Rabu, 29 Mei 2019

Apakah Binatang Masuk Surga?

Apakah Binatang Masuk Surga?

Ilustrasi poster binatang

Binatang Masuk Surga?

Tanya:

Apakah hewan juga masuk surga? Itu saja. Nuhun

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Ada 2 pertanyaan yang perlu kita bedakan,

[1] Apakah hewan masuk surga?

[2] Apakah ada hewan di surga?

Pertama, apakah ada hewan masuk surga?

Artinya, apakah ada hewan yang saat ini hidup di dunia dan nantinya, akan Allah masukkan ke dalam surga?

Allah Ta’ala berfirman,

وَإِذَا الْوُحُوشُ حُشِرَتْ

”Apabila binatang-binatang dikumpulkan.”

Allah juga berfirman,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأَرْضِ وَلا طَائِرٍ يَطِيرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلا أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُونَ

”Tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (QS. Al-An’am: 38).

Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

يحشر كل شيء حتى الذباب

Semua makhluk akan dikumpulkan, sampai lalat. (Tafsir Ibnu Katsir, 8/331).

Untuk apa mereka dibangkitkan?

Untuk diqishas, dilakukan pembalasan atas kedzaliman sesama mereka.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَتُؤَدُّنَّ الْحُقُوقَ إِلَى أَهْلِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُقَادَ لِلشَّاةِ الْجَلْحَاءِ مِنْ الشَّاةِ الْقَرْنَاءِ

Sungguh semua hak akan dikembalikan kepada pemiliknya di hari kiamat, sampai diqishas dari kambing yang tidak punya tanduk, kepada kambing bertanduk (yang pernah menanduk). (HR. Ahmad 7404 & Muslim 6745)

Selanjutnya, setelah selesai qishas, mereka dijadikan debu.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يقضي الله بين خلقه الجن والإنس والبهائم، وإنه ليقيد يومئذ الجماء من القرناء حتى إذا لم يبق تبعة عند واحدة لأخرى قال الله: كونوا ترابا، فعند ذلك يقول الكافر: (يَا لَيْتَنِي كُنْتُ تُرَابًا)

Allah akan menegakkan qishas antar-semua makhluknya, jin, manusia, dan binatang. Pada hari itu, akan diqishas dari kambing yang tidak memiliki tanduk untuk membalas kambing bertanduk. Hingga setelah tidak tersisa lagi kedzaliman apapun yang belum terbalaskan, Allah berfirman kepada binatang, “Jadilah tanah.” di saat itulah, orang kafir mengatakan, “Andai aku menjadi tanah.” (HR. Ibnu Jarir dalam tafsirnya, 24/180 dan dishahihkan al-Albani).

Hadis ini menunjukkan bahwa binatang dibangkitkan oleh Allah. Hanya saja mereka tidak mendapat balasan berupa pahala atau hukuman. Mereka tidak berakal. Akan tetapi mereka diqishas, selanjutnya dijadikan tanah. Karena itu, kita tidak menyatakan bahwa binatang yang perah hidup di dunia ini, ada yang dimasukkan ke  dalam surga.

Kedua, apakah ada hewan di surga?

Terdapat beberapa dalil yang menunjukkan bahwa penduduk surga disediakan suguhan makanan oleh Allah, berupa daging hewan.

Diantaranya, firman Allah,

وَأَمْدَدْنَاهُمْ بِفَاكِهَةٍ وَلَحْمٍ مِمَّا يَشْتَهُونَ

Kami beri mereka tambahan dengan buah-buahan dan daging dari segala jenis yang mereka inginkan. (QS. at-Thur: 22).

Allah juga berfirman menyebutkan makanan di surga,

وَلَحْمِ طَيْرٍ مِمَّا يَشْتَهُونَ

”dan daging burung dari apa yang mereka inginkan.” (al-Waqi’ah: 21).

Dalam hadis dari Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menceritakan hidangan bagi penduduk surga,

يتكفؤها الجبار يبده، كما يتكفأ أحدكم خبزته في السفر نزلا لأهل الجنة. فأتى رجل من اليهود، فقال: بارك الرحمن عليك ياأبا القسم، ألا أخبرك بنزل أهل الجنة يوم القيمة ؟ قال بلى… ثم قال ألا أخبرك بإدامهم ؟ بلام والنون. قالوا وما هذا ؟ قال ثور ونون، يأكل من زائدة كبدهما سبعون ألفا

“… Allah menggenggamnya dengan tangannya, seperti salah seorang dari kalian menggenggam rotinya di kala safar sebagai jamuan bagi penduduk surga.” Datanglah seorang Yahudi lalu mengatakan, “Semoga Ar Rahman memberkahimu wahai Abul Qosim (Nabi Muhammad), maukah engkau aku beri tahu mengenai jamuan penduduk surga pada hari kiamat? Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tentu saja.” … Yahudi melanjutkan “Maukah engkau aku kabarkan lauk-pauk mereka (penduduk surga)? Dengan sapid an ikan” Rasulullah dan para sahabat mengatakan, “Apakah lauk-pauk mereka?” Yahudi menjawab, “Sapi dan ikan, penduduk surga memakan bagian yang paling nikmat seperti hati sapi dan ikan, bahkan lebih nikmat 7000 kali lipat.” (HR. Bukhari 6520 & Muslim 7235)

Demikian pula yang disebutkan dalam riwayat, dari Kaisan, bahwa beliau pernah berjumpa dengan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,

“Mau kemana?” tanya Abu Hurairah.

“Mau ke kambing-kambingku.” Jawab Kaisan.

Lalu Abu Hurairah berpesan,

نَعَمْ، امْسَحْ رُعَامَهَا، وَأَطِبْ مُرَاحَهَا، وَصَلِّ فِي جَانِبِ؛ مُرَاحِهَا، فَإِنَّهَا مِنْ دَوَابِّ الْجَنَّةِ

“Bagus, bersihkan mulut dan hidungnya, perbagus kandangnya, dan shalatnya di sebelah kandangnya, karena kambing adalah hewan surga.” (HR. Ahmad 9625 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Demikian pula, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammenyebutkan janji bagi sahabat yang menyerahkan ontanya untuk fi sabilillah.

Dari sahabat Abu Mas’d al-Anshari radhiyallahu ‘anhu,

Bahwa datang seseorang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan ontanya yang ada kekangnya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam megatakan,

لَكَ بِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَبْعُمِائَةِ نَاقِةٍ كُلُّهَا مَخْطُومَةٌ

Engkau akan mendapatkan 700 onta di hari kiamat, yang semuanya ada kekangnya, disebabkan infaqmu ini. (HR. Muslim 5005, Ibnu Hibban 4649 dan yang lainnya)

Semua riwayat di atas menunjukkan bahwa penduduk surga diberi kenikmatan oleh Allah berupa binatang yang Allah ciptakan di surga.

Allahu a’lam.

Senin, 27 Mei 2019

Mati disaat berdemo apakah mati syahid???

Toggle navigation

WartaNasionalDaerahInternasionalRisalah RedaksiMunas-Konbes NU 2019FragmenSeni BudayaPuisiCerpenEsaiKeislamanEkonomi SyariahShalatThaharahNikah/KeluargaIlmu HaditsZakatJumatTasawuf/AkhlakJenazahPuasaTafsirWarisanIlmu TauhidFiqih PerbandinganRamadhanIlmu Al-Qur'anShalawat/WiridSirah NabawiyahWawancaraKolomTeknologiKhutbahTaushiyahPesantrenDoaUbudiyahSyariahHikmahEkonomiPemberdayaanProfil Pengusaha NUTokohPustakaOpiniHumorBahtsul MasailPendidikan IslamQuote IslamiAnti-HoaksLingkunganNgobrolin DuitRisetBalitbang KemenagDiktisTentang NU







Mati disaat berdemo apakah mati syahid???


Oleh:

Asy-Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah al Imam

Fitnah (musibah) itu, sebagaimana dikatakan oleh Hasan Al Bashri,

“Fitnah itu sebelum terjadi, para ulama mengetahuinya. Setelah terjadi, orang-orang awam baru mengetahuinya“.

Ketika fitnah itu terjadi, banyak pertimbangan yang tidak dihiraukan. Pertimbangan syar’i dan pertimbahan akal sehat. Sehingga menghasilkan kekacauan, tindakan yang serampangan, kebingungan, kegoncangan & hal-hal jelek nampak baik.

Barangsiapa yang mati dalam demonstrasi tidaklah kita katakan bahwa ia mati dalam keadaan husnul khatimah. Bahkan kita khawatir itu merupakan adzab Allah.

Saya akan sebutkan, sebuah pemahaman yang bagus dari sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiallahu’anhu dari Sa’id bin Manshur dengan sanad yang shahih. Hudzaifah Ibnul Yaman berkata kepada Abu Musa Al Asy’ari:

“Apakah menurutmu orang yang keluar dengan pedangnya untuk berperang dengan mengharap ridha Allah lalu terbunuh ia akan masuk surga? Abu Musa menjawab: "Ya".

Hudzaifah lalu berkata kepadanya: "Tidak demikian".

Jika ia keluar lalu berperang dengan pedangnya dengan mengharap ridha Allah dan menaati aturan Allah lalu terbunuh, barulah ia masuk surga‘”

Maka, orang yang syahid itu adalah orang yang menaati aturan Allah. Maka tidak cukup seseorang dikatakan syahid dengan sekedar keluar untuk amar ma’ruf nahi munkar tanpa menaati aturan yang benar, sebagaimana para da’i ahlul bid’ah dan hizbiyyah. Yang mereka klaim sebagai jihad fi sabilillah pun bukan jihad yang sesuai dengan syariat Allah.

Mereka berkata:

“anda ini mujahid fii sabilillah karena anda telah beramar ma’ruf nahi munkar“, namun amar ma’ruf nahi munkar yang mereka lakukan bukanlah sebagaimana amar ma’ruf nahi munkar yang dituntunkan syariat. Setiap orang beragam pemahamannya terhadap orang lain. Maka orang yang memfatwakan bahwa fulan syahid ini adalah ketergesa-gesaan orang hizbiyyah (fanatik golongan) yang dilatarbelakangi penentangan mereka kepada penguasa.

Laa haula walaa quwwata illa billah.

Maka barang siapa yang mati dalam keadaan demikian, justru kami khawatir kepadanya. Hanya kepada Allah-lah kita bergantung.


Baca Juga

Keutamaan-keutamaan Lailatul Qadar

Penuhi Standar Layanan, RSI NU Demak Maju Penilaian Akreditasi Reguler

Berburu Lailatul Qadar, Santri Pacitan Padati Makam Eyang Yahuda

Apakah Malam Lailatul Qadar Hanya di Bulan Ramadhan?

Amalan Rasulullah di Malam Lailatul Qadar

 

  

KONTAK

Nahdlatul Ulama
Jl. Kramat Raya 164, Jakarta 46133 - Indonesia, redaksi[at]nu.or.id

MEDIA PARTNER

© 2016 NU Online. All rights reserved. Nahdlatul Ulama

Fitnah Jaman

Oleh.
Asy-Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah al Imam
.
Fitnah (musibah) itu, sebagaimana dikatakan oleh Hasan Al Bashri,
“Fitnah itu sebelum terjadi, para ulama mengetahuinya. Setelah terjadi, orang-orang awam baru mengetahuinya“.
.
Ketika fitnah itu terjadi, banyak pertimbangan yang tidak dihiraukan. Pertimbangan syar’i dan pertimbahan akal sehat. Sehingga menghasilkan kekacauan, tindakan yang serampangan, kebingungan, kegoncangan & hal-hal jelek nampak baik.

Barangsiapa yang mati dalam demonstrasi tidaklah kita katakan bahwa ia mati dalam keadaan husnul khatimah. Bahkan kita khawatir itu merupakan adzab Allah.
.
Saya akan sebutkan, sebuah pemahaman yang bagus dari sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiallahu’anhu dari Sa’id bin Manshur dengan sanad yang shahih. Hudzaifah Ibnul Yaman berkata kepada Abu Musa Al Asy’ari:
.
“Apakah menurutmu orang yang keluar dengan pedangnya untuk berperang dengan mengharap ridha Allah lalu terbunuh ia akan masuk surga? Abu Musa menjawab: "Ya".
Hudzaifah lalu berkata kepadanya: "Tidak demikian".
Jika ia keluar lalu berperang dengan pedangnya dengan mengharap ridha Allah dan menaati aturan Allah lalu terbunuh, barulah ia masuk surga‘”
.
Maka, orang yang syahid itu adalah orang yang menaati aturan Allah. Maka tidak cukup seseorang dikatakan syahid dengan sekedar keluar untuk amar ma’ruf nahi munkar tanpa menaati aturan yang benar, sebagaimana para da’i ahlul bid’ah dan hizbiyyah. Yang mereka klaim sebagai jihad fi sabilillah pun bukan jihad yang sesuai dengan syariat Allah.

Mereka berkata:
“anda ini mujahid fii sabilillah karena anda telah beramar ma’ruf nahi munkar“, namun amar ma’ruf nahi munkar yang mereka lakukan bukanlah sebagaimana amar ma’ruf nahi munkar yang dituntunkan syariat. Setiap orang beragam pemahamannya terhadap orang lain. Maka orang yang memfatwakan bahwa fulan syahid ini adalah ketergesa-gesaan orang hizbiyyah (fanatik golongan) yang dilatarbelakangi penentangan mereka kepada penguasa.
Laa haula walaa quwwata illa billah.

Maka barang siapa yang mati dalam keadaan demikian, justru kami khawatir kepadanya. Hanya kepada Allah-lah kita bergantung.
.

Ulama-ulama Nusantara Banyak yang Jadi Guru di Arab Saudi


Ulama-ulama Nusantara Banyak yang Jadi Guru di Arab Saudi

Guru Junaid Al-Batawi bersama Syekh Nawawi Al-Bantani dan Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi ketika di Tanah Arab pernah bekerja sama untuk membuat percetakan. Hal itu dilakukan untuk menyebar karya-karyanya mengenai Islam di Nusantara. 

“Itulah yang membuat Islam kita dikenal. Orang-orang Arab butuh Islam seperti kita. Maka para ulama-ulama itu tampil sebagai guru di Syam, Arab, Makkah, dan Yaman,” kata Penulis Buku Islam Nusantara KH Ahmad Baso dalam Halaqoh Ulama Jakarta di Masjid Jami’ Shodri Asshiddiq, Cakung, Jakarta Timur, pada Ahad (26/5).

Menurutnya, orang Arab sangat membutuhkan ilmu dari ulama Betawi karena serasa minum madu. Ulama-ulama Betawi terdahulu benar-benar menjadi gurunya orang Arab. Ilmu yang diajarkan adalah tentang Islam yang rahmatan lil alamin.

“Tapi sekarang kok malah terbalik? Justru kita yang hanya menjadi murid di sana. Malah sekarang hanya menjadi tenaga kerja saja,” kata Kiai Baso.

Dalam konstelasi pergumulan agama-agama, lanjutnya, Arab Saudi telah melarang ulama-ulama radikal untuk tampil menyebar ajaran yang provokatif. Karena itu, maka sudah saatnya ulama-ulama negeri ini, khususnya di Betawi, untuk tampil di neger-negeri yang sering dilanda konflik.

“Kita bisa saja berdialog dengan Raja Arab soal mengirim guru-guru untuk mengajar di sana. Jadi, perbincangan dengan Raja Arab tidak hanya melulu mengenai penambahan kuota haji saja,” kata Kiai Baso.

Namun, ia mengajak kepada ulama Betawi untuk terlebih dulu menulis dan berkarya sebagaimana ulama-ulama Nusantara terdahulu. Hal itu agar ajaran-ajaran Islam yang rahmatan lil alamin dari Indonesia dapat diadopsi oleh negeri yang dilanda konflik.

“Kiai Soleh Darat menulis kitab Syarhul Hikam Mriki, dibaca orang Arab. Hebatnya ulama jaman dulu, artinya kalau anda ingin belajar Hikam atau belajar Islam ya mriki (bahasa jawa: ke sini),” pungkas Kiai Baso, dengan gaya bicara yang khas, disambut gemuruh tawa hadirin.

Pada Halaqoh Ulama Jakarta tersebut, hadir Pengasuh Pondok Pesantren Al-Wathoniyah As-Shodriyah KH Ahmad Shodri, Pengurus MUI Jakarta Timur dan MUI se-Jakarta Timur, Pengurus Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) DKI Jakarta, Muballigh Indonesia Bertauhid (MIB), Masyarakat Cinta Masjid (MCM), Aswaja Centre DKI Jakarta, Ikatan Pesantren Indonesia (IPI), dan Pimpinan Pondok Pesantren se-DKI Jakarta.

Selain Kiai Ahmad Baso yang tampil sebagai narasumber, hadir pula narasumber lainnya yakni Aktivis NU Gus Rijal Mumazziq dan Sekjen IPI KH Abdul Fattah yang berbicara tentang pemberdayaan ekonomi umat berbasis pesantren.

(Sanhaji)


Sejarah dan Asal Muasal Shalawat Nabi


Sejarah dan Asal Muasal Shalawat Nabi

Membaca shalawat adalah salah satu amalan dan penghargaan kita kepada Rasulullah SAW. Sebagai umat Rasul SAW tentu kita tak asing lagi dengan amalan membaca shalawat, bahkan di masa sekarang membaca shalawat tidak hanya amalan yang bernilai pahala, tapi juga sudah mulai menjadi budaya dan perlombaan.

Bagaimana sejarah dan asal muasal shalawat. Mengapa shalawat bisa menjadi seterkenal dan membudaya seperti sekarang?

Membahas sejarah shalawat tentu tidak bisa terlepas dari Surat Al-Ahzab ayat 56:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Artinya, “Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”

Sebab turunnya ayat ini bisa dibilang menjadi sejarah shalawat kepada Rasul SAW. Sebab, At-Thabari menyebutkan bahwa setelah ayat ini turun, ada seorang sahabat yang bertanya terkait bunyi shalawat kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasul SAW menyebutkan shalawat Ibrahimiyah, sebagaimana yang biasa kita baca pada tasyahud akhir saat shalat.

Ayat tersebut oleh At-Thabari memerintahkan orang-orang yang beriman untuk mendoakan Rasul SAW dan keselamatannya, (Lihat Ibnu Jarir At-Thabari, Jāmiʽul Bayān fi Ta’wīlil Qur’ān, [Beirut, Muassasatur Risālah: 2000], juz XX, halaman 320).

Terkait kapan shalawat itu diwajibkan kepada Rasul SAW, merujuk pada turunnya ayat tersebut kepada Rasul SAW, perintah shalawat tersebut diturunkan pada bulan Syaban pada tahun kedua Hijriyah.

Oleh Abu Dzar Al-Harawī, inilah yang disebut bulan Syaban sebagai bulan shalawat, (Lihat Muḥammad ibn ʽAbdur Rahmān As-Sakhawi, Al-Qaulul Bādiʽ fis Ṣhalāh ʽalal Ḥabībis Syāfiʽ, [Madinah, Muassasatur Rayyān: 2002 M], halaman 92).

Secara lebih lanjut As-Suyuṭī menjelaskan bahwa shalawat sebenarnya sudah ada sejak masa Nabi Musa AS dan kaumnya, Bani Isra’il. Saat itu Bani Isra’il bertanya kepada Nabi Musa AS, terkait apakah Allah SWT bershalawat kepada makhluk-Nya. Mendengar pertanyaan dari kaumnya tersebut, Nabi Musa AS kemudian berdoa dan meminta jawaban kepada Allah SWT. Allah SWT pun menjawab pertanyaan Nabi Musa AS. Allah SWT berfirman kepada Nabi Musa AS.

يَا ُموسَى إِنْ سَأَلُوْكَ هَلْ يُصَلِّي رَبُّكَ؟ فَقُلْ : نَعَمْ . أَنَا أُصَلِّي وَمَلَائِكَتِي عَلَى أَنْبِيَائِي وَرُسُلِي

Artinya, “Wahai Musa AS, sungguh kaum Bani Israil bertanya kepadamu, apakah Tuhanmu bershalawat kepada makhluk-Nya? Jawablah, ‘Iya. Aku dan juga para malaikatku bershalawat kepada para nabi dan rasul-Ku,’” (Lihat Jalaludin As-Suyuthi, Ad-Durārul Mantsūr, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz VIII, halaman 197).

Kemudian turunlah Surat Al-Ahzab di atas. As-Suyūṭī menambahkan bahwa setelah turun ayat tersebut, kaum Bani Israil tersebut kemudian bahagia dan memujinya.

Dari hal ini bisa diambil kesimpulan bahwa anjuran bershalawat turun untuk menghargai dan memuji utusan Rasul SAW atas tanggungannya berdakwah kepada para kaumnya.

Shalawat itu awalnya sebagai kabar baik kepada kaum Bani Israil, namun Allah SWT juga memberikan keutamaan kepada para nabi melalui shalawat kepadanya terlebih dahulu karena semuanya disampaikan melalaui perantaranya.

Ini juga bisa termasuk sebagai penghargaan kepada Nabi dan Rasul tersebut. Dalam hal ini Ubay ibn Ka’ab menyebutkan bahwa tidak ada hal baik yang diturunkan kepada seorang Rasul kecuali Rasul tersebut menjadi bagian dari hal baik tersebut. Turunlah Surat At-Taubah ayat 112.

التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ الْآمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللَّهِ ۗ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ

Artinya, “Mereka itu adalah orang-orang yang bertobat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang rukuk, yang sujud, yang menyuruh berbuat makruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Gembirakanlah orang-orang mukmin itu,” (Lihat Jalaludin As-Suyuthi, Ad-Durārul Mantsūr, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz VIII, halaman 197).

Oleh karena itu pada masa Rasulullah SAW, shalawat ini juga bisa menjadi sebuah penghargaan kepada Rasul SAW. Itulah mengapa ketika nama Rasul SAW disebut, Rasul SAW menganjurkan kita untuk membaca shalawat kepadanya, bahkan dengan memberikan janji keutamaan-keutamaan yang banyak.

Hal ini diperkuat oleh pendapat Al-Ghazali dan beberapa ulama lain yang dikutip oleh As-Sakhawi yang menyebutkan bahwasanya shalawat kepada Nabi SAW tidak terbatas sebagai doa, tapi juga sebagai pujian dan sebagai ibadah. 

Wallahu a‘lam.

Sabtu, 25 Mei 2019

Puasa Ruh, Puasa Akal, dan Puasa Jiwa


Puasa Ruh, Puasa Akal, dan Puasa Jiwa

Memasuki bulan suci Ramadhan, kita selalu berharap menjadi jiwa yang suci dengan diampuninya dosa-dosa kita di bulan ini. Begitu pula saat detik-detik Ramadhan akan meninggalkan kita, tak ada harapan lain selain diterimanya seluruh amalan dan diampuninya seluruh dosa kita oleh Allah ﷻ berkat puasa yang kita jalani.

Puasa dapat kita bagi menjadi dua. Puasa sebagai wujud menjalankan syariat Allah ﷻ dan puasa sebagai pendidikan bagi diri kita sendiri. Seperti halnya shalat, mengerjakan syarat dan rukunnya membuatnya sah dan bernilai ibadah; sementara mengambil hkmah dari setiap gerakan dan bacaan yang ada dalam shalat adalah pendidikan bagi diri kita.

Puasa (shaum) secara bahasa artinya menahan. Sudah hal yang lumrah yang timbul dalam pikiran kita adalah menahan lapar dari terbitnya fajar hingga datangnya maghrib atau terbenamnya matahari. 

Kata lain dalam bahasa Arab yang bermakna menahan atau mencegah adalah al-man‘ (mencegah). Ada sebagian pula yang menyebutkan al-imsâk. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:

إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا

“Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang pun hari ini” (QS Maryam: 26)

Di ayat tersebut terdapat kata shaum yang berarti menahan, yakni menahan dari berbicara kepada manusia. Dari ayat itu kita dapat menyimpulkan bahwa makna puasa adalah menahan.

Mudzoffar al-Qarmisiny, dalam kitab ar-Risâlah al-Qusairiyyah mengatakan bahwa puasa ada tiga macam:

الصَوْمُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ: صَوْمُ الرُّوْحِ بِقَصْرِ الْأَمَلِ، وَصَوْمُ الْعَقْلِ بِخِلَافِ الْهَوَى، وَصَوْمُ النَّفْسِ بِالإِمْسَاكِ عَنِ الطَّعَامِ وَالْمَحَارِمِ.

“Puasa ada tiga macam: (1) puasa ruh dengan memendekkan angan-angan, (2) puasa akal dengan melawan keinginan, (3) puasa jiwa dengan menahan dari makanan dan perkara-perkara yang haram.” 

Pertama, puasa ruh dengan memendekan angan-angan. Karena, terlalu panjang berharap akan menghambat diri dari perbuatan baik atau usaha untuk meraih kebaikan karena terlalu sibuknya kita dengan bercita-cita. (Syekh Mustafa al-‘Arusy, Natâij al-Afkâr al-Qudsiyyah fî Bâyani Ma’âni Syarh Risalah al-Qusyairiyyah, Lebanon, Dar el Kutub ‘Ilmiyyah, 2007, halaman 306)

Ketika di pesantren, salah satu guru saya pernah menasihati agar tidak panjang dalam bercita-cita. Maksud beliau bukan berarti tidak boleh sama sekali memiliki harapan, namun jangan terlalu berlebihan pada harapan yang tak mungkin ada habisnya, khawatir kita tertimpa oleh musibah yang bisa disebut dengan cinta dunia.

Kedua, puasa akal dengan melawan keinginan. Syekh Zakaria al-Anshari menjelaskan, dengan akal kita dapat mengetahui antara yang baik dan yang buruk, dan itu dapat dihasilkan dengan melawan keinginan atau hawa nafsu. (Syekh Mustafa al-‘Arusy, Natâij al-Afkâr al-Qudsiyyah fî Bâyani Ma’âni Syarh Risalah al-Qusyairiyyah, Lebanon, Dar el Kutub ‘Ilmiyyah, 2007, halaman 307)

Ketiga, puasa jiwa dengan menahan diri dari makanan dan perkara-perkara yang haram. Menahan diri dari makanan adalah salah satu proses untuk meningkatkan spiritual. Dengan mempuasakan jiwa dari makan, kita akhirnya terbiasa untuk menerima setiap keadaan yang telah ditentukan oleh Allah ﷻ, baik berupa lapar maupun kenyang. Selain itu menahan diri dari hal-hal yang diharamkan juga bagian dari proses meningkatkan keimanan kita kepada Allah ﷻ.

Melihat dari penjelasan yang ketiga, kita dapat mennyimpulkan bahwa puasa memang menahan diri dari makanan, tapi yang lebih sempurna dari itu adalah menahan diri dari sesuatu yang diharamkan seperti ghibah, mengadu domba, dan berbohong. Yang terakhir ini hanya bisa didapat ketika kita tempatkan puasa sebagai sarana pendidikan ruhani kita.

Semoga puasa Ramadhan tahun ini dapat menjaga kita dari segala perbuatan yang dilarang dalam agama, dan mendidik kita supaya meningkatkan nilai-nilai rohani dalam hidup kita. Bukankah puasa yang paling sulit tingkatannya adalah puasa menahan hawa nafsu? Mudah-mudahan kita menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Amiin. 

 

Rabu, 22 Mei 2019

Jihad dan Ketentuan Pengamalannya


Jihad dan Ketentuan Pengamalannya

Sering kita mendengar kata jihad, jihad dan jihad yang secara serampangan dipahami dengan maksud berjuang dan berjuang. Namun tidak banyak dari mereka yang tahu arti dari jihad, tata caranya, dan tujuan sebenarnya. Karena ketidaktahuan, yang dihasilkan bukan sesuatu yang sebenarnya menjadi tujuan inti dari jihad itu sendiri.

Sebelum melangkah untuk berjihad alangkah baiknya kalau kita memahami terlebih dahulu makna dan tujuan jihad seutuhnya menurut pandangan syariat Islam.

Jihad dalam pengertian bahasa berasal dari akar kata jahd yang bermakna “berusaha sungguh-sungguh dengan mengerahkan segenap kemampuan.” Dalam makna yang lebih luas jihad mempunyai pengertian menanggulangi musuh yang tampak, setan, dan hawa nafsu. Hal ini tercermin dalam firman Allah SWT.

وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ 

Artinya, “Berjuanglah kalian di jalan Allah dengan perjuangan yang sebenar-benarnya,” (Surat Al-Hajj ayat 78).

Jihad bermakna luas yakni bersungguh-sungguh dan bekerja keras melakukan kebaikan. Menurut ulama, jihad dapat dimanifestasikan dengan hati, menyebarkan syariat Islam, dialog dan diskusi dalam konteks mencari kebenaran, mempersembahkan karya bagi kemanfaatan Muslimin dan dengan melawan kekafiran. Artinya, jihad dapat dilakukan dengan berbagai cara, bukan hanya dengan mengangkat senjata.

Sedangkan makna “Sabilillah” dalam ayat tersebut menurut pendapat mayoritas ulama adalah melakukan segala bentuk ketaatan sehingga mengentaskan kebodohan dan kemiskinan merupakan contoh-contoh jihad dalam makna semacam ini. Ibnul Jauzi berkata di dalam kitabnya Zadul Masir fi Ilmit Tafsir.

قَوْلُهُ تَعَالَى : {وَجَاهِدُوا فِى اللَّهِ } فِيْ هَذَا الْجِهَادِ ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ. أَحَدُهَا : أَنَّهُ فِعْلُ جَمِيْعِ الطَّاعَاتِ، هَذَا قَوْلُ الْأَكْثَرِيْنَ

Artinya, “Ada tiga pendapat di dalam arti jihad di dalam firman Allah ini. Yang pertama adalah melakukan segala bentuk ketaatan, dan ini pendapat mayoritas ulama’.” (Lihat Ibnul Jauzi, Zadul Masir, Beirut, Darul Fikr, 2005, cetakan kedua, jilid III, halaman 331).

Kita bisa juga memahami “Sabilillah” sebagai memerangi hawa nafsu seperti sabda Nabi dalam sebuah hadits.

رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ الْأَصْغَرِ إِلَى الْجِهَادِ الْأَكْبَرِ

Artinya, “Kita pulang dari pertempuran yang kecil menuju pertempuran yang besar,” (HR Ad-Dailami).

Dalam Islam, kewajiban berjihad hanyalah dalam tataran perantara (wasilah) dengan sebuah tujuan utama membawa petunjuk (hidayah) kepada umat manusia untuk menuju agama Allah sehingga ketika dengan media dakwah maupun transformasi pengetahuan hidayah sudah dapat tercapai, cara-cara seperti ini jauh lebih baik daripada harus mengangkat senjata.

Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad-Dimyati Asy-Syafi’i berkata di dalam kitab Hasyiyah ‘Ianatut Thalibin.

وَوُجُوْبُ الْجِهَادِ وُجُوْبُ الْوَسَائِلِ لَا الْمَقَاصِدِ إِذِ الْمَقْصُوْدُ بِالْقِتَالِ إِنَّمَا هُوَ الْهِدَايَةِ وَمَا سِوَاهَا مِنَ الشَّهَادَةِ وَأَمَّا قَتْلُ الْكُفَّارِ فَلَيْسَ بِمَقْصُوْدٍ حَتَّى لَوْ أَمْكَنَ الْهِدَايَةِ بِإِقَامَةِ الدَّلِيْلِ بِغَيْرِ جِهَادٍ كَانَ أَوْلَى مِنَ الْجِهَادِ

Artinya, “Kewajiban jihad adalah washilah (perantara) bukan tujuan, karena tujuan perang aslinya adalah memberi hidayah/petunjuk kebenaran. Oleh sebab itu membunuh orang-orang kafir bukanlah tujuan yang sebenarnya sehingga seandainya hidayah bisa disampaikan dan dihasilkan dengan menunjukan dalil-dalil tanpa berperang, maka hal ini lebih utama daripada berperang,” (Lihat Sayyid Bakri, Hasyiyah Ianatut Thalibin, Beirut, Darul Fikr, 2006, cetakan kelima, jilid IV, halaman 181).

Di samping itu, jihad yang kita artikan sebagai memerangi kekafiran harus ditempatkan dalam koridor jelas. Artinya, dalam jihad model ini prosedur maupun persyaratan di dalamnya sangat ketat. Mirip dengan ketatnya persyaratan dalam melakukan amar ma’ruf terutama ketika sudah masuk dalam konteks bermasyarakat dan bernegara.

Bagaimana mungkin perjuangan yang telah banyak mengabaikan etika maupun prosedur berjihad bisa dinamakan jihad? Apalagi kekerasan yang dilakukan telah banyak melanggar baik syariat maupun norma kemanusiaan, di antaranya:

- Banyak mengorbankan mereka yang tidak berdosa.
- Media dan sarana yang digunakan sangat kontradiktif dengan warna jihad dalam Islam.
- Dampak negatif terhadap kaum Muslimin lebih besar (kontraproduktif).
- Mereka tidak menyadari bahwa jihad sangat erat kaitannya dengan wewenang pemerintah, bukan kelompok ataupun individu.

Artinya, mereka belum memahami jihad secara utuh, sekaligus belum memahami Indonesia secara sempurna.

Warga negara non-Muslim di negara kita harus ditempatkan dalam bingkai syariat secara benar sehingga dapat dipahami bahwa mereka tidak seperti kafir harbi yang harus diperangi sehingga hak dan kewajiban mereka tetap dilindungi. Bahkan menjaga hubungan dan hak mereka adalah kewajiban umat Islam.

Jihad secara utuh dapat dilakukan dengan berbagai cara. Perjuangan dalam pendidikan, perekonomian dan bidang-bidang lain untuk kemaslahatan umat Islam adalah jihad fi sabilillah. Justru cara-cara demikian yang harus dilakukan sekarang ini di bumi Indonesia. 

Wallahu a’lam.

Tarawih 8 Rakaat Berjamaah atau 20 Rakaat Sendirian?


Tarawih 8 Rakaat Berjamaah atau 20 Rakaat Sendirian?

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sebelumnya perkenalkan saya Rian, seorang perantau asal Bogor yang sekarang berdomisili di Bandung. Saya punya pertanyaan soal shalat tarawih. Saya seorang warga Nahdliyin yang tentunya mengerjakan shalat tarawih 20 rakaat disambung witir 3 rakaat. Namun, di daerah tempat saya tinggal sekarang kebanyakan masjid melakukan shalat tarawih delapan rakaat dan witir 3 rakaat. Mohon pendapatnya apa yang lebih utama saya lakukan, shalat sendirian 23 rakaat atau berjamaah 11 rakaat terkait shalat tarawih. Terima kasih. (Rian)

Jawaban:

Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,

Saudara Rian yang kami hormati. Semoga kita senantiasa diberi taufiq untuk bisa rutin menjalankan ibadah tarawih.

Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah sepakat bahwa jumlah rakaat shalat tarawih adalah 20 rakaat. Hal ini berdasarkan konsensus para sahabat Nabi di masa pemerintahan Sayyidina Umar bin al-Khathab. Meskipun para sahabat mendirikannya hanya 8 rakaat saat bermakmum kepada Nabi, tapi mereka menyempurnakannya menjadi 20 rakaat di rumahnya masing-masing. Nabi hanya shalat 8 rakaat bersama mereka karena memberi keringanan, khawatir tarawih diyakini fardhu, sehingga akan memberatkan.

Syekh Sulaiman al-Bujairimi mengatakan:

فإن قلت: أجمعوا على أن التراويح عشرون ركعة والوارد من فعله - صلى الله عليه وسلم - ثمان ركعات. قلت: أجيب بأنهم كانوا يتممون العشرين في بيوتهم بدليل أن الصحابة إذا انطلقوا إلى منازلهم يسمع لهم أزيز كأزيز الدبابير، وإنما اقتصر - صلى الله عليه وسلم - على الثمان في صلاته بهم ولم يصل بهم العشرين تخفيفا عليهم اهـ اج.

“Bila kamu bertanya, para sahabat bersepakat bahwa tarawih adalah 20 rakaat, sementara yang datang dari perilaku Nabi adalah delapan rakaat?. Aku berkata, jawabannya adalah bahwa para sahabat menyempurnakan 20 rakaat di rumahnya dengan bukti mereka ketika berangkat menuju kediamannya, didengar dari mereka suara bergemuruh layaknya serangga-serangga (karena suara shalat mereka). Nabi hanya meringkas delapan rakaat saat shalat bersama sahabat, tidak shalat sebanyak 20 rakaat, karena memberi keringanan untuk mereka,” (Syekh Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfah al-Habib, juz 1, hal. 421).

Namun, andaikan tarawih dilakukan kurang dari 20 rakaat, maka tetap diperbolehkan dan mendapat pahala tarawih, meski pahalanya masih di bawah orang yang melaksanakannya sebanyak 20 rakaat.

Yang bermasalah adalah ketika mereka yang melaksanakan tarawih delapan rakaat menyalahkan pihak yang tarawih 20 rakaat, bahkan sampai menganggap Sayyidina Umar bin Khatab—sebagai inisiator berjamaah tarawih 20 rakaat di masjid—menyimpang dari sunnah Nabi.

Sungguh tidak rasional, para sahabat yang alim, pakar fiqih, tafsir, dan hadits bersepakat dalam sebuah kesesatan. Padahal Nabi telah menegaskan bahwa sahabat laksana bintang-bintang yang bisa menjadi petunjuk bagi umat Islam.

Oleh karena itu, KH Abu Fadlol bin Abdus Syukur dari Tuban dengan tegas menyatakan bahwa orang yang menganggap bahwa Sayyidina Umar bin Khatab adalah pelaku bid’ah dalam urusan tarawih, tidak diragukan lagi ia sendiri yang berbuat bid’ah.

Ulama Nusantara yang dijuluki “kitab berjalan” ini mengatakan:

فإن تجرأ متجرئ على تسمية عمر رضي الله عنه مبتدعا بمعنى أنه مخالف للسنة فلا يشك عاقل في أنه هو المبتدع 

“Bila ada orang dengan berani menyebut Sayyidina Umar sebagai pelaku bid’ah, dengan arti beliau menyelisihi sunnah Nabi, maka orang yang berakal tidak ragu bahwa ia sendiri sebagai pelaku bid’ah,” (KH. Abu Fadlol bin Abdus Syukur al-Senori, Kasyfu al-Tabarih, hal. 9).

Berkaitan dengan pilihan berjamaah atau shalat sendiri dalam konteks pertanyaan di atas, perlu diketahui bahwa hukum melaksanakan tarawih secara berjamaah adalah sunnah. Namun, bila imam shalat terindikasi sebagai pelaku bid’ah, semisal menganggap para sahabat menyimpang dalam jumlah rakaat tarawih, mudah mensyirikan orang, meyakini Allah tidak dapat dilihat di akhirat dan lain sebagainya, maka hukumnya makruh bermakmum dengannya.  Kecuali bila tidak bermakmum dengan imam tersebut akan menimbulkan gejolak, maka hendaknya tetap berjamaah untuk menghindari fitnah.

Ulama berbeda pendapat bila tidak menemukan jamaah kecuali dengan imam pelaku bid’ah, apakah tetap dianjurkan berjamaah atau shalat sendiri? Menurut Imam al-Subki, lebih baik berjamaah. Sedangkan menurut Imam Ibnu Hajar dianjurkan shalat sendirian.

Syekh Zainuddin al-Malibari mengatakan:

وكره اقتداء بفاسق ومبتدع كرافضي وإن لم يوجد سواهما ما لم يخش فتنة. وقيل لا يصح الاقتداء بهما. - إلى أن قال- واختار السبكي ومن تبعه انتقاء الكراهة إذا تعذرت الجماعة إلا خلف من تكره خلفه بل هي أفضل من الانفراد.وجزم شيخنا بأنها لا تزول حينئذ بل الانفراد أفضل منها.وقال بعض أصحابنا: والأوجه عندي ما قاله السبكي رحمه الله تعالى.

“Makruh bermakmum dengan orang fasiq dan pelaku bid’ah, seperti kaum Rafidli, meski tidak ditemukan imam selainnya, selama tidak khawatir fitnah. Menurut sebagian pendapat, tidak sah bermakmum dengan keduanya. Imam al-Subuki dan pengikutnya memilih pendapat ketiadaan hukum makruh bila sulit menemukan jamaah kecuali bermakmum di belakang imam yang makruh dimakmumi, bahkan berjamaah lebih utama dari pada shalat sendiri. Guruku meyakini bahwa hukum makruh tidak hilang dalam kondisi tersebut, bahkan lebih utama shalat sendirian. Sebagian ashab (ulama penganut mazhab Syafi'i) berkata, pendapat yang kuat menurutku adalah apa yang dikatakan imam al-Subki,” (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fath al-Mu’in Hamisy I’anah al-Thalibin, juz 2, hal. 12).

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa sebaiknya saudara tetap melaksanakan jamaah tarawih di masjid. Kecuali bila imam tarawih terindikasi orang yang menyimpang secara ideologi, maka sebaiknya mencari jamaah di tempat lain, bisa juga membuat jamaah sendiri di rumah dengan keluarga. Dan bila sulit mencari jamaah di tempat lain atau menimbulkan gejolak bila tidak berjamaah di masjid setempat, maka kami sarankan tetap mengikuti jamaah di masjid untuk menjaga keharmonisan hubungan bertetangga dengan masyarakat sekitar. 

Kami sarankan setelah selesai berjamaah di masjid, saudara menyempurnakan rakaat tarawih menjadi 20 rakaat di rumah, dan pelaksanaan shalat witir tetap setelah tarawih selesai 20 rakaat. Oleh karenanya, ketika imam shalat witir, kami sarankan anda tetap niat tarawih. Hal ini dikarenakan ada kesunnahan pelaksanaan witir setelah tarawih, di samping ada anjuran memposisikan witir sebagai penutup shalat di malam hari.

Dengan demikian, pilihannya tak selalu harus kaku dan dikotomis antara tarawih 8 rakaat secara berjamaah atau 20 rakaat secara sendirian. Karena Anda masih bisa menyempurnakan menjadi 20 rakaat di rumah setelah mengikuti tarawih berjamaah di rumah. Saat tarawih di rumah pun, kita masih punya peluang untuk tetap shalat berjamaah bersama kerabat atau teman-teman dekat.

Kami juga menyarankan, meski berdampingan dengan tetangga yang berbeda ideologi, agar tetap menjaga kerukunan, memenuhi hak-hak bertetangga, dan tetap menebarkan kedamaian di mana pun. Demikian semoga bermanfaat. 

Wallahu a’lam.

Selasa, 21 Mei 2019

Ini Penjelasan Tentang Surat An-Nisa Ayat 108 dan Keputusan KPU


Ini Penjelasan Tentang Surat An-Nisa Ayat 108 dan Keputusan KPU

Beredar luas kutipan terjemah QS An-Nisa:108 yang dikaitkan dengan keputusan KPU di malam hari, seolah hendak mengatakan bahwa KPU menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Apa penjelasan para ulama tafsir tentang Qs An-Nisa:108. Ternyata asbabun nuzul ayat ini tidak ada kaitannya dengan Pemilu ataupun KPU.

Memahami ayat ini harus dengan memahami rangkaian ayat 105 sd 113. Jangan hanya membaca ayat 108.

‎أمر الله تعالى رسوله أن يقضي بين الناس بالحق والعدل دون محاباة أحد، ولا إلحاق ظلم بأحد ولو كان غير مسلم

Rangkaian ayat ini memerintahkan Nabi untuk memberi keputusan dengan benar dan adil secara mutlak, meskipun berkenaan dengan non-Muslim.

Rangkaian ayat ini turun berkaitan dengan konspirasi Thu’mah dan kaumnya terhadap Zaid bin Samin, seorang Yahudi. Thu’mah menitipkan perisai pamannya ke Zaid. Namun ketika Qatadah yang punya perisai itu melaporkan kehilangan perisai, Thu’mah malah menuduh Zaid-lah pencurinya.

Karena pihak yang berpekara ini Muslim melawan Zaid yang yahudi, maka kaumnya Thu’mah ramai-ramai membela Thu’mah dan berkonspirasi di malam hari menyusun siasat. Mereka mendatangi Rasul dan mendukung Thu’mah.

Penjelasan Tafsir al-Munir:

‎روى الترمذي والحاكم وابن جرير عن قتادة بن النعمان: أن هؤلاء الآيات أنزلت في شأن طعمة بن
‎ أبيرق، وكان رجلا من الأنصار، ثم أحد بني ظفر، سرق درعا لعمه كان وديعة عنده، وقد خبأها في جراب دقيق، فجعل الدقيق ينتثر من خرق فيه، وخبأها عند زيد بن السمين من اليهود، فالتمسوا الدرع عند طعمة، فلم يجدوها، وحلف بالله: ما أخذها وما له به من علم، فساروا في أثر الدقيق حتى انتهوا إلى منزل اليهودي، فأخذوها، فقال: دفعها إلي طعمة، وشهد له ناس من اليهود بذلك، ولكن طعمة أنكر ذلك، فقالت بنو ظفر وهم قوم طعمة: انطلقوا بنا إلى رسول الله، فسألوه أن يجادل عن صاحبهم، وقالوا:
‎إن لم تفعل هلك صاحبنا وافتضح وبرئ اليهودي فهم النبي صلى الله عليه وسلم أن يفعل وكان هواه معهم، وأن يعاقب اليهودي فنزلت.
‎وهذا قول جماعة من المفسرين

Nabi Muhammad hampir saja memutuslan perkara ini berdasarkan desakan Thu’mah dan kaumnya. Namun turun rangkaian ayat ini mengungkapkan konspirasi Thu’mah terhadap Zaid.

Tafsir Jalalain juga menjelaskan makna ayat 108:

{ يَسْتَخْفُونَ } أي طعمة وقومه حياء { مِنَ ٱلنَّاسِ وَلاَ يَسْتَخْفُونَ مِنَ ٱللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ } بعلمه { إِذْ يُبَيِّتُونَ } يضمرون { مَا لاَ يَرْضَىٰ مِنَ ٱلْقَوْلِ } من عزمهم على الحلف على نفي السرقة ورمي اليهودي بها { وَكَانَ ٱللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطاً } علماً

“(Mereka bersembunyi) maksudnya Thu’mah dan kaumnya disebabkan malu (dari manusia dan tidak bersembunyi dari Allah padahal Dia bersama mereka) yakni dengan ilmu-Nya (ketika pada suatu malam mereka menetapkan) artinya memutuskan secara rahasia (suatu rencana yang tidak diridai-Nya) yaitu rencana mereka mengucapkan sumpah tidak mencuri dan menuding si Yahudi melakukannya. (Dan Allah Maha Meliputi apa yang kamu kerjakan) maksudnya ilmu-Nya.”

Jadi jelaslah ayat ini justru berkenaan dengan pembelaan al-Qur’an terhadap Zaid bin Samin seorang Yahudi yang tidak bersalah namun dijebak oleh konspirasi jahat seorang Muslim bernama Thu’mah. Jadi, gak ada kaitannya dengan keputusan KPU akan hasil Pemilu 2019. Mari berhentilah asal comot ayat untuk memuaskan syahwat politik.

Ini Penjelasan Tentang Surat An-Nisa Ayat 108 dan Keputusan KPU


Ini Penjelasan Tentang Surat An-Nisa Ayat 108 dan Keputusan KPU

Beredar luas kutipan terjemah QS An-Nisa:108 yang dikaitkan dengan keputusan KPU di malam hari, seolah hendak mengatakan bahwa KPU menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Apa penjelasan para ulama tafsir tentang Qs An-Nisa:108. Ternyata asbabun nuzul ayat ini tidak ada kaitannya dengan Pemilu ataupun KPU.

Memahami ayat ini harus dengan memahami rangkaian ayat 105 sd 113. Jangan hanya membaca ayat 108.

‎أمر الله تعالى رسوله أن يقضي بين الناس بالحق والعدل دون محاباة أحد، ولا إلحاق ظلم بأحد ولو كان غير مسلم

Rangkaian ayat ini memerintahkan Nabi untuk memberi keputusan dengan benar dan adil secara mutlak, meskipun berkenaan dengan non-Muslim.

Rangkaian ayat ini turun berkaitan dengan konspirasi Thu’mah dan kaumnya terhadap Zaid bin Samin, seorang Yahudi. Thu’mah menitipkan perisai pamannya ke Zaid. Namun ketika Qatadah yang punya perisai itu melaporkan kehilangan perisai, Thu’mah malah menuduh Zaid-lah pencurinya.

Karena pihak yang berpekara ini Muslim melawan Zaid yang yahudi, maka kaumnya Thu’mah ramai-ramai membela Thu’mah dan berkonspirasi di malam hari menyusun siasat. Mereka mendatangi Rasul dan mendukung Thu’mah.

Penjelasan Tafsir al-Munir:

‎روى الترمذي والحاكم وابن جرير عن قتادة بن النعمان: أن هؤلاء الآيات أنزلت في شأن طعمة بن
‎ أبيرق، وكان رجلا من الأنصار، ثم أحد بني ظفر، سرق درعا لعمه كان وديعة عنده، وقد خبأها في جراب دقيق، فجعل الدقيق ينتثر من خرق فيه، وخبأها عند زيد بن السمين من اليهود، فالتمسوا الدرع عند طعمة، فلم يجدوها، وحلف بالله: ما أخذها وما له به من علم، فساروا في أثر الدقيق حتى انتهوا إلى منزل اليهودي، فأخذوها، فقال: دفعها إلي طعمة، وشهد له ناس من اليهود بذلك، ولكن طعمة أنكر ذلك، فقالت بنو ظفر وهم قوم طعمة: انطلقوا بنا إلى رسول الله، فسألوه أن يجادل عن صاحبهم، وقالوا:
‎إن لم تفعل هلك صاحبنا وافتضح وبرئ اليهودي فهم النبي صلى الله عليه وسلم أن يفعل وكان هواه معهم، وأن يعاقب اليهودي فنزلت.
‎وهذا قول جماعة من المفسرين

Nabi Muhammad hampir saja memutuslan perkara ini berdasarkan desakan Thu’mah dan kaumnya. Namun turun rangkaian ayat ini mengungkapkan konspirasi Thu’mah terhadap Zaid.

Tafsir Jalalain juga menjelaskan makna ayat 108:

{ يَسْتَخْفُونَ } أي طعمة وقومه حياء { مِنَ ٱلنَّاسِ وَلاَ يَسْتَخْفُونَ مِنَ ٱللَّهِ وَهُوَ مَعَهُمْ } بعلمه { إِذْ يُبَيِّتُونَ } يضمرون { مَا لاَ يَرْضَىٰ مِنَ ٱلْقَوْلِ } من عزمهم على الحلف على نفي السرقة ورمي اليهودي بها { وَكَانَ ٱللَّهُ بِمَا يَعْمَلُونَ مُحِيطاً } علماً

“(Mereka bersembunyi) maksudnya Thu’mah dan kaumnya disebabkan malu (dari manusia dan tidak bersembunyi dari Allah padahal Dia bersama mereka) yakni dengan ilmu-Nya (ketika pada suatu malam mereka menetapkan) artinya memutuskan secara rahasia (suatu rencana yang tidak diridai-Nya) yaitu rencana mereka mengucapkan sumpah tidak mencuri dan menuding si Yahudi melakukannya. (Dan Allah Maha Meliputi apa yang kamu kerjakan) maksudnya ilmu-Nya.”

Jadi jelaslah ayat ini justru berkenaan dengan pembelaan al-Qur’an terhadap Zaid bin Samin seorang Yahudi yang tidak bersalah namun dijebak oleh konspirasi jahat seorang Muslim bernama Thu’mah. Jadi, gak ada kaitannya dengan keputusan KPU akan hasil Pemilu 2019. Mari berhentilah asal comot ayat untuk memuaskan syahwat politik.

Sabtu, 18 Mei 2019

ORANG YG TAK TERSENTUH API NERAKA

ORANG YG TAK TERSENTUH API NERAKA

Rasulullah SAW bersabda :

‎ﻋَﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﻣَﺴْﻌُﻮﺩٍ، ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ،ﻗَﺎﻝَ : ﺃَﻻَ ﺃُﺧْﺒِﺮُﻛُﻢْ ﺑِﻤَﻦْ ﺗُﺤَﺮَّﻡُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﻨَّﺎﺭُ؟ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ : ﺑَﻠَﻰ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻗَﺎﻝَ : ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞِّ ﻫَﻴِّﻦٍ، ﻟَﻴِّﻦٍ، ﻗَﺮِﻳﺐٍ، ﺳَﻬْﻞٍ

"Maukah kalian aku tunjukkan orang yang Haram baginya tersentuh api neraka?"

Para sahabat berkata, "Mau.. wahai Rasulullah!"

Baginda menjawab: "(yang Haram tersentuh api neraka adalah) Orang yang Hayyin, Layyin, Qarib, Sahl."

(H.R. At-Tirmidzi dan Ibnu Hiban).

1. Hayyin

Orang yang memiliki ketenangan dan keteduhan lahir maupun batin.
Tidak mudah memaki, melaknat serta tenang jiwanya..

2. Layyin

Orang yang lembut dan santun, baik dalam bertutur-kata atau bersikap. Tidak kasar, tidak ikut hawa nafsu sendiri. Lemah lembut dan selalu menginginkan kebaikan untuk sesama manusia.

3.Qarib

Akrab, ramah diajak bicara, menyenangkan bagi orang yang diajak bicara. Dan murah senyum jika bertemu.

4. Sahl/sahla

Orang yang tidak mempersulit sesuatu. Selalu ada cara untuk selesaikan setiap permasalahan.

Mudah- mudahan kita semua tergolong didalam golongan orang-orang yang diberkati dan diRahmati serta dikasihi Allah S.W.T disamping orang-orang yang kita sayang.

Waallahu'allam Bisshowab

Madzhab dalam Ilmu Fiqih


4 Madzhab dalam Ilmu Fiqih

Ahlussunnah wal Jama’ah berhaluan salah satu Madzhab yang empat. Seluruh ummat Islam di dunia dan para ulamanya telah mengakui bahwa Imam yang empat ialah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Ibnu Hambal telah memenuhi persyaratan sebagai Mujtahid. Hal itu dikarenakan ilmu, amal dan akhlaq yang dimiliki oleh mereka. Maka ahli fiqih memfatwakan bagi umat Islam wajib mengikuti salah satu madzhab yang empat tersebut.

Madzhab Hanafi

Dinamakan Hanafi, karena pendirinya Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit. Beliau lahir pada tahun 80 H di Kufah dan wafat pada tahun 150 H. Madzhab ini dikenal madzhab Ahli Qiyas (akal) karena hadits yang sampai ke Irak sedikit, sehingga beliau banyak mempergunakan Qiyas.

Beliau termasuk ulama yang cerdas, pengasih dan ahli tahajud dan fasih membaca Al-Qur’an. Beliau ditawari untuk menjadi hakim pada zaman bani Umayyah yang terakhir, tetapi beliau menolak.

Madzhab ini berkembang karena menjadi madzhab pemerintah pada saat Khalifah Harun Al-Rasyid. Kemudian pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur beliau diminta kembali untuk menjadi Hakim tetapi beliau menolak, dan memilih hidup berdagang, madzhab ini lahir di Kufah.

Madzhab Maliki

Pendirinya adalah Al-Imam Maliki bin Anas Al-Ashbahy. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H. Beliau sebagai ahli hadits di Madinah dimana Rasulullah SAW hidup di kota tersebut.

Madzhab ini dikenal dengan madzhab Ahli Hadits, bahkan beliau mengutamakan perbuatan ahli Madinah daripada Khabaril Wahid (Hadits yang diriwayatkan oleh perorangan). Karena bagi beliau mustahil ahli Madinah akan berbuat sesuatu yang bertentangan dengan perbuatan Rasul, beliau lebih banyak menitikberatkan kepada hadits, karena menurut beliau perbuatan ahli Madinah termasuk hadits mutawatir.

Madzhab ini lahir di Madinah kemudian berkembang ke negara lain khususnya Maroko. Beliau sangat hormat kepada Rasulullah dan cinta, sehingga beliau tidak pernah naik unta di kota Madinah karena hormat kepada makam Rasul.

Madzhab Syafi’i

Tokoh utamanya adalah Al-Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghuzzah pada tahun 150 H dan wafat di Mesir pada tahun 204 H.

Beliau belajar kepada Imam Malik yang dikenal dengan madzhabul hadits, kemudian beliau pergi ke Irak dan belajar dari ulama Irak yang dikenal sebagai madzhabul qiyas. Beliau berikhtiar menyatukan madzhab terpadu yaitu madzhab hadits dan madzhab qiyas. Itulah keistimewaan madzhab Syafi’i.

Di antara kelebihan asy-Syafi’i adalah beliau hafal Al-Qur’an umur 7 tahun, pandai diskusi dan selalu menonjol. Madzhab ini lahir di Mesir kemudian berkembang ke negeri-negeri lain.

Madzhab Hanbali

Dinamakan Hanbali, karena pendirinya Al-Imam Ahmad bin Hanbal As-Syaebani, lahir di Baghdad Th 164 H dan wafat Th 248 H. Beliau adalah murid Imam Syafi’i yang paling istimewa dan tidak pernah pisah sampai Imam Syafi’i pergi ke Mesir.

Menurut beliau hadits dla’if dapat dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan yang afdal (fadlailul a'mal) bukan untuk menentukan hukum. Beliau tidak mengaku adanya Ijma’ setelah sahabat karena ulama sangat banyak dan tersebar luas.

Dalam menjalankan syari'at Islam kita ambil salah satu Mazhab saja,  agar  bersanad dan terstruktur serta ada yang bertanggung jawab atas syari'at yang kita jalankan dunia dan akhirat, semua Mazhab sanadnya kepada Baginda Nabi SAW, karena sumbernya satu, diIndonesia mayoritas As-syafi'i maka kita ikuti Mazhab Syafi'i, karena menurut Ulama salaf Beliau adalah NAASYIRUSSUNNAH, penyelamat Sunnah.

Demikian pembahasan tentang Mazhab Semoga dapat diambil manfaat.

Waallahu'allam Bisshowab

Rabu, 15 Mei 2019

Syarat Sah Shalat Berjamaah


Syarat Sah Shalat Berjamaah

Syarat Sah Shalat Berjamaah merupakan hal yang paling penting bagi anda yang melaksanakan berjamaah dikrnakan ini menentukan pada kualitas dan keafsahan shalat anda. Semua orng sudah pada tau bahwa الجماعةرحمة berjamaah aalah rahmat dan الفرقت عذب perpecahan itu mngundng adzab Allah, tetapi sudah tidak heran bahkan di lngkungan kita sering kita temui perpecahan disegala bidang baik itu dalam urusan keluarga atau masalah sosial lainya terlebih lagi didalam salat sepertinya sudah tidak merasa gundah cuek-cuek aja disaat kita tidak melaksanakan shalat berjamaah, padahal itu adalah pangkal cikalbakal dari firqoh dari segalanya, dan semestinya kita harus menjauhi itu dan laksanaknlah berjamaah, karena itu cikalbakal jamaah yang lainnya yang lebih besar lagi yang tentunya mngundang rahmat Allah swt.

Inilah yang akan saya bahas kali ini yaitu :

1. Syarat Syah shalat Berjamaah

Syarat berjamaah akan sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut ini.
a. Imam Harus fasikhat baca Alquran
b. Ada imam
c. Makmum bernat mengikuti imam
d. Salat berjamamaah dalam satu majlis
e. Salat makmum harus sesuai dengan shalatnya imam.

Kedudukan imam dalam shalat berjamaah sangat penting, dia akan menjadi peminpin bagi seluruh jamaah sholat sehingga untuk menjadi imam ada sarat-sarat tersendiri, dan syarat yg di maksud yaitu: 

a. Imam harus mengetahui syarat-sayarat dan rukun salat, serta perkara yang mem batalkan sholat
b. Imam harus harus fasih membaca ayat-ayat suci al-qur'n 
c. Imam harus paling luas wawasan agamanya dibandingka dengan yang lain
d. Imam harus berakal sehat
d. Imam harus balig
e. Imam harus berdiri pada posisi paling depan
f. Imam harus serang laki-laki (peremuan juaga boleh jadi imam kalau makmumnya perempuen smua)
h. Imam harus tidak sedang bermakmum kepada orang lain

Sedangkan kita sebagai makmum tentu ada syarat-syarat tertentu yang harus kita ketahui yitu :
a. Makmum harus berniat mengikuti imam
b. Makmum harus mengetahui gerakan salat imam
c. Makmum harus berada dalam satu tempat dengan imam
d. Makmum harus posisinya berada di belakang imam 
e. salat makmum harus sesuai dengan salat imam hendaklah, misalnya imam shalat isya makmum juga harus sholat isya

Rukun Sholat


Rukun Sholat

بِسْــــــــــــــــــمِ ﷲِالرَّحْمَنِالرَّحِيم

SYARAT-SYARAT SHALAT

Shalat tidak akan sah kecuali jika memenuhi syarat-syarat, rukun-rukun dan hal-hal yang wajib ada padanya serta menghindari hal-hal yang akan membatalkannya. Adapun syarat-syaratnya ada sembilan:

1 Islam,
2 Berakal,
3 Tamyiz (dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk),
4 Menghilangkan hadats,
5 Menghilangkan najis,
6 Menutup aurat,
7 Masuknya waktu,
8 Menghadap kiblat,
9 Niat.

Secara bahasa, syuruuth (syarat-syarat) adalah bentuk jamak dari kata syarth yang berarti alamat. Sedangkan menurut istilah adalah apa-apa yang ketiadaannya menyebabkan ketidakadaan (tidak sah), tetapi adanya tidak mengharuskan (sesuatu itu) ada (sah). Contohnya, jika tidak ada thaharah (kesucian) maka shalat tidak ada (yakni tidak sah), tetapi adanya thaharah tidak berarti adanya shalat (belum memastikan sahnya shalat, karena masih harus memenuhi syarat-syarat yang lainnya, rukun-rukunnya, hal-hal yang wajibnya dan menghindari hal-hal yang membatalkannya, pent.). Adapun yang dimaksud dengan syarat-syarat shalat di sini ialah syarat-syarat sahnya shalat tersebut.

Penjelasan Sembilan Syarat Sahnya Shalat

1. Islam
Lawannya adalah kafir. Orang kafir amalannya tertolak walaupun dia banyak mengamalkan apa saja, dalilnya firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi orang-orang musyrik untuk memakmurkan masjid-masjid Allah padahal mereka menyaksikan atas diri mereka kekafiran. Mereka itu, amal-amalnya telah runtuh dan di dalam nerakalah mereka akan kekal.” (At-Taubah:17) Dan firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (Al-Furqan:23)
Shalat tidak akan diterima selain dari seorang muslim, dalilnya firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Aali ‘Imraan:85)

2. Berakal
Lawannya adalah gila. Orang gila terangkat darinya pena (tidak dihisab amalannya) hingga dia sadar, dalilnya sabda Rasulullah (yang artinya), “Diangkat pena dari tiga orang: 1. Orang tidur hingga dia bangun, 2. Orang gila hingga dia sadar, 3. Anak-anak sampai ia baligh.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa-i, dan Ibnu Majah).
3. Tamyiz
Yaitu anak-anak yang sudah dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, dimulai dari umur sekitar tujuh tahun. Jika sudah berumur tujuh tahun maka mereka diperintahkan untuk melaksanakan shalat, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Perintahkanlah anak-anak kalian shalat ketika berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka ketika berumur sepuluh tahun (jika mereka enggan untuk shalat) dan pisahkanlah mereka di tempat-tempat tidur mereka masing-masing.” (HR. Al-Hakim, Al-Imam Ahmad dan Abu Dawud)
4. Menghilangkan Hadats (Thaharah)
Hadats ada dua: hadats akbar (hadats besar) seperti janabat dan haidh, dihilangkan dengan mandi (yakni mandi janabah), dan hadats ashghar (hadats kecil) dihilangkan dengan wudhu`, sesuai sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Allah tidak akan menerima shalat tanpa bersuci.” (HR. Muslim dan selainnya) Dan sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Allah tidak akan menerima shalat orang yang berhadats hingga dia berwudlu.” (Muttafaqun ‘alaih)
5. Menghilangkan Najis
Menghilangkan najis dari tiga hal: badan, pakaian dan tanah (lantai tempat shalat), dalilnya firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Dan pakaianmu, maka sucikanlah.” (Al-Muddatstsir:4). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Bersucilah dari kencing, sebab kebanyakan adzab kubur disebabkan olehnya.”

6. Menutup Aurat
Menutupnya dengan apa yang tidak menampakkan kulit (dan bentuk tubuh), berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Allah tidak akan menerima shalat wanita yang telah haidh (yakni yang telah baligh) kecuali dengan khimar (pakaian yang menutup seluruh tubuh, seperti mukenah).” (HR. Abu Dawud)

Para ulama sepakat atas batalnya orang yang shalat dalam keadaan terbuka auratnya padahal dia mampu mendapatkan penutup aurat. Batas aurat laki-laki dan budak wanita ialah dari pusar hingga ke lutut, sedangkan wanita merdeka maka seluruh tubuhnya aurat selain wajahnya selama tidak ada ajnaby (orang yang bukan mahramnya) yang melihatnya, namun jika ada ajnaby maka sudah tentu wajib atasnya menutup wajah juga.(terdapat iktilaf pada para Ulama’).Di antara yang menunjukkan tentang mentutup aurat ialah hadits Salamah bin Al-Akwa` radhiyallahu ‘anhu, “Kancinglah ia (baju) walau dengan duri.” Dan firman Allah ‘azza wa jalla, “Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaian kalian yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (Al-A’raaf:31) Yakni tatkala shalat.

7. Masuk Waktu
Dalil dari As-Sunnah ialah hadits Jibril ‘alaihis salam bahwa dia mengimami Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di awal waktu dan di akhir waktu (esok harinya), lalu dia berkata (yang artinya): “Wahai Muhammad, shalat itu antara dua waktu ini.” Dan firman Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisa`:103) Artinya diwajibkan dalam waktu-waktu yang telah tertentu. Dalil tentang waktu-waktu itu adalah firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Dirikanlah shalat dari sesudah tergelincirnya matahari sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) Shubuh. Sesungguhnya shalat Shubuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (Al-Israa`:78)

8. Menghadap Kiblat
Dalilnya firman Allah (yang artinya), “Sungguh Kami melihat wajahmu sering menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke Kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil-Haram, dan di mana saja kalian berada maka palingkanlah wajah kalian ke arahnya.” (Al-Baqarah:144)

9. Niat
Tempat niat ialah di dalam hati, sedangkan melafazhkannya adalah bid’ah (karena tidak ada dalilnya). Dalil wajibnya niat adalah hadits yang masyhur (yang artinya), “Sesungguhnya amal-amal itu didasari oleh niat dan sesungguhnya setiap orang akan diberi (balasan) sesuai niatnya.” (Muttafaqun ‘alaih dari ‘Umar Ibnul Khaththab)

RUKUN-RUKUN SHALAT

Rukun-rukun shalat ada empat belas:

Berdiri bagi yang mampu,
Takbiiratul-Ihraam,
Membaca Al-Fatihah,
Ruku’,
I’tidal setelah ruku’,
Sujud dengan anggota tubuh yang tujuh,
Bangkit darinya,
Duduk di antara dua sujud,
Thuma’ninah (Tenang) dalam semua amalan,
Tertib rukun-rukunnya,
Tasyahhud Akhir,
Duduk untuk Tahiyyat Akhir,
Shalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Salam dua kali.

Penjelasan Empat Belas Rukun Shalat

1. Berdiri tegak pada shalat fardhu bagi yang mampu
Dalilnya firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Jagalah shalat-shalat dan shalat wustha (shalat ‘Ashar), serta berdirilah untuk Allah ‘azza wa jalla dengan khusyu’.” (Al-Baqarah:238) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya), “Shalatlah dengan berdiri…” (HR. Al-Bukhary)

2. Takbiiratul-ihraam,
yaitu ucapan: ‘Allahu Akbar’, tidak boleh dengan ucapan lain. Dalilnya hadits (yang artinya), “Pembukaan (dimulainya) shalat dengan takbir dan penutupnya dengan salam.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan Al-Hakim) Juga hadits tentang orang yang salah shalatnya (yang artinya), “Jika kamu telah berdiri untuk shalat maka bertakbirlah.” (Idem)

3. Membaca Al-Fatihah
Membaca Al-Fatihah adalah rukun pada tiap raka’at, sebagaimana dalam hadits (yang artinya), “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah.” (Muttafaqun ‘alaih)

4. Ruku’

5. I’tidal (Berdiri tegak) setelah ruku’

6. Sujud dengan tujuh anggota tubuh

7. Bangkit darinya

8. Duduk di antara dua sujud
Dalil dari rukun-rukun ini adalah firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman ruku’lah dan sujudlah.” (Al-Hajj:77) Sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Saya telah diperintahkan untuk sujud dengan tujuh sendi.” (Muttafaqun ‘alaih)

9. Thuma’ninah dalam semua amalan

10. Tertib antara tiap rukun
Dalil rukun-rukun ini adalah hadits musii’ (orang yang salah shalatnya) (yang artinya), “Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk mesjid, lalu seseorang masuk dan melakukan shalat lalu ia datang memberi salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab salamnya dan bersabda: ‘Kembali! Ulangi shalatmu! Karena kamu belum shalat (dengan benar)!, … Orang itu melakukan lagi seperti shalatnya yang tadi, lalu ia datang memberi salam kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab salamnya dan bersabda: ‘Kembali! Ulangi shalatmu! Karena kamu belum shalat (dengan benar)!, … sampai ia melakukannya tiga kali, lalu ia berkata: ‘Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran sebagai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, saya tidak sanggup melakukan yang lebih baik dari ini maka ajarilah saya!’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: ‘Jika kamu berdiri hendak melakukan shalat, takbirlah, baca apa yang mudah (yang kamu hafal) dari Al-Qur`an, kemudian ruku’lah hingga kamu tenang dalam ruku’, lalu bangkit hingga kamu tegak berdiri, sujudlah hingga kamu tenang dalam sujud, bangkitlah hingga kamu tenang dalam duduk, lalu lakukanlah hal itu pada semua shalatmu.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan Al-Hakim)

11. Tasyahhud Akhir
Tasyahhud akhir termasuk rukun shalat sesuai hadits dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata (yang artinya), “Tadinya, sebelum diwajibkan tasyahhud atas kami, kami mengucapkan: ‘Assalaamu ‘alallaahi min ‘ibaadih, assalaamu ‘alaa Jibriil wa Miikaa`iil (Keselamatan atas Allah ‘azza wa jalla dari para hamba-Nya dan keselamatan atas Jibril ‘alaihis salam dan Mikail ‘alaihis salam)’, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan kalian mengatakan, ‘Assalaamu ‘alallaahi min ‘ibaadih (Keselamatan atas Allah ‘azza wa jalla dari para hamba-Nya)’, sebab sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla Dialah As-Salam (Dzat Yang Memberi Keselamatan) akan tetapi katakanlah, ‘Segala penghormatan bagi Allah, shalawat, dan kebaikan’, …” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan hadits keseluruhannya. Lafazh tasyahhud bisa dilihat dalam kitab-kitab yang membahas tentang shalat seperti kitab Shifatu Shalaatin Nabiy, karya Asy-Syaikh Al-Albaniy dan kitab yang lainnya.

12. Duduk Tasyahhud Akhir
Sesuai sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Jika seseorang dari kalian duduk dalam shalat maka hendaklah ia mengucapkan At-Tahiyyat.” (Muttafaqun ‘alaih)

13. Shalawat atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Jika seseorang dari kalian shalat… (hingga ucapannya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam) lalu hendaklah ia bershalawat atas Nabi.” Pada lafazh yang lain, “Hendaklah ia bershalawat atas Nabi lalu berdoa.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud) – berjamaah.com

Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz

14. Dua Kali Salam
Sesuai sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “… dan penutupnya (shalat) ialah salam.”

Inilah penjelasan tentang syarat-syarat dan rukun-rukun shalat yang harus diperhatikan dan dipenuhi dalam setiap melakukan shalat karena kalau meninggalkan salah satu rukun shalat baik dengan sengaja atau pun lupa maka shalatnya batal, harus diulang dari awal.

Wallaahu A’lam