Kamis, 14 Februari 2019

Cobaan Para Wali Allah, Memiliki Isteri Galak


Cobaan Para Wali Allah, Memiliki Isteri Galak

Tidak ada rumah tangga yang tidak pernah didera prahara. Semuanya pasti mengalami masalah-masalah entah kecil atau besar, atau juga masalah kecil yang dibuat besar. Rumah tangga para ulama pun demikian. Jangan dikira semua rumah tangga para ulama ataupun kiai pasti berjalan mulus tanpa halangan suatu apapun. Bahkan, rumah tangga Nabi saw. pun pernah diterpa prahara.

Banyak sekali cerita maupun kisah para ulama dan orang-orang saleh yang memiliki istri berperangai kurang baik—semoga Allah memberi kita pasangan yang bisa menenteramkan hati—yang bisa ditemui. Namun demikian, dalam menghadapi cobaan tersebut, mereka selalu mengedepankan kebijaksanaan. Meskipun emosi mereka setiap kali diuji baik ketika dalam keadaan berduaan maupun di hadapan khalayak.

Mereka tidak pernah naik darah dengan secara spontan melemparkan kata talak. Bahkan yang mereka tunjukkan adalah kebijaksanaan yang merupakan buah dari kedalaman ilmu. Mereka yakin bahwa semua itu adalah kesempatan untuk meraih ziyadah pahala dan ganjaran, pun untuk melebur segala kesalahan dan dosa. Bahkan, para ulama memandang bahwa cobaan semacam itu adalah salah satu tanda kewalian. Al-Ghazali dalam Ihya` Ulum al-Din berkata:

الصبر على لسان النساء مما يمتحن به الأولياء

“Bersabar dari kata-kata (menyakitkan) yang keluar dari mulut para istri adalah salah satu cobaan para wali.” (Ihya ‘Ulumu al-Din, 2:49)

Senada dengan Al-Ghazali, Syaikh Abd al-Wahhab Al-Sya’rani berkata dalam Lawaqih al-Anwar,

“Tuan guru saya ‘Ali Al-Khawwas pernah berkata: sedikit sekali ada auliya` kecuali ia memiliki istri yang senantiasa menyakiti dengan lisan maupun perbuatannya.” (Lawaqih al-Anwar: 261).

Bersabar dan mengalah kepada istri bukanlah hal yang merendahkan. Itu bukanlah tanda bahwa ia adalah lemah ataupun tanda ketidakjantanan, seperti yang disangka kebanyakan manusia. Namun hal tersebut merupakan akhlak orang-orang yang berilmu dan tanda kedalaman agama yang dimiliki. Kisah di bawah ini mungkin bisa menjadi percontohan.

Tuan Guru Besar Syaikh Muhammad Al-Rifa’I (lahir 500 H). Beliau adalah seorang ulama besar dan dikenal sebagai seorang wali yang namanya masyhur di segala penjuru. Seorang mursyid dan pendiri Tarekat Al-Rifa’iyyah yang sudah tidak asing. Biografi beliau banyak ditemui dalam banyak karangan ulama, seperti Al-Thabaqat Al-Kubra (juz 1 hlm 250) karangan Al-Sya’rani, Al-Kawakib (juz 2 hlm 29) karangan Al-Manawi, Syadzarat al-Dzahab (juz 6 hlm 327), dan seterusnya.

Suatu kali muridnya bermimpi bahwa sang Syaikh duduk di singgasana para shiddiqin, namun sang murid memendam dan tidak menceritakan mimpinya itu. Kebetulan Syaikh Al-Rifa’i itu memiliki istri yang kasar kata-katanya, sering berbuat jelek juga menyakiti beliau. Pada satu kesempatan, sang murid sowan ke rumah Syaikh dan melihat istri Syaikh sedang memegang kayu pengorek tungku masak.  Lalu istri tersebut memukul punggung Syaikh sampai baju beliau menjadi hitam terkena bekas arang dari tungku masak. Namun Syaikh hanya terdiam.

Tidak terima melihat gurunya diperlakukan semena-mena, ia memprovokasi teman-temannya. Ia berkata, “Wahai teman-teman, guru kita mendapat perlakuan yang demikian-demikian dari seorang wanita. Apa kalian akan diam saja?”

“Mahar dari isteri guru kita itu 500 dinar, sedangkan beliau itu fakir,” timpal yang lainnya.

Lalu ia pun mengumpulkan uang sebanyak itu demi membebaskan gurunya dari wanita itu. Lalu datanglah sang murid kepada Syaikh Al-Rifa’i dengan membawa 500 dinar dalam sebuah talam kecil. Syaikh berkata, “Apa ini?”

“Ganti untuk mahar untuk istri guru yang telah memperlakukan guru dengan tidak baik,” jawab murid.

Syaikh Al-Rifa’i tersenyum dan berkata, “Jika bukan karena kesabaranku dalam menghadapi pukulan atau kata-katanya, maka kamu tidak akan melihatku duduk di singgasana itu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar