Hukum Jadi Imam Shalat Padahal Tidak Disukai Jamaah
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Pak ustadz yang kami hormati, semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Di lingkungan sekitar saya ada satu masjid. Setidaknya ada tiga orang yang menjadi imam shalat fardhu. Tetapi dari tiga imam tersebut ada satu imam yang sok tahu, sok pintar dan terkesan merasa paling benar sendiri. Kalau mengingatkan orang lain bahasanya terkesan kurang halus. Selain itu ada beberapa hal yang menurut kami tidak perlu disebutkan. Akibatnya banyak orang yang tidak menyukainya.
Yang ingin kami tanyakan adalah bagaimana hukumnya orang yang menjadi imam shalat, padahal mayoritas jamaah tidak menyukainya? Lantas bagaimana hukum kita shalat dengannya? Mohon penjelasannya. Kami sampaikan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Nama dirahasiakan/Jakarta Selatan)
Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah SWT. Dalam kehidupan bermasyarakat persoalan suka atau tidak suka terhadap satu individu adalah hal yang lumrah. Ada orang yang kita sukai, adapula yang tidak kita sukai. Ada orang yang banyak disukai, adapula yang orang yang banyak dibenci.
Lantas bagaimana jika ada sosok atau orang yang tidak banyak disukai di lingkungannya karena berbagai sebab, di antaranya karena akhlaknya kurang baik atau seperti karena beberapa hal yang kurang berkenan seperti dijelaskan dalam pertanyaan di atas, menjadi imam shalat, padahal mayoritas jamaahnya kurang menyukainya?
Dalam literatur kitab fikih madzhab Syafi‘i dijelaskan bahwa jika ada seseorang yang tidak disukai orang banyak atau di lingkungan sekitar, maka ia dimakruh menjadi imam.
Sedangkan salah satu dalil yang dikemukakan untuk mendukung pendapat ini adalah riwayat Ibnu Abbas RA yang menyatakan bahwa Nabi SAW pernah mengatakan bahwa ada tiga orang di mana Allah tidak mengangkat shalat mereka ke atas kepalanya, salah satunya adalah seseorang yang menjadi imam shalat padahal jamaahnya tidak menyukainya.
َُْูููุฑَُู ุฃَْู ُูุตََِّูู ุงูุฑَّุฌُُู ุจَِْููู
ٍ َูุฃَْูุซَุฑُُูู
ْ َُูู َูุงุฑَُِููู ِูู
َุง ุฑََูู ุงุจُْู ุนَุจَّุงุณٍ ุฑุถู ุงููู ุนูู ุฃََّู ุงَّููุจَِّู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู
َูุงَู ุซََูุงุซَุฉٌ َูุง َูุฑَْูุนُ ุงُููู ุตََูุงุชَُูู
ْ ََْููู ุฑُุคُูุณِِูู
ْ َูุฐََูุฑَ ِِْูููู
ْ ุฑُุฌًُูุง ุฃَู
َّ َْููู
ًุง َُููู
ْ َُูู َูุงุฑَُِููู
Artinya, “Dimakruhkan seseorang shalat menjadi imam bagi suatu kaum, sedangkan mayoritas dari kaum itu tidak menyukainya. Pandangan ini didasarkan pada riwayat Ibnu Abbas RA yang menyatakan bahwa Nabi SAW pernah mengatakan bahwa ada tiga orang yang Allah tidak mengangkat shalat mereka ke atas kepalanya, salah satunya yang disebutkan dalam riwayat tersebut adalah seseorang yang mengimami suatu kaum padahal kaum tersebut tidak menyukainya,” (Lihat Abu Ishaq Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqhil Imamis Syafi’i, Beirut, Darul Fikr, juz II, halaman 98).
Lain halnya apabila yang tidak menyukainya hanya sebagian kecil orang. Dalam konteks yang kedua ini, maka ia tidak makruh menjadi imam, sebab tidak ada seorang pun yang sama sekali disukai semua orang.
َูุฅِْู َูุงَู ุงَّูุฐَู َْููุฑَُُูู ุงْูุฃََُّูู َูู
ْ ُْููุฑَْู ุฃَْู َูุคُู
َُّูู
ْ ِูุงََّู ุฃَุญَุฏًุง َูุง َูุฎُْูู ู
ِู
َّْู َْููุฑُُُูู
Artinya, “Karenanya apabila orang tersebut tidak disukai oleh sedikit orang maka ia tidak makruh menjadi imam mereka, karena tidak ada seorang pun yang semua orang menyukainya,” (Lihat, Abu Ishaq As-Syirazi, Al-Muhadzdzab fi Fiqhil Imamis Syafi’i, juz II, halaman 98).
Sampai di sini terlihat jelas kemakruhan menjadi imam bagi orang yang tidak disukai oleh kebanyakan orang atau lingkungan sekitar. Jika dikatakan bahwa orang yang tidak disukai kebanyakan orang makruh menjadi imam bagi mereka, lantas apakah mereka juga makruh bermakmum dengan orang tersebut?
Ketidaksukaan kebanyakan orang terhadap imam tersebut ternyata tidak dengan serta memakrukan mereka untuk bermakmun dengannya. Jadi yang terkena hukum makruh adalah seseorang yang menjadi imam padahal ia tidak disukai oleh mayoritas jamaahnya sehingga jamaah yang bermakmun kepadanya tidak terkena hukum makruh. Demikian sebagaimana yang dipahami dari penjelasan Sulaiman Al-Jamal berikut ini.
ุฃَู
َّุง ุงْูู
ُْูุชَุฏَُูู ุงََّูุฐَِูู َْููุฑََُُูููู ََููุง ุชُْูุฑَُู َُููู
ُ ุงูุตََّูุงุฉُ ุฎََُْููู
Artinya, “Adapun orang-orang yang bermakmum kepada (imam) yang mereka tidak sukai maka tidak makruh bagi mereka untuk shalat di belakangnya,” (Lihat Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyatul Jamal, Beirut, Darul Fikr, juz II, halaman 767).
Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga dapat dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq,
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
MEDIA PARTNER
© 2016 NU Online. All rights reserved. Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar