Selasa, 31 Maret 2020

CIRI KHAS ULAMA DAN PENGIKUT MUJASIMAH SALAFI/WAHABI

CIRI KHAS ULAMA DAN PENGIKUT MUJASIMAH SALAFI/WAHABI

Ada beberapa ciri-ciri yang mudah yang dapat kita lihat untuk
mengetahui bahwa seseorang tersebut menjadi pengikut mujasimah
Salafi/Wahabi.
Perlunya deteksi sejak dini terhadap kelompok mujasimah ini agar kita
sodara teman sanak kita tidak mudah terpapar
penyimpangan ajaran mereka ini.
Dan berikut ini karakter ciri khas para pengikut dan penganut ajaran
mujasimah Salafi/Wahabi.
1. Kata kunci atau tema yang biasa diulang-ulang dan dibahas oleh
ulama berfaham mujasimah Salafi/Wahabi berkisar pada kata bid'ah,
syirik, kufur, syiah rafidhah yang ditujukan kepada kelompok Islam yang
tidak sepemikiran dengan mereka. Kita akan sangat sering menemukan
salah satu dari empat kata tersebut dari setiap kajian atau fatwva
mereka.
2. Dalam memberi fatwa, ulama Salafi/Wahabi cenderung akan
berijtihad sendiri dengan mengutip ayat dan hadits yang mendukung.
Atau kalau pun mengutip pendapat ulama, mereka cenderung mengutip
pendapat lbnu Taimiyah dan Ibnu Qoyyim AI Jauziyah. Selanjutnya
mereka akan membuat fatwa sendiri yang kemudian akan menjadi dalil
para pengikut Wahabi/Salafi. Dengan kata lain, sejatinya para pengikut
Wahabi/Salafi bertaqlid buta pada ulama Wahabi/Salafi.
3. Kalangan ulama Salafi/Wahabi sangat jarang mengutip pendapat
ulama Salaf seperti ulama 4 madzhab dan yang lain kecuali madzhab
Hanbali yang merupakan tempat rujukan asal mereka dalam bidang
fiqih,walaupun tidak mereka akui secara jelas. Hanya pendapat Ibnu
Taimiyah dan lbnu Qoyyim Al Jauziyah yang mereka kutip, khususnya
dalam bidang aqidah mereka akan mengutip pendapat Muhammad bin
Abdul Wahhab pendiri madzhab Wahabi dari Najed itu.
4. Apabila mereka mengutip hadits, mereka cenderung menambahkan
kalimat, "dishahihkan oleh Albani" setelah menyebutkan riwayat hadits
tersebut. Siapa albani? Sebenarnya dia bukan muhadist, akan tetapi
tukang service jam, dan kebetulan dia mempelajari dan membaca kitab-
kitab hadist di perpustakaan dan itu pun tanpa guru, berarti sanad keilmuanya terputus dong, tidak sampai Rosullullah SAW.
5. Di mata ulama Salafi/Wahabi, perayaan Islam yang boleh dilakukan
hanya Idhul Fitri dan Idhul Adha, sedangkan perayaan lain seperti
perayaan Maulid Nabi SAW, perayaan Isra Miraj dan sebgainya
dianggap haram dan bid ah, sesat dan masuk neraka katanya.
6. Gerakan atau organisasi lslam di luar ideologi mujasimah
Salafi/Wahabi yang tidak segaris dengan mereka akan dianggap syirik,
kufur, atau bid'ah bahkan hahal untuk memeranginya. Oleh sebab itu
kita tidak perlu heran, banyak tukang fatwa wahabi di sosmed yang
gemar menyerang urusan amaliyah-amaliyah yang sudah berlaku di
tengah-tengah umat islam dengan terang-terangan, seperti ziarah kubur,
yasinan, zikir, tahlilan, sholawatan dan sebagianya, mereka sesat
sesatkan.
7. Pengikut Salafi/Wahabi tidak mau bertaqlid pada ulama salaf (klasik)
dan khalaf (kontemporer), tapi dengan senang hati bertaqlid pada
pendapat dan fatwa ulama-ulama Wahabi/Salafi yang dikeluarkan oleh
Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Wal lfta' dan lembaga ulama-ulama
yang menjadi anggota Harah Kibaril Ulama yang nama lengkapnya
adalah Risalah al Ammah lil Buhuts Wal Afta, yang kemudian diluaskan
melaui buku, majalah atau situs mereka.
8. Pengikut Salafi/Wahabi sangat menghormati ulama-ulama mereka
dan selalu menyebut ulama Salafi/Wahabi dengan sebutan Syekh dan
diakhiri dengan rahimahullah atau hafidzahullah. Seperti Syekh
Utsaimin, Syekh Bin Baz, Syekh Albani dil. Tapi menyebut ulama lain
cukup menyebut namanya saja.
9. Apa bila di dunia nyata mereka akan cendrung menyendiri (tidak ada
istilah sosialisasi terhadap sesama manusia) sebab doktrin ngulama
majhul mujasimahnya selalu berfatwa jangan bergaul dengan ahlul
bid'ah. Meskipun bid'ah versi pemikiran mereka sendiri.
Maka dari itu sebenarnya ketika kita membaca buku atau artikel di
internet, tidak terlalu sulit membedakan apakah tulisan itu bernafaskan
Salafi/Wahabi atau tidak. Karena secara garis besar cir-ciri mereka
tidak jauh dari poin-poin di atas.
Namun sangat disayangkan ketidaktahuan ini sering menjadi penyebab
seseorang yang sebenarnya Ahlusunnah Wal Jama'ah kemudian tanpa
sadar ia mengutip fatwa-fatwa Salafi/Wahabi. Hal ini banyak sekali
terjadi di tengah-tengah masyarakat kita.
Intinya cara termudah mengetahui seorang ulama atau ustadz atau
aktivis apakah dia Salafi/Wahabi adalah bisa dilihat dari latar belakang
pendidikannya, buku atau kitab yang selalu dikutip dan cara dia
menyebut ulama Salafi/Wahabi dan ulama non Salafi/Wahabi.

Sholawat Tibbil Qulub Dan Syair Nazam KH.Hasyim 'As'ari.

Sholawat  Tibbil Qulub dan Syair Nazam KH. Hasyim 'As'ari.



بسْم اللٌٰه الرٌحمٰن الرٌحيْم

صلاوة تبٌ الْقلوْب

اللٌٰهمَ صلٌ على سيٌدنا محمّد طبٌ الْقلوْب ودوائها وَعافية اْلأَبْدان وشفائها ونوْر اْلأبصار وضيائها وعلى آله وصحْبه وسلٌمْ

لي خمسة أُطفي بها حرٌ الو باء الحا طمة
المصطفى والمر تض وابنا هما والفا طمة

“Allahumma sholli `ala Sayyidina Muhammadin thibbil qulubi wa dawa-iha wa `afiyatil abdani wa syifa-iha wa nuril abshori wa dhiya-iha wa `ala alihi wa shohbihi wa sallim”

"lii Khomsatun utfi biha harrul waba il hatimah
Al mustofa, wal murtadho, wabnahuma, wal Fathimah'.

"Ya Allah curahkanlah rahmat kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, sebagai obat hati dan penyembuhnya, penyehat badan dan kesembuhannya dan sebagai penyinar penglihatan mata beserta cahayanya. Semoga sholawat dan salam tercurahkan pula kepada keluarga serta para shahabat-shahabatnya."

Aku memiliki 5 orang yg dengan keagungannya, Aku padamkam panasnya wabah penyakit yg menghancurkan yaitu
- Nabi Muhammad Al-mustofa
- Sayyidina 'Ali Al-Murtadho
- kedua putranya ( Hasan & Husain)
- dan Sayyidah Fathimah Az zahra.

faedah shalawat Tibbil Qulub, secara umum dijelaskan dalam kumpulan dzikir Majmu’ah Maqruat Yaumiyah wa Usbu’iyah:  
 صلوات طب القلوب منيكا مجرب كاغكى أنجاكي كصحاتان بدان لن دادوس تومبا سدايا فياكيت ظاهر أتاوي باطن   

“Shalawat Tibbil Qulub ini teruji (berfaedah) untuk menjaga kesehatan tubuh dan menjadi obat segala penyakit dzahir ataupun batin” (KH Muhammad bin Abdullah Faqih, Majmu’ah Maqruat Yaumiyah wa Usbu’iyah, hal. 47)   

Faedah di atas berlaku bagi orang yang membaca shalawat Tibbil Qulub dengan kaifiyah (cara membaca) yang umum. Sehingga orang yang istiqamah membaca shalawat Tibbil Qulub ini dalam bilangan berapa pun, akan diberikan kesehatan lahir dan batin serta akan disembuhkan dari berbagai penyakit atas seizin Allah.  

Sedangkan kaifiyah membaca shalawat tibbil qulub secara khusus, umumnya cenderung berbeda-beda sesuai dengan ijazah dari kiai atau ulama yang mengijazahkan bacaan shalawat ini, agar dibaca dalam bilangan tertentu. Salah satu kaifiyah khusus dalam membaca shalawat tibbil qulub ini, seperti yang dijelaskan dalam kitab Sa’adah ad-Daraini fi as-Shalat ala Sayyid al-Kaunaini berikut:

   إنها صيغة الطب الظاهر والباطن تقرأ ألفين على أي مرض وقيل أربعمائة فيشفى بإذن الله  

 “Shalawat ini merupakan lafal shalawat penyembuh lahir dan batin. 

Dibaca 2000 kali untuk menyembuhkan segala penyakit. Dan menurut sebagian pendapat dibaca sebanyak 400 kali, maka penyakit tersebut akan sembuh atas seizin Allah” (Syekh Yusuf bin Ismail, Sa’adah ad-Daraini fi as-Shalat ala Sayyid al-Kaunaini, Cet. Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, hal. 26)

Syair Nazam

syair nazam yang sebenarnya sering dilantunkan di masyarakat pesantren, termasuk jemaah salawat. Malah kalau Jam’iyah Hadrah ISHARI hampir pasti melantunkan syair ini di puncak muhud, mahallul Qiyam.

لِي خَمْسَةٌ أُطْفِئ بِهاَ # حَرَّ الوَباَءِ الحاَطمَة
المُصْطَفَى وَالمُرتَضَى # وَابْناَهُماَ وَفَاطِمَة

Artinya, kira-kira begini: “Aku berharap diselamatkan dari panas derita wabah yang bikin sengsara dengan wasilah derajat luhur lima pribadi mulia yang aku punya: Baginda Nabi Muhammad al-Mushthafa saw, Sayyidina Ali al-Murtadla dan kedua putra (Hasan dan Husain), serta Sayyidatina Fathimah Azzahra, binti Rasulillah saw’.”

Kepada Gus Ainur Rofiq, salah satu pengasuh asrama di PP Bahrul Ulum Tambajberas Jonbang, Kiai Masduqi menceritakan bahwa Kala itu, Hadratus Syekh mengijazahkan syair doa ini, pada Mbah Romli Tamim Rejoso, Mbah Wahab Chasbullah, Mbah Bisri Syansuri, dan pondok Semelo Perak, Jombang.

LIMA YANG KUPUNYA

Ada Apa dengan Korona
Apa dia mengancam Tuhan
Tidak mungkin

Bukankah Tuhan telah menyandingkan asma indah-Nya dengan nama indah Kekasih Muhammad

Wa KORONA-smahu
Ma’asmihi TANBIHAN
‘Ala Uluwwi Maqamih

Dan Allah sandingkan sendiri
nama DIA dengan namanya…
Sebagai Pertanda
Betapa Luhur Pribadi Muhammad

Wahai Korona
Kalau Kau hanyalah pertanda
akan keluhuran Nabi Muhammad
yang bersanding nama
dengan Asma Allah hingga terukir pasti di dinding-dinding masjid dan mihrab.

Maka Kabar yang patut ditakuti kecuali Allah
Tak Ada yang luhur teladan
kecuali Muhammad
Tak ada yang namanya bersanding,
Korona,
semulia nama Penguasa Wabah
Kecuali Bagindaku
Muhammad

Maka dengan pribadi luhur itu
juga istimewa pribadi Sayyidna Ali
dan dua buah hati
serta Fatimah belahan jiwa Muhammad

bebaskan Aku dari apa saja yang menghalangi pandangan kalbuku

akan kesetaraan nama Muhammad
dengan nama-Mu yang aduhai mempesona

Li khamsatun uthfi-u biha
Harrall waba-il hathimah
Almusthafa wal murtadha
wabnahuma wa fathimah

Wahai Tuhan Pencipta Muhamnad…
Wahai Sang Pencipta Bumi…
Wahai Sang Pencipta Indonesia…

Ampuni, ampuni kami..
Dengan wasilah luhur
lima pribadi yang kupunya
aku memohon pada-Mu…
sebentuk ketentraman sejati
melipat gundah yang entah datangnya dari mana.

Semoga kita dapat istiqamah membaca shalawat tibbil qulub dengan menghayati maknanya, agar diberikan kenikmatan berupa kesehatan jasmani dan ruhani, serta terhindar dari berbagai macam penyakit. 

Baca ba'da sholat Maktubah sebanyak-banyaknya...!!!
Amin ya rabbal ‘alamin.

Kamis, 26 Maret 2020

Tata Cara Adzan dan Tambahan Lafalnya Ketika Virus Corona Tersebar Luas

Ketika wahab penyakit terbesar di mana-mana, dianjurkan untuk shalat di rumah, tapi adzan tetap dikumandangkan, bagaimana lafal adzannya?

Ini Tata Cara Adzan dan Tambahan Lafalnya Ketika Virus Corona Tersebar Luas
Mengisolasi wabah suatu penyakit, seperti Corona, agar tidak sampai menular ke setiap individu di wilayah asalnya merupakan sebuah keharusan dan bahkan wajib. Resikonya, ada beberapa aktifitas rutin menjadi tidak bisa berlangsung sebagaimana kondisi normalnya. Misalnya, aktifitas shalat berjamaah. Aktifitas ini secara tidak langsung menjadi bagian yang terganggu akibat wabah itu. Bahkan dalam kondisi yang parah, aktifitas shalat fardhu berjamaah di masjid bisa ditiadakan. Meskipun demikian, adzan yang merupakan tengara akan masuknya waktu shalat tetap sunnah dikumandangkan. Bahkan bisa meningkat menjadi hukum wajib manakala tidak ditemui adanya perangkat waktu lain yang bisa diakses oleh masyarakat yang tinggal di rumah.

Ketika wabah sudah terjadi dan berlangsung dalam kondisi yang sedemikian rupa, dan adzan tetap harus dikumandangkan, serta adanya tujuan agar masyarakat yang mendengar tidak datang ke masjid karena menyangka bahwa di Masjid telah didirikan shalat berjamaah, maka ada tuntunan mengenai lafadz adzan yang boleh disampaikan.

Dalam kitab hadis Shahih Bukhari, Nomor 666, dan Shahih Muslim, nomor 697, yang diriwayatkan dengan sanad yang disandarkan pada Nafi’, disebutkan:

أَذَّنَ ابْنُ عُمَرَ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ بِضَجْنَانَ ، ثُمَّ قَالَ : صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ ، فَأَخْبَرَنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ ، ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِهِ : ” أَلاَ صَلُّوا فِي الرِّحَالِ ” فِي اللَّيْلَةِ البَارِدَةِ ، أَوِ المَطِيرَةِ ، فِي السَّفَرِ

“Sahabat Ibnu Umar suatu ketika melakukan adzan pada malam hari di musim dingin di tanah Dajhnan, dan beliau menyerukan: “Shallu fi rihalikum (Shalatlah kalian dengan kelompok rombongan kalian!).” Kemudian kami diberitahunya, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam suatu ketika memerintahkan seorang muadzin agar menyerukan adzan. Lalu ia berkata setelahnya: “Ingatlah! Shalatlah kalian dengan kelompok rombongan kalian!). Adzan seperti ini dikumandangkan ketika malam hari di musim dingin, atau musim penghujan, saat perjalanan safar.” (HR. Bukhari–Muslim)

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asyqalani mengomentari hadis ini sebagai:

صريح في أن القول المذكور كان بعد فراغ الأذان

“Melihat lafadznya hadis “Ingatlah! Shalatlah kalian bersama kelompok rombongan kalian!” menandakan secara jelas bahwa lafadz seruan ini disampaikan setelah lafadh adzan selesai.” (Fathu al-Bari, Juz 2, halaman 113).

Masih dari Kitab Hadiss yang sama, dalam riwayat yang lain disebutkan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الحَارِثِ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ : ” إِذَا قُلْتَ : أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ ، فَلَا تَقُلْ : حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ ، قُلْ : صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ ” ، قَالَ : فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ ، فَقَالَ: ” أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا ؟! ، قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي، إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ، وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ، فَتَمْشُوا فِي الطِّينِ وَالدَّحْضِز

Dari Abdullah ibn Harits, dari Abdullah ibn Abbas radliyallahu ‘anhum, beliau bercerita, bahwa sesungguhnya Baginda Nabi telah memerintahkan kepada Muadzinnya di musim penghujan: “Ketika kamu selesai menyeru: Asyhadu an La ilaha illa allah, Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, maka jangan menyeru: “Hayya ‘ala al-shalah.” Tapi serukanlah: “Shallu fi buyutikum” (Shalatlah kalian di rumah-rumah kalian!)” Demi mendengar keterangan dari Ibnu Abbas itu, Ibnu Haris berkata: “Hari itu, seolah-olah para sahabat mengingkari semua penjelasan Ibnu Abbas.” Sampai, Ibnu Abbas balik bertanya: “Apakah kalian heran dengan keterangan ini!? Pribadi yang jauh lebih baik dari aku, benar-benar telah melakukan itu semua. Sesungguhnya shalat jum’atan itu adalah ‘Azmah (perintah yang tak bisa ditolak). Tapi aku tidak menghendaki kalian keluar dari rumah kalian, lalu berjalan di atas lumpur dengan kesulitan/kepayahan.” (Hadis Riwayat Bukhari dengan Nomor Hadits 668, dan Imam Muslim, dengan Nomor Hadits 699)

Abdul Rahim ibnu Zain al-‘Iraqy memberikan komentar:

وهذا الحديث صريح في أن قول: “صلوا في الرحال” يقال بدلا من “حي على الصلاة

“Hadis di atas secara sharih menyebutkan bahwa lafadz “Shallu fi al-rihal” diucapkan sebagai ganti dari “Hayya ‘ala al-shalah”.” (Al-Hafidh al-Iraqy, Tharhu al-Tatsrib fi Syarhi al-Taqrib, Kairo: Ihya al-Turats al-‘Araby, 2008, Juz 2, halaman 320)

Di dalam Kitabnya, al-‘Iraqy menjelaskan lebih jauh mengenai lafadhnya muadzin: “Shallu fi rihalikum”. Mengapa tidak menggunakan lafadh “hayya” sebagaimana “Hayya ‘ala al-shalah”. Ia menyampaikan:

وبأنَّ قَوْلَهُ صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ، يُخَالِفُ قَوْلَهُ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، فَلَا يَحْسُنُ أَنْ يَقُولَ الْمُؤَذِّنُ تَعَالَوْا، ثُمَّ يَقُولُ : لَا تَجِيئُوا

“Sesungguhnya alasan seruan muadzin dalam menggunakan lafadz shollu fi rihalikum, berbeda dengan “hayya ‘ala al-shalah” adalah disebabkan karena “tidak elok jika seorang muadzin menyeru “ta’alau” (Mari melaksanakan shalat!) kemudian setelah itu diserukan “Tapi jangan datang kemari (melainkan shalatlah dirumah)”. (Al-Hafidh al-Iraqy, Tharhu al-Tatsrib fi Syarhi al-Taqrib, Kairo: Ihya al-Turats al-‘Araby, 2008, Juz 2, halaman 320)

Ada dua keterangan menarik dari Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asyqalany mengenai dialektika penggunaan lafadz shallu fi rihalikum sebagai ganti dari hayya’alah dalam adzan.

Pertama, dengan menukil dari Ibnu Khuzaimah rahimahullah, Al-Hafidh Ibnu Hajar menjelaskan mengenai maksud ucapan Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma bahwa:

لأن معنى حي على الصلاة : هلموا إليها، ومعنى الصلاة في الرحال : تأخروا عن المجيء، فلا يناسب إيراد اللفظين معا؛ لأن أحدهما نقيض الآخر

“Lafadz hayya ‘ala al-shalah lebih menunjukkan pada nuansa makna “Berlalulah kalian menuju ke melaksanakan shalat!” Adapun makna al-shalatu fi al-rihal, adalah menunjukkan kesan agar menunda keberangkatan menuju tempat panggilan. Oleh karena itu, tidak cocok bila kedua lafadz yang berbeda nuansa itu disejajarkan penggunaannya. Karena satu sama lain dari kedua lafadz menunjukkan kesan pertentangan.” (Fathu al-Bari, Juz 2, halaman 113)

Kedua, meski demikian, Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asyqalani tetap memberikan ruang bagi kemungkinan penyandingan dua lafadh di atas, yakni:

بأن يكون معنى الصلاة في الرحال : رخصة لمن أراد أن يترخص ، ومعنى هلموا إلى الصلاة:  ندب لمن أراد أن يستكمل الفضيلة ، ولو تحمل المشقة

“Ada kemungkinan mengumpulkan dua lafadz tersebut dalam satu adzan, yaitu dengan menjadikan makna “Al-shalatu fi al-rihal” sebagai keringanan bagi orang yang menghendaki rukhshah. Sementara itu, maka “Terus berlalulah kalian menuju shalat” disejajarkan dengan makna sunnah bagi orang yang ingin menyempurnakan fadlilah / keutamaan sholat, kendati harus menanggung beban kesulitan.” (Fathu al-Bari, Juz 2, halaman 113)

Imam Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim-nya, menyampaikan sebuah ulasan:

في حديث ابن عباس رضي الله عنه أن يقول : ألا صلوا في رحالكم. في نفس الأذان ، وفي حديث ابن عمر أنه قال في آخر ندائه

“Di dalam hadis riwayat Ibnu Abbas, lafadz “Ala shallu fi rihalikum” adalah disampaikan di dalam adzan (menggantikan hayya’alah). Sementara di dalam hadis Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu, lafadz itu disampaikan di akhir adzan.” (Syarah Shahih Muslim, Juz 5, halaman 207).

Walhasil kedua model penggunaan sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar al-Asyqalani adalah sama-sama bolehnya. Namun, beda tata cara mengumandangkan sebagaimana yang Imam Nawawi rahimahullah sampaikan dalam kitabnya. Ibnu Muflih dalam kitabnya “Al-Furu’” Juz 3, halaman 3, beristidlal dengan haditsnya Ibnu Umar dengan menyampaikan, “susunan itu bisa dipraktikkan sesuka muadzin.” 

Walloohu a'lam Bisshowab.

Rabu, 25 Maret 2020

IJAZAH UMUM HIZIB BAHR DARI KH. MIFTACHUL AKHYAR RAIS AAM PBNU

IJAZAH UMUM HIZIB BAHR DARI KH. MIFTACHUL AKHYAR RAIS AAM PBNU

Hizb Bahr adalah rangkaian doa yg dikarang oleh Syaikh Imam Abu Hasan Asy-Syadzily ra. Kala itu beliau sedang berada di atas kapal untuk menuju ke suatu tempat, tiba2 angin berhenti berhembus dan membuat kapal yg beliau tumpangi berhenti melaju di tengah luasnya samudera (bahr).

Kemudian, beliau menulis hizb bahr ini dan atas izin Allah angin bertiup kembali mengantar kapal yg beliau dan rombongan lain tumpangi menuju daratan yg dimaksud.

Al Mukarrom Abuya KH. Miftachul Akhyar mengijazahi Hizb Bahr ini untuk diamalkan secara umum tanpa syarat apapun (semisal puasa atau yg lainnya).

Memang Dawuh Al Mukarrom, Ijazah Umum akan menghasilkan hasil yg berbeda dgn Ijazah Khusus, namun beliau menyampaikan bahwa kekuatan hizb bahr ini sangatlah besar terutama untuk hajat yg sedang kita inginkan (baik mendatangkan kebaikan ataupun menolak keburukan). Maka, beliau dawuh agar Hizb ini dijadikan wiridan setiap setelah sholat shubuh dan maghrib, karena di dalamnya terdapat ayat2 al-Qur’an sebagai penguat.

Semoga Kita yg mengamalkan dan mendawamkannya bisa memperoleh fadhilah dari Hizb Bahr ini.

Note: Sebelum membaca, (minimal) tawashul kepada Nabi Muhammad dan Imam Asy-Syadzily.

*حزب البحر للامام الشـــــــــــــاذلي رضي الله عنه*

اَللّهُمَّ یَاعَلِيُّ یَاعَظِیْمُ یَاحَلِیْمُ یَاعَلِیْمُ * اَنْتَ رَبِّيْ وَعِلْمُكَ حَسْبِيْ فَنِعْمَ الرَّبُّ رَبِّيْ وَنِعْمَ الْحَسْبُ حَسْبِيْ تَنْصُرُ مَنْ تَشَاءُ وَاَنْتَ الْعَزِیْزُ الرَّحِیْمُ نَسْئَلُكَ الْعِصْمَةَ فىِ الْحَرَكَاتِ وَالسَّكَنَاتِ وَالْكَلِمَاتِ وَالْاِرَادَاتِ وَالْخَطَرَاتِ مِنَ الشُّكُوْكِ وَالظُّنُوْنِ وَالْاَوْهَامِ السَّاتِرَةِ لِلْقُلُوْبِ عَنْ مُطَالِعَةِ الْغُیُوْبِ * فَقَدِ ابْتُلِيَ الْمُوْمِنُوْنَ وَزُلْزِلُـــــوْا زِلْزَالاً شَدِیْدًا وَاِذْ یَقُوْلُ الْمُنَــــافِقُوْنَ وَالَّذِیْنَ فِيْ قُلُـــوْبِهِمْ مَرَضٌ مَا وَعَدَنَا الله وَرَسُـوْلُهُ اِلاَّغُرُوْرًا * فَثَبِّتْنَـا وَانْصئرْنَا * وَسَخِّرْلَنَا هذَا الْبَحْرَ كَمَا سَخَّرْتَ الْبَحْرَ لِمُــوْسى عَلَیْهِ السَّلاَم (ثلاثا)*

وسَخَّرْتَ النَّارَ لِاِبْرَاهِیْــمَ عَلَیْهِ السَّلاَم* وَسَخَّرْتَ الْجِبَالَ وَالْحَدِیْدَ لِدَاوُدَ عَلَیْهِ السَّلاَم* وَسَخَّرْتَ الرِّیْحَ وَالشَّیَاطِیْنَ وَالْجِنَّ لِسُلَیْمَانَ عَلَیْهِ السَّلاَم * وَسَخَّرْتَ الثَّقَلَیْنِ لِسَیِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَـــلَّى الله عَلَیْهِ وَسَلَّمَ * وَسَخِّـرْلَنَا كُلَّ بَحْرٍ هُوَ لَكَ فىِ الْاَرْضِ وَالسَّمَـــآءِ وَالْمُلْكِ وَالْمَلَكُوْتِ * وَبَحْرِ الدُّنْیَا وَبَحْرِ الْاخِـرَةِ * وَسَخِّرْلَنَا كُلَّ شَيْءٍ یَا مَنْ بِیَدِهِ مَلَكُوْتُ كُلِّ شَيْءٍ*

كهیعص (ثلاثا)* اُنْصُرْنَا فَاِنَّكَ خَیْرُ النَّاصِرِیْنَ* وَافْتَحْ لَنَا فَاِنَّكَ خَیْرُ الْفَاتِحِیْنَ* وَاغْفِرْلَنَا فَاِنَّكَ خَیْرُ الْغَافِرِیْنَ* وَارْحَمْنَا فَاِنَّكَ خَیْرُ الرَّاحِمِیْنَ* وَارْزُقْنَا فَاِنَّكَ خَیْرُ الرَّازِقِیْنَ* وَاهْدِنَا وَنَجِّنَا مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِیْنَ* وَهَبْ لَنَا رِیْحًا طَیِّبَةً كَمَا هِيَ فىِ عِلْمِكَ وَانْشُرْهَا عَلَیْنَا مِنْ خَزَائِنِ رَحْمَتِكَ* وَاحْمِلْنَا بِهَا حَمْلَ الْكَرَامَةِ مَعَ السَّلاَمَةِ وَالْعَافِیَةِ فىِ الدِّیْنِ وَالدُّنْیَا وَاْلآخِرَةِ * اِنَّكَ عَلى كُلِّ شَيْءٍ قَدِیْرُ* اَللّهُمَّ یَسِّرْلَنَا اُمُوْرَنَا مَعَ الرَّاحَةِ لِقُلُوْبِنَا وَاَبْدَانِنَا* وَالسَّلاَمَةِ وَالْعَافِیَةِ فىِ دِیْنِنَا وَدُنْیَانَا وَكُنْ لَنَا صَاحِبًا فىِ سَفَرِنَا وَخَلِیْـفَةً فىِ اَهْلِنَا وَاطْمِسْ عَلى وُجُـوْهِ اَعْدَآئِنَا وَامْسَخْـهُمْ عَلى مَكَانَتِــهِمْ فَلاَ یَسْتَطِیْعُوْنَ الْمُضِیْــــئَ وَلاَالْمَجِیْــئَ اِلَیْنَـا *

وَلَوْ نَشَآءُ لَطَمَسْنَا عَلى اَعْیُنِهِمْ فَاسْتَبَقُوا الصِّرَاطَ فَانّى یُبْصِرُوْنَ* وَلَوْ نَشَآءُ لَمَسَخْنَاهُمْ عَلى مَكَانَتِهِمْ فَمَا اسْتَطاَعُوْا مُضِیًّا وَّلاَ یَرْجِعُوْنَ* یس، وَالْقُرْآنِ الْحَكِیْمِ، اِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِیْنَ، عَلى صِرَاطٍ مُّسْتَقِیْمٍ تَنْزِیْلَ الْعَزِیْزِ الرَّحِیْمِ لِتُنْذِرَ قَوْمًا مَّآ اُنْذِرَ ابَآؤُهُمْ فَهُمْ غَافِلُوْنَ، لَقَدْ حَقَّ الْقَوْلُ عَلى اَكْثَرِهِمْ فَهُم لاَ یُؤْمِنُوْنَ، اِنَّاجَعَلْنَا فِيْ اَعْنَاقِهِمْ اَغْلاَلاً فَهِيَ اِلَى الْاَذْقَانِ فَهُمْ مُقْمَحُوْنَ، وَجَعَلْنَا مِنْ بَیْنِ اَیْدِیْهِمْ سَدًّا وَّمِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَاَغْشَیْنَاهُمْ فَهُمْ لاَ یُبْصِرُوْنَ*

شَاهَتِ الْوُجُوْهُ ( ثلاثا)* وَعَنَتِ الْوُجُوْهُ لِلْحَيِّ الْقَیُّــــــــوْمُ * وَقَدْ خَابَ مَنْ حَمَلَ ظُلْمًا*
طس حم عسق* مَرَجَ الْبَحْرَیْنِ یَلْتَقِیَانِ بَیْنـهُمَا بَرْزَخٌ لاَّ یَبْغِیَانِ* حم (سبعا)* حُمَّ الْاَمْرُ وَجَآءَ النَّصْــرُ فَعَلَیْنَا لاَیُنْصَرُوْنَ*حم ، تَنْزِیْلُ الْكِتَابِ مِنَ الله الْعَـــزِیْزِ الْعَلِیْـــمِ ، غَافِرِ الذَّنْبِ وَقَابِلِ التَّوْبِ شَدِیْدِ الْعِقَابِ ذِي الطَّوْلِ ، لاَ اِلهَ اِلاَّ هُوَ اِلَیْهِ الْمَصِیْـــرُ*

بِسْـــمِ الله بَابُنَا تَبَــارَكَ حِیْطَانُنَا یس سَقْفُنَا كهیعص كِفَایَتُنَا حم عسق حِمَایَتُنَا * فَسَیَكْفِیْكَهُمُ الله وَهُوَ السَّمِیْـــعُ الْعَلِیْمُ (ثلاثا)* سِتْرُ الْعَرْشِ ( العَزِيزِ) مَسْبُوْلٌ عَلَیْنَا * وَعَیْنُ اللهِ نَاظِرَةٌ اِلَیْنَا * بِحَوْلِ الله لاَ یُقْدَرُ عَلَیْنَا * وَاللهُ مِنْ وَرَآئِهِمْ مُحِیْطٌ ، بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِیْدٌ، فِيْ لَوْحٍ مَحْفُـوْظٍ، فَاللهُ خَیْرٌ حَـافِظًا وَّهُوَ اَرْحَمُ الرَّاحِمِـیْنَ (تسعا)* اِنَّ وَلِیِّيَ الله الَّذِيْ نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ یَتَوَلَّ الصَّالِحِـیْنَ (ثلاثا)* حَسْبِيَ الله لاَ اِلهَ اِلاَّ هُوَ عَلَیهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِیْمِ (ثلاثا)* اَعُـوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ (ثلاثا)*

بِسْمِ الله الَّذِيْ لاَ یَضُرُّ مَعَ اسْمِهِ شَيْءٌ فىِ الْاَرْضِ وَلاَ فىِ السَّمَآءِ وَهُوَ السَّمِیْعُ الْعَلِیْمُ (ثلاثا)* وَلاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ الْعَلِيِّ الْعَظِیْمِ (ثلاثا) * وَصَلَّى اللهُ عَلى سَیِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَّعَلى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ تَسْـلِیْمًا كَثِیْـرًا * وَالْحَمْــدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِیْنَ* آمِـــــــــــــــــــــیْنْ *
www.bangkitmedia.com
https://youtu.be/G94f10fVrO4
https://youtu.be/KBYpy0Qu4FU

Dibaca habis subuh dan ashar

Jumat, 20 Maret 2020

Cegah Corona dengan Qunut Nazilah

Corona adalah wabah penyakit yang menular, ganas dan mematikan dan saat ini corona telah menjalar ke berbagai negara. Hingga Badan Kesehatan Dunia WHO menyatakan, virus corona (Covid-19) dinaikkan statusnya dari epidemi menjadi pandemi.

Untuk mencegah menjalarnya virus, termasuk corona, dalam Islam sebenarnya telah diajarkan, yaitu melalui kebersihan diri dan lingkungan. Anjuran mencuci tangan, sudah lebih dulu dilakukan umat Islam melalui wudhu, minimal lema kali sehari semalam.

Apalagi pada saat wudhu, bukan hanya mencuci tangan,.tapi juga ada aturan berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung.

Maka dari perintah berwudhu tersebut jelas umat Islam telah diajarkan kebersihan. Hikmahnya antara lain dapat mencegah bakteri yang akan menimbulkan penyakit dalam tubuh.

Selain menjaga kebersihan lingkungan juga kebersihan badan dengan cara mandi janabat, membersihkan seluruh anggota tubuh, mulai ujung rambut sampai ujung kaki.

Selain itu, secara spirutal, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga mengajarkan doa untuk tolak bala atau doa berlindung dari wabah, termasuk wabah virus corona, yaitu melalui doa Qunut Nazilah.

Anjuran Qunut Nazilah

Qunut Nazilah adalah bacaan doa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dibaca setelah ruku’ (I’tidal) pada rakaat terakhir dalam shalat.

Qunut Nazilah dibaca pada saat ada peristiwa penindasan yang menimpa kaum Muslimin, dengan tujuan untuk menyingkirkan atau melenyapkan penganiayaan musuh, atau untuk menyingkirkan bala (bencana), termasuk saat terjadi wabah penyakit mematikan, termasuk corona.

Imam an-Nawawi, dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan, “Yang benar dan paling masyhur adalah, bahwa kalau terjadi sesuatu seperti musuh, wabah penyakit epidemi, kelaparan dan bahaya yang nyata menimpa kaum Muslimin, dan sejenisnya, maka mereka melakukan qunut pada semua shalat wajib.”

Rasulullah melaksanakan Qunut Nazilah saat terjadi petaka atau musibah besar yang menimpa kaum muslimin. Qunut juga biasa dilaksanakan oleh para sahabat, para tabi’in dan juga para tabiinat tabi’in dan seterusnya.

Maka bila wabah corona mulai menyerang orang-orang Islam, bacaan Qunut Nazilah juga bisa menjadi penangkal agar tidak semakin menjalar luas.

Ini seperti disampaikan Imaam Jama’ah Muslimin (Hizbullah) KH Yakhsyallah Mansur,MA, dalam pernyataannya, menganjurkan umat Islam untuk Qunut Nazilah mendoakan keselamatan dan pertolongan Allah untuk kaum Muslimin di Palestina dan India pada khususnya, serta dunia Islam pada umumnya.

“Termasuk kita berdoa dalam Qunut Nazilah, permohonan perlindungan kepada Allah dari wabah penyakit menular, termasuk corona,” ujar Imaam Yakhsyallah Mansur, di postingan medsos Group Whatsapp Al-Jama’ah.

Anjaran ini juga dikatakan Ketua Pengurus Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Kiai Robikin Emhas, yang mengimbau umat Islam untuk membaca doa qunut nazilah karena mewabahnya virus corona.

“Merespon virus corona saatnya membaca qunut nazilah,” kata Kiai Robikin, seperti disebutkan Okezone.

Robikin mengatakan, qunut nazilah dapat dibaca ketika tertimpa musibah, termasuk maraknya wabah penyakit seperti corona.

Anjuran Qunut nazilah juga dinyatakan oleh Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Salahuddin Al-Ayyubi.

“Mengajak umat Islam untuk Qunut Nazilah sebagai upaya menangkal virus corona,” ujarnya, di Kantor MUI, Jakarta, Selasa (3/3). Seperti diberitakan Sharianews.

Hadits-Hadits Tentang Qunut Nazilah

Ada beberapa hadits terkait Qunut Nazilah, di antaranya, hadits sari Anas bin Malik:

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَنَتَ شَهْرًا يَلْعَنُ رِعْلاً وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ عَصَوُا اللَّهَ وَرَسُولَهُ

Artinya: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah melakukan qunut selama sebulan untuk melaknat Ri’lan, Dzakwan dan ‘Ushayyah yang telah melakukan maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya (HR Muttafaq ‘Alaih).

Hadits dari Abu Hurairah menyebutkan :

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فِي الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ قَنَتَ اللَّهُمَّ أَنْجِ عَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ اللَّهُمَّ أَنْجِ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ اللَّهُمَّ أَنْجِ الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِينَ كَسِنِي يُوسُفَ

Artinya: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika mengucapkan, ‘Sami’allahu liman hamidah’ pada rakaat terakhir shalat Isya’, maka Nabi melakukan qunut (yang artinya): ‘Ya Allah, selamatkanlah ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah. Ya Allah selamatkanlah al-Walid bin al-Walid. Ya Allah, selamatkanlah Salamah bin Hisyam. Ya Allah, selamatkanlah orang-orang Mukmin yang tertindas. Ya Allah, ambillah kekuatan kabilah Mudhar dengan sekuat-kuatnya. Ya Allah, binasakanlah mereka selama bertahun-tahun, sebagaimana tahun-tahun (kelaparan dan epidemi yang menimpa zaman) Nabi Yusuf.” (HR Bukhari)

Mereka adalah tokoh-tokoh penduduk Makkah yang telah memeluk Islam, kemudian diuji dan disiksa oleh kaum Quraisy. Mereka kemudian selamat dengan berkah doa Nabi.

Hadits dari Ibn ‘Abbas menyebutkan :

قَنَتَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم شَهْرًا مُتَتَابِعًا فِي الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلَاةِ الصُّبْحِ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ إِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ يَدْعُو عَلَى أَحْيَاءٍ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ عَلَى رِعْلٍ وَذَكْوَانَ وَعُصَيَّةَ وَيُؤَمِّنُ مَنْ خَلْفَهُ

Artinya: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah melakukan qunut selama sebulan terus-menerus pada waktu shalat Dzuhur, Ashar, Maghrib, Isya’ dan shalat Subuh di penghujung setiap shalat, ketika Rasulullah mengucapkan, ‘Sami’allahu liman hamidah’ dari rakaat yang terakhir. Rasulullah melaknat kampung Bani Sulaim, Ri’lin, Dzakwan, Ushayyah dan diamini oleh makmum di belakang baginda shalalahu alaihi wasallam.” (HR Ahmad, Abu Dawud).

Maka kaum Muslimin pun bisa melaksanakan qunut nazilah ketika sebagian muslimin di dunia ini dalam keadaan menderita dan terzalimi. Seperti kezaliman  yang dilakukan Zionis Israel terhadap kaum Muslimin dan warga Palestina yang diduduki. Juga kezaliman penguasa India terhadap Muslimin di New Delhi dan Kashmir, kezaliman rezim Myanmar terhadap Muslim Rohingya, dan sebagainya.

Qunut nazilah juga bisa diamalkan ketika umat Islam terkena serangan wabah dan tertimpa bencana, seperti doanya :

اللهُمَّ ارْفَعْ عَنَّا الغَلا وَالوَبَاء وَالزَّلازِلَ وَالمِحَنَ، وَسُوءَ الفِتَنِ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَما بَطَنَ، عَنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَعَنْ سَائِرِ بِلادِ المُسْلِمِينَ، بِرَحْمَتِكَ يَا أِرْحَمَ الرَّاحِمِينَ

Artinya: “Ya Allah! Angkat dari kami penyimpangan dan malapetaka dan gempa bumi dan bencana, serta segala cobaan yang buruk baik yang nyata maupun yang tersembunyi, dari negeri kami ini khususnya, dan dari semua negeri kaum muslimin, dengan Rahmat-Mu, Duhai Yang Maha Penyayang.”

Semoga Allah senantiasa melindungi dan memberikan pertolongan kepada kaum Muslimin di manapun berada dari penindasan dan kezaliman para penzalim serta dari bala bencana, wabah penyakit juga musibah. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin. 

JUMHUR ULAMA TENTANG SHOLAT BERJAMA'AH DAN JUM'AT KETIKA ADA WABAH PENYAKIT.

JUMHUR ULAMA TENTANG SHOLAT BERJAMA'AH DAN JUM'AT KETIKA ADA WABAH PENYAKIT.


Wabah juga pernah terjadi pada masa Rasulullah. Isolasi adalah salah satu cara beliau untuk meredam dampaknya bagi masyarakat. Nabi Muhammad ﷺ pernah menginstruksikan agar wabah penyakit menular diisolasi sehingga tidak menyebar. 

Caranya adalah dengan menjaga agar masyarakat yang berada di daerah wabah tidak keluar ke daerah lain sedangkan masyarakat yang berada di daerah lain agar tidak masuk ke dalam. Beliau bersabda:  

 إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا مِنْهَا   

"Apabila kalian mendengar wabah lepra di suatu negeri, maka janganlah kalian masuk ke dalamnya, namun jika ia menjangkiti suatu negeri, sementara kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dari negeri tersebut." (HR. al-Bukhari)   

Beliau juga bersabda:   
قَالَ أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُورِدُوا الْمُمْرِضَ عَلَى الْمُصِحِّ  

 "Abu Salamah bin Abdurrahman berkata; saya mendengar Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Janganlah kalian mencampurkan antara yang sakit dengan yang sehat" (HR. al-Bukhari).  

Lalu bagaimana dengan shalat Jumat saat terjadi wabah? Ini menjadi pertanyaan yang banyak ditanyakan, terutama saat terjadi wabah Corona seperti saat ini. 

Dalam hal ini para ulama fiqih sebenarnya menetapkan larangan bagi mereka yang terkena penyakit menular untuk beribadah di masjid sebab masjid merupakan salah satu pusat keramaian. 

Syekh Zakariya al-Anshari dalam Asna al-Mathalib dan Syaikh al-Khatib asy-Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj tentang hal ini menulis sebagai berikut: 

  وَقَدْ نَقَلَ الْقَاضِي عِيَاضٌ عَن الْعُلَمَاءِ أَنَّ الْمَجْذُومَ وَالْأَبْرَصَ يُمْنَعَانِ مِنْ الْمَسْجِدِ وَمِنْ صَلَاةِ الْجُمُعَةِ، وَمِنْ اخْتِلَاطِهِمَا بِالنَّاسِ  

 “Qadli Iyadh menukil dari para ulama bahwasanya orang yang terkena penyakit judzam (kusta) dan barash (sopak) dilarang mendatangi masjid, shalat Jumat dan dari bercampur baur dengan masyarakat.” (al-Khatib asy-Syirbini,Mughni al-Muhtaj, I: 360).

 Syekh Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan alasan larangan tersebut sebagai berikut:   سَبَبَ الْمَنْعِ فِي نَحْوِ الْمَجْذُومِ، خَشْيَةَ ضَرَرِهِ، وَحِينَئِذٍ فَيَكُونُ الْمَنْعُ وَاجِبًا فِيهِ   “Sebab pelarangan bagi penderita penyakit semisal kusta adalah khawatir bahaya darinya. Karena itu, maka pelarangan ini menjadi hal wajib dalam konteks kusta tersebut”. (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, I: 212).   

Larangan di atas sesuai dengan instruksi Nabi Muhammad ﷺ di atas dan sesuai pula dengan peristiwa saat Nabi menginstruksikan agar seorang penderita penyakit kusta berbaiat dari jauh sebagaimana dalam hadits berikut:  

 عَنْ يَعْلَى بْنِ عَطَاءٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ الشَّرِيدِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَ فِي وَفْدِ ثَقِيفٍ رَجُلٌ مَجْذُومٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّا قَدْ بَايَعْنَاكَ فَارْجِعْ   

“Dari Ya'la bin 'Atha dari 'Amru bin Asy-Syarid dari bapaknya dia berkata; "Dalam delegasi Tsaqif (yang akan dibai'at Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam) terdapat seorang laki-laki berpenyakit judzam (kusta). 

Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengirim seorang utusan supaya mengatakan kepadanya: ‘Kami telah menerima baiat Anda. Karena itu Anda dipersilakan pulang’" (HR. Muslim).    
Sebagaimana diketahui, baiat adalah sesuatu yang wajib dilakukan kepada Rasulullah ﷺ dan lumrahnya dilakukan dengan cara berjabat tangan secara langsung dengan beliau (kecuali untuk perempuan). 

Akan tetapi dalam kasus penderita kusta ternyata beliau memberikan solusi berbaiat dari jarak jauh yang nampaknya dilakukan agar kehadiran orang itu tidak mendatangkan potensi bahaya bagi hadirin lainnya. 

Dari hal ini juga dapat dikiaskan tidak wajibnya menghadiri shalat Jumat saat ada kekhawatiran terjangkit penyakit.   Akan tetapi, apabila masjid dalam keadaan sepi, maka secara otomatis larangan mendekati masjid seperti di atas menjadi tidak berlaku. 

Dengan demikian, penderita penyakit menular diperbolehkan melakukan seluruh aktivitas di masjid tatkala sepi. Sama halnya ia juga diperbolehkan melakukan shalat Jumat atau shalat berjamaah ketika berada dalam ruang isolasi khusus yang tidak bercampur baur dengan orang lain. Syekh Ibnu Hajar menjelaskan:   

وَأَنَّ الْمَدَارَ فِي الْمَنْع عَلَى الِاخْتِلَاطِ بِالنَّاسِ فَلَا مَنْعَ مِنْ دُخُولِ مَسْجِدٍ وَحُضُورِ جُمُعَةٍ أَوْ جَمَاعَةٍ لَا اخْتِلَاطَ فِيهِ بِهِمْ   

“Bahwasanya yang menjadi pertimbangan dalam pelarangan adalah campur baur dengan masyarakat. Maka tidak ada larangan memasuki masjid dan menghadiri shalat Jumat atau shalat berjamaah yang tidak ada campur baur di dalamnya.” (Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, I, 212)   

Hanya saja perlu dicatat bahwa illat (alasan hukum) pelarangan di atas adalah menjaga masyarakat dari penyakit menular. 

Dengan demikian, apabila kosongnya masjid atau terdapatnya ruang isolasi di masjid belum bisa menjaga terjaminnya masyarakat dari penularan penyakit sebab virusnya dapat hidup dengan menempel di benda-benda fasilitas publik di masjid lalu menulari orang yang menyentuhnya, maka pelarangan tetap berlaku hingga para ahli yang kompeten menyatakan bahwa kondisi sudah aman.   

Kesimpulannya, mereka yang positif terkena penyakit menular dilarang untuk mendatangi pusat keramaian, salah satunya masjid, sehingga dengan demikian ia cukup shalat dhuhur di rumah. 

Adapun bagi masyarakat lain yang masih sehat, apabila tidak ada kekhawatiran timbul bahaya penularan penyakit saat shalat Jumat, maka selama itu pula shalat Jumat tetap wajib dilakukan. 

Sedangkan apabila menurut ahli yang kompeten dikhawatirkan terjadi penularan apabila hadir dalam shalat Jumat, maka shalat Jumat bagi mereka tidak wajib dikerjakan sesuai instruksi Nabi Muhammad agar mengisolasi wabah,
Sebagai gantinya, ia harus menunaikan shalat dhuhur.   

Wallahu a’lam.   

Minggu, 15 Maret 2020

MENANGKAL CORONA PERSEPSI ISLAM

MENANGKAL CORONA PERSEPSI ISLAM

Sehubungan dengan Global Pandemi Convid-19 ada kisah dari dunia Islam yg menarik utk dishare dalam WAG yg baik ini.

Wabah Penyakit dalam Sejarah Islam & Bagaimana Menyikapinya

Hari ini umat manusia dihadapkan pada masalah bumi ini, sebuah virus/wabah yg tak terlihat. 

Tapi membuat seisi bumi takut..
Yang membuat semua kekuatan, senjata, dan kesombongan bertekuk lutut, lumpuh, dihadapan kekuasaan Allah SWT..

Memang begitulah sunatullahnya, 
Allah SWT menghancurkan tingginya kesombongan dunia dengan sesuatu yang kecil

Agar runtuh dengan sehina-hinanya, seperti Namrud yg mati hina karena seekor lalat. 

Tapi masalah bumi ini adalah masalah muslimin juga..
Bagaimana kita bersikap..?
 
Karena hari ini sebagian saudara kita menganggap remeh dengan pasrah saja

Indahnya agama ini, karena semua masalah sudah ada solusinya..

Dan Rasulullah SAW bersama para sahabatnya adalah orang-orang paling berjasa dalam hidup kita

Dalam kebingungan kita hari ini pun mereka semua hadir dengan petunjuknya.. 

Bukan hanya itu, tapi mereka juga hadir membawa kabar gembira untuk kita..

Kisah ini detail diceritakan dalam buku tentang khalifah Umar bin Khattab ra karya Syaikh Ali Ash Shalabi..

Tahun 18 H..
Hari itu Khalifah Umar bin Khattab ra bersama para sahabatnya berjalan dari Madinah menuju negeri Syam.

Mereka berhenti didaerah perbatasan sebelum memasuki Syam karena mendengar ada wabah Tha'un Amwas yang melanda negeri tersebut. 

Sebuah penyakit menular, benjolan diseluruh tubuh yg akhirnya pecah dan mengakibatkan pendarahan.

Abu Ubaidah bin Al Jarrah, seorang yang dikagumi Umar ra, sang Gubernur Syam ketika itu datang ke perbatasan untuk menemui rombongan.

Dialog yang hangat antar para sahabat, apakah mereka masuk atau pulang ke Madinah.. 
Umar yang cerdas meminta saran muhajirin, anshar, dan orang2 yg ikut Fathu Makkah. Mereka semua berbeda pendapat..

Bahkan Abu Ubaidah ra menginginkan mereka masuk, dan berkata mengapa engkau lari dari takdir Allah SWT?

Lalu Umar ra menyanggahnya dan bertanya. Jika kamu punya kambing dan ada 2 lahan yg subur dan yg kering, kemana akan engkau arahkan kambingmu? Jika ke lahan kering itu adalah takdir Allah, dan jika ke lahan subur itu juga takdir Allah

Sesungguhnya dengan kami pulang, kita hanya berpindah dari takdir satu ke takdir yg lain.

Akhirnya perbedaan itu berakhir ketika Abdurrahman bin Auf ra mengucapkan hadist Rasulullah SAW.
*Jika kalian mendengar wabah melanda suatu negeri. Maka, jangan kalian memasukinya. Dan jika kalian berada didaerah itu janganlah kalian keluar untuk lari darinya* 
(HR. Bukhari & Muslim)

Akhirnya mereka pun pulang ke Madinah.. Umar ra merasa tidak kuasa meninggalkan sahabat yg dikaguminya, Abu Ubaidah ra.. Beliau pun menulis surat untuk mengajaknya ke Madinah. 

Namun beliau adalah Abu Ubaidah ra, yang hidup bersama rakyatnya dan mati bersama rakyatnya.. 
Umar ra pun menangis membaca surat balasan itu..

Dan bertambah tangisnya ketika mendengar Abu Ubaidah, Muadz bin Jabal, Suhail bin Amr, dan sahabat2 mulia lainnya radiyallahuanhum wafat karena wabah Tha'un dinegeri Syam.

Total sekitar 20 ribu orang wafat, hampir separuh penduduk Syam ketika itu..

Pada akhirnya, wabah tersebut berhenti ketika sahabat Amr bin Ash ra memimpin Syam

Kecerdasan beliau lah yang menyelamatkan Syam.
Hasil tadabbur beliau dan kedekatan dengan alam ini..
 
Amr bin Ash berkata:
*Wahai sekalian manusia, penyakit ini menyebar layaknya kobaran api. Jaga jaraklah dan berpencarlah kalian dengan menempatkan diri di gunung-gunung..* 

Mereka pun berpencar dan menempati gunung2. 
Wabah pun berhenti layaknya api yang padam karena tidak bisa lagi menemukan bahan yang dibakar..

Lalu, belajar dari bagaimana orang-orang terbaik itu bersikap.. 
Maka inilah panduan dan kabar gembira ditengah kesedihan ini untuk kita semua

Pertama, karantina Sebagaimana sabda Rasulullah SAW diatas, 
Maka itulah konsep karantina yang hari ini kita kenal.

Mengisolasi daerah yang terkena wabah.. 
Seluruh negara menjalaninya.. 
Namun ada negara yang entah darimana mengambil petunjuknya,
Negara tsb malah menyuruh orang2 masuk karena dalih ekonomi dan pariwisata.
Semoga Allah SWT melindungi semua penduduk negara tersebut

Kedua, bersabar.
Karena Rasulullah SAW bersabda:
Tha'un merupakan azab yang ditimpakan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Kemudian Dia jadikan rahmat kepada kaum mukminin.

Maka, tidaklah seorang hamba yang dilanda wabah lalu ia menetap dikampungnya dengan penuh kesabaran dan mengetahui bahwa tidak akan menimpanya kecuali apa yang Allah SWT tetapkan, baginya pahala orang yang mati syahid
(HR. Bukhari dan Ahmad)

Masya Allah.. ternyata mati syahid lah balasan itu.. sesuatu yang didambakan kaum muslimin. 
Maka, sabar dan tanamkanlah keyakinan itu. Jika takdir Allah menyapa kita, berharaplah syahid..

Ketiga, berbaik sangka dan berikhtiarlah.
Karena Rasulullah SAW bersabda:
Tidaklah Allah SWT menurunkan suatu penyakit kecuali Dia juga yang menurunkan penawarnya
(HR. Bukhari)

Umar bin Khattab berikhtiar menghindarinya serta Amr bin Ash berikhtiar menghapusnya.

Yang keempat, banyak berdoalah.
Dan doa2 keselamatan itu sudah kita lafadzkan di setiap pagi dan sore:

Bismillahilladzi laa yadhurru ma'asmihi, say'un fil ardhi walafissamaai wahuwa samiul'alim.

(Dengan nama Allah yang apabila disebut, segala sesuatu dibumi dan langit tidak berbahaya. Dialah maha mendengar dan maha mengetahui)

Barang siapa yang membaca dzikir tsb 3x dipagi dan petang. Maka tidak akan ada bahaya yg memudharatkannya
(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Yang terakhir, sebagaimana solusi dari Amr bin Ash untuk berpencar.. 
Menjaga jarak dr keramaian dan menahan diri untuk tetap di rumah
Cara inilah yang banyak ditiru dunia luar, mereka menyebutnya _social distancing_.. 

Semua solusi itu sudah ada, 
Solusi langit dan Bumi 

Solusi pertama dan terakhir, solusi Bumi
Ikhtiar dengan karantina & menjaga diri dari keramaian (social distancing).. 
Selama ini sudah dilakukan bahkan oleh orang2 didunia barat..

Namun mereka tidak punya solusi Langit..
Bersabar, keyakinan dan berbaik sangka akan ketetapan Allah, berdoa, dan bahkan janji akan gelar mati Syahid jika kita melakukan itu semua..

Semoga kita senantiasa dilindungi Allah SWT..
Dan bertemu kembali ditempat terbaik di SurgaNya..

Mari kita sikapi datangnya Pandemi Convid-19 ini secara rasional dan terukur, tidak abai tapi juga tidak lebay 🙏🏻

Sabtu, 14 Maret 2020

Bacaan Shalawat Agar Terhindar dari Virus Corona

Penyebaran virus corona saat ini bukan hanya dinegeri cina saja namun sudah sampai ke Tanah air kita, penyebaran virus ini begitu mudah dan mengerikan karena hanya bisa melalui bersentuhan, memegang suatu benda yg pernah dipegang oleh orang yg terinfeksi maka dapat menularkan virus.

sebagai seorang muslim yg beriman kepada Alloh SWT dalam menyikapi ini jangan takabur ataupun takut yg berlebihan, semuanya sudah ada takdirnya, takdir bisa ditunda atau bahkan bisa dirubah dengan Doa yg benar2 khusu
kepada Alloh SWT.untuk itu, kita diwajibkan selalu berdoa kepada Allah Yang Maha Esa agar dijauhkan dari segala penyakit yg mematikan ini. dengan terus menjaga pola hidup sehat, berolahraga konsumsi Multivitamin sesuai dosis,   Tak lupa kita perbanyak shalawat kepada Nabi Muhammad Saw sebagai wasilah agar dijaga oleh Allah.

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلٰی سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰی أٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَاةً تَدْفَعُ بِهَا عَنَّا الطَّعْنَ وَالطَّاعُوْنَ يَا اَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا اَنْ يَقُوْلَ لَهُ کُنْ فَيَکُوْنَ

“(Wahai Tuhanku, limpahkanlah rahmat dan keselamatan kepada junjungan kami Nabi Muhammad Saw. dan kepada keluarga junjungan kami Nabi Muhammad Saw. dan kepada para sahabat beliau, dengan limpahan rahmat yang Engkau menolak dengannya dari kami, dari gangguan jin dim tha’un. Wahai Dzat yang perintahnya (urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu ( cukup) ‘liengan firman “Kun Fa Y akun” (jadilah!) maka seketika (terjadilah)”.

Cara mengamalkan shalawat ini menurut KH. Mu’tashim Billah, Pengasuh Pondok Pesantren Pandanaran, Yogyakarta, yakni dengan membaca sebanyak 7 x sehabis sholat magrib. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan diri dari penyakit dan wabah virus corona.

Selepas itu, baca surat Al Hasyr 1 x yang bertujuan untuk tolak bala atau menolak musibah. Amaliyah ini sudah dimulai oleh Kiai Tasim semenjak Gunung Merapi Meletus. Agar selanjutnya bisa diamalkan oleh santrinya kapan dan dimanapun berada.

Semoga dengan amalan ini, kita semua terhindar dari virus corona dan di ampuni segala dosa. Aamiin. 

Wallahu'alam 


Sayyidah Mariyah, Istri Nabi Muhammad Keturunan Suku Qibti Mesir SYARIAH Karakter Tawassuth, Tawazun, I'tidal, dan Tasamuh dalam Aswaja.

Ada tiga ciri utama ajaran Ahlussunnah wal Jamaah atau kita sebut dengan Aswaja yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya: Pertama, at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan.

 Ini disarikan dari firman Allah SWT: وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً <> 

Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian. (QS al-Baqarah: 143). 

Kedua at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). 

Firman Allah SWT: لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ 

Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25) Ketiga, al-i'tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ 

Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8) Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT: فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut. (QS. Thaha: 44) Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah". (Tafsir al-Qur'anil 'Azhim, juz III hal 206). Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut: (Lihat Khitthah Nahdliyah, hal 40-44) 1. Akidah. a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli. b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam. c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir. 2. Syari'ah a. Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat dipertanggung­jawabkan secara ilmiah. b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang je1as (sharih/qotht'i). c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni). 3. Tashawwuf/ Akhlak a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam. b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu. c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu' (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros). 4. Pergaulan antar golongan a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing. b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda. c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai. d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam. 5. Kehidupan bernegara a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa. b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama. c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah. d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik. 6. Kebudayaan a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama. b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal. c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-­muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah). 7. Dakwah a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT. b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas. c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah. KH Muhyidin Abdusshomad Pengasuh Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember Tags: Karakter Tawassuth Tawazun I'tidal dan Tasamuh dalam Aswaja Share: Rekomendasi Penglihatan Rasulullah ketika Isra' dan Mi’raj, Mimpi atau Kasatmata? Anjuran Doa Panjang Umur Selama Bulan Rajab dan Sya'ban Ini Lafal Niat Puasa Rajab Bolehkah Niat Puasa Rajab Digabung dengan Qadha Puasa Ramadhan? Lalla Zainab, Mursyid Perempuan yang Melawan Intervensi Prancis Doa Doa Sapu Jagat Ini Doa saat Orgasme atau Ejakulasi Doa dan Tindakan Rasulullah saat Hujan Deras dan Angin Kencang Yang Dibaca Nabi ketika Mendengar Adzan Doa Rasulullah untuk Hasan dan Husein dari Bahaya Ular Warta Video Isra' Intelektual, Mi'raj Spritual Kamis 12 Maret 2020 10:31 WIB Bahtsul Masail 1 Apakah Jenazah Korban Wabah Dianggap Syahid, Tidak Dimandikan dan Dishalatkan? 2 Hukum Melarang Ibadah Jumat oleh Pemerintah karena Virus Berbahaya 3 Hukum Mengintervensi Harga Pasaran Masker oleh Pemerintah 4 Hukum Berenang Laki-laki dan Perempuan di Pantai atau Kolam Renang Umum 5 Mudik, Bolehkah Shalat Jama’ Qashar di Kampung Halaman? Syariah 1 Salah Kaprah Menyamakan Nasionalisme dengan ‘Ashabiyyah 2 Etika Pemilik Utang dalam Islam 3 29 Poin Kesepakatan Muktamar ‘Pembaruan Pemikiran Islam’ Al-Azhar 4 Hukum Transgender atau Mengganti Alat Kelamin Manusia 5 Hukum Ucapan ‘Saya Wakafkan Diriku untuk Islam’ Kontak kami Redaksi: (+6221) 391 4013/14 Sekretariat PBNU (+6221) 31908425 Gedung PBNU Lt.5 Jalan Kramat Raya 164 Jakarta Pusat 10430 Copyright © 2020 | All rights reserved | NU Online

Sumber: https://islam.nu.or.id/post/read/16551/karakter-tawassuth-tawazun-i039tidal-dan-tasamuh-dalam-aswaja

Sabtu, 07 Maret 2020

Biografi Ulama dan Habaib


08 Maret 2019

Syekh Nawawi bin Umar Al-bantani Al-jawi


SYEKH NAWAWI AL-BANTANI


Nama lengkapnya adalah Abu Abdul Mu’ti Muhammad bin Umar bin Arbi bin Ali Al-Tanara Al-Jawi Al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi Al-Jawi Al-Bantani. Dilahirkan di kampung Tanara, kecamatan Tirtayasa, kabupaten Serang, Banten. Pada tahun 1813 M atau 1230 H. Ayahnya bernama Kyai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke 12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari Putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bernama Sunyara-ras (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Muhammad melalui Imam Ja’far Assidiq, Imam Muhammad Al-Baqir, Imam Ali ZainAl-Abidin, Sayyidina Husain, Fatimah Al-Zahra

PERJALANAN INTELEKTUAL SANG PUJANGGA SEJATI 
Pada usia lima tahun Syekh Nawawi belajar langsung dibawah asuhan ayahandanya. Di usia yang masih kanak-kanak ini, beliau pernah bermimpi ber-main dengan anak-anak sebayanya di sungai, karena merasakan haus ia meminum air sungai tersebut sampai habis. Namun, rasa dahaganya tak kunjung surut. Maka Nawawi bersama teman-temannya beramai-ramai pergi ke laut dan air lautpun diminumnya seorang diri hingga mengering.
Ketika usianya memasuki delapan tahun, anak pertama dari tujuh bersaudara itu memulai peng-gembaraannya mencari ilmu. Tempat pertama yang dituju adalah Jawa Timur. Namun sebelum berangkat, Nawawi kecil harus menyanggupi syarat yang diajukan oleh ibunya, “Kudo’akan dan kurestui kepergianmu mengaji dengan syarat jangan pulang sebelum kelapa yang sengaja kutanam ini berbuah.” Demikian restu dan syarat sang ibu. Dan Nawawi kecilpun menyanggupi-nya.
Maka berangkatlah Nawawi kecil menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim yaitu menuntut ilmu. Setelah tiga tahun di Jawa Timur, beliau pindah ke salah satu pondok di daerah Cikampek (Jawa Barat) khusus belajar lughat (bahasa) beserta dengan dua orang sahabatnya dari Jawa Timur. Namun, sebelum diterima di pondok baru tersebut, mereka harus mengikuti tes terlebih dahulu. Ternyata mereka ber-tiga dinyatakan lulus. Tetapi menurut kyai barunya ini, pemuda yang bernama Nawawi tidak perlu mengu-langi mondok. “Nawawi kamu harus segera pulang karena ibumu sudah menunggu dan pohon kelapa yang beliau tanam sudah berbuah.” Terang sang kyai tanpa memberitahu dari mana beliau tahu masalah itu.
Tidak lama setelah kepulangannya, Nawawi muda dipercaya yang mengasuh pondok yang telah dirintis ayahnya. Di usianya yang masih relatif muda, beliau sudah tampak kealimannya sehingga namanya mulai terkenal di mana-mana. Mengingat semakin banyaknya santri baru yang berdatangan dan asrama yang tersedia tidak lagi mampu menampung, maka kyai Nawawi berinisiatif pindah ke daerah Tanara Pesisir.
Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan un-tuk pergi ke Makkah menunaikan ibadah haji. Disana ia memanfaatkan waktunya untuk mempelajari bebe-rapa cabang ilmu, diantaranya adalah: ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadits, tafsir dan ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Makkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 M dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk mem-bantu ayahnya mengajar para santri.
Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Makkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana. Di Makkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal. Pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syekh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Bima, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayyid Ahmad Dimyati, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Makkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Syekh Muhammad Khatib Al-Hambali. Kemudian pada tahun 1860 M. Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid Al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup me-muaskan, karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai syekh disana. Pada tahun 1870 M, kesibukannya bertambah, karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya dan para sahabatnya dari Jawa. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis syarh selain karena permin-taan orang lain, Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering meng-alami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.
Dalam menyusun karyanya Syekh Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Karya-karya beliau cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia karena karya-karya beliau mudah difahami dan padat isinya. Nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H./19 M. Karena kemasyhurannya beliau mendapat gelar: Sayyid Ulama Al-Hijaz, Al-Imam Al-Muhaqqiq wa Al-Fahhamah Al-Mudaqqiq, A’yan Ulama Al-Qarn Al-Ram Asyar li Al-Hijrah, Imam Ulama’ Al-Haramain.
Syekh Nawawi cukup sukses dalam mengajar murid-muridnya, sehingga anak didiknya banyak yang menjadi ulama kenamaan dan tokoh-tokoh nasional Islam Indonesia, diantaranya adalah: Syekh Kholil Bangkalan, Madura, KH. Hasyim Asy’ari dari Tebu Ireng Jombang (Pendiri Organisasi NU), KH. Asy’ari dari Bawean, KH. Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur-Purwakarta, KH. Abdul Karim dari Banten.

SYEKH NAWAWI BANTEN SEBAGAI MAHAGURU SEJATI 
Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan kebanyakan orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzab, Riyadhus Sholihin dan lain-lain. Melalui karya-karyanya yang tersebar di Pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama kyai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejuk-kan. Di setiap majelis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu, dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat terkenal.
Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga mahaguru sejati (the great scholar). Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH. Hasyim Asy’ari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH. Hasyim Asy’ari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.

GORESAN TINTA SYEKH NAWAWI
Di samping digunakan untuk mengajar kepada para muridnya, seluruh kehidupan beliau banyak dicurahkan untuk mengarang beberapa kitab besar sehingga tak terhitung jumlahnya. Konon saat ini masih terdapat ratusan judul naskah asli tulisan tangan Syekh Nawawi yang belum sempat diterbitkan.
Kitab-kitab karangan beliau banyak yang di-terbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirim-kan manuskripnya dan setelah itu tidak memperduli-kan lagi bagaimana penerbit menyebarkan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya, selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand dan juga negara-negara di Timur Tengah. Menurut Ray Salam T. Mangondana, peneliti di Institut Studi Islam, Universitas of Philippines, ada sekitar 40 sekolah agama tradisional di Filipina yang menggunakan karya Nawawi sebagai kurikulum belajarnya. Selain itu Sulaiman Yasin, dosen di Fakultas Studi Islam Universitas Kebangsaan di Malaysia juga menggunakan karya beliau untuk mengajar di kuliahnya. Pada tahun 1870 para ulama universitas Al-Azhar Mesir pernah mengundang beliau untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiah. Mereka tertarik untuk mengundang beliau, karena sudah dikenal di seantero dunia.
Diantara karya-karyanya adalah:
1.    Muraqah As-Su’ud At-Tashdiq; komentar dari kitab Sulam At-Taufiq.
2.    Nihayatuz Zain; komentar dari kitab Qurratul ‘Ain.
3.    Tausiyah ‘Ala Ibn Qasim; komentar dari kitab Fathul Qarib.
4.    Tijan Ad-Durari; komentar dari kitab Risalatul Baijuri.
5.    Tafsir Al-Munir; yang dinamai Marahi Labidi Li Kasyfi Ma’ani Al-Qur’an Al-Majid.
6.    Sulamul Munajat; komentar dari kitab Safinatus Sholat.
7.    Nurudz Dzalam; komentar dari kitab Aqidatul Awam.
8.    Kasyfatus Saja; komentar dari kitab Safinah An-Naja.
9.    Muraqil Ubudiyyah; komentar dari kitab Bidayatul Hidayah.
10. Uqudul Lujjain fi Bayaniz Zaujain; sebuah kitab yang berisikan tuntutan membangun rumah tangga.
11. Bahjatul Wasa’il; komentar dari kitab Risalatul Jami’ah.
12. Madarij as-Shu’ud; komentar dari kitab Maulid Barjanzi.
13. Salalimul Fudlala’; yang dinilai dengan, Hidayatul Adzkiya.
14. Ats-Tsamarul Yani’ah; komentar dari kitab Riyadhul Badi’ah.
15. Nashailul ‘Ibad; kitab yang berisi nasehat-nasehat para ahli ibadah.
Syeikh Nawawi menghembuskan nafas terakhir di usia 84 tahun, tepatnya pada tanggal 25 Syawal 1314 H. atau 1897 M. Beliau dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Rasulullah SAW. Beliau sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawal selalu diadakan acara haul untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.

KAROMAH-KAROMAH SYEKH NAWAWI AL-BANTANI
1.    Pada suatu malam Syekh Nawawi sedang dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah. Beliau duduk di atas ‘sekedup’ onta atau tempat duduk yang berada di punggung onta. Dalam perjalanan di malam hari yang gelap gulita ini, beliau mendapat inspirasi untuk menulis dan jika insipirasinya tidak segera diwujudkan maka akan segera hilang dari ingatan, maka berdo’alah ulama ‘alim allamah ini, “Ya Allah, jika insipirasi yang Engkau berikan malam ini akan bermanfaat bagi umat dan Engkau ridhai, maka ciptakanlah telunjuk jariku ini menjadi lampu yang dapat menerangi tempatku dalam sekedup ini, sehingga oleh kekuasaan-Mu akan dapat menulis inspirasiku.” Ajaib! Dengan kekuasaan-Nya, seketika itu pula telunjuk Syekh Nawawi menyala, menerangi ‘sekedup’nya. Mulailah beliau menulis hingga selesai dan telunjuk jarinya itu kembali padam setelah beliau menjelaskan semua penulisan hingga titik akhir. Konon, kitab tersebut adalah kitab Maroqil Ubudiyah, komentar kitab Bidayatul Hidayah karangan Imam Al-Ghazali.
2.    Ketika tempat kubur Syekh Nawawi akan dibongkar oleh Pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang lahatnya akan ditum-puki jenazah lain (sebagaimana lazim di Ma’la) meskipun yang berada di kubur itu seorang raja sekalipun. Saat itulah para petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun dikubur. Karena itu, bila pergi ke Makkah, insya Allah kita akan bisa menemukan makam beliau di pemakaman umum Ma’la. Banyak juga kaum muslimin yang mengunjungi rumah bekas peninggalan beliau di Serang Banten.
Syekh Nawawi Al-Bantani mampu melihat dan memperlihatkan Ka’bah tanpa sesuatu alatpun. Cara ini dilakukan oleh Syekh Nawawi ketika membetulkan arah kiblatnya Masjid Jami’ Pekojan Jakarta Kota.

Sejarah Syekh Nawawi Banten, Sarana Utama, Jakarta, Hlm. 29 – 30.