Ketika salat seseorang benar, ia secara tidak langsung akan berdampak pada banyak hal. Selain berdampak pada prilaku, hal itu juga akan berdampak pada hatinya.

Salat adalah ibadah yang paling mulia di sisi Allah SWT. Bagaimanapun keadaannya, salat tidak boleh ditinggalkan. Bahkan dalam keadaan darurat sekalipun. Semua orang yang bernyawa harus melaksanakannya. Selain mengerjakannya secara rutin, pentingnya juga berusaha agar salah seseorang benar, baik secara niat maupun tatacaranya.

Ada sekian banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menjadi dasar kewajiban salat, salah satunya adalah:

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرَّاكِعِيْنَ

“Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk.” (QS. al-Baqarah [2]: 43)

Karena begitu penting dan mulianya salat, Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah salatnya. Maka, jika salatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika salatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi.” (HR. Tirmidzi)

Yang harus dicatat, dalam pelaksanaannya, salat hendaknya tidak saja dilakukan secara lahir, namun juga batin. Sehingga selain “menggerakkan lisan (merapal bacaan tertentu) dan badan”, seseorang juga harus “menggerakkan hati” juga ketika salat. Ini adalah makna salat seseorang benar dalam aspek yang lebih hakiki.

Dengan demikian, ketika salat seseorang benar, maka ia akan berdampak pada akhlak dan perilaku pengamalnya, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “…Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar…” (QS. al-Ankabut [29]: 45)

Hal ini karena ketika melaksanakan salat secara zahir batin itu, seseorang akan menyadari tentang keagungan dan ke-Mahabesar-an Allah. Sehingga tidak mungkin ia akan durhaka kepada-Nya.

Tanpa bermaksud mengesampingkan hal-hal terkait “menggerakkan badan dan lisan”, agaknya “menggerakkan hati” lebih urgen untuk diketahui. Pertanyannya, bagaimana caranya? 

Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa caranya adalah dengan memahami dan menghayati hakikat segala apa yang dibaca dan dikerjakan dalam salat. 

Untuk yang pertama, tentu tidak ada cara yang bisa ditempuh kecuali memahami makna bacaan tersebut, baik secara global, lebih-lebih secara terperinci. Atau jika hal tersebut sukar dilakukan, agaknya terjemahan dari bacaan-bacaan itu bisa menjadi solusi (meskipun harus diakui, terjemah tidak bisa menjelaskan makna secara utuh). 

Sedangkan untuk yang kedua, seseorang bisa melakukannya dengan ‘begitu mudah’, yakni menggunakan akalnya. 

Ia mengatakan bahwa ketika salat, seseorang akan meletakkan kepalanya di bawah (maaf) bokong/pantatnya. Ini menegaskan bahwa sejatinya, ketika di hadapan Allah, kecerdasan setinggi apapun tak akan ada gunanya. 

“Maka orang-orang ini dihina orang tidak akan marah. Kenapa? Dia sendiri telah menghinakan dirinya di hadapan Allah Ta’ala,” 

Ketika melaksanakan salat berjemaah, dan ia berada di shaf (barisan) nomor dua, maka sejatinya ia sedang dibelakangi oleh orang yang berada di shaf depannya. Hal demikian bermakna, ia sudah menghina dirinya sendiri. Sehingga tidak wajar bila ia mudah tersinggung bila ada yang mengusiknya. 

“Tapi kenapa kemudian jika disinggung orang sedikit ngamuk. Ini (ada) yang tidak wajar di qalbu. Berarti belum shalih (baik). Qalbunya belum shalih.” 

Walhasil, salat adalah ibadah yang wajib bagi seluruh umat Islam. Agar memiliki dampak bagi kehidupan pelakunya, maka ia harus dikerjakan dengan segenap kesadaran dan pemaknaan yang tepat. 

Wallau a’lam.