Memahami Esensi dalam Bermazhab.
Pola bermazhab yang dianut mayoritas umat Islam di dunia kerap dipandang miring oleh sebagian kelompok tak sepaham. Dengan semangat “pemurnian” (purifikasi) ajaran, kelompok ini menyerukan gerakan kembali kepada sumber asli: al-Qur’an dan Hadits. Sikap membid’ahan, mengkafiran, dan menyesatan pihak lain pun tak segan meluncur. Tak sekadar keunikan lokal ekspresi beragama, pola bermazhab juga turut menjadi sasaran. Benarkah bermazhab menyimpang dari ajaran murni Islam? Apa dasar dan urgensi bermazhab? Apa jawaban bagi tudingan negatif yang ada? Berikut pandangan Rais Syuriyah PBNU KH A Ishomuddin yang disampaikan kepada Mahbib Khoiron dari NU Online, di Jakarta baru-baru ini.
Apa sebetulnya pengertian mazhab?
Itu secara bahasa mahalludz dizhab. Ada juga itu di Mu’jamul Lughah, Mu’jam fil Musthalahat wal Furuq al-Lughawiyah, Al-Kafawi namanya. Mazhab secara bahasa terbagi menjadi tiga makna. Yang pertama mazhab berarti al-mu’taqad, yang diyakini. Yang kedua mazhab itu memiliki makna at-thariqah, jalan atau metode. Nah, secara istilah itu ma dzahaba ilayhil imam minal aimmah minal ahkam al-ijtihadiyah. Sesuatu yang menjadi pendapat imam atau ahli agama tentang hukum-hukum yang ijtihadiyah yang digali dari sumbernya. Itu maknanya secara bahasa dan secara istilah.
Jadi bermazhab merupakan keberikutan pendapat imam yang bersifat ijtihadiyah. Tentunya mencakup dua hal, yaitu persoalan ushul (pokok) dan furu’ (cabang). Ushul fiqih ada dan fiqih sebagai hasilnya. Pendapat imam tentang ushul fiqih itu juga mazhab, oleh NU itu disebut sebagai mazhab manhaji (metodologis); kemudian ada pendapat imam tentang furu’, yakni fiqih itu, hasil dari istinbath (penyimpulan) hukum terhadap kasus-kasus yang terjadi pada setiap mazhab.
Soal sejarah kemunculan mazhab sendiri?
Mazhab ini muncul pada abad ke-3 Hijriyah. Imam-imam mazhab itu kan masa tabi’in dan masa tabi’ tabi’in. Ya, seperti Imam Syafi’i itu lahir tahun 150 Hijriyah dan wafat tahun 204 Hijriyah. Jadi pertumbuhan mazhab itu sekitar abad ke-3 Hijriyah. Itu ada empat mazhab yang terkenal dari mazhab-mazhab yang jumlahnya sangat banyak. Yang terkenal itu, tersebar di seluruh dunia, ada mazhab Imam Abu Hanifah, tokohnya namanya Abu Hanifah An-Nu’man, pengikutnya namannya al-Hanafiyah. Kemudian ada mazhab Imam Malik Bin Anas, pengikutnya namanya al-Malikiyah. Kemudian, ada mazhab Imam al-Syafi’i, pengikutnya namanya as-syafi’iyyah. Kemudian ada mazhab imam Ahmad bin Hambal. Nah menurut penelitian terakhir itu jumlah pengikut mazhab ini dari 96 % umat Islam dunia itu adalah pengikut fiqih dari mazhab empat ini. mazhab Abu Hanifah itu sebanyak 48 % dari 96 % umat Islam yang tradisional. Kemudian mazhab Imam Malik diikuti oleh 28 % umat Islam dunia, dan mazhab Imam Syafi’i 15 %, dan mazhab Imam Ahmad bin Hambal 2 %.
Seperti apa variasi bermazhab waktu itu?
Para pengikut mazhab, dalam bidang akidah, melahirkan para teolog, seperti Imam al-Asy’ari (Abu Hasan al-Asy’ari, red) itu mengikuti mazhab Imam Syafi’i di dalam fiqih. Sementara mazhab Imam Abu Hanifah itu melahirkan seorang teolog namanya Imam al-Maturidzi. Artinya Imam al-Maturizi ahli di bidang akidah tetapi mazhab fiqihnya mengikuti Imam Abu Hanifah.
Jadi mutakallimun lahir dari fuqaha?
Dulu tak ada pemisahan ilmu. Seorang muslim itu kan menggabungkan tiga sisi ilmu di dalam dirinya. Punya akidah menyangkut apa yang harus diyakini, kemudian sisi amaliyah, ya fiqih itu sendiri atau syari’ah, kemudian sisi akhlak dan tasawwuf dalam satu dimensi keilmuannya. Jadi yang disebut ahli agama, ya mempunyai tiga keahlian itu biasanya. Misalnya seorang sufi, ya faqih juga, seperti itu. Imam-imam mazhab itu sufi semua.
Mengenai urgensi bermazhab sendiri?
Menurut saya urgen sekali bermazhab. Bermazhab itu kan artinya punya metode, ya punya sumber. Sejak dulu, di Barat maupun di Timur. Abad ke-4 sampai sekarang semuanya sudah mengikuti ke mazhab-mazhab yang ada. Yang saya maksud ada itu, tulisan-tulisan dari para imam mazhab itu memang sudah terbukukan. Kitab-kitabnya itu menjadi pedoman yang diikuti. Diikuti umat Islam di berbagai negara.
Jadi penting sekali untuk mengikuti mazhab, karena tidak semua orang mampu menciptakan mazhab, tidak semua orang mampu melakukan ijtihad. Maka para ahli, seperti dalam kitab karya Ali Hasaballah, menjelaskan makhluk dibagi menjadi dua: kelompok yang jumlahnya tidak banyak, yaitu orang yang qadirun ala istinbathil ahkam atau orang yang mampu menggali hukum langsung dari sumbernya. Siapa itu? Ya para mujtahid, terutama mujtahid mutlaq mustaqil. Mereka bahkan membuat kaidah-kaidah sendiri untuk memahami al-quran dan assunnah. Kemudian ada juga mujtahid muntasib. Yaitu, tidak membuat kaidahnya sendiri, tetapi mereka mengikuti kaidah yang dibuat mujtahid mutlaq mustaqil dalam memformulasikan hukum, mengistinbatkan hukum. Itu kelompok orang-orang yang mampu menggali hukum dari sumbernya.
Kelompok yang kedua, ‘ajizun ‘ala istinbathil ahkam, orang awam, orang yang tidak mampu menggali sendiri hukum dari sumber al-Qur’an dan Sunnah. Itu memang dikarenakan keterbatasannya. Kalau mereka dipaksa istinbath, maka bubar agama ini, rusak. Ya, karena orang-orang yang tidak mampu menafsirkan Qur’an tapi menafsirkan. Maka mereka terkena Hadits Nabi, man fassaral qur’an bi ra’yihi fal yatabawwa’ maq’aduhu minan nar (siapa yang menafsirkan al-Qur’an dengan pendapat nafsunya maka nerakalah tempat singgahnya). Ya, seperti zaman sekarang ini. Zaman sekarang ini, banyak orang yang dengan beraninya mengatakan “tidak perlu bermazhab,” yang saya sebut “alla mazhabiyah” (kelompok non-mazhab), keluar dari mazhab yang ada karena Islam diturunkan katanya tanpa mazhab-mazhab. Kata mereka, “di zaman Nabi kan nggak ada mazhab-mazhab, ya kita kembali ke zaman Nabi aja.”
Itu adalah anggapan yang terlalu terburu-buru. Karena ulama-ulama mazhab itu adalah orang-orang yang diberi legitimasi oleh Nabi untuk diikuti. Karena Nabi memerintahkan umat untuk mengikuti pendapatnya ulama, dan ulama tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadits. Mereka inilah orang-orang yang diberi kewenangan oleh Nabi untuk memahami dan menjelaskan maksud dari al-Qur’an dan Sunnah, lahir kemudian Ijma’, kemudian al-Qiyas sebagai penafsiran terhadap ajaran agama. Allah dan Nabi sendirilah yang memerintahkan ulama itu untuk diikuti. Jadi perintah untuk mengikuti ulama itu langsung bersumber dari Nabi sendiri.
Mendakwakan diri sebagai tidak perlu bermazhab kemudian memunculkan upaya untuk membidahkan orang lain (tabdi’), tadllil (menyesatkan orang lain), atau takfir (mengafirkan orang lain). Itu semua muncul setelah mereka tidak mengikuti petunjuk-petunjuk para ulama yang sudah diperintahkan oleh Allah dan rasulul-Nya. Jadi itu bahaya-bahaya ditimbulkan ketika mereka tidak bermazhab.
Kalau kita jeli, sebenarnya, secara tidak sadar mereka (para anti mazhab) sedang membangun mazhabnya sendiri. Menyuruh orang tidak bermazhab tapi menyuruh untuk mengikuti dia. Ini kan lucu. Ini namanya farra minal ma’ waqa’a fil ma’ (lari dari air namun terperosok ke air yang lain). Dia mengajak untuk lari dari pendapat Imam Syafi’i, tapi mengajak orang untuk mengikuti pendapat dia. Ini kan sesuatu yang keburu nafsu dan berbahaya.
Bagaimana dengan tudingan bermazhab sebagai pemicu kemandegan?
Manusia itu kan memang ada yang stagnan. Itu kasuistik, tidak semua orang stagnan. Manusia itu harus dipahami sebagai makhluk yang dinami. Bukan penyebabnya adalah pendapat-pendapat imam mazhab dalam kitab-kitabnya itu yang membuat kita stagnan. Orang-orang kita yang stagnan. Kenapa orang-orang sekarang tidak sekreatif ulama-ulama terdahulu. Bayangkan saja, kiai-kiai di Indonesia, misalnya, itu tidak banyak yang menulis kitab-kitab sebagaimana ulama terdahulu, melainkan paling pol mengonsumsi dari kitab-kitab tersebut. Itu justru yang menunjukkan bahwa yang stagnan itu kita. Bukan ulama-ulama mazhab itu yang stagnan. Jadi, logikanya dibalik. Stagnan itu kasuistik, tidak pada setiap orang. Malah kalau kita mau menggali pendapat-pendapat lama prinsip-prinsipnya masih banyak yang masih cocok dengan kekinian. Jadi bisa lebih dinamis.
Munginkah imam mazhab akan muncul di era kekinian?
Mujtahid mutlaq mustaqil tidak mungkin wujud lagi, disebabkan rendahnya semangat untuk belajar. Jadi saya katakan, tidak mungkin orang mendakwakan diri sebagai mujtahid mustaqil pada zaman sekarang ini kecuali oleh orang yang naqishul aqli (orang yang kurang sehat akalnya), qalilud din (sempit wawasannya), atau raqiqud din (lemah agamanya). Yaitu, orang yang semangat agamanya lebih tinggi daripada kemampuannya untuk memahami agamanya. Itu biasanya dilakukan oleh orang yang biasanya mendakwakan diri dengan slogan kembali kepada al-Qur’an dan Hadits.
Ada apa dengan slogan tersebut?
Slogan ini seolah-olah mengatakan bermazhab berarti tidak taat kepada al-Qur’an dan Hadits. Itu bagian dari buruk sangka. Saya sudah katakan tadi bahwa bermazhab itu bukan lepas dari sumber-sumber hukum, al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Mazhab empat itu tidak keluar dari al-Qur’an dan Sunnah. Apalagi, ulama-ulama terdahulu. Jadi keliru besar kalau mengatakan bahwa dengan bermazhab berarti terhalang untuk kembali ke al-Qur’an dan Hadits. Lha wong isi dari kitab ulama-ulama mazhab yang dipelajari di pesantren-pesantren, yang dikenal al-kutub al-shafra’ al-qadimah (kitab-kitab kuning klasik), itu berisi penafsiran yang ditulis oleh ahlinya. Jadi keliru sampai mengatakan bahwa imam-imam mazhab keluar dari al-Qur’an dan Hadits.
Mengenai perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab?
Itu wajar. Perbedaan pendapat untuk persoalan-persoalan yang sifatnya penafsiran, yang sumber hukumnya dhanniyud dilalah itu bisa menimbulkan perbedaan pendapat. Itu sesuatu yang wajar, bahkan sunnatullah. Tapi bukan sekadar berbeda. Perbedaan ulama-ulama terdahulu sejak zaman Nabi, sahabat, tabi’, tabi’ tabi’in, semua didasari ilmu. Bukan seperti orang-orang sekarang, waton suloyo, yang penting beda. Nah, perbedaan itu sering tidak didasari oleh ilmu agama yang mendalam tetapi oleh hawa nafsu. Itu yang sangat berbahaya dan merusak agama.
Slogan kembali ke Qur’an dan Hadits itu slogan yang benar. Fain tanaza’tum fi syai’in farudduhu ilallaahi war rasul (jika kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya). Persoalannya bukan pada slogan itu sendiri, tetapi slogan itu ketika diterapkan benar nggak nantinya. Ketika orang-orang yang tidak mampu menguasai bahasa Arab, tidak mampu menguasai alat-alat menafsirkan, ilmu-ilmu alat untuk menafsirkan al-Qur’an dan Hadits kemudian mereka menafsirkan al-Qur’an. Ini kan yang tadi kena Hadits Nabi man fassaral qur’an bi ra’yihi fal yatabawwa’ maq’adahu minan nar. Jadi bukan masalah slogannya, tetapi bagaimana orang-orang yang punya slogan itu mampu memenuhi prasyarat untuk menafsirkan al-Qur’an dan Hadits. Kita bukan nggak setuju dengan slogannya, tetapi kita nggak setuju ketika itu dipraktikkan oleh orang-orang yang bukan ahlinya.
Bagaimana menghadapi isu-isu yang sama sekali baru, berbeda dengan keadaan dulu?
Pendapat ulama itu menjadi pedoman bagi ulama-ulama berikutnya. Tetapi tidak semua zaman itu memiliki kasus-kasus hukum yang sama. Maka setiap ulama pada zamannya masing-masing harus memiliki tanggung jawab untuk memecahan hukum itu ketika masalah ditanyakan.
Bagaimana memberi jawabannya? Kaidah-kaidah yang sudah dibuat ulama terdahulu itu dijadikan acuan untuk memecahkan kasus-kasus hukum baru. Itu yang di NU dikenal dengan bermazhab secara manhaji (metodologis). Misalnya, memecahkan masalah dengan menggunakan pedoman bahtsul masail, ilhaqul masail bi nadhairiha, mencari kasus-kasus yang mirip dalam kitab-kitab mazhab itu untuk dicarikan hukumnya yang sama. Jika tidak ada kemiripan, maka terpaksa menggunakan istinbath jama’i, yakni formulasi hukum yang dilakukan secara kolektif oleh para ahli untuk dicari solusi atau putusan hukumnya, menggunakan qawaid ushuliyah (kaidah ushul fiqih), qawaid fiqhiyah (kaidah fiqih)), dan dlawabith fiqhiyah (kaidah bab tertentu fiqih) yang dibuat ulama-ulama terdahulu.
Jadi tidak ada masalah-masalah yang tidak dapat dipecahkan karena wajib memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan baru yang dulu belum pernah terjadi. Nanti kalau tidak dikasih jawaban kan nggak ada kepastian hukum, seperti kasus kloning, apa ada pada masa Nabi? Kasus inseminasi buatan, bayi tabung, kasus mendirikan tower BTS di lahan masjid, transaksi via internet, menggunakan card system pada transaksi di supermarket yang pihak supermarket menagih ke bank, semua itu nggak ada pada zaman Nabi, dan harus ditemukan jawaban hukumnya, dan itu tanggung jawab ulama-ulama sekarang.
Maka, ulama-ulama sekarang harus tetap bermazhab secara manhaji. Apa mereka akan cari sendiri rujukannya dalam al-Qur’an dan Hadits? Nggak bakalan ketemu. Karena ulama-ulama sekarang yang slogannya kembali ke Qur’an dan Hadits tidak menciptakan metodologi, tidak membuat kaidah untuk kembali ke Qur’an dan Hadits. Maka peghargaan kepada ulama-ulama terdahulu itu menjadi niscaya bagi umat Islam di seluruh dunia. Semua kasus pasti ada jawabannya, tinggal ulamanya mampu menjawab atau tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar