Rabu, 27 September 2017

DO'A ZIARAH QUBÚR SINGKAT

      DO'A  ZIARAH QUBÚR SINGKAT

                             زياره قبورا

السلام عليكم يااهل القبور دارقوم مؤ منين بشفاعة رسول الله صلى الله عليه وسلم انتم لنا سلف ونحن عليكم تبع وانّ انْ شاء الله تعالى بكم لاحقون... الفاتحه
اللهم ا غْفر لهم  واْرحمهم وعافهم واعفُ عنهم
واكرم نزلهم ووسّع مد خلهم واغسلهم بالماء والثّلج والبرد ونقّه من الخطايا كما ينقّى الثَّوْبُ الابيض من الدنس وابدله داراخيرا من داره واهلا خيرا
من اهله وزوجاً خيرا من زوجه وادخله الجنّة واعذه من عذاب القبر وفتنته ومن عذاب آلنّار...

اللهم لا تحرمنا أجرهم ولا تفتنا بعدهم واغفرلنا ولهم ولاِخوانناالذين سبقونابالاِيمان ولا تجعل في. قلوبنا غلاللذين آمنوا ربٍّناانّك روٌف رّحيم

                   ZIARAH QUBÚR
ASSALÂMU'ALAIKUM YÂ AHLAL QUBÚR DÂRO QOUMIMMŮMINÎN
BISYAFÂ'ATI ROSÚLILLÂHI SHOLLALLÔHU 'ALAIHI WASALLAM
ANTUM LANÂ SALAFUN WA NAHNU
`ALAIKUM TABA' UN WAINNA INSYÂ ALLÂHU TÂ'ÂLA BIKUM LÂKHIQÚN
AL FÂTIHAH....
ALLÔHUMMAGHFIRLAHUM WARHAMHUM WA'ÂFIHIM WA'FU'ANHUM, WAAKRIM NUZULAHUM WAHASSI'MADHOLAHUM WAGHSILHUM BIL MÂ I WATSSALZI WALBARODI WANAQIHI MINALAKHOTHÔ KAMÂ YUNAQOSSAUBUL ABYADHU MINADDANASI WAGHSILHUM DÂRON KHOIRON MINDÂRIHI, WA AHLAN KHOIRON MIN AHLIHÎ WAZAUJAN KHOIRON MIN ZAUJIHÎ WADHILHUL JANNATA WA A'AIDHU 'ADÂBILQOBRI WA FITNATIHÎ WAMIN' ADABINNÂR...
ALLÔHUMMA LÂ TAHRIMNÂ AJROHUM WALÂ TAFTINÂ BA'DAHUM
WAGHFIRLANÂ WALLAHUM WALI IKHWÂ NINALADZÎNA SABAQÚNÂ
BIL ÎMÂNI WALÂ TAJ'AL FÎ QULÚ BINÂ GHILLALLILLADZÎ NA ÂMANÚ ROBBANÂ INNAKA RO ÚFURROKHÎM.

Artinya :
Keselamatan atas kamu wahai penghuni kubur, penghuni rumah kaum mukminin, semoga engkau mendapat safa'at dari Rosûlillâhi SAW, Kalian pendahulu bagi kami, dan kami adalah pengikut kalian, dan aku dengan Izin Allah Ta'âla akan menyusul kalian... Al FÂTIHAH....

Yaa Alloh ampunilah mereka, dan sayangilah mereka, dan berilah mereka kesejahteraan dan maafkanlah mereka, dan muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah dia. Dan muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah jalan masuknya cucilah dia dengan air yang jernih lagi sejuk, dan bersihkanlah dia dari segala kesalahan bagaikan baju putih yang bersih dari kotoran, dan gantilan rumahnya dengan rumah yang lebih baik daripada yang ditinggalkannya, dan keluarga yang lebih baik, dari yang ditinggalkan, serta suami (istri) yang lebih baik dari yang ditinggalkannya pula. Masukkanlah dia kedalam surga, dan lindungilah dari siksanya kubur serta fitnahnya, dan dari siksa api neraka.

Ya Allah, janganlah Engkau halangi pahala mereka yang akan sampai kepada kami, dan jangan Engkau memberi fitah kepada kami sepeninggal mereka serta ampunilah kami dan mereka,
Ampunilah Kami Dan Saudara-Saudara Kami Yang Telah Beriman Lebih
Dahulu Daripada Kami, 

Dan Janganlah Engkau Tanaman Kedengkian Dalam Hati Kami Terhadap
Orang-orang Yang Beriman

Ya Tuhan Kami, Sungguh , Engkau Maha Penyantun, lagi Maha Penyayang . 


Minggu, 24 September 2017

APAKAH WAJIB MENERAPKAN KAIDAH TAJWID DALAM MEMBACA AL-QURAN

APAKAH WAJIB MENERAPKAN KAIDAH TAJWID DALAM MEMBACA AL-QURAN

Membaca Al Qur’an adalah amalan yang agung dan banyak keutamaannya. Dalam membaca Al Qur’an dikenal ilmu tajwid. Bagaimanakah hukum ilmu tajwid ini? Apakah wajib membaca Al Qur’an dengan menerapkan kaidah-kaidah tajwid?

Definisi ilmu tajwid

Tajwid secara bahasa adalah mashdar dari jawwada-yujawwidu, yang artinya membaguskan. Sedangkan secara istilah, Imam Ibnul Jazari menjelaskan:

الإتيان بالقراءة مجودة بالألفاظ بريئة من الرداءة في النطق ومعناه انتهاء الغاية في التصحيح وبلوغ النهاية في التحسين

“tajwid adalah membaca dengan membaguskan pelafalannya, yang terhindar dari keburukan pelafalan dan keburukan maknanya, serta membaca dengan maksimal tingkat kebenarannya dan kebagusannya” (An Nasyr fil Qira’at Al ‘Asyr, 1/210).

Beliau juga menjelaskan hakekat dari ilmu tajwid,

فالتجويد هو حلية التلاوة ، وزينة القراءة ، وهو إعطاء الحروف حقوقها وترتيبها مراتبها ، ورد الحرف إلى مخرجه وأصله ، وإلحاقه بنظيره وتصحيح لفظه وتلطيف النطق به على حال صيغته ، وكمال هيئته ; من غير إسراف ولا تعسف ولا إفراط ولا تكلف

“maka tajwid itu merupakan penghias bacaan, yaitu dengan memberikan hak-hak, urutan dan tingkatan yang benar kepada setiap huruf, dan mengembalikan setiap huruf pada tempat keluarnya dan pada asalnya, dan menyesuaikan huruf-huruf tersebut pada setiap keadaannya, dan membenarkan lafadznya dan memperindah pelafalannya pada setiap konteks,  menyempurnakan bentuknya. tanpa berlebihan, dan tanpa meremehkan” (An Nasyr fil Qira’at Al ‘Asyr, 1/212).

Hukum ilmu tajwid

Pada dasarnya dibolehkan, membaca Al-Quran tidak dengan tajwid Selama tidak terjadi lahn (kesalahan bacaan) di dalamnya. Jika terjadi lahn maka wajib untuk memperbaik lahn-nya tersebut. Adapun tajwid, hukumnya wajib. Tajwid itu untuk memperbagus pelafalan dan untuk memperbagus bacaan Al Qur’an. Tidak diragukan bahwa tajwid itu baik, dan lebih sempurna dalam membaca Al Qur’an. Namun kalau kita katakan ‘barangsiapa yang tidak membaca Al Qur’an dengan tajwid maka berdosa‘ ini khususnya bagi yg sudah faham tentang ilmu Tajwid maka ia wajib menerapkannnya, bagi yg belum faham maka tak berdosa.

Yaitu bahwasanya Al Qur’an diturunkan dalam 7 huruf, hingga setiap manusia membacanya dengan gaya bahasa mereka sendiri. Sampai suatu ketika, dikhawatirkan terjadi perselisihan dan persengketaan di antara kaum Muslimin, maka disatukanlah kaum Muslimin dalam satu qira’ah dengan gaya bahasa Qura’isy di zaman Amirul Mukminin Utsman bin Affan radhiallahu’anhu.

Dan ini merupakan salah satu keutamaan beliau (Utsman), dan jasa beliau, serta bukti perhatian besar beliau dalam masa kekhalifahannya untuk mempersatukan umat dalam satu qira’ah. Agar tidak terjadi perselisihan di tengah umat.

Kesimpulannya, membaca Al Qur’an dengan tajwid adalah wajib bagi yg sudah Faham ilmu Tajwid bagi yg belum maka tak berdosa, terlebih wajib adalah membacanya dengan memperhatikan Madnya, panjang pendeknya dan mengucapkan huruf sesuai yang sebagaimana mestinya/makhrojul huruf Misalnya, tidak mengganti huruf ra’ (ر) dengan lam (ل), atau huruf dzal (ذ) diganti zay (ز), atau semisal itu yang merupakan perkara yang terlarang”.

Dengan demikian, apa yang disebutkan sebagian ulama qiraat, bahwa wajib membaca Al Qur’an dengan tajwid, yaitu semisal wajib membaca dengan ikhfa, idgham, izhar dan lainnya, adalah hal yang tepat walaupun tidak ada dalil syar’i untuk mewajibkannya, akan tetapi para mufassirin banyak menjelaskan tentang keharusan membaca alquran, Yang tepat adalah, ilmu tajwid wajib dalam kadar yang bisa menghindari seseorang dari kesalahan makna dalam bacaannya. Terdapat penjelasan yang bagus dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah :

ذَهَبَ الْمُتَأَخِّرُونَ إِلَى التَّفْصِيل بَيْنَ مَا هُوَ (وَاجِبٌ شَرْعِيٌّ) مِنْ مَسَائِل التَّجْوِيدِ، وَهُوَ مَا يُؤَدِّي تَرْكُهُ إِلَى تَغْيِيرِ الْمَبْنَى أَوْ فَسَادِ الْمَعْنَى، وَبَيْنَ مَا هُوَ (وَاجِبٌ صِنَاعِيٌّ) أَيْ أَوْجَبَهُ أَهْل ذَلِكَ الْعِلْمِ لِتَمَامِ إِتْقَانِ الْقِرَاءَةِ، وَهُوَ مَا ذَكَرَهُ الْعُلَمَاءُ فِي كُتُبِ التَّجْوِيدِ مِنْ مَسَائِل لَيْسَتْ كَذَلِكَ، كَالإِْدْغَامِ وَالإِْخْفَاءِ إِلَخْ. فَهَذَا النَّوْعُ لاَ يَأْثَمُ تَارِكُهُ عِنْدَهُمْ.
قَال الشَّيْخُ عَلِيٌّ الْقَارِيُّ بَعْدَ بَيَانِهِ أَنَّ مَخَارِجَ الْحُرُوفِ وَصِفَاتِهَا، وَمُتَعَلِّقَاتِهَا مُعْتَبَرَةٌ فِي لُغَةِ الْعَرَبِ: فَيَنْبَغِي أَنْ تُرَاعَى جَمِيعُ قَوَاعِدِهِمْ وُجُوبًا فِيمَا يَتَغَيَّرُ بِهِ الْمَبْنَى وَيَفْسُدُ الْمَعْنَى، وَاسْتِحْبَابًا فِيمَا يَحْسُنُ بِهِ اللَّفْظُ وَيُسْتَحْسَنُ بِهِ النُّطْقُ حَال الأَْدَاءِ

“para ulama muta’akhirin merinci antarawajib syar’i dengan wajib shina’i dalam masalah tajwid. Wajib syar’i (kewajiban yang dituntut oleh syariat) adalah yang jika meninggalkannya dapat menjerumuskan pada perubahan struktur kalimat atau makna yang rusak. Dan wajib shina’i adalah hal-hal yang diwajibkan para ulama qiraat untuk menyempurnakan kebagusan bacaan.

Asy Syaikh Ali Al Qari setelah beliau menjelaskan bahwa makharijul huruf berserta sifat-sifat dan hal-hal yang terkait dengannya itu adalah hal yang berpengaruh dalam bahasa arab, beliau berkata: ‘hendaknya setiap orang memperhatikan semua kaidah-kaidah makharijul huruf ini. Wajib hukumnya dalam kadar yang bisa menyebabkan perubahan struktur kalimat dan kerusakan makna. Sunnah hukumnya dalam kadar yang bisa memperbagus pelafalan dan pengucapan ketika membacanya'” (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah,10/179).

Maka tidak benar sikap sebagian orang yang menyalahkan bacaan Al Qur’an dari orang-orang yang belum pernah mendapatkan pelajaran tajwid yang mendalam, padahal bacaan mereka masih dalam kadar yang sudah memenuhi kadar wajib, yaitu tidak rusak makna dan susunan katanya.
Bagi seorang imam sholat adalah menerapkan ilmu Tajwid itu wajib karena syarat seorang imam yg pertama adalah Qori artinya yg fasihat dlm membaca Alquran, tapi kalau diantara sekelompok tsb tidak ada yg fasihat maka yg tdk fasihatpun boleh ia jadi imam.

Dan ada pula sebagian pengajar tajwid yang menganggap tidak sah bacaan Al Qur’an setiap orang yang tidak menerapkan semua kaidah-kaidah tajwid dengan sempurna. Ini adalah sikap yang  bijak.

Wallahul musta’an.

Makna ayat “bacalah secara tartil”

Sebagian orang yang menganggap wajibnya menerapkan kaidah tajwid secara mutlak, berdalil dengan ayat:

وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلا

dan bacalah Al Qur’an dengan tartil” (QS. Al Muzammil: 4).

Tartil di sini dimaknai dengan hukum-hukum tajwid. Kita simak penjelasan para ulama tafsir mengenai ayat ini.

Imam Ibnu Katsir menjelaskan:

وَقَوْلُهُ: {وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلا} أَيِ: اقْرَأْهُ عَلَى تَمَهُّلٍ، فَإِنَّهُ يَكُونُ عَوْنًا عَلَى فَهْمِ الْقُرْآنِ وَتَدَبُّرِهِ

“dan firman-Nya: ‘dan bacalah Al Qur’an dengan tartil‘, maksudnya bacalah dengan pelan karena itu bisa membantu untuk memahaminya dan men-tadabburi-nya” (Tafsir Ibni Katsir, 8/250).

Imam Ath Thabari juga menjelaskan:

وقوله: (وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلا) يقول جلّ وعزّ: وبين القرآن إذا قرأته تبيينا، وترسل فيه ترسلا

“dan firman-Nya: ‘dan bacalah Al Qur’an dengan tartil‘, maksudnya Allah ‘Azza wa Jalla mengatakan: perjelaslah jika engkau membaca Al Qur’an dan bacalah dengantarassul (pelan dan hati-hati)” (Tafsir Ath Thabari, 23/680).

As Sa’di menjelaskan:

{وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلا} فإن ترتيل القرآن به يحصل التدبر والتفكر، وتحريك القلوب به، والتعبد بآياته، والتهيؤ والاستعداد التام له

“‘dan bacalah Al Qur’an dengan tartil‘, karena membaca dengan tartil itu adalah membaca yang disertai tadabbur dan tafakkur, hati bisa tergerak karenanya, menghamba dengan ayat-ayat-Nya, dan tercipta kewaspadaan dan kesiapan diri yang sempurna kepadanya” (Taisir Karimirrahman, 892).

Demikian yang dijelaskan para ulama ahli tafsir mengenai makna tartil. Maka tepat jika ayat ini dijadikan dalil untuk mewajibkan untuk membaca Al Qur’an dengan kaidah-kaidah tajwid secara mutlak.

Semoga bermanfaat. Wallahu a’lamu bis shawab.

Inilah Tiga Metode Baca Al-Quran


Inilah Tiga Metode Baca Al-Quran

Biasanya Pada bulan Ramadhan, semangat dan atmosfer beribadah kaum Muslimin bertambah. Selain puasa yang sudah diwajibkan, di sana-sini banyak dilantunkan bacaan Al-Quran, dilaksanakan shalat tarawih, kegiatan santunan dan buka bersama, serta banyak lagi amalan-amalan masyarakat untuk menghidupkan Islam dalam suasana Ramadhan. Tentu hal yang sedemikian amat menggembirakan.

Dari sekian amalan itu, salah satu juga yang paling diutamakan adalah memperbanyak membaca Al-Quran di bulan Ramadhan. Bulan ini adalah bulan awal diturunkannya Al-Quran untuk umat manusia, dan meskipun masih terdapat khilafiyah, sebagian ulama menyebutkan bahwa Nuzulul Qur’an, awal turunnya Al-Qur’an adalah pada 17 Ramadhan. Tentu saja menyemarakkan Al Quran adalah pilihan baik di bulan baik ini.

Membaca Al-Quran jelas memiliki faedah dan keistimewaan tersendiri. Setiap hurufnya, kita tahu, diganjar dengan sepuluh kebajikan. Setiap seseorang membaca Al-Quran, hal itu telah dinilai sebagai ibadah. Di masyarakat kita pun rupanya ada yang membaca perlahan-lahan, atau dengan cara cepat. Di kalangan ulama ahli qiraat Al-Quran, cara membaca Al-Quran memiliki tiga metode yang biasa diamalkan oleh pembaca Al-Quran.

Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki dalam Qowaidul Asasiyyah fi Ulumil Qur’an menyebutkan bahwa dalam membaca Al-Quran itu ada tiga cara:

I.  METODE TAHQIQ

Adalah Metode membaca secara tahqiq ini mengusahakan makharijul huruf dan pelafalan huruf hijaiyah dengan tepat, memenuhi panjang pendeknya bacaan, juga memperjelas hamzah dan harakatnya. Selain itu, kaidah tajwid terkait izhar, idgham, serta hukum-hukum lainnya terkait huruf "nun" dan "mim" yang diberi harakatsukun juga diperhatikan betul. Dan tak lupa dicermati kaidah waqaf, saktah, juga letak-letak pemberhentian ayat. Dengan cara yang demikian, lisan dibiasakan membaca Al-Quran sesempurna mungkin.

Menurut Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, bacaan semacam ini dianjurkan betul bagi para pelajar Al-Quran, utamanya di tingkat pemula. Tujuannya supaya bacaan orang tersebut tidak melewati batas yang dapat mencederai bacaan Al-Quran sendiri saat kelak sudah lebih lanyah, lancar membaca Al-Quran.

II.  METODE HADR.

Adalah Cara mempercepat bacaan dengan memperpendek bacaan-bacaan mad, tetapi tetap dengan memperhatikan tanda baca untuk menepati tatabahasa Arab dan memantapkan lafalnya. Cara yang paling sering diamalkan juga adalah mengurangi ghunnah, atau mengurangi panjang bacaan mad. Yang jelas, bacaan ini tidak mencapai cara membaca Al-Quran yang sempurna sebagaimana tahqiq, namun metode ini diperbolehkan bagi yg sudah Faham dan menerapkan metode Tahqiq, bagi yg belum maka jangan gunakan metode ini, nantinya akan salah penerapannya.

III.  METODE TADWIR.

Cara ini merupakan pertengahan antara cara tahqiq yang begitu pelan dan mantap dan hadr yang begitu ringkas dan cepat. Untuk metode tadwir ini, hal yang terpenting adalah bacaan-bacaan mad yang tidak dipenuhkan, seperti pada mad ja’iz munfashil, tidak sampai panjang enam Harokat / enam ketukan. Tidak terlalu pelan, tetapi juga tidak disempurnakan betul, metode ini boleh digunakan bagi yg sudah Fasihat membaca ALQURANNYA bagi yg belum Fasihat maka lebih baik menggunakan metode Tahqiq seperti yg telah dijelaskan diatas.

Hal yang terpenting dari ketiga bacaan itu, adalah pentingnya memahami tajwid dan pemberhentian baca Al-Quran (waqaf). Tentu di sekitar kita, baik saat tadarusan, atau khataman Al-Quran, ada yang membaca Al-Quran dengan cepat, atau pelan-pelan. Sebaiknya bacaan ini disesuaikan dengan kebutuhan dan target yang ingin dicapai. Semisal pada even khataman, tentu para hafizh Al-Quran memiliki cara membaca sendiri untuk mengkhatamkan lebih cepat.

Adapun di sekitar kita ada yang mungkin masih belum lancar artinya banyak salahnya, terutama pada mad dan makhrojul hurufnya dan tergagap-gagap membacanya, maka bacaannya harus pelan jangan menggunakan metode hadr atau dengan cepat, namun hal itu tak menghalangi perolehan kemuliaan belajar membaca Al-Quran. Asal tetap bersemangat untuk terus membaca, memaknai, dan memahami Al-Quran, semoga itu menjadi wasilah agar Al-Quran kelak menjadi penolong di Hari Kiamat. 

Wallahu a’lam.

Rabu, 20 September 2017

BOLEHKAH SESEORANG UNTUK TIDAK BERMADZHAB

BOLEHKAH SESEORANG UNTUK TIDAK BERMADZHAB


Shonhaji jongjing 

Sebagian orang ada yang mengatakan bahwa bermadzhab itu tidak perlu. Tinggal ikuti saja Al-Qur'an dan Hadits Nabi SAW maka kita akan selamat.  Benarkah demikian? 

Saudaraku sekalian,... Bukankah tidak mudah memahami Al-Qur'an dan Hadits tanpa pengetahuan dari para Ulama?

Islam tidak menutup pintu ijtihad, tapi setelah periode Imam Hanbali sampai saat ini tidak ada sarjana muslim yang mampu menguasai semua syarat mujtahid. Ulama besar sekelas Imam Ghazali dan Imam Nawawi masih bertaqlid, bahkan Ibnu Taimiyah juga bertaqlid, beliau bertaqlid kepada Imam Hanbali.

Nah terussss kita manusia akhir zaman... yg akal dan pikirannya terbatas, apalagi dapat hadist juga dari Google, bukan dari belajar lewat Pondok pesantren atau perguruan Islâm .....???
Mau menafsirkan Al -Quran sendiri....??? Betapa sombongnya Kita kepada para Ulama2 tsb...
Ingatlah teman, Al-Qur’an dan Hadits Dipahami dari Terjemahan kemudian ditafsirkan sendiri,.... Sama dengan Orang Awam melaksanakan praktek dokter.
Coba bayangkan dan renungkan olehmu teman, orang awam melaksanakan praktek dokter...??? Bagaimana jadinya sipasien tsb..???
Dan Inilah yg dikhawatirkan oleh Baginda NABI SAW..

Dalam hadits disebutkan,

وَمَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Tirmidzi no. 2951. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan.

Dalam hadist lain diterangkan
Dari Al Mughirah, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4).

Bagi orang awam bermazhab adalah semata untuk memudahkan mereka mengikuti ajaran agama dengan benar, sebab mereka tidak perlu lagi mencari setiap permasalahan dari sumber aslinya yaitu al-Qur'an, Hadits, Ijma' dan sebagainya, namun cukup mempelajari tata cara beribadah dari mazhab-mazhab tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya beragama bagi orang awam, bila harus mempelajari semua ajaran agamanya melalui al-Qur'an dan Hadits.

Betapa beratnya beragama bila semua orang harus berijtihad...


Jumat, 15 September 2017

PERMOHONAN AMPUN PARA MALAIKAT BAGI ORANG YANG TIDUR MALAM DALAM KEADAAN SUCI (TELAH BERWUDHU’)

PERMOHONAN AMPUN PARA MALAIKAT BAGI ORANG YANG TIDUR MALAM DALAM KEADAAN SUCI (TELAH BERWUDHU’)

Di antara orang-orang yang berbahagia dengan do’a para Malaikat adalah orang yang tidur malam dalam keadaan suci. Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah:

1. Al-Imam ath-Thabrani meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

طَهِّّرُوْا هَذِهِ اْلأَجْسَادَ طَهَّرَكُمُ اللهُ، فَإِنَّهُ لَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَبِيْتُ طَاهِرًا إِلاَّ بَاتَ مَعَهُ فِيْ شِعَارِهِ مَلَكٌ، لاَ يَنْقَلِبُ سَاعَةً مِنَ اللَّيْلِ إِلاَّ قَالَ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعَبْدِكَ فَإِنَّهُ بَاتَ طَاهِرًا.

“Sucikanlah badan-badan kalian, semoga Allah mensucikan kalian, karena tidak ada seorang hamba pun yang tidur malam dalam keadaan suci melainkan satu Malaikat akan bersamanya di dalam syi’aar [1], tidak satu saat pun dia membalikkan badannya melainkan satu Malaikat akan berkata: ‘Ya Allah, ampunilah hamba-Mu ini, karena ia tidur malam dalam keadaan suci.’” [2]

2. Al-Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ بَاتَ طَاهِرًا بَاتَ فِي شِعَارِهِ مَلَكٌ، فَلَمْ يَسْتَيْقِظْ إِلاَّ قَالَ الْمَلَكُ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعَبْدِكَ فُلاَنٍ، فَإِنَّهُ بَاتَ طَاهِرًا.

“Barangsiapa yang tidur dalam kedaan suci, maka Malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Dan tidaklah ia bangun melainkan Malaikat berdo’a: ‘Ya Allah, ampunilah hamba-Mu si fulan karena ia tidur dalam keadaan suci.’” [3]

Imam Ibnu Hibban mengawali hadits ini dengan judul: “Permohonan Ampun Para Malaikat Bagi Orang yang Tidur Malam dalam Keadaan Suci ketika Dia Bangun Tidur.”

Di antara kandungan yang dapat kita petik dari kedua hadits di atas adalah:

Pertama : Malaikat akan bersamanya di dalam pakaiannya. Sungguh teman yang paling baik dan paling mulia, seandainya balasan untuk orang yang tidur dalam kedaan suci hanya itu saja, maka hal tersebut tentu sudah cukup.

Kedua : Malaikat yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala memohon ampunan kepada-Nya setiap ia membalikkan badannya pada malam hari dan ketika ia bangun dari tidurnya.

Allaahu Akbar! Sebuah amal yang sangat mudah dilakukan, tetapi balasannya sangatlah besar!

Dan bukan ini saja, bahkan ada riwayat lain yang menunjukkan keutamaan orang yang tidur malam dalam keadaan bersuci. Demikianlah yang diriwayatkan oleh dua Imam, yaitu Imam Ahmad dan Imam Abu Dawud dari Sahabat Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَبِيْتُ عَلَى ذِكْرٍ طَاهِرًا فَيَتَعَارُّ مِنَ اللَّيْلِ فَيَسْأَلُ اللهَ خَيْرًا مِنَ الدُّنْياَ وَاْلآخِرَةِ إِلاَّ أَعْطَاهُ إِياَّهُ.

“Tidaklah seorang muslim bermalam dalam keadaan berdzikir kepada Allah dan dalam keadaan suci, lalu ia bangun pada suatu malam dan berdo’a memohon kebaikan dunia atau akhirat kepada Allah melainkan Allah akan mengabulkan permintaannya.”

Dari hadits tersebut dapat difahami bahwa tidur dalam keadaan suci termasuk di antara sebab sebuah do’a dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena ash-Shaadiqul Mashduuq (orang yang benar dan dibenarkan) yang berbicara dengan wahyu, yaitu Nabi kita yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan bahwa orang yang tidur dalam keadaan suci dan berdzikir lalu ia bangun dan memohon kebaikan dunia atau akhirat, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengabulkan permohonannya tersebut.

Semoga Allah Ta’ala berkenan menjadikan kita semua termasuk ke dalam golongan ini. Kabulkanlah wahai Rabb Yang Mahaagung lagi Mahamulia.

BERSETUBUH KETIKA ISTRI SEDANG HAID

BERSETUBUH KETIKA ISTRI SEDANG HAID

Bismillah. Ustadz, menyetubuhi istri ketika haid sudah selesai, tetapi belum bersuci, apakah ada kafarahnya? Bolehkah kafarah tersebut diberikan dengan memutihkan utang seseorang yang senilai dengannya? Syukran wa jazakallahu.

Jawaban: 
Bismillah.
Melakukan hubungan dengan istri yang sedang haid di tempat keluarnya darah haid adalah perbuatan yang haram. Berdasarkan firman Allah,

Arial,Helvetica,sans-serif;">وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ “Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu kotoran. Karena itu, jauhilah wanita di tempat keluarnya darah haid (kemaluan). Janganlah kalian mendekatinya (jima’) sampai dia suci. Apabila dia (istrimu) telah mandi maka datangilah dia daritempat sesuai dengan yang Allah perintahkan ….’” (Q.S. Al-Baqarah:222) 
Barang siapa yang melakukannya maka dia wajib bertobat dan membayar kafarah berupa sedekah dengan satu atau setengah dinar. Hal ini berdasarkan hadis riwayat Ahmad, Abu Daud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah, yang dinilai sahih oleh Al-Albani; dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda bahwa orang yang mendatangi istrinya ketika haid bersedekah satu dinar atau setengahnya. 
Tentang jumlah dinar yang pasti untuk dikeluarkan, apakah satu ataukah setengah, ini dilihat dari masa haid ketika orang ini melakukan hubungan. Ketika seseorang melakukan hubungan pada saat darah masih deras maka dia bersedekah satu dinar. Akan tetapi, jika hubungan itu terjadi ketika darah yang keluar tidak terlalu banyak maka dia bersedekah setengah dinar.
Adapun orang yang melakukan hubungan dengan istri setelah putus darah haid, namun belum mandi, pendapat yang kuat: hukumnya terlarang dan pelakunya berdosa. Pendapat ini berdasarkan firman Allah di atas, yang artinya, “Janganlah kalian mendekatinya (jima’) sampai dia suci. Apabila dia (istrimu) telah mandi maka datangilah dia ….
Allah belum mengizinkan seseorang untuk melakukan hubungan dengan istri yang haid, sampai dia mandi. Karena itu, pelakunya harus bertobat dan membayar kafarah dengan sedekah setengah dinar. 

Catatan: satu dinar senilai 4,25 gram emas.

Wallahu a’lam. 

Selasa, 12 September 2017

Pentingnya membenarkan bacaan Alquran terutama Surat Al-Fatihah

Pentingnya membenarkan bacaan Alquran terutama Surat Al-Fatihah

Surat Al Fatihah merupakan sebuah surat paling agung di dalam al-Qur’an. Hal itu berdasarkan hadits Abu Sa’id bin Al Mu’alla yang dikeluarkan oleh Al Bukhari (hadits nomor 4474). Surat ini telah mencakup ketiga macam tauhid: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat.

Surat al-Fatihah adalah surat Makiyah menurut pendapat yang kuat di antara pendapat ahli ilmu. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala

‎وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنَ الْعَظِيمَ

(yang artinya), “Sungguh Kami telah memberikan kepadamu tujuh yang diulang-ulang dan sebuah al-Qur’an/bacaan yang sangat agung.”

(QS. al-Hijr : 87).

Ayat ini terdapat di dalam surat al-Hijr, sedangkan surat al-Hijr adalah surat Makiyah berdasarkan ijma’ (sebagaimana dinukil oleh al-Qurthubi).

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pun telah menafsirkan bahwa tujuh ayat yang diulang-ulang dan al-Qur’an yang agung itu sebagai surat al-Fatihah (HR. Bukhari).

Demikian pula shalat diwajibkan di Mekah, sedangkan Nabi ‘alaihish sholatu was salam bersabda,

‎لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب

“Tidak sah sholat bagi orang yang tidak fasih/tidak benar membaca Fatihatul Kitab/surat al-Fatihah.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

Nama-nama lain al-Fatihah

al-Fatihah memiliki nama-nama lain, sebagian di antara nama-nama tersebut adalah :

1.Fatihatul kitab

Penamaan ini tidak diperselisihkan di kalangan ulama dikarenakan al-Kitab/al-Qur’an memang dimulai dengannya, dan juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‎لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب

“Tidak sah sholat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab/surat al-Fatihah.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

2.Ummul Kitab

Råsulullåh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

‎ كُلُّ صَلَاةٍ ا يُقْرَأُ فِيهَا بِأُمِّ الْكِتَابِ فَهِيَ خِدَاجٌ فَهِيَ خِدَاجٌ فَهِيَ خِدَاجٌ غَيْرُ تَمَامٍ

“Setiap shalat yang tidak dibacakan didalamnya Ummul kitab (surat al fatihah) maka ia kurang, ia kurang dan tidak sempurna.”

(Shåhiih, HR. Ahmad dan lainnya)

Hal itu juga sebagaimana disebutkan di dalam hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, yang di dalamnya dia mengatakan,

“… Dan tidaklah aku meruqyah melainkan dengan membaca Ummul Kitab.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

3.Ummul Qur’an

Hal itu berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‎أُمُّ الْقُرْآنِ هِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِي وَالْقُرْآنُ الْعَظِيمُ

“Ummul Qur’an itu adalah sab’ul matsani -tujuh ayat yang selalu diulang-ulang- dan al-Qur’an yang agung yang dianugerahkan kepadaku.”

(HR. Bukhari)

4. al-Hamdu atau alhamdulillahi Rabbil ‘alamin,

Råsulullåhh shållallåhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

‎الْحَمْدُ لِلَّهِ أُمُّ الْقُرْآنِ وَأُمُّ الْكِتَابِ وَالسَّبْعُ الْمَثَانِي

“Alhamdulillah (surat Al Fatihah) adalah ummul Qur’an, ummul kitab dan sab’ul matsani.”

(Hasan Shahiih; HR. Abu Dawud, at-Tirmidziy, ad-Darimiy; dll)

Juga berdasarkan ucapan Anas:

“Aku pernah shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, dan Umar. Mereka dahulu selalu membuka bacaan shalat dengan alhamdulillahi Rabbil ‘alamin.”

(HR. Bukhari dan Muslim)

[Namun dalam menafsirkan ungkapan ‘alhamdulillah’ di sini ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah bacaan alhamdulillah, bukan nama bagi surat al-Fatihah, lihat Shahih Muslim cet Darul Kutub Ilmiyah 1427 H, hal. 156. pent]

5. as-Shalah

Hal itu berdasarkan hadits qudsi,

Allah berfirman,

يَقُولُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ

Aku membagi shalat antara Aku dengan hambaKu, dan hambaku mendapatkan sesuatu yang dia minta.

“Aku membagi ‘shalat’ menjadi dua bagian antara Aku dengan hamba-Ku. Dan hamba-Ku akan mendapat apa yang dimintanya….”

(HR. Muslim)

6. As-sab’ul Matsani wal Qur’an al-’Azhim,

Hal itu berdasarkan hadits yang telah disebutkan di atas (HR. Bukhari)

7. Ar-Ruqyah

Karena Abu Sa’id dahulu pernah meruqyah dengannya

8. as-Syafiyah
Sebab orang yang terkena sengatan binatang berbisa bisa sembuh dengan membacanya dengan izin Allah tentunya

9. Dan lain sebagainya, wallahu a’lam.

Pentingnya memperhatikan bacaan al-Fatihah

Penjelasan

Huruf (Alif Lam “Al“) pada Al-Fatihah menunjukkan keumuman,yaitu membacanya dengan sempurna tertib dengan ayat-ayatnya,kata-katanya,huruf-hurufnya,dan harokat-harokatnya.

Seandainya dibaca hanya enam ayat saja maka tidak sah.Seandainya dibaca tujuh ayat akan tetapi tertinggal membaca (Adh-dhollin) saja maka tidak sah.

Seandainya dibaca lengkap semua ayat tidak tertinggal satu kalimat pun akan tetapi tertinggal satu huruf semisal membaca “Shirotholladzina an’am ‘alaihim dimana tertinggal huruf “ta” maka tidaklah sah.

Seandainya tertinggal harokat juga tidak sah.

Juga jika dialek yang memungkinkan menghilangkan makna,kecuali jika tidak maka tetap sah.

Akan tetapi tidak boleh bersandar pada dialek ucapan yangsalah.Misal dari yang menghilangkan (merubah) makna ucapan “Ihdina” dibaca “Ahdina” dengan memfathahkan hamzah.

Karena maknanya bisa berbeda.Yaitu jika dibaca “Ahdina” artinya “kami memberikan kepadanya hadiah”,tetapi jika dibacanya benar dengan hamzah washol maka bermakna “tunjukkan kepada kami atasnya dan memberikan taufiq kepada kami dan dijelaskan kepada kami”

Seandainya orang membaca ayat ketujuh

“Shirotholladziina in’amta ‘alaihim”

Maka tidak sah karena maknanya berbeda yaitu al-in’am (nikmat) itu asalnya dari pembaca bukan dari Allah.

Contoh dari yang tidak menghilangkan makna seperti ucapan Alhamdi lillah dengan menggati harokat dhommah.

Jika mengucapkan dengan Alhamdulillahi robil ‘alamin dengan tidak mentasydid huruf “ba (pada kata yang seharusnya dibaca “Robbil ‘alamin) maka ini tidak sah disebabkan telah menghilagkan satu huruf,karena huruf tasydid merupakan ungkapan dari dua huruf.

Oleh karenanya harus dan mesti membacanya secara sempurna dengan ayat-ayatnya,kalimat-kalimatnya,huruf-hurufnya,harokat-harokatnya.Maka jika meninggalkan satu ayat saja atau huruf atau harokat dimana merubah makna maka tidak sah.

Dalam paragraf lain Syaikh meringkas :

Ucapannya “yaqro-ul fatihah” bermakna ucapan ini bahwasannya harus dibaca dengan keseluruhan huruf-hurufnya,harokat-harokatnya dan kalimat-kalimatnya dan tertib urutan ayatnya.

Inilah lima perkara :

– Ayat,
– kalimat,
– huruf ,
– harokat
– dan tertib urutan.

Dan ini diambil dari ucapan penulis “Al-Fatihah” karena Alif Lam (Al) disini untuk mengingatkan bahwa maksudnya Al-Fatihah yang dikenal dimana terdiri dari tujuh ayat beserta kalimat,huruf,harokat dengan tertib. Harus bersambungan yakni tidak memotongnya dengan jeda yang panjang,karena ini adalah ibadah yang satu maka disyaratkan bersambungan sebagaimana membasuh anggota-anggota wudhu.

Senin, 11 September 2017

Rukun sholat Berjama'ah

PERTANYAAN :

Assalamu'alaikum wr wb. Mohon ijin bertanya : syarat-syaratnya sholat berjama'ah apa saja ya ? Mohon pencerahannya.!!
NB : kalau bisa jawabannya yang singkat, padat dan jelas soalnya buat refrensi materi pelajaran fiqh anak-anak TPA.
[Hamba Pendosa].

JAWABAN :

Wa'alaikum salam..

Syarat-syarat sholat jamaah (berjama'ah) :

1. Seorang imam dipilih yang bagus bacaan qur’annya artinya benar Ilmu Tajwidnya, orang yg fasik dlm membaca Alquran tdk boleh jadi imam, karena Imam tdk boleh fasik, fasik dzhohir atau bathin. 

2. Sebagaimana syarat sah sholat, meliputi :

A. Sudah masuk waktu sholat, seperti contoh sholat dzuhur sudah masuk waktu zawal.

B. Suci dari hadats kecil & besar.

C. Baik badan, pakaian ataupun tempat suci dari Najis.

D. Menutup aurot, bagi laki-laki antara pusar dan lutut sedangkan bagi wanita merdeka seluruh badan kec wajah & telapak tangan.

E. Menghadap Qiblat.

3. dari 2 musholli (orang Terdirisholat) atau lebih, yang salah satunya jadi imam / pemimpin shalat.

4. Seorang lelaki tidak boleh makmum pada wanita begitu juga kepada anak kecil yang belum tamyiz. Dalam madzhab Syafi'i : Seorang laki-laki boleh bermakmum kepada anak laki-laki kecil asal sudah tamyiz. Dalam kitab I'anatuththalibin 2/47 :

تصح أيضا قدوة الكامل بالصبي لأن عمرو بن سلمة بكسر اللام كان يؤم قومه على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو ابن ست أو سبع سنين كما رواه البخاري

Dan juga sah makmumnya laki-laki dewasa dengan anak laki-laki, karena 'Amr bin Salimah mengimami kaumnya pada masa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam pada usia 6 atau 7 tahun, sebagaimana hadits riwayat Bukhari. Wallaahu A'lam.

(وَ) تَصِحُّ الْقُدْوَةُ (لِلْكَامِلِ) وَهُوَ الْبَالِغُ الْحُرُّ (بِالصَّبِيِّ) الْمُمَيِّزِ لِلِاعْتِدَادِ بِصَلَاتِهِ، «وَلِأَنَّ عَمْرَو بْنَ سَلِمَةَ بِكَسْرِ اللَّامِ كَانَ يَؤُمُّ قَوْمَهُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَهُوَ ابْنُ سِتٍّ أَوْ سَبْعٍ» ، رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.وَلَكِنَّ الْبَالِغَ أَوْلَى مِنْ الصَّبِيِّ وَإِنْ كَانَ الصَّبِيُّ أَقْرَأَ أَوْ أَفْقَهَ لِلْإِجْمَاعِ عَلَى صِحَّةِ الِاقْتِدَاءِ بِهِ بِخِلَافِ الصَّبِيِّ، وَقَدْ نَصَّ فِي الْبُوَيْطِيِّ عَلَى كَرَاهَةِ الِاقْتِدَاءِ بِالصَّبِيِّ

Sah qudwah lelaki merdeka dan baligh kepada anak kecil yang sudah tamyiz, tapi dinash dalam kitab buaithi bahwa hukumnya makruh. [ Mughnil muhtaj ].

5.  Seorang Makmum wajib niat (iqtida’) mengikuti Imam ketika Takbirotulihrom.

6.  Antara Makmum dan Imam tidak ada pembatas yang menghalangi.

SYARAT ORANG YANG DIMAKMUMI :

شروط من يقتدى به

1 - Imam bukan orang amiy/orang yang baca’an rukun ucapannya rusak,  atau fasakh karena Imam bukan hanya bertanggung jawab terhadap bacaan terhadap makmumnya lebih dari itu ia harus bertanggung jawab kepada Alloh SWT. Saran saya bagi yg belum fasihat jangan kepingin jadi imam dulu, karena tanggung jawabnya sangat besar.

أن لا يكون أميا، والمقتدي قارئ

2 - Makmum tidak mengetahui kebatalan sholat imam atau yaqin imam tidak batal sholatnya.

أن لا يعلم المقتدي بطلان صلاة إمامه أو يعتقد ذلك

3 - Imam bukan wanita

أن لا يكون امرأة، والمقتدي رجل

TATA CARA BERMAKMUM :

كيفية الاقتداء

1 - Makmum tidak boleh mendahalui imam di tempatnya

أن لا يتقدم المأموم على الإمام في المكان

2 - Mengikuti imamam dalam gerakan dan rukun-rukun fi’li yang lainnya.

أن يتابعه في انتقالاته وسائر أركان الصلاة الفعلية

3 - Mengetahui pergerakan imam

العلم بانتقالات الإمام:

4 - Tidak ada pemisah yang jauh antara imam dan makmum.

أن لا يكون بين الإمام والمأموم فاصل مكاني كبير

5 - Makmum berniat jama’ahatau makmum ( sa’at takbirotul ikhrom ).

أن ينوي المقتدي الجماعة أو الاقتداء

Demikian diterangkan dalam kitab-kitab 'Ubudiyah diantaranya
I'anatuththalibin, kifayatul Akhyar, irsyadul' ibad, maroqilul Ubudiyah dllnya kitab-kitab Aswaja.

Wallohu a'lam.

Jumat, 08 September 2017

Keterangan Al-Qur'an soal Siapa Saja yang Tak Boleh Dinikahi


Keterangan Al-Qur'an soal Siapa Saja yang Tak Boleh Dinikahi

Al-Qur’an tidak menentukan secara rinci tentang siapa yang dikawini, tetapi hal tersebut diserahkan kepada selera masing-masing:

“Maka kawinilah siapa yang kamu senangi dari wanita-wanita.” (QS An-Nisa [4]: 3)

Meskipun demikian, Nabi Muhammad SAW menyatakan, biasanya wanita dinikahi karena hartanya, atau keturunannya, atau kecantikannya, atau karena agamanya. Jatuhkan pilihanmu atas yang beragama, (karena kalau tidak) engkau akan sengsara (Diriwayatkan melalui Abu Hurairah).

Di tempat lain, Al-Qur’an memberikan petunjuk, bahwa Laki-laki yang berzina tidak (pantas) mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak pantas dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik (QS Al-Nur [24): 3).

“Pezina laki-laki tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan, atau dengan perempuan musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali pezina laki-laki atau dengan laki-laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang mukmin.” (QS An-Nur: 3)

Walhasil, seperti pesan surat Al-Nur (24): 26, wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji. Dan Wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).

“Perempuan-perempuan yang keji untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji untuk perempuan yang keji (pula), sedangkan perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik pula, dan laki-laki yang baik untuk perempuan yang baik (pula). Mereka itu bersih dari apa yang dituduhkan orang. Mereka memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (surga).” (QS An-Nur: 26)

Al-Qur’an merinci siapa saja yang tidak boleh dikawini  seorang laki-laki.

“Diharamkan kepada kamu mengawini ibu-ibu kamu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusukan kamu, saudara perempuan sepesusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan juga bagi kamu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan diharamkan juga mengawini wanita-wanita yang bersuami.” (QS Al-Nisa' [4]: 23-24)

Kalaulah larangan mengawini istri orang lain merupakan sesuatu yang dapat dimengerti, maka mengapa selain itu --yang disebut di atas-- juga diharamkan? Di sini berbagai jawaban dapat dikemukakan.

Ada yang menegaskan bahwa perkawinan antara keluarga dekat, dapat melahirkan anak cucu yang lemah jasmani dan rohani, ada juga yang meninjau dari segi keharusan menjaga hubungan kekerabatan agar tidak menimbulkan perselisihan atau perceraian sebagaimana yang dapat terjadi antar suami istri. 

Ada lagi yang memandang bahwa sebagian yang disebut di atas, berkedudukan semacam anak, saudara, dan ibu kandung, yang kesemuanya harus dilindungi dari rasa birahi. Ada lagi yang memahami larangan perkawinan antara kerabat sebagai upaya Al-Qur'an memperluas hubungan antarkeluarga lain dalam rangka mengukuhkan satu masyarakat.

Disunting dari M. Quraish Shihab dalam buku karyanya “Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat”

Mengucapkan “Sayyidina”


Mengucapkan “Sayyidina”

Kata-kata “sayyidina” atau ”tuan” atau “yang mulia” seringkali digunakan oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Hal itu termasuk amalan yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Syeikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri menyatakan:

الأوْلَى ذِكْرُالسَّيِّادَةِ لِأنَّ اْلأَفْضَلَ سُلُوْكُ اْلأَدَ بِ 

“Yang lebih utama adalah mengucapkan sayyidina (sebelum nama Nabi SAW), karena hal yang lebih utama bersopan santun (kepada Beliau).” (Hasyisyah al-Bajuri, juz I, hal 156).

Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:

عن أبي هريرةقا ل , قا ل ر سو ل الله صلي الله عليه وسلم أنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَأوَّلُ مَنْ يُنْسَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأوَّلُ شَافعٍ وأول مُشَافِعٍ

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat. Orang pertama yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafaa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk membrikan syafa’at.” (Shahih Muslim, 4223).

Hadits ini menyatakan bahwa nabi SAW menjadi sayyid di akhirat. Namun bukan berarti Nabi Muhammad SAW menjadi sayyid hanya pada hari kiamat saja. Bahkan beliau SAW menjadi sayyid manusia didunia dan akhirat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani:

“Kata sayyidina ini tidak hanya tertentu untuk Nabi Muhammad SAW di hari kiamat saja, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang dari beberapa riwayat hadits 'saya adalah sayyidnya anak cucu adam di hari kiamat.' Tapi Nabi SAW menjadi sayyid keturunan ‘Adam di dunia dan akhirat”. (dalam kitabnya Manhaj as-Salafi fi Fahmin Nushush bainan Nazhariyyah wat Tathbiq, 169)

Ini sebagai indikasi bahwa Nabi SAW membolehkan memanggil beliau dengan sayyidina. Karena memang kenyataannya begitu. Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan kita umat manusia yang harus kita hormati sepanjang masa.

Lalu bagaimana dengan “hadits” yang menjelaskan larangan mengucapkan sayyidina di dalam shalat?

لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ

“Janganlah kalian mengucapakan sayyidina kepadaku di dalam shalat”

Ungkapan ini memang diklaim oleh sebagian golongan sebagai hadits Nabi SAW. Sehingga mereka mengatakan bahwa menambah kata sayyidina di depan nama Nabi Muhammad SAW adalah bid’ah dhalalah, bid’ah yang tidak baik.

Akan tetapi ungkapan ini masih diragukan kebenarannya. Sebab secara gramatika bahasa Arab, susunan kata-katanya ada yang tidak singkron. Dalam bahasa Arab tidak dikatakan   سَادَ- يَسِيْدُ , akan tetapi سَادَ -يَسُوْدُ  , Sehingga tidak bisa dikatakan  لَاتُسَيِّدُوْنِي 

Oleh karena itu, jika ungkapan itu disebut hadits, maka tergolong hadits maudhu’. Yakni hadits palsu, bukan sabda Nabi, karena tidak mungkin Nabi SAW keliru dalam menyusun kata-kata Arab. Konsekuensinya, hadits itu tidak bisa dijadikan dalil untuk melarang mengucapkan sayyidina dalam shalat?

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membaca sayyidina ketika membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW boleh-boleh saja, bahkan dianjurkan. Demikian pula ketika membaca tasyahud di dalam shalat.

Hukum Baca Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas 7 Kali Setelah Jumatan


Hukum Baca Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas 7 Kali Setelah Jumatan


Assalamu’alaikum wr. wb
Ustadz yg terhormat,.. Langsung saja, saya mau menanyakan tentang hukum membaca surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas setelah shalat Jumat sampai tujuh kali dan apa fadhilahnya? Mohon penjelasannya sesegera mungkin. Terima kasih. Wassalamu ’alaikum wr. wb.

Jawaban
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Hari Jumat merupakan sayyidul ayyam (penghulu hari), hari di mana kaum muslimin yang berkumpul bersama di masjid untuk menjalankan shalat Jumat. Karena itu hari Jumat merupakan salah satu hari raya umat Islam. Pada hari itu kita dianjurkan untuk memperbanyak pelbagai kebajikan seperti sedekah dan lain-lain.

Sedangkan mengenai hukum membaca surat Al-Fatihah, Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Nas setelah imam salam sebanyak tujuh kali menurut para ulama dari kalangan madzhab Syafi’i adalah sunah.

Kesunahan ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan al-Hafizh al-Mundziri dari Anas bin Malik RA. Hal ini sebagaimana keterangan yang terdapat dalam kitab Tuhfatul Habib karya Sulaiman al-Bujairimi.

وَرَوَى الحَافِظُ اَلْمُنْذِرِيُّ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ قَالَ :مَنْ قَرَأَ إذا سَلَّمَ الإمامُ يَوْمَ الجُمُعَةِ قَبْلَ أنّ يُثْنِيَ رِجْلَهُ فَاتِحَةَ الكِتَابِ وقُلْ هُوَ الله أحَدٌ وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ سَبْعاً سبعاً غَفَرَ الله له ما تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وما تَأخَّرَ وأُعْطِيَ مِنَ الأجْرِ بِعَدَدِ كُلّ منْ آمَنَ بالله ورَسُولِه. 

“Al-Hafizh al-Mundziri meriwayatkan dari Anas RA bahwa Nabi SAW bersabda, ‘Barang siapa yang membaca surat Al-Fatihah, Al-Ikhlash, Al-Falaq dan surat An-Nas (al-mu`awwidzatain) masing-masing sebanyak tujuh kali ketika imam selesai membaca salam shalat Jumat, sebelum melipat kakinya, Allah akan mengampuni dosanya yang lalu dan sekarang, dan diberi pahala sebanyak orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,” (Lihat Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfatul Habib ‘ala Syarhil Khathib, Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah, cet ke-1, 1417 H/1996 M, juz, II, h. 422).

Hadits yang dikemukakan di atas dengan sangat gamblang menunjukkan bahwa membaca surat Al-Fatihah, Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Nas masing-masing tujuh kali setelah shalat Jumat memiliki keutamaan yang sangat luar biasa, yaitu bisa menjadi sebab turunnya ampunan Allah SWT. Bahkan selain ampunan, Allah juga memberikan pahala besar bagi orang yang melakukannya. Dari sini lah kemudian kesunahan atau ajuran membaca surat-surat tersebut setelah shalat Jumat dapat dimengerti.

Lebih lanjut Sulaiman al-Bujairimi juga mengutip hadits lain yang diriwayatkan Ibnus Sunni dari hadits riwayat Aisyah RA.

وَرَوَى ابْنُ السُّنِّيِّ مِنْ حَدِيثِ عاَئِشَةَ أَنَّ النَّبِيِّ قَالَ : ( مَنْ قَرَأ بَعْدَ صَلاةِ الجمعة ) قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ (الاخلاص) وقُلْ أَعُوذُ بربَّ الفَلَقِ (الفلق) وقَلْ أَعُوذُ بَربَّ النَّاسِ (الناس) سَبْعَ مَرَّاتٍ أعَاذِهُ اللهُ بِهَا مِنَ السّوُّءِ إِلَى الْجُمُعَةِ الأُخْرَى

“Ibnus Sunni meriwayatkan dari hadits riwayat Aisyah ra bahwa Nabi saw bersabda: ‘Barang siapa yang membaca surat Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Nas masing-masing tujuh kali, maka Allah akan melindunginya dari kejelekan sampai hari Jumat yang lain,” (Lihat Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib ‘ala Syarh al-Khathib, juz, II, h. 422) 

Lebih jauh, Sulaiman al-Bujairimi mengemukakan pendapat Abu Thalib al-Makki—seorang sufi besar, penulis kitab Qutul Qulub fi Mu’amalah al-Mahbub—yang menganjuran membaca ‘Ya ghaniyyu ya hamid, ya mubdi’u ya mu’id, ya rahimu ya wadud, aghnini bi halalika ‘an haramika wa bi tha’athika ‘an ma’shiyatika wa bi fadhlika ‘amman siwaka’, setelah shalat Jumat sebanyak empat kali.

قَالَ أَبُو طَالِبٍ اَلْمَكِّيُّ : وَيُسْتَحَبُّ لَهُ بَعْدَ الْجُمُعَةِ أَنْ يَقُولَ يَا غَنِيُّ يَا حَمِيدُ يَا مُبْدِىءُ يَا مُعِيدُ يَا رَحِيمُ يَا وَدُودُ ، أَغْنِنِي بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَبِطَاعَتِكَ عَنْ مَعْصِيَتِكَ وَبِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ ، أَرْبَعَ مَرَّاتٍ

“Abu Thalib al-Makki berkata, ‘Dan dianjurkan bagi orang yang telah selesai melaksanakan shalat Jumat untuk membaca ‘Ya ghaniyyu ya hamid, ya mubdi`u ya mu’id, ya rahimu ya wadudu, aghnini bi halalika ‘an haramika wa bi tha’athika ‘an ma’shiyatika wa bi fadhlika ‘amman siwaka’, sebanyak empat kali,” (Lihat Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfatul Habib ‘ala Syarhil Khathib, juz, II, h. 422).

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Perbanyak lah amal kebajikan dan dzikir pada hari Jumat karena memiliki keutamaan yang agung dan bermanfaat kelak di akhirat. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq.

Wassalamu’alaikum wr. wb

Kamis, 07 September 2017

Tiap Malam Arwah Kembali Ke Rumah


Tiap Malam Arwah Kembali Ke Rumah


Di daerah pesisir pantai utara pulau Jawa terdapat puji-pujian yang sangat mengharuka. Apalagi jika dilagukan oleh suara orang tua, seolah mereka menghayati benar makna kandungannya. Biasanya pujian itu dilantunkan setiap malam jum’at sebelum jama’ah shalat maghrib dan isya. Atau seringkali dilagukan ibu-ibu menjelang yasinan dan pengajian.<>

Dalam bahasa Indonesia kurang lebih inti makna pujian itu adalah demikian ‘ingatlah wahai saudara seiman, anak, famili dan handai taulan. Aku datang menengok rumahku, adakah engkau sudah kirim do’a untukku. Aku di sana (di alam kubur) hidup sendirian. Sunyi sepi, hanya kiriman do’a dan bacaan qur’an darimu yang menjadi harapan’.

Pujian di atas mengandaikan suara orang tua, sanak-saudara yang lebih dahulu meninggalkan kita. Mereka setiap malam jum’at mendatangi kediaman keluarga yang masih hidup meminta belas kasihan agar dikirim do’a dan bacaan ayat-ayat al-Qur’an. Karena hanya itulah bekal tambahan untuk ruh yang telah berada di alam kubur.

Mengenai subtansi pujian tersebut ternyata memiliki dalil yang kuat dalam kitab I’anatuthalibin Juz II.  

وورد أيضا أن ارواح المؤمنين تأتى فى كل ليلة الى سماء الدنيا وتقف بحذاء بيوتها وينادى كل واحد منها بصوت خزين يااهل واقاربى وولدى يامن سكنوابيوتنا ولبسوا ثيابنا واقتسموا اموالنا هل منكم من أحد يذكرنا ويتفكرنا فى غربتنا ونحن فى سجن طويل وحصن شديد فارحمونا يرحمكم الله. ولاتبخلوا علينا قبل أن تصيروا مثلنا ياعباد الله ان الفضل الذى فى ايديكم كان فى ايدينا وكنا لاتنفق منه فى سبيل الله وحسابه ووباله علينا والمنفعة لغيرنا فان لم تنصرف اى الارواح بشيئ فتنصرف بالحسرة والحرمان وورد أيضا عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال مالميت فى قبره إلاكالغريق المغوث ينتظر دعوة تلحقه من ابنه او اخيه اوصديق له فاذا لحقته كانت أحب اليه من الدنيا ومافيها.

Keterangan dari hadits bahwa arwah orang-orang mukmin datang pada tiap malam ke langit dunia, dan berhenti di jurusan rumah-rumahnya dan berseru-seru dengan suara yang mengharukan seribu kali “wahai keluargaku, sanak-saudara, dan anak-anakku, wahai kau yang mendiami rumah-rumahku, memakai pakaianku dan membagi-bagi hartaku. Apakah ada diantara kalian yang mengingat dan memikirkanku dalam pengasinganku ini dan aku berada dalam tahanan yang cukup lama dalam benteng yang kuat. Kasihanilah kami, maka Allah akan mengasihanimu. Janganlah kamu semua bakhil kepadaku sebelum kamu (berposisi) sepertiku.Wahai hamba-hamba Allah sesungguhnya apa yang kau miliki sekarang dulu juga (pernah) ku miliki, hanya saja dulu aku tidak membelanjakannya di jalan Allah, dimana pemeriksaannya dan bahayanya menimpaku sedang kegunaannya bermanfaat kepada  orang lain”.  Jika kamu (sanak, saudara dll) tidak memperhatikannya (arwah), maka mereka (arwah-arwah itu) tidak mendapatkan oleh-oleh sesuatupun dan mereka hanya akan mendapatkan penyesalan dan kerugian. Ada pula hadits Rasulullah saw.beliau bersabda ”mayit itu di dalam kuburnya seperti orang hanyut yang meminta-minta tolong, mereka menungu-nunggu do’a dari anaknya, saudaranya atau teman-temannya. Makajika  do’a itu sampai kepadanya nilainya jauh kebih baik dibandingkan dunia seisinya.

Demikianlah keterangan tentang kondisi arwah yang selalu menjenguk rumah dan keluarganya di setiap malam hari.

Rabu, 06 September 2017

Tiga Golongan Sholatnya Tidak Diterima

Tiga Golongan Sholatnya Tidak Diterima

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيْرًا بَصِيْرًا، تَبَارَكَ الَّذِيْ جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوْجًا وَجَعَلَ فِيْهَا سِرَاجًا وَقَمَرًا مُنِيْرًا. أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وأََشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وُرَسُولُهُ الَّذِيْ بَعَثَهُ بِالْحَقِّ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا، وَدَاعِيَا إِلَى الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا مُنِيْرًا. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا. أَمَّا بَعْدُ

Hadits yang kita pelajari diriwayatkan dari Hadits Riwayat Ibnu Majah dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Misykat Al-Mashobiih

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallaahu‘anhumaa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

ثَلَاثَةٌ لَا تَرْتَفِعُ صَلَاتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ‪

“Ada tiga kelompok yg shalatnya tidak terangkat walau hanya sejengkal di atas kepalanya (tidak diterima oleh Allah).

•Orang yg mengimami sebuah kaum tetapi kaum itu membencinya

•Istri yg tidur sementara suaminya sedang marah kepadanya

•Dua saudara yg saling mendiamkan (memutuskan hubungan) (HR Ibnu Majah I/311 no 971 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Misykat Al-Mashobiih no 1128)

Sedikit Riwayat Tentang Ibnu Abbas RA

Abdullah bin Abbas (Bahasa Arab عبد الله بن عباس) adalah seorang Sahabat Nabi, dan merupakan anak dari Abbas bin Abdul-Muththalib, paman dari Rasulullah Muhammad SAW. Dikenal juga dengan nama lain yaitu Ibnu Abbas (619 - Thaif, 687/68H). Kedua-duanya adalah sahabat nabi (bapak dan ayahnya).

Ibnu Abbas merupakan salah satu sahabat dari tujuh sahabat yang berpengetahuan luas, dan banyak hadits sahih yang diriwayatkan melalui Ibnu Abbas, serta dia juga menurunkan seluruh Khalifah dari Bani Abbasiyah.

Dia juga pernah didoakan rasul

اللهم فقهه فى الذين و علمه في التأويل

(Allaahumma faqqihhu fid-diin- wa 'allimhu fit-ta'wiil)

"Ya Allah, berikan dia keahlian dalam agama-Mu, dan ajarilah ia tafsir kitab-Mu."( Hadis Riwayat Ibnu Hibban,  Ath-Thabrani)

Sehingga karena keilmuannya dia disebut Tarjum Al-qur`an (orang yang paham makna al qur'an) dan Al-Bahr (lautan) karena keluasan ilmu yang dimilikinya. Sehingga banyak kitab tafsir yang bersanad ke ibnu abbas.

Makna Hadits:

ثَلَاثَةٌ لَا تَرْتَفِعُ صَلَاتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا

( tiga kelompok yg shalatnya tidak terangkat walau hanya sejengkal di atas kepalanya )

Dari penggalan hadits diatas ada beberapa pendapat ulama :

1)       Amalan ibadah kita menjadi naungan perlindungan, atap, payung ketika di padang mahsyar seperti hadits

 سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ

“Tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya" (HR Bukhari Muslim)

Ketika hari kiamat maka tidak ada tempat bernaung seperti dalam surat al infithar 1-6

(1). إِذَا السَّمَاءُ انْفَطَرَتْ

Apabila langit terbelah,

(2). وَإِذَا الْكَوَاكِبُ انْتَثَرَتْ

Dan apabila bintang-bintang jatuh berserakan,

(3). وَإِذَا الْبِحَارُ فُجِّرَتْ

Dan apabila lautan dijadikan meluap,

(4). وَإِذَا الْقُبُورُ بُعْثِرَتْ

Dan apabila kuburan-kuburan dibongkar,

(5). عَلِمَتْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ وَأَخَّرَتْ

Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakan dan yang dilalaikannya.

Jadi berdasar hadit diatas maka amalan shalat tidak akan menjadi naungannya tetapi mungkin ada naungan dari amalan lain seperti sedekah, imam yang adil, pemuda yg suka ibadah pada allah.

 ظِلُّ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَدَقَتُهُ

“Naungan orang beriman di hari Kiamat adalah sedekahnya.” (HR Ahmad)

2)       Semua amalan ibadah kita diangkat dibawa oleh malaikat setiap hari senin dan kamis, sehingga ada sunnah puasa senin kamis.

تُعْرَضُ الأَعْمَالُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى وَأَنَا صَائِمٌ

“Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi)

Akan tetapi bila kita masuk tiga kelompok dalam hadits tadi maka shalat kita tidak diangkat oleh malaikat bahkan tidak diangkat sama sekali cuma rutinitas saja dan tertolak/mardud, na'udzubillah.

Tiga golongan/kelompok tersebut adalah:

A. Imam yang Dibenci

 رَجُلٌ أَمَّ قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ

(Orang yg mengimami sebuah kaum tetapi kaum itu membencinya)

Imam disini bisa bermakna dua:

a. Imamatun Sughro (Imam Kecil) adalah imam sholat. Apabila dia maju dan makmum tidak suka maka imam tersebut sholatnya tidak diterima. Tentu ketidaksukaannya beralasan syar'i bukan alasan karena panjang ayatnya atau ruku'nya, tetapi karena dia fasiq, jahil dan pelaku bid'ah. Fasik adalah orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya.  Al-Jahl yaitu lawan dari ilm atau tidak mempunyai ilmu tentang sesuatu yang seharusnya ia ketahui tentang bacaan qur'an, doa shalat dan fikih shalat. Sedangkan pelaku bid'ah adalah sering melakukan amalan yg bukan contoh dari rasul saw baik dalam qouli (ucapan), fi'li (perbuatan) ataupun taqrir (nabi saw mendiamkan perbuatan sahabat)

b. Imamatun Kubra (Pemimpin Umat) baik sulthan, khilafah, gubernur, presiden dst. Apabila jadi pemimpin yang tidak dicintai rakyatnya karena tidak amanah dan ketidakadilannya maka sholatnya tidak diterima bahkan bila dia berkhianat maka dia tidak mencium bau surga. Ketidaksukaan tentu juga karena alasannya syar'i seperti diatas (fasiq, jahl, pelaku bid'ah)

B. Istri Tidur Membuat Marah Suaminya

 وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ

Istri yg tidur sementara suaminya sedang marah, murka, tidak suka kepadanya dan bila mati dalam keadaan tersebut maka sholatnya tidak diterima.

Ulamapun (Imam al Muzhir) berpendapat itupun juga sebaliknya bisa terjadi pada suami gara-gara tidak melakukan kewajibannya sebagai suami pada istri (makan, pakaian, tempat tinggal, perhatian, dan pendidikan).

Marah yang tidak diterima sholatnya tentu dengan alasan yang dibenarkan secara agama. yaitu kewajiban suami dan istri tidak dilakukan dengan baik. Maka menjadi kewajiban kita sebagai orang tua untuk mengajari ilmu berumah tangga tentang kewajiban menjadi suami dan istri dalam Islam.

C. Permusuhan Saudara.

وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ‪

Dua saudara yg saling mendiamkan (memutuskan hubungan)/berkonflik/bertikai. Baik saudara kandung atau saudara semuslim karena semua orang mukmin adalah ikhwah

لَا يَحِلُّ لمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ. (مُتَّفَقٌ عليهِ)

“Tidak halal bagi seorang muslim untuk menghajr (memboikot) saudaranya lebih dari 3 malam (yaitu 3 hari). Mereka berdua bertemu namun yang satu berpaling dan yang lainnya juga berpaling. Dan yang terbaik diantara mereka berdua yaitu yang memulai dengan memberi salam.”

(Muttafaqun ‘alaih, diriwayatkan oleh Imām Bukhāri dan Imām Muslim)

Maka walaupun sholatnya banyak sekali tetapi semasa hidup mereka bertikai maka sholatnya tidak diterima tidak terangkat. Bahkan tidak memutus persaudaraan tidak diterima amalannya dan tidak masuk surga.

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ

“Tidaklah masuk surga orang yang suka memutus, ( memutus tali silaturahmi)”. [Mutafaqun ‘alaihi]

أَنَّ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ: تُفْتَحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يَوْمُ الاثْنَيْنِ وَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لا يُشْرِكُ بِالله شَيْئًا إِلا رَجُلا كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ ، فَيُقَالُ : أَنْظِرُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا

Bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

“Telah dibukakan pintu-pintu surga setiap hari Senin dan Kamis. Maka seluruh hamba yang tidak berbuat syirik kepada Allāh sama sekali akan diberi ampunan oleh Allāh, kecuali seorang yang dia punya permusuhan antara dia dengan saudaranya.”

Maka dikatakan kepada para malaikat:

“Tangguhkanlah (dari ampunan Allāh) 2 orang ini sampai mereka berdua damai.”

(HR Muslim no. 2565)

وعن أبي خراش السلمي رضي الله عنه أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : مَنْ هَجَرَ أَخَاهُ سَنَةً فَهُوَ كَسَفْكِ دَمِهِ

Dari Abū Khirāsh As-Sulamiy radhiyallāhu ‘anhu: Sesungguhnya dia mendengar dari Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang memboikot/menghajr saudaranya selama setahun maka seakan-akan dia telah menumpahkan darah saudaranya.”

(HR Ahmad 17935, Abū Dāwūd 4915)

Yang seharusnya 2 saudara (itu):

✓Saling mencintai

✓Saling menyayangi

✓Saling menashihati

✓Saling menginginkan kebaikan kepada yang lain

✓Tidak boleh hasad diantara mereka

✓Saling mengunjungi.

Mohon maaf bila ada kesalahan, yang benar datangnya dari Allah SWT.

والله تعالى أعلم بالصواب

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ