Maliki atau Maaliki?
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
Yang Menguasai di hari Pembalasan.
Sesudah Allah swt. menyebutkan beberapa sifat-Nya, yaitu : Tuhan semesta alam, Yang Maha Pemurah, Yang Maha Penyayang, maka diiringi-Nya dengan menyebutkan satu sifat-Nya lagi, yaitu Yang Menguasai hari pembalasan. (QS. Al-Fatihah ayat ke-4).
Kata مَالِكِ (Maaliki) dapat dibaca dengan dua macam bacaan; pertama dengan memanjangkan bacaan huruf Mim, yaitu مَالِكِ (Maaliki). Dan kedua dengan memendekkan bacaan huruf Mim, yaitu مَلِكِ (Maliki). Dan kedua macam bacaan itu dibolehkan, yaitu مَالِكِ (Maaliki) huruf Mim dibaca panjang dengan menggunakan huruf mad alif, menurut ahli qiraat, antara lain imam عاصم (‘Ashim), كسائي (Kisai), خلف (Khalaf), dan juga menurut banyak dari para sahabat;[1] dan مَلِكِ (Maliki) Mim dibaca pendek, tanpa huruf alif menurut ahli qiraat, antara lain imam أبو الدرداء (Abu Darda’), ابن عمر (Ibnu Umar), dan juga menurut banyak dari para sahabat dan tabi’in[2] . Terdapat sebuah riwayat sebagai berikut :
حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ يَحْيَى الْأُمَوِيُّ حَدَّثَنِي أَبِي حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّهَا ذَكَرَتْ أَوْ كَلِمَةً غَيْرَهَا قِرَاءَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ -{الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ - الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ - مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ} يُقَطِّعُ قِرَاءَتَهُ آيَةً آيَةً قَالَ أَبُو دَاوُد سَمِعْتُ أَحْمَدَ يَقُولُ الْقِرَاءَةُ الْقَدِيمَةُ {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ}.(رواه ابو داود : 3487 - سنن ابو داود – المكتبة الشاملة – الجزء :11 – صفحة : 13)
Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Yahya Al Umawi, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Abdullah bin Abu Mulaikah, dari Ummu Salamah bahwa ia menyebutkan - kalimat yang lainnya- bacaan Rasulullah saw : BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM, Al HAMDULILLAAHI RABBIL 'AALAMIIN, ARRAHMAANIRRAHIIM, MALIKI YAUMIDDIIN', beliau membacanya dengan memutus bacaan satu ayat-satu ayat." Abu Daud berkata : "Aku mendengar Ahmad berkata : "Bacaan yang lama adalah MAALIKI YAUMIDDIIN." (HR.Abu Daud : 3487, Sunan Abu Daud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 11, hal. 13)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ مَعْمَرٌ وَرُبَمَا ذَكَرَ ابْنَ الْمُسَيِّبِ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ يَقْرَءُونَ {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} وَأَوَّلُ مَنْ قَرَأَهَا {مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ} مَرْوَانُ - قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا أَصَحُّ مِنْ حَدِيثِ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَنَسٍ وَالزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ. (رواه ابو داود : 3486 – سنن ابو داود – المكتبة الشاملة – الجزء :11 – صفحة : 12)
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq, telah mengabarkan kepada kami Ma'mar, dari Az Zuhri, Ma'mar berkata;
bisa juga ia menyebut Ibnu Al-Musayyab Ia berkata : "Nabi saw, Abu Bakr dan Umar, serta Utsman membaca : مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (MAALIKI YAUMIDDIIN), dan orang yang pertama kali membaca : مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ (MALIKI YAUMIDDIIN) adalah Marwan." Abu Daud berkata, "Hadits ini lebih shahih daripada hadits Az-Zuhri dari Anas, dan Az-Zuhri dari Salim dari ayahnya." (HR.Abu Daud : 3486, Sunan Abu Daud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 11, hal. 12)
Dari dua macam bacaan, timbul dua macam makna, yaitu مَالِكِ (Maaliki), artinya : Yang Memiliki (pemilik / yang empunya); sedangkan مَلِكِ (Maliki), artinya : Raja. Kedua makna ini sama-sama ada pada diri Allah saw. Penyebutan Allah sebagai Raja hari pembalasan mengisyaratkan bahwa di sana akan ditegakkan keadilan. Sedangkan penyebutan-Nya sebagai pemilik hari tersebut; mengisyaratkan bahwa pembalasan akan dilakukan dengan benar oleh-Nya sebagai hakim yang seadil-adilnya. Penggabungan antara dua makna tersebut menunjukkan bahwa kekuasaan Allah saw, adalah hakiki. Sebab ada di antara para makhluk yang menjadi raja, namun ia bukanlah sang pemilik kerajaannya. Dia hanyalah orang yang berlabel raja, tapi pada hakikatnya kekuasaan tidak di tangannya. Begitu pula ada di antara para manusia yang menjadi pemilik sesuatu, namun bukan seorang raja, sebagaimana kondisi kebanyakan orang. Adapun Allah saw adalah Raja dan Pemilik. Dari kedua makna itu dapat dipahami adanya arti : "berkuasa" dan bertindak dengan sepenuhnya. Sebab itulah maka diterjemahkan dengan: "Yang menguasai".
Kekuasaan, kerajaan serta kepemilikan mutlak berada di tangan Allah yang tidak dapat diungguli, diimbangi dan diseratai oleh siapapun dan sesuatu apapun juga. Firman Allah :
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنزعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah : "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS.Ali ‘Imran : 26)
الْمُلْكُ يَوْمَئِذٍ الْحَقُّ لِلرَّحْمَنِ وَكَانَ يَوْمًا عَلَى الْكَافِرِينَ عَسِيرًا
Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan adalah (hari itu), satu hari penuh kesukaran bagi orang-orang kafir. (QS.Al-Furqan : 26)
Kemudian يوم الدين (Yaumiddin) terdiri dari dua kata; pertama kata "Yaum" yang artinya adalah “hari”, tetapi yang dimaksud di sini ialah waktu secara mutlak. Dan kedua kata "Ad-Din" yang banyak artinya, antara lain : Perhitungan, ganjaran, pembalasan, patuh, menundukkan, syariat dan agama. Dan yang dimaksud dengan يوم الدين (Yaumiddin: hari Pembalasan) ialah hari yang diwaktu itu masing-masing manusia menerima pembalasan amalannya yang baik maupun yang buruk.
Lafal ‘yaumuddiin’ disebutkan secara khusus, karena di hari itu tiada seorang pun yang mempunyai kekuasaan, kecuali hanya Allah Taala semata, sesuai dengan firman Allah Taala yang menyatakan, “Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini (hari kiamat)? Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.”[3]
يَوْمَ هُمْ بَارِزُونَ لَا يَخْفَى عَلَى اللَّهِ مِنْهُمْ شَيْءٌ لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ
Pada hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tiada suatupun dari keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allah. (lalu Allah berfirman) : "Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?" kepunyaan Allah yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. (QS.Al-Mu’min/Ghafir : 16)
Nama-nama lain dari يوم الدين Yaumiddin adalah يوم القيامة (yaumilqiyaamah : hari kiamat),يوم الحساب (yaumuilhisaab : hari perhitungan), يوم الجزاء (yaumiljazaa' : hari pembalasan)
dan sebagainya. Dan arti yang selaras di sini ialah "pembalasan". Jadi "Maaliki yaumiddin" maksudnya "Tuhan itulah yang berkuasa dan yang dapat bertindak dengan sepenuhnya terhadap semua makhluk-Nya pada hari pembalasan itu". Sebetulnya pada hari kemudian itu banyak hal-hal yang terjadi, yaitu hari kiamat, hari berbangkit, hari berkumpul, hari perhitungan dan hari pembalasan, tetapi di sini hanya pembalasan sajalah yang disebut oleh Allah, karena itulah yang terpenting. Yang lain, seperti kiamat, berbangkit dan seterusnya, merupakan pendahuluan dari pembalasan itu, sehingga "hari pembalasan" itulah yang lebih tepat. Firman Allah :
وَمَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ - ثُمَّ مَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الدِّينِ - يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَيْئًا وَالْأَمْرُ يَوْمَئِذٍ لِلَّهِ
Tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? (yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. Dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah. (QS.Al-Infithar : 17 – 19)
Islam membawa kepastian tentang adanya hari Pembalasan terhadap semua perbuatan yang telah dikerjakan manusia selama hidupnya biar pun besar atau kecil. Firman Allah :
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ - وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarah pun niscaya akan melihat (balasan)nya pula. (Q.S Az-Zalzalah: 7-8)
يَوْمَ يَأْتِ لاَ تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيدٌ
Di kala datang hari itu, tidak ada seorangun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; Maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia. (QS. Hud: 105)
Nasehat ‘Ali bin Abi Thalib
وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ ارْتَحَلَتْ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً وَارْتَحَلَتْ الْآخِرَةُ مُقْبِلَةً وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الْآخِرَةِ وَلَا تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلَا حِسَابَ وَغَدًا حِسَابٌ وَلَا عَمَلٌ. (صحيح البخاري – المكتبة الشاملة - بَاب فِي الْأَمَلِ وَطُولِهِ – الجزء : 20 – صفحة : 40)
Dan ‘Ali bin Abi Thalib berkata : Dunia berjalan meninggalkan kita dan akhirat berjalan menghampiri kita. Masing-masing memiliki anak. Maka jadilah kalian anak-anak akhirat dan janganlah menjadi anak-anak dunia. Hari ini adalah waktu beramal bukan pembalasan, dan kelak adalah hari pembalasan dan tidak ada kesempatan untuk beramal”.(Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 20, hal. 40)
Naseahat ‘Ali bin Abi Thalib ini mestinya memotivasi kita untuk memperbanyak amal shalih di dunia, agar kelak di akhirat kita bisa memetik buah manis dari amalan tersebut. Sebab jika kita telah memasuki hari itu, kesempatan untuk beramal telah tertutup rapat. Tidak ada lagi kesempatan melakukan shalat satu raka’at atau berdzikir satu kata-pun, guna menambah timbangan amal kebajikan.
Dalil ‘Aqli Tentang Hari Pembalasan
Kepercayaan tentang adanya hari akhirat, yang di hari itu akan diadakan perhitungan terhadap perbuatan manusia di masa hidupnya dan diadakan pembalasan yang setimpal, adalah suatu kepercayaan yang sesuai dengan akal. Sebab itu adanya hidup yang lain, sesudah hidup di dunia ini bukanlah saja ditetapkan oleh agama, malah juga ditunjukkan oleh akal. Seseorang yang mau berpikir tentu akan merasa bahwa hidup di dunia ini belumlah sempurna, perlu disambung dengan hidup yang lain. Alangkah banyaknya hidup di dunia ini orang yang teraniaya telah pulang ke rahmatullah sebelum mendapat keadilan. Alangkah banyaknya orang yang berjasa, biar kecil atau besar, belum mendapat penghargaan terhadap jasanya. Alangkah hanyaknya orang yang telah berusaha, memeras keringat dan peluh, membanting tulang tetapi belum sempat lagi merasa buah usahanya itu. Sebaliknya, alangkah banyaknya penjahat-penjahat, penganiaya, pembuat onar yang tak dapat dipegang oleh pengadilan di dunia ini. Lebih-lebih kalau yang melakukan kejahatan atau aniaya itu orang yang berkuasa, pembesar dan lain sebaqgainya. Maka biar pun kejahatan dan aniaya itu telah menimpa seluruh bangsa tidaklah digugat orang, malah dia tetap dipuja dan dihormati. Maka di manakah akan didapat gerangan keadilan itu, kalau tidak ada nanti mahkamah yang lebih tinggi, yaitu mahkamah Allah di hari kemudian.
أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ
Bukankah Allah hakim yang seadil-adilnya? (QS.At-Tiin : 8)
وَنَادَى نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ
Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya anakku Termasuk keluargaku, dan Sesungguhnya janji Engkau Itulah yang benar. dan Engkau adalah hakim yang seadil-adilnya." (QS. Huud : 45)
[1]. Syihabuddin Muhmud Ibnu Abdillah Al-Husaini Al-Alusi,Tafsir Al-Alusi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab/juz 1, hal. 57 .
[2]. Ibdi. Hal. 57
[3]. Lihat Tafsir Jalalain, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab 4, juz : 1, hal. 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar