Senin, 24 Desember 2018

Inilah Pandangan Rais Syuriah PBNU soal Ucapan Selamat Natal


Inilah Pandangan Rais Syuriah PBNU soal Ucapan Selamat Natal

Hukum mengucapkan selamat hari Natal bagi setiap muslim tidak bisa diseragamkan karena hukum suatu perbuatan bisa berbeda antara satu orang muslim dari orang muslim lainnya lantaran perbedaan keadaannya dan situasinya. Artinya, tidak mutlak haram. Menjadi berhukum boleh apabila diniatkan untuk menunjukkan keutamaan ajaran Islam dari sisi akhlak.

Bila dilihat dari pemahaman secara etimologi bahwa Natal berasal dari Bahasa Portugis yg berarti Kelahiran, ini adalah hari raya ummat Kristen dalam rangka memperingati hari kelahiran Yesus Kristus bagi mereka, akan tetapi kita meyakininya adalah kelahiran Nabi Isa AS bukan Yesus Kristus, dengan demikian kita mengucapkan didalam keyakinan kita selamat atas kelahiran Nabi Isa AS, kita meyakini bahwa ISA AS adalah Nabi dan  Rosulullah “dan tidak diiringi keyakinan yang bertentangan dengan aqidah Islamiyah, sedangkan ucapan tersebut ditujukan kepada orang yang memiliki kedekatan seperti saudara atau rekan bisnis yang juga menghormati umat Islam. Dalam situasi sebaliknya hukum mengucapkannya bisa berhukum haram,” kata Rais Syuriah PBNU KH Ahmad Ishomuddin.

Kiai asal Lampung ini berpandangan, mengucapkan selamat hari Natal bagi seorang muslim adalah persoalan ijtihadiyyah, karena tidak terdapat teks al-Qur'an maupun al-Hadits yang secara tegas melarangnya. Oleh karena itu, wajar jika kemudian masalah ini setiap masa menjadi objek perbedaan pendapat.

Pro-Kontra Ulama

Ia memaparkan, pada suatu masa ketika saling berperang antara sebagian umat Islam dan kaum Nasrani maka ulama menyepakati keharaman mengucapkan selamat hari Natal, seperti pada masa Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Sedangkan pada masa-masa damai di mana umat Islam dan non muslim hidup berdampingan saling menghormati maka wajar juga jika banyak fatwa yang menyatakan boleh sekadar mengucapkan selamat hari Natal.

Perbedaan pendapat hasil ijtihad di kalangan para ulama dalam persoalan tersebut tidak saling menggugurkan ijtihad ulama lainnya. Oleh karena itu, seorang muslim wajib mengedepankan akhlak yang mulia dengan menghormati pendapat ulama yang berbeda dari pendapatnya. 

“Tidak perlu melontarkan pernyataan yang tidak santun kepada ulama lain saat tidak menyetujuinya karena merasa pendapatnya saja yang benar,” tutur Kiai Ishom.

Sebagian ulama terdahulu seperti Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah melarang atau mengharamkan ucapan selamat hari Natal. Pendapat tersebut antara lain diikuti oleh tokoh-tokoh Wahhabi seperti al-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, al-Syaikh Utsaimin, al-Syaikh Ibrahim bin Muhammad al-Haqil dan lain-lain yang masing-masing memfatwakan keharamannya. 

Mereka yang mengharamkannya, demikian Kiai Ishom, beralasan karena dengan mengucapkan selamat hari Natal berarti turut mensyi'arkan agama mereka, padahal Allah tidak meridlai para hamba-Nya yang kafir, sedangkan mengucapkan selamat hari Natal berarti tasyabbuh (menyerupai) orang-orang Nasrani yang hukumnya juga haram.

Sebaliknya sangat banyak ulama yang menyatakan hukum al-ibahah (kebolehan) mengucapkan selamat hari Natal dengan alasan antara lain karena tidak ada satupun dalil yang melarangnya dan sekedar mengucapkan selamat hari Natal itu bukan berarti mengakui kebenaran aqidah agama Nasrani yang berkonsekuensi membuat seorang muslim secara otamatis murtad (keluar dari agama Islam),  karena tidak mengikuti prosesi ibadahnya, dengan menyatakan dirinya Masuk agamanya.

“Sebagaimana mereka yang beragama Nasrani juga tidak otomatis menjadi muslim saat sebagian mereka mengucapkan selamat berlebaran kepada umat Islam,” terangnya sembari menjelaskan bahwa mengucapkan selamat hari Natal kepada umat Nasrani itu termasuk dalam sikap saling berbuat kebaikan dalam pergaulan hidup bersama secara damai. 

Menurutnya, seorang muslim berkewajiban untuk bersikap lebih santun dibandingkan dengan siapapun dari nonmuslim, karena yang demikian itu merupakan salah satu tujuan diutusnya Nabi Muhammad SAW, yakni untuk menyempurnakan akhlak. Allah juga telah memerintahkan kepada umat Islam agar mempergauli mereka dengan sebaik-baiknya

Kiai Ishom lalu mengutip penggalan surat al-Mumtahanah ayat 8 yang artinya, "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang yang tiada memerangi kamu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."

Yang terpenting harus dijaga bagi orang yang mengucapkan selamat hari Natal adalah perlunya berniat untuk menampakkan citra terbaik dari ajaran Islam kepada nonmuslim seperti kaum Nasrani dan tidak ikut serta dalam rangkaian kegiatan pada hari Natal yang bertentangan dengan aqidah islamiyyah.

“Saya mengimbau agar umat Islam maupun umat Nasrani dapat hidup berdampingan secara damai, saling hormat-menghormati sesuai batas ajaran agama masing-masing dan dalam konteks kehidupan berbangsa wajib menjaga persatuan dan menghindarkan segala sebab yang menimbulkan perpepecahan.

Kiai Ishom juga menyebut sejumlah nama ulama yang memperkenankan ucapan selamat hari Natal bagi seorang muslim, antara lain, al-Syaikh Muhammad Rasyid Ridla, al-Syaikh Yusuf al-Qaradhawi, Prof. Dr. Abdussattar Fathullah Sa'id, al-Syaikh Musthafa al-Zarqa', Prof. Dr. Muhammad al-Sayyid Dusuqi, al-Syaikh al-Syurbashi, al-Syaikh Abdullah bin Bayyah, al-Syaikh Farid Muhammad Washil, al-Syaikh Ali Jum'ah, dan lainnya.

“Bagi yang ingin meluaskan wawasan seputar masalah ini hendaknya berkenan membaca dengan cermat fatwa yang dikeluarkan baik oleh ulama yang mengharamkan maupun yang memperkenankan ucapan selamat hari Natal kepada kaum Nasrani,” pungkasnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar