang dan menodai Masjid Nabawi, membongkar makam Nabi, dan menjual serta membagi-bagikan peninggalan bersejarah dan permata-permata yang mahal.

Para teroris Saudi-Wahhabi ini telah melakukan tindak kejahatan yang menimbulkan kemarahan kaum Muslim di seluruh dunia, termasuk Kekhalifahan Utsmaniyyah di Istanbul.

Sebagai penguasa yang bertanggung jawab atas keamanan Jazirah Arab dan penjaga masjid-masjid suci Islam, Khalifah Mahmud II memerintahkan sebuah angkatan perang Mesir dikirim ke Jazirah Arab untuk menghukum klan Saudi-Wahhabi.

Pada 1818, angkatan perang Mesir yang dipimpin Ibrahim Pasha (putra penguasa Mesir) menghancurkan Saudi-Wahhabi dan meratakan dengan tanah ibu kota Dir’iyyah .

Imam kaum Wahhabi saat itu, Abdullah al-Saud dan dua pengikutnya dikirim ke Istanbul dengan dirantai dan di hadapan orang banyak, mereka dihukum pancung. Sisa klan Saudi-Wahhabi ditangkap di Mesir.

KERAJAAN SAUDI-WAHHABI KE-II : 1843-1891

Walaupun kebengisan fanatis Wahabisme berhasil dihancurkan pada 1818, namun dengan bantuan Kolonial Inggeris, mereka dapat bangkit kembali. Setelah pelaksanaan hukuman mati atas Imam Abdullah al-Saud di Turki, sisa-sisa klan Saudi-Wahhabi memandang saudara-saudara Arab dan Muslim mereka sebagai musuh yang sesungguhnya (their real enemies) dan sebaliknya mereka menjadikan Inggeris dan Barat sebagai sahabat sejati mereka.” Demikian tulis Dr. Abdullah Mohammad Sindi [*] Maka ketika Inggeris menjajah Bahrain pada 1820 dan mulai mencarai jalan untuk memperluas area jajahannya, Dinasti Saudi-Wahhabi menjadikan kesempatan ini untuk memperoleh perlindungan dan bantuan Inggeris.

Pada 1843, Imam Wahhabi, Faisal Ibn Turki al-Saud berhasil melarikan diri dari penjara di Cairo dan kembali ke Najd. Imam Faisal kemudian mulai melakukan kontak dengan Pemerintah Inggeris. Pada 1848, dia memohon kepada Residen Politik Inggeris (British Political Resident) di Bushire agar mendukung perwakilannya di Trucial Oman. Pada 1851, Faisal kembali memohon bantuan dan dukungan Pemerintah Inggeris. 10]Dan hasilnya, Pada 1865, Pemerintah Inggeris mengirim Kolonel Lewis Pelly ke Riyadh untuk mendirikan sebuah kantor perwakilan Pemerintahan Kolonial Inggeris dengan perjanjian (pakta) bersama Dinasti Saudi-Wahhabi.

Untuk mengesankan Kolonel Lewis Pelly bagaimana bentuk fanatisme dan kekerasan Wahhabi, Imam Faisal mengatakan bahwa perbedaan besar dalam strategi Wahhabi : antara perang politik dengan perang agama adalah bahwa nantinya tidak akan ada kompromi, kami membunuh semua orang .

Pada 1866, Dinasti Saudi-Wahhabi menandatangani sebuah perjanjian “persahabatan” dengan Pemerintah Kolonial Inggeris, sebuah kekuatan yang dibenci oleh semua kaum Muslim, karena kekejaman kolonialnya di dunia Muslim.

Perjanjian ini serupa dengan banyak perjanjian tidak adil yang selalu dikenakan kolonial Inggeris atas boneka-boneka Arab mereka lainnya di Teluk Arab (sekarang dikenal dengan : Teluk Persia).

Sebagai pertukaran atas bantuan pemerintah kolonial Inggeris yang berupa uang dan senjata, pihak Dinasti Saudi-Wahhabi menyetujui untuk bekerja-sama/berkhianat dengan pemerintah kolonial Inggeris yaitu : pemberian otoritas atau wewenang kepada pemerintah kolonial Inggeris atas area yang dimilikinya.

Perjanjian yang dilakukan Dinasti Saudi-Wahhabi dengan musuh paling getir bangsa Arab dan Islam (yaitu : Inggeris), pihak Dinasti Saudi-Wahhabi telah membangkitkan kemarahan yang hebat dari bangsa Arab dan Muslim lainnya, baik negara-negara yang berada di dalam maupun yang diluar wilayah Jazirah Arab.

Dari semua penguasa Muslim, yang paling merasa disakiti atas pengkhianatan Dinasti Saudi-Wahhabi ini adalah seorang patriotik bernama al-Rasyid dari klan al-Hail di Arabia tengah dan pada 1891, dan dengan dukungan orang-orang Turki, al-Rasyid menyerang Riyadh lalu menghancurkan klan Saudi-Wahhabi.

Bagaimanapun, beberapa anggota Dinasti Saudi-Wahhabi sudah mengatur untuk melarikan diri; di antara mereka adalah Imam Abdul-Rahman al-Saud dan putranya yang masih remaja, Abdul-Aziz. Dengan cepat keduanya melarikan diri ke Kuwait yang dikontrol Kolonial Inggeris, untuk mencari perlindungan dan bantuan Inggeris.

KERAJAAN SAUDI-WAHHABI KE III (SAUDI ARABIA) : Sejak 1902

 Ketika di Kuwait, Sang Wahhabi, Imam Abdul-Rahman dan putranya, Abdul-Aziz menghabiskan waktu mereka “menyembah-nyembah” tuan Inggersi mereka dan memohon-mohon akan uang, persenjataan serta bantuan untuk keperluan merebut kembali Riyadh. Namun pada akhir penghujung 1800-an, usia dan penyakit nya telah memaksa Abdul-Rahman untuk mendelegasikan Dinasti Saudi Wahhabi kepada putranya, Abdul-Aziz, yang kemudian menjadi Imam Wahhabi yang baru.

Melalui strategi licin kolonial Inggeris di Jazirah Arab pada awal abad 20, yang dengan cepat menghancurkan Kekhalifahan Islam Utsmaniyyah dan sekutunya klan al-Rasyid secara menyeluruh, kolonial Inggeris langsung memberi sokongan kepada Imam baru Wahhabi Abdul-Aziz.

Dibentengi dengan dukungan kolonial Inggeris, uang dan senjata, Imam Wahhabi yang baru, pada 1902 akhirnya dapat merebut Riyadh. Salah satu tindakan biadab pertama Imam baru Wahhabi ini setelah berhasil menduduki Riyadh adalah menteror penduduknya dengan memaku kepala al-Rasyid pada pintu gerbang kota. Abdul-Aziz dan para pengikut fanatik Wahhabinya juga membakar hidup-hidup 1.200 orang sampai mati.

Imam Wahhabi Abdul-Aziz yang dikenal di Barat sebagai Ibn Saud, sangat dicintai oleh majikan Inggerisnya. Banyak pejabat dan utusan Pemerintah Kolonial Inggeris di wilayah Teluk Arab sering menemui atau menghubunginya, dan dengan murah-hati mereka mendukungnya dengan uang, senjata dan para penasihat.  Sir Percy Cox, Captain Prideaux, Captain Shakespeare, Gertrude Bell, dan Harry Saint John Philby (yang dipanggil “Abdullah”) adalah di antara banyak pejabat dan penasihat kolonial Inggeris yang secara rutin mengelilingi Abdul-Aziz demi membantunya memberikan apa pun yang dibutuhkannya.

Dengan senjata, uang dan para penasihat dari Inggeris, berangsur-angsur Imam Abdul-Aziz dengan bengis dapat menaklukkan hampir seluruh Jazirah Arab di bawah panji-panji Wahhabisme untuk mendirikan Kerajaan Saudi-Wahhabi ke-3, yang saat ini disebut Kerajaan Saudi Arabia.

Ketika mendirikan Kerajaan Saudi, Imam Wahhabi, Abdul-Aziz beserta para pengikut fanatiknya, dan para “tentara Tuhan”, melakukan pembantaian yang mengerikan, khususnya di daratan suci Hijaz. Mereka mengusir penguasa Hijaz, Syarif, yang merupakan keturunan Nabi Muhammad Saw.

Pada May 1919, di Turbah, pada tengah malam dengan cara pengecut dan buas mereka menyerang angkatan perang Hijaz, membantai lebih 6.000 orang.

Dan sekali lagi, pada bulan Agustus 1924, sama seperti yang dilakukan orang barbar, tentara Saudi-Wahabi mendobrak memasuki rumah-rumah di Hijaz, kota Taif, mengancam mereka, mencuri uang dan persenjataan mereka, lalu memenggal kepala anak-anak kecil dan orang-orang yang sudah tua, dan mereka pun merasa terhibur dengan raung tangis dan takut kaum wanita. Banyak wanita Taif yang segara meloncat ke dasar sumur air demi menghindari pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan tentara-tentara Saudi-Wahhabi yang bengis.

Tentara primitif Saudi-Wahhabi ini juga membunuhi para ulama dan orang-orang yang sedang melakukan shalat di masjid; hampir seluruh rumah-rumah di Taif diratakan dengan tanah; tanpa pandang bulu mereka membantai hampir semua laki-laki yang mereka temui di jalan-jalan; dan merampok apa pun yang dapat mereka bawa. Lebih dari 400 orang tak berdosa ikut dibantai dengan cara mengerikan di Taif.

[*] Dr. Abdullah Mohammad Sindi adalah seorang profesor Hubungan Internasional (professor of International Relations) berkebangsaan campuran Saudi-Amerika. Dia memperoleh titel BA dan MA nya di California State University, Sacramento, dan titel Ph.D. nya di the University of Southern California. Dia juga seorang profesor di King Abdulaziz University di Jeddah, Saudi Arabia. Dia juga mengajar di beberapa universitas dan college Amerika termasuk di : the University of California di Irvine, Cal Poly Pomona, Cerritos College, and Fullerton College. Dia penulis banyak artikel dalam bahasa Arab maupun bahasa Inggeris. Bukunya antara lain : The Arabs and the West: The Contributions and the Inflictions.

Catatan Kaki :

[1] Banyak orang-orang yang belajar Wahabisme (seperti di Jakarta di LIPIA) yang     menjadi para pemuja syekh-syekh Arab, menganggap bangsa Arab lebih unggul dari    bangsa lain. Mereka (walaupun bukan Arab) mengikuti tradisi ke-Araban atau         lebih tepatnya Kebaduian (bukan ajaran Islam), seperti memakai jubah panjang,       menggunakan kafyeh, bertindak dan berbicara dengan gaya orang-orang Saudi.

[2] Alexei Vassiliev, Ta’reekh Al-Arabiya Al-Saudiya [History of Saudi Arabia], yang diterjemahkan dari bahasa Russia ke bahasa Arab oleh Khairi al-Dhamin dan Jalal al-Maashta (Moscow: Dar Attagaddom, 1986), hlm. 108.

[3] Untuk lebih detailnya Anda bisa mendownload “Confessions of a British Spy” :http://www.ummah.net/Al_adaab/spy1-7.htmlCara ini juga dilakukan Imperialis Belanda ketika mereka menaklukkan kerajaan-    kerajaan Islam di Indonesia lewat Snouck Hurgronje yang telah belajar lama di   Saudi  Arabia dan mengirinmnya ke Indonesia. Usaha Snouck berhasil gemilang,   seluruh kerajaan Islam jatuh di tangan Kolonial Belanda, kecuali Kerajaan Islam  Aceh. Salah satu provokasi Snouck yang menyamar sebagai seorang ulama Saudi adalah menyebarkan keyakinan bahwa hadis Cinta pada Tanah Air adalah lemah! (Hubbul Wathan minal Iman). Dengan penanaman keyakinan ini diharapkan Nasionalisme bangsa Indonesia hancur, dan memang akhirnya banyak pengkhianat bangsa bermunculan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar