Rabu, 26 Juni 2019

Celana Cingkrang dan Kesombongan Beragama

Toggle navigation

Celana Cingkrang dan Kesombongan Beragama


Seorang mahasiswa perguruan tinggi di Bandung mempertanyakan, apakah bila kita memakai celana harus di atas mata kaki atau harus ditinggikan di bawah lutut? Pertanyaan ini disampikannya terkait anjuran sekelompok umat Muslim di Indonesia bagi kaum laki-laki untuk memakai celana yang tinggi, hampir di bawah lutut. Kelompok ini sudah berkembang di kampus-kampus.
 
Sepanjang yang kami ketahui, praktik memakai celana di atas mata kaki, ini merujuk pada suatu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah. Bahwa Rasulullah SAW bersabda,

مَا أسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإزَارِ فَفِيْ النَّارِ

Sarung (celana) yang di bawah mata kaki akan ditempatkan di neraka

Dari hadits tersebut para ulama berpendapat bahwa sunnah memakai pakaian tidak melebihi kedua mata kaki. 

Sebagian ulama bahkan mengharamkan mengenakan pakaian sampai di bawah mata kaki jika dimaksudkan lil khulayah atau karena faktor kesombongan, matan haditsnya adalah tentang kesombongan, Hal ini juga didasarkan pada hadits lain riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Umar. Rasulullah SAW bersabda,
 

لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ

 
Allah tidak melihat orang yang merendahkan pakaiannya dengan penuh kesombongan. 

Tentunya ini sesuai dengan konteks saat itu, bahwa merendahkan pakaian atau memakai pakaian di bawah lutut di daerah Arab waktu itu adalah identik dengan ria dan kesombongan.

Nah, secara fiqhiyah, atau menurut para ulama fikih, hadits ini difahami bahwa kain celana atau sarung di atas mata kaki dimaksudkan supaya terbebas dari kotoran atau najis. Artinya masalikul illat atau ihwal disunnahkan mengangkat celana adalah untuk menghindari najis yang mungkin ada di tanah atau jalanan yang kita lewati.

Berdasarkan ketentuan fikih ini, menurut kami, kita dipersilakan memakai pakaian sebatas mata kaki, tidak harus di atasnya, selama kita bisa memastikan akan bisa menjaga celana kita dari kotoran dan najis, misalnya dengan memakai sepatu atau sandal atau mengangkat atau menekuk celana kita pada saat jalanan hujan atau basah.

Perlu direnungkan bahwa berpakaian adalah bagian dari budaya. Dalam Islam kita mengenal istilah tahzinatau etika dalam berpenampilan yang selaras sesuai dengan adat lingkungan setempat. Kita dipersilakan mengikuti tren pakaian masa kini asal tetap mengikuti ketentuan yang wajib yakni untuk laki-laki harus menutupi bagian tubuh dari mulai pusar hingga lutut.

Muhammad Ainun Najib, atau yang akrab disapa Cak Nun pernah menyampaikan pernyataan dan keterangan mengenai celana cingkrang. Hal itu diutarakan di hadapan Majelis Masyarakat Maiyah, beberapa waktu lalu. Ia mengatakan bahwa kain atau pakaian yang berumbai-rumbai sampai menyentuh tanah sebagai lambang budaya orang-orang kaya. Sementara rakyat miskin seperti Nabi Muhammad, tidak mungkin mengenakan seperti itu. 

"Dulu itu kan, di Arab, lambang budaya orang-orang kaya mengenakan pakaian yang berumbai-rumbai, yang panjang, sampai menyentuh tanah. Seperti pakaian raja atau kaisar, begitu. Abu Jahal sering memakai pakaian seperti itu. Tapi kalau orang miskin seperti Nabi Muhammad ya seadanya lah. Karena biar praktis lah. Kan gak mungkin, ngangon kambing dengan memakai pakaian yang besar-besar seperti itu. Sangat tidak efektif," tandas suami Novia Kolopaking itu.

Maka itu, lanjut Cak Nun, Nabi Muhammad memberi pernyataan bahwa jangan memanjangkan kain untuk kesombongan. Poin pentingnya ada dua. Memanjangkan kain dan sifat sombong. Namun, titik fokus atau penekanannya ada pada kesombongan. Artinya, silakan mengenakan celana cingkrang untuk menjauhkan diri dari kesombongan.

"Tapi sekarang kan tidak (berbeda dengan pada zaman Nabi), yang dilihat hanya pada kainnya. Sombong tidak apa-apa asal kainnya di atas mata kaki (cingkrang)," kata Cak Nun disambut gemuruh tawa jamaah Maiyah.

Dari situ, kita mendapat pelajaran berharga. Bahwa dewasa ini, di kota-kota besar banyak cara beragama yang diliputi kesombongan. Merasa dekat dengan Rasulullah sehingga memberi jarak kepada orang-orang yang tidak mengenakan celana cingkrang. Sekali lagi, saya menaruh hormat dan mengapresiasi kepada siapa pun yang memakai celana cingkrang karena kecintaannya terhadap Nabi Muhammad. Tetapi, saya sangat menyayangkan sikap kita yang sok ahli dalam ibadah sehingga menyalahkan orang-orang yang memakai celana bawah mata kaki bukan karena sombong, karena kesombongan itu bukan terletak dikain yang panjang, boleh jadi dia memakai kainnya sarung atau celana hingga menutupi mata kakinya akan tetapi dia Tawadhu.

Hujjatul Islam Imam Ghozali dalam Kitab Ihya Ulumuddin menulis tentang godaan iblis yang disebut talbis. Yakni, godaan yang ditujukan kepada orang-orang yang telah merasa baik beragama, tetapi sebenarnya tidak. Hal itu karena hatinya diliputi sifat sombong. Talbis merupakan suatu godaan yang seolah-olah baik, secara sampul dan cover seperti dekat dengan agama, padahal isi hati diliputi oleh sifat yang sangat tidak disukai oleh Allah dan Rasulullah.

Sebagaimana ilmu marketing, mengemas segala sesuatu dengan kebaikan agar mendapat perhatian lebih dari konsumen atau khalayak umum. Dengan demikian, sangat cara beragama model ilmu marketing itu sangat jauh dari nilai-nilai luhur agama. Karenanya, kita mesti berhati-hati agar tidak terjerumus pada godaan iblis yang dapat menjerumuskan ke dalam lembah kenistaan.

Begitu juga halnya dengan orang-orang yang gemar mengenakan kain sarung. Saya berpesan, agar tidak sombong dalam beragama. Tidak merasa suci dan merasa dekat dengan Allah. Sebab, kemuliaan tidak diukur dari sampul, melainkan dari ketakwaan. Berpakaian yang menyimbolkan keagamaan, memang perlu, tetapi meningkatkan kualitas takwa kepada Allah jauh lebih penting.

Berlomba-lomba dalam kebaikan. Demikian pesan Al-Quran kepada seluruh umat manusia, khususnya umat Islam. Sementara menyombongkan diri merupakan sikap yang jauh dari kebaikan. Lalu, bagaimana kita seharusnya? Kita sendiri yang berhak menentukan.

Wallahu a'lam.

(Sanhaji)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar