Meskipun Untuk sementara kita tak berjabat tangan, meskipun kita tak bisa bertatap muka, dan segala protokol ditetapkan untuk dilaksanakan demi kesehatan karena Pandemi ini, namun diharapkan tidak mengurangi Rasa Hormat, ketulusan dan Khidmat Menyambut Hari Kemenangan Kita..
Mohon Ijin Komandan, Ibu Bapa, Para Guru, Kiyai, Asatid/Asatidzah, Rekan-rekan seprofesi, temen2 angkatan Sekolah dan Kuliah, temen2sebaya waktu dikampung halaman...
Dengan segala kerendahan hati Sanhaji Mengucapkan :
MINAL AIDZIN WAL FAIDZIN
"Semoga kita semua tergolong orang yang kembali dan berhasil"
(kembali pada Fitroh dan berhasil menundukkan dan membakar Hawa Nafsu).
تقبّل اللّه منّا ومنكم صيامنا وصيامكم من العائدين والفائزين كل عم وانتم بحير ....تقبل يا كريم
آمين آمين آمين يا اللّه يا ربّ العالمين يا مجيب السٌآئلين برحمتك يا أرحم الرٌاحمين
Berikut ini adalah beberapa redaksi lafal niat puasa yang dapat dibaca oleh mereka yang terkena kewajiban puasa Ramadhan.
Niat puasa wajib di dalam hati pada malam hari seperti puasa Ramadhan, puasa nazar, dan qadha puasa wajib merupakan kewajiban yang menentukan keabsahan puasa seseorang menurut Mazhab Syafi’i.
Adapun pelafalan niat puasa sangat dianjurkan. Berikut ini adalah beberapa redaksi lafal niat puasa yang dapat dibaca oleh mereka yang terkena kewajiban puasa Ramadhan.
Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāna hādzihis sanati lillāhi ta‘ālā Artinya, “Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta’ala.” Kata “Ramadhana” dianggap sebagai mudhaf ilaihi sehingga diakhiri dengan fathah yang menjadi tanda khafadh atau tanda jarrnya. Sedangkan kata “sanati” diakhiri dengan kasrah sebagai tanda khafadh atau tanda jarr dengan alasan lil mujawarah.
Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāna hādzihis sanata lillāhi ta‘ālā Artinya, “Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta’ala.” Kata “Ramadhana” dianggap sebagai mudhaf ilaihi sehingga diakhiri dengan fathah yang menjadi tanda khafadh atau tanda jarrnya. Sedangkan kata “sanata” diakhiri dengan fathah sebagai tanda nashab atas kezharafannya.
Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāni hādzihis sanati lillāhi ta‘ālā Artinya, “Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta’ala.” Kata “Ramadhani” dianggap sebagai mudhaf ilaihi yang juga menjadi mudhaf sehingga diakhiri dengan kasrah yang menjadi tanda khafadh atau tanda jarrnya. Sedangkan kata “sanati” diakhiri dengan kasrah sebagai tanda khafadh atau tanda jarr atas badal kata "hādzihi" yang menjadi mudhaf ilaihi dari "Ramadhani".
4. نَوَيْتُ صَوْمَ رَمَضَانَ
Nawaitu shauma Ramadhāna Artinya, “Aku berniat puasa bulan Ramadhan.”
5. نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ مِنْ/عَنْ رَمَضَانَ
Nawaitu shauma ghadin min/'an Ramadhāna Artinya, “Aku berniat puasa esok hari pada bulan Ramadhan.”
Nawaitu shaumal ghadi min hādzihis sanati ‘an fardhi Ramadhāna Artinya, “Aku berniat puasa esok hari pada tahun ini perihal kewajiban Ramadhan.” Perbedaan redaksi pelafalan ini tidak mengubah substansi lafal niat puasa Ramadhan.
Redaksi (1) dikutip dari Kitab Minhajut Thalibin dan Perukunan Melayu. Redaksi (2) dan (6) dinukil dari Kitab Asnal Mathalib. Redaksi (3) dikutip dari Kitab Hasyiyatul Jamal dan Kitab Irsyadul Anam. Sedangkan redaksi (4) dan (5) diambil dari dari Kitab I’anatut Thalibin.
Adapun redaksi pelafalan yang tampaknya sulit diterima menurut kaidah gramatikal bahasa Arab (nahwu) adalah komposisi sebagai berikut:
Redaksi pelafalan ini tampaknya sulit diterima menurut kaidah ilmu nawhu karena menganggap kata “Ramadhani” sebagai mudhaf dan diakhiri dengan “sanatu” yang entah apa kedudukan gramatikalnya karena agak jauh ta'wilnya untuk ditarik ke arah mana pun. ***
Adapun argumentasi madzhab Syafi’i atas kewajiban niat puasa wajib di malam hari ditunjukkan antara lain oleh Syekh Sulaiman Al-Bujairimi dalam Hasyiyatul Iqna’-nya sebagai berikut:
ويشترط لفرض الصوم من رمضان أو غيره كقضاء أو نذر التبييت وهو إيقاع النية ليلا لقوله صلى الله عليه وسلم: من لم يبيت النية قبل الفجر فلا صيام له. ولا بد من التبييت لكل يوم لظاهر الخبر
Artinya, “Disyaratkan memasang niat di malam hari bagi puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa qadha, atau puasa nadzar. Syarat ini berdasar pada hadits Rasulullah SAW, ‘Siapa yang tidak memalamkan niat sebelum fajar, maka tiada puasa baginya.’ Karenanya, tidak ada jalan lain kecuali berniat puasa setiap hari berdasar pada redaksi zahir hadits,” (Lihat Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyatul Iqna’, [Beirut, Darul Fikr: 2007 M/1428 H], juz II).
Jika masuk bulan Rabi’ul Awwal (Mulud) waktu kecil dulu saya sering diajak berziarah ke makam para ulama dan waliyullah di sekitar tanah kelahiran sendiri, Provinsi Banten termasuk yang katanya makam Syekh Nawawi.
Ziarah keliling Banten, begitulah nama wisata religi ini dinamakan. Seolah menjadi rutinitas tahunan, sebagian warga Banten rajin mengunjungi makam tanah leluhur.
Ziarah biasanya dimulai dengan mengunjungi tempat terdekat yaitu Cikadueun, Pandeglang. Di sinilah ulama sekaligus umara Banten dikuburkan yaitu Syekh Maulana Maulana Mansyuruddin, atau lebih dikenal Syekh Mansyur.
Kemudian bergeser sedikit ke Caringin, Labuan, Pandeglang. Adalah makam KH Asnawi yang konon merupakan keturunan sultan Banten, Raden Fattah.
Wisata ziarah Banten dilanjutkan ke Gunung Santri, tempat dimakamkannya Syekh Muhammad Sholeh yang merupakan santri Sunan Ampel. Gunung Santri sendiri berada di Bojonegara, Serang. Jika sudah berada di puncak Gunung Santri, sobat bisa melihat menara Mesjid Agung Banten.
Menjelang sore dilanjutkan berziarah ke makam Sultan Maulana Hasanudin dan Sultan Maulana Yusuf di area sekitar Mesjid Agung Banten, Kasemen, Serang.
Wisata Ziarah diakhiri dengan mengunjungi maqom Syekh Nawawi di Tanara, Serang.
Biografi Syekh Nawawi
Dialah salah satu ulama terkenal dan berpengaruh di dunia yang berasal dari Indonesia. Syekh Nawawi sangat disegani keilmuannya oleh dunia internasional. Ulama bermadzhab Syafi’i yang paling produktif menulis kitab.
Tidak kurang dari 115 kitab sudah beliau tulis yang terdiri dari ilmu fiqih, tauhid, tasawuf, tafsir dan juga hadits.
Syekh Nawawi memiliki nama asli Abû Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin Syekh ‘Umar bin Syekh ‘Arobi bin Syekh ‘Ali. Ibunya bernama Syaikhoh Siti Zubaidah.
Lahir di Tanara, Serang Banten tahun 1813 M/1230 H, Syekh Nawawi wafat di Mekkah, Saudi Arabia tahun 1897 M/1314 H.
Pantas saja, waktu berkunjung ke Tanara, pengurus disana menyebut Tanara sebagai maqom Syekh Nawawi, bukan makam Syekh Nawawi. Dan setelah saya cari informasi lain memang benar Syekh Nawawi wafat di Mekkah.
Ulama dan intelektual beraliran Suni dan bermadzhab Syafi’i ini memiliki nisbah atau tambahan gelar At-Tanari, Al-Bantani, Al-Jawi, Asy-Syafi’i. Gelar itu dinisbahkan pada asal Syekh Nawawi yaitu Kampung Tanara, Kec. Tirtayasa, Serang, Banten.
Nama lengkap Syekh Nawawi sendiri yaitu Al-Imam wa Al-Fahm Al-Mudaqqiq As-Sayyid Al-‘Ulama Al-Hijaz Asy-Syaikh Muhammad Nawawi bin ‘Umar At-Tanari Al-Bantani Al-Jawi Asy-Syafi’i.
Syekh Nawawi juga dikenal sebagai pengajar dan Imam Masjidil Haram di Mekkah.
Karena kemasyhurannya, Syekh Nawawi dijuluki Sayyid Ulama Al-Hijaz (Pemimpin ‘Ulama Hijaz), Al-Imam Al-Muhaqqiq wa Al-Fahhamah Al-Mudaqqiq (Imam yang Mumpuni ilmunya), A’yan Ulama Al-Qarn Al-Ram Asyar li Al-Hijrah (Tokoh ‘Ulama Abad 14 H), Imam Ulama’ Al-Haramain (Imam ‘Ulama Dua Kota Suci).
Ada yang mengatakan bahwa beliau adalah keturunan ke-12 Sultan Banten yang silsilahnya sampai kepada Nabi Muhamad saw.
Semasa menimba ilmu, Syekh Nawawi memiliki banyak guru dari ulama termasyhur. Dua diantara para gurunya juga berasal dari Nusantara, yaitu Syekh Ahmad Khotib Al-Syambasi (dari Sambas, Kalimantan Barat. Sumber lain menyebutkan berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat) dan Syekh Junaid Al-Batawi (dari Betawi).
Semasa mudanya, Syekh Nawawi pernah mengobarkan perlawanan penindasan terhadap pribumi. Bahkan beliau dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro. Syekh Nawawi menganggap penindasan oleh penjajah Belanda disebabkan karena kebodohan masyarakat pribumi.
Setelah itu beliau kembali ke Mekkah dan menetap di Syi’ib Ali. Memulai mengajar di halaman rumahnya hingga Syekh Nawawi masyhur dan memiliki banyak murid dari seluruh penjuru dunia.
Namanya makin melejit setelah ditunjuk menjadi pengganti Imam Masjidil Haram saat itu, Syekh Ahmad Khotib Al-Syambasi. Sejak itulah beliau dikenal dengan nama resmi Syekh Nawawi Al-Jawi Al-Bantani.
Dari keilmuannya lahirlah ulama besar Indonesia yang sebelumnya menjadi muridnya seperti KH Hasyim Asyari (pendiri NU), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH Mas Abdurahman (pendiri Mathla’ul Anwar), KH Khalil Bangkalan (Madura), KH Asnawi Kudus, KH Tubagus Ahmad Bakri As-Sampuri (di kalangan santri dikenal dengan nama Mama Sempur, Plered, Purwakarta), Kyai Hasan Genggong (Probolinggo), dan masih banyak lagi.
Para ulama Indonesia memberinya gelar Bapak Kitab Kuning Indonesia berkat ratusan kitab yang dikarang Syekh Nawawi.
Kitab-Kitab Karya Syekh Nawawi
Dari ratusan judul kitab yang dibuat, mengutip dari wikipedia, berikut kitab-kitab populer karangan Syekh Nawawi.
al-Tsamâr al-Yâni’ah syarah al-Riyâdl al-Badî’ah
al-‘Aqd al-Tsamîn syarah Fath al-Mubîn
Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh
Baĥjah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf
Sulûk al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân al-Jumu’ah wa almu’âdah
Hilyah al-Shibyân syarah Fath al-Rahman
al-Fushûsh al-Yâqutiyyah ‘ala al-Raudlah al-Baĥîyyah fi Abwâb al-Tashrîfiyyah
al-Riyâdl al-Fauliyyah
Mishbâh al-Dhalâm’ala Minĥaj al-Atamma fi Tabwîb al-Hukm
Dzariyy’ah al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâĥîn fi al-Tauhîd
al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnâny
Baghyah al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anâm
al-Durrur al-Baĥiyyah fi syarah al-Khashâish al-Nabawiyyah
Lubâb al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.
Karomah Syekh Nawawi
Suatu waktu Syekh Nawawi pernah mengarang kitab menggunakan telunjuk kirinya sebagai lampu. Beliau berdoa kepada Allah dan dengan izinNya jari kiri Syekh Nawawi bercahaya seperti lampu.
Rampunglah kitab Marâqi al-‘Ubudiyyah syarah Matan Bidâyah al-Hidayah yang menyisakan cacat pada jari kirinya.
Karomah lainnya yaitu saat menunjukkan Ka’bah kepada Sayyid Utsman (salah satu keturunan cucu Rasulullah). Saat itu Sayyid Usman mendirikan sebuah mesjid di Jakarta, yaitu Mesjid Pekojan, Jakarta Utara.
Syekh Nawawi muda memberitahu Sayyid Utsman bahwa arah kiblat mesjid salah. Lalu ia menunjuk dengan telunjuknya arah Ka’bah, Sayyid Utsman melihat jelas Ka’bah yang ditunjuk Syekh Nawawi.
Wafatnya Syekh Nawawi
Syekh Nawawi wafat di usia 84 tahun tanggal 25 Syawal 1314 H/1897M. Setelah wafat Syekh Nawawi dikuburkan di daerah bernama Ma’la yang berjarak kurang lebih 2 km dari Masjidil Haram.
Sesuai peraturan di Arab Saudi, siapapun orangnya setelah 1 tahun meninggal, kuburannya akan dibongkar dan kemudian tulang belulangnya diambil dan dikuburkan di luar kota disatukan dengan tulang belulang mayat lainnya.
Saat itu, setelah Syekh Nawawi wafat, pemerintah Saudi hendak memindahkan tulang belulangnya. Namun karomah Syekh Nawawi masih melekat hingga akhir hayatnya, petugas tidak menemukan tulang belulang melainkan jasad utuh beserta kain kafannya yang tidak lecet sedikit pun.
Melihat kondisi itu, pemerintah Arab Saudi mengambil langkah strategis dengan menguburkannya di tempat semula. Setelah diteliti ternyata makam tersebut bukan makan orang sembarangan melainkan makam Syekh Nawawi Al-Bantani.
Makam Syekh Nawawi
Kembali ke cerita saya di awal. Bagi sobat yang pernah berkunjung ke Tanara untuk berziarah, sebetulnya tak ada makam Syekh Nawawi di sana. Yang ada hanya beberapa makam kerabat dan muridnya.
Hanya ada foto Syekh Nawawi tergantung di tempat peziarahan. Saat ini, makam Syekh Nawawi terawat dengan baik di Ma’la, Mekkah Saudi Arabia. Berikut fotonya:
Makam Syekh Nawawi terlihat istimewa karena terpisah dari makam yang lain. Hanya ada batu kecil menandai makam ulama besar Indonesia satu ini.
Menurut cerita isteri saya, perempuan dilarang masuk ke area makam Syekh Nawawi. Setiap waktunya selalu dijaga oleh pihak keamanan setempat. Jamaah lelaki bisa berkunjung dan akan diantarkan sekaligus dikawal oleh pihak keamanan.
Mudah-mudahan suatu saat nanti kita bisa berziarah ke sana, terutama makam Baginda Rasulullah saw.
Aqiqah adalah sunnah Rasul yang didefinisikan sebagai penyembelihan hewan dalam rangka penebusan seorang anak. Sebab, sebagaimana sabda Nabi saw dalam hadits riwayat Abu Dawud nomor 1522, tubuh seorang anak itu tergadaikan sampai ia diaqiqahi:
"Seorang anak tergadaikan dengan (tebusan) aqiqah yang disembelih untuknya di hari yang ke tujuh, dicukur rambut kepalanya dan diberi nama.” Hewan yang disembelih dalam Aqiqoh ialah dua ekor kambing bagi anak lelaki dan satu ekor kambing bagi anak perempuan.
Kriteria tentang kambing yang bagaimana yang layak dijadikan sebagai aqiqoh sama dengan kambing yang layak untuk berkurban. (Baca: Aqiqah atau Qurban Dulu?) Lajnah Ta’lif Pustaka Gerbang Lama, Pondok Pesantren Lirboyo, dalam buku Menembus Gerbang Langit; Kumpulan Doa Salafus Shalih (Lirboyo, Pustaka Gerbang Lama, 2010), hal. 120-123, telah mengumpulkan beberapa doa berkaitan dengan aqiqah:
“Dengan menyebut asma Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, Ya Allah, cahaya langit, matahari dan rembulan. Ya Allah, rahasia Allah, cahaya kenabian, Rasululullah SAW, dan segala puji Bagi Allah, Tuhan semesta alam.”
“Allâhummahfadzhu min syarril jinni wal insi wa ummish shibyâni wa min jamî’is sayyiâti wal ‘ishyâni wahrishu bihadlânatika wa kafâlatika al-mahmûdati wa bidawâmi ‘inâyatika wa ri’âyatika an-nafîdzati nuqaddimu bihâ ‘alal qiyâmi bimâ kalaftanâ min huqûqi rububiyyâtika al-karîmati nadabtanâ ilaihi fîmâ bainanâ wa baina khalqika min makârimil akhlâqi wa athyabu mâ fadldlaltanâ minal arzâqi. Allâhummaj’alnâ wa iyyâhum min ahlil ‘ilmi wa ahlil khairi wa ahlil qur`âni wa lâ taj’alnâ wa iyyâhum min ahlisy syarri wadl dloiri wadz dzolami wath thughyâni.”
“Ya Allah, jagalah dia (bayi) dari kejelekan jin, manusia ummi shibyan, serta segala kejelekan dan maksiat. Jagalah dia dengan penjagaan dan tanggungan-Mu yang terpuji, dengan perawatan dan perlindunganmu yang lestari. Dengan hal tersebut aku mampu melaksanakan apa yang Kau bebankan padaku, dari hak-hak ketuhanan yang mulia. Hiasi dia dengan apa yang ada diantara kami dan makhluk-Mu, yakni akhlak mulia dan anugerah yang paling indah. Ya Allah, jadikan kami dan mereka sebagai ahli ilmu, ahli kebaikan, dan ahli Al-Qur’an. Jangan kau jadikan kami dan mereka sebagai ahli kejelekan, keburukan, aniaya, dan tercela.” Demikian, semoga bermanfaat.
الله اكبر (٣) الله اكبر (٣) الله اكبر (٣) ولله الحمده حمدا كثيرا طيبا مبا ر كا فيه. والصلاة والسلام على سيدنا محمد وعلى آله واصحابه اجمعين امابعد....... فيا عبا دالله
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(Al-Hasyr : 18).
Saudaraku dan keluargaku...
- Tujuan utama perintah Puasa adalah agar kita menjadi orang2 yg bertaqwa,
- Dalam kondisi apapun, senang maupun susah, lapang maupun sempit, kita wajib berusaha menjadi orang yg bertaqwa.
- Walaupun dalam kondisi karantina yg sudah berjalan 2 bulan ini mari kita terus meningkatkan ketaqwaan dan kesabaran.
- ketaqwaan dan kesabaran adalah merupakan modal utama untuk menghadapi Pandemi saat ini.
- Taqwa adalah Istiqomah menjalankan perintah Alloh dan menjauhi Larangan-Nya.
- Alloh berjanji barangsiapa bertaqwa pasti akan diberikan solusi dan jalan keluar atas segala persoalan kehidupan, termasuk Pandemi Virus 19 ini.
- Kesabaran perlu kita pupuk, karena Ujian akan berakhir dengan kemulyaan jika diiringi dengan nilai2 kesabaan.
- Para kekasih Alloh yaitu para Nabi, dan Orang2 sholeh banyak menghadapi ujian berat, dengan kesabaran yg kuat ahirnya mereka mendapat kemuliaan disisi Alloh SWT.
- Misalnya :
- NABI YUNUS AS dikarantina didalam perut ikan karena sabar ahirnya mendapati ummatnya bertobat.
- NABI YUSUF AS, dikarantina dipenjara oleh Fir'aun, karena sabar ahirnya keluar dan menjadi perdana Mentri dikerajaan Fir'aun.
- Nabi Muhammad SAW, dikarantina diGua Hiro selama 40 hari karena sabar ahirnya diwahyukan surat Al-'Alaq yg bisa membawa cahaya dan Rahmat bagi seluruh alam.
- Bercermin dari para kekasih Alloh tersebut, kita harus bersabar dan selalu memohon pertolongan dan Perlindungan Alloh SWT.
- Demikianlah Hutbah idul fitri ini
Mudah2an kita mendapat ampunan dan kemuliaan dari Alloh SWT setelah Pandemi Covid 19 ini.
dan seterusnya lanjut doa memohon wabah covid 19 agar tidak menyerang kita dan keluarga, memohon supaya keluarga kita dikuatkan fisiknya sehingga tidak terserang wabah...
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Mengawali khutbah yang singkat ini, khatib berwasiat kepada kita semua, terutama kepada diri khatib pribadi untuk senantiasa berusaha meningkatkan ketakwaan dan keimanan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan menjalankan semua kewajiban dan menjauhkan diri dari segala yang dilarang dan diharamkan.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Tidak terasa, sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan telah tiba. Hari-hari terakhir Ramadhan ini akan menjadi saksi mengenai apa yang kita lakukan, apakah kita mampu mengisinya dengan berbagai kebaikan, ataukah kita termasuk mereka yang lalai, lengah dan teledor. Inilah saatnya kita berburu pahala. Inilah saatnya kita berburu ridha Allah. Inilah saatnya kita menuju kemenangan. Inilah saatnya kita menuju hari yang fitri.
Betapa banyak orang yang ingin menyambut kedatangannya, tapi jatah hidupnya telah habis. Betapa banyak orang yang berharap untuk bertemu dengannya dan memperoleh barokahnya, tapi ajal memutus harapannya.
Kita bersyukur, Allah masih memberikan kesempatan kepada kita untuk bertemu dengan hari-hari terakhir Ramadhan kali ini. Semoga kita diberi kekuatan untuk memanfaatkannya sebaik mungkin dan mengisinya dengan berbagai ketaatan.
Hadirin yang dirahmati Allah, Jika telah memasuki sepuluh malam terakhir Ramadhan, apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Sayyidah ‘Aisyah radliyallahu ‘anha menceritakan:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ ، أَحْيَا اللَّيْلَ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ، وَجَدَّ، وَشَدَّ الْمِئْزَرَ (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ)
Maknanya: “Adalah Rasulullah apabila sepuluh malam terakhir Ramadhan telah tiba, beliau menghidupkan malam dengan shalat dan berbagai ibadah, membangunkan keluarganya untuk shalat malam dan ibadah-ibadah yang lain, bersungguh-sungguh dalam beribadah melebihi apa yang biasanya dilakukan dan tidak menggauli istri-istrinya”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah di antara waktu yang paling baik untuk berdoa. Di dalamnya terkumpul banyak sekali waktu-waktu yang mulia dan mustajabah, yaitu sepuluh malam terakhir Ramadhan, sepertiga malam terakhir, sesaat setelah adzan dikumandangkan, waktu setelah selesai shalat lima waktu, dalam keadaan sujud, pada saat berkumpulnya umat Islam dalam majelis-majelis kebaikan, majelis-majelis dzikir dan ilmu. Semua itu terkumpul dalam sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Waktu-waktu tersebut kita manfaatkan untuk terus-menerus berdoa, doa kebahagiaan dunia-akhirat, memohon ampunan dosa, keberkahan rezeki, panjang umur dalam ketaatan, terhindar dari segala macam musibah dan wabah, dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
( Maknanya: “Doa salah seorang dari kalian akan dikabulkan selagi ia tidak tergesa-gesa untuk dikabulkan dengan mengatakan: aku telah berdoa tapi belum juga dikabulkan”
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Lebih-lebih lagi apabila doa itu dipanjatkan sembari melakukan i’tikaf di masjid. Pada sepuluh malam terakhir Ramadhan, Rasulullah selalu merutinkan i’tikaf di masjid sampai beliau meninggal dunia.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Pada sepuluh malam terakhir ini, kita juga dianjurkan berburu Lailatul Qadar, malam yang perbuatan baik di dalamnya lebih utama daripada perbuatan baik selama seribu bulan atau 83 tahun 4 bulan.
Allah memang merahasiakan kapan Lailatul Qadar itu terjadi. Akan tetapi Rasulullah memerintahkan kepada kita untuk memburunya pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan. Dan kalau kita ingin memperoleh barokah Lailatul Qadar secara pasti, maka kita hidupkan seluruh malam pada bulan Ramadhan dengan berbagai ibadah dan ketaatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Maknanya: “Barangsiapa yang menghidupkan malam Lailatul Qadar (dengan shalat dan berbagai ibadah) dengan dilandasi keimanan dan niat semata mengharap ridla Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang yang telah lalu” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Hadirin yang dirahmati Allah, Demikian khutbah yang singkat ini. Marilah menuju hari raya, hari kemenangan, hari kembali kepada fitrah, dengan memanfaatkan sepuluh hari terakhir ini untuk melakukan berbagai ibadah dan ketaatan.
Bagi anda yang tak memiliki oven dan ingin membuat olahan pizza, anda dapat menggunakan teflon atau wajan datar anti lengket untuk memanggangnya. Cara membuatnya juga terbilang mudah. Adonan dasar pizza sebaiknya dibuat tipis sehingga lebih cepat matang. Api kompor yang digunakan juga harus api kecil dan teflon harus dalam kondisi ditutup agar matang sempurna hingga bagian dalam.
Belajar Adalah sebuah kewajiban bagi semua Muslim. Beberapa Hadits Rasulullah telah menjelaskan bahwa Belajar itu merupakan sebuah kewajiban bagi setiap Muslim. Seperti Hadits riwayat Ibnu Majah Berikut:
طَلَبُ اْلعِلْمْ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
Artinya : “Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslim.”
Banyak sekali cabang ilmu pengetahuan yang dapat kita pelajari di dunia ini. Setiap ilmu yang kita pelajari akan bermanfaat jika sudah kita amalkan.
Untuk mendapatkan keberkahan dalam belajar, kita dianjurkan untuk membaca doa sebelum belajar dan doa setelah belajar.
Artinya: “Kami ridho Allah Swt sebagai Tuhan kami, Islam sebagai agama kami, dan Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, Ya Allah, tambahkanlah kepada saya ilmu dan berikanlah saya pemahaman yang baik.”
Doa Sebelum belajar latin
Rodhitu billahi robaa wa bilislami diinaa wa bimuhammadin nabiya wa rasuulaa, robbi zidnii ‘ilmaa warzuqnii fahmaa. Amin.
Setelah membaca doa sebelum belajar, kita harus bersungguh-sungguh dalam belajar agar mendapatkan ilmu yang berkah.
Kemudian setelah selesai belajar, kita juga dianjurukan untuk membaca doa setelah belajar.
Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya saya titipkan kepada Engkau apa yang telah Engkau ajarkan kepada saya, maka kembalikanlah ia kepada saya disaat saya membutuhkannya. Janganlah Engkau buat saya lupa kepadanya. Wahai Tuhan Sang Pemelihara Alam”.
Doa Setelah Belajar Latin
Allaahumma innii istaudi’uka maa ‘allamtaniihi fardudhu ilayya ‘inda haajatii wa laa tansaniihi yaa robbal ‘alamiin. Amin.
Selain membaca doa setelah belajar di atas, ada baiknya setelah selesai belajar, kita tambahi juga dengan membaca doa sesudah belajar berikut:
Artinya: “Ya Allah Ya Tuhanku, tunjukkanlah kepada kami tentang kebenaran, sehingga kami dapat mengikutinya. Dan tunjukkanlah kepada kami kejelekan sehingga kami dapat menghindarinya”
Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah swt. Yang telah memberikan taufik dan hidayah kepada Penulis dalam penyusunan buku yang kecil ini. Salawat dan salam senantiasa tercurah keharibaan Baginda junjungan Nabi besar Muhammad saw.
Buku yang ada di tangan pembaca ini adalah buku tentang silsilah Syekh Ciliwulung. Hanya buku silsilah, bukan buku biografi atau buku sejarah syekh Ciliwulung secara lengkap. Karena, kisah hidup syekh ciliwulung memang masih misteri bagi masyarakat, termasuk para turunannya, sampai sekarang.
Namun penulis menganggap walau hanya silsilah, buku kecil ini mudah-mudahan akan bermanfaat bagi pembaca, khususnya bagi mereka yang mencintai para ulama dan waliyullah semacam Syekh Ciliwulung. Paling tidak Silsilah ini bisa sedikit membuat para pembaca mengenal syekh Ciliwulung. Terutama bagi mereka yang sering berziarah ke maqbarah beliau.
Tegur dan sapa atas terbitnya buku kecil ini mungkin akan bisa membuat buku ini lebih sempurna untuk perbaikan cetakan berikutnya.
Cempaka, jumadil Akhir 1431 h./ 9 Juni 2010
Penulis
Imaduddin Utsman, MA.
I
SYEKH CILIWULUNG
Tidak banyak riwayat yang dapat digali dari tokoh ini, berkaitan dengan kisah-kisah kehidupannya. selain bahwa beliau sangat dihormati setelah wafatnya oleh masyarakat sekitar yang berziarah ke maqbarah beliau yang dianggap berkaromat. Setiap hari terutama malam jum'at para peziarah dari berbagai daerah mendatangi maqbarah beliau untuk mendoakan beliau dan memohon berkah kepada Allah dengan berziarah itu untuk melancarkan dan dikabulkannya hajat mereka.
Banyak kisah mistis yang berkembang di tengah masyarakat mengenai Syekh Ciliwulung yang diyakini sebagai waliyullah ini justeru berkaitan dengan kejadian-kejadian sesudah wafatnya beliau.
Kisah karamnya kapal angkutan menuju Jakarta yang kemudian menewaskan banyak penumpang menjadi mashur ketika salah seorang penumpang yang selamat mengatakan bahwa ia selamat karena memohon kepada Allah dengan menyebut nama Syekh Ciliwulung.
Juga kisah Ki Astari Cakung (w.1985) yang terbawa arus sungai Cidurian dari Pendawa kemudian ia selamat tepat di pinggir sungai yang bersebelahan dengan makam Syekh Ciliwulung. Menurut keyakinan masyarakat Ki Astari selamat karena dibantu oleh Syekh Ciliwulung yang merupakan kakek buyut dari Ki Astari.
II
MASA HIDUP SYEKH CILIWULUNG
Berbagai kontroversi tentang siapakah beliau dan kapan beliau hidup berkembang di tengah masyarakat. Sebagian mengatakan beliau hidup pada masa Maulana Hasanuddin sulthan Banten pertama. Pendapat ini diperkuat oleh cerita rakyat Banten bahwa ketika Maulana Hasanuddin mengadu kesaktian dengan Pucuk Umun (Adipati Banten di bawah Pajajaran) Syekh Ciliwulung membantu Maulana Hasanuddin dengan menjadi ayam aduan untuk bertarung dengan ayam jago milik Pucuk Umun dan kemudian pertarungan ini dimenangkan oleh ayam jago milik Maulana Hasanuddin yang tak lain adalah Syekh Ciliwulung.
Menurut versi ini, Syekh ciliwulung adalah salah seorang dari sembilan pengawal Maulana Hasanuddin bersama dengan sahabat-sahabatnya yaitu Cilikored (Raden Saleh Gunung Santri), Cilimede, Cilijohar, Ciliglebeg, Cilibadrin, Cilibred, Cilibayun dan Ciliwangsa. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa kesembilan orang pengawal itu adalah sembilan bersaudara.
Versi kedua mengatakan bahwa Syekh Ciliwulung adalah cucu buyut dari Maulana Hasanuddin. Versi ini dipegang oleh sebagian kecil mereka yang memiliki silsilah garis keturunan kepada Syekh Ciliwulung. Menurut versi ini Syekh Ciliwulung adalah putra Raden Kenyep putra Pangeran Jaga Lautan putra Maulana Hasanuddin. Namun versi ini kurang begitu kuat karena dalam silsilah keturunan Maulana Hasanuddin yang dimiliki oleh para keluarga keraton Surasowan nama Pangeran Jaga Lautan tidak termasuk salah seorang anak Maulana Hasanuddin.
Sedangkan versi ketiga, dan inilah versi paling banyak dipegang mereka yang memiliki silsilah garis keturunan dengan Syekh Ciliwulung, bahwa Syekh Ciliwulung adalah keturunan dari raja-raja kerajaan Sumedang Larang. Dari urutan silsilah yang beredar ditangan para keturunan ini di antara mereka ada yang menempati mulai keturunan ketujuh sampai kesebelas.
Dari versi ini dapat diperkirakan bahwa Syekh ciliwulung hidup sekitar 350 tahun silam yakni sekitar pertengahan abad 18 pada masa pemerintahan Banten di bawah Pangeran Syarif.
Pada masa ini terjadi pemberontakan para kiyai yang dipimpin oleh Kiyai Tapa dan Tubagus Buang yang menuntut Pangeran Syarif turun tahta.
Pangeran Syarif adalah keponakan Ratu Syarifah. Ia adalah wanita keturunan arab isteri Sulthan Zainul Arifin. Dengan licik perempuan ini meminta bantuan Belanda untuk menangkap suaminya, Sulthan Zainul Arifin dan mengangkat keponakannya sebagai sultan Banten. Inilah yang menggerakan Kiayi Tapa dan Tubagus Buang memberontak.
Dengan semangat perang sabil, akhirnya wadyabala Banten di bawah pimpinan Kiayi Tapa dan Tubagus Buang dapat mengalahkan Belanda dan pasukan Pangeran Syarif. Pangeran Syarif kemudian turun tahta dan ia bersama Ratu Syarifah kemudian melarikan diri ke Batavia. Diperkirakan, selain sebagai penyebar agama Islam, Syekh Ciliwulung juga aktif dalam pergolakan itu dalam membantu Kiayi Tapa dan Tubagus Buang.
III
SILSILAH SYEKH CILIWULUNG
Dalam mengurut silsilah ini penulis akan menggunakan versi ketiga dari masa hidup Syekh Ciliwulung karena versi ketiga inilah yang nampaknya paling popular dari risalah silsilah yang dimiliki oleh para keturunannya.
Penulis mendapatkan risalah silsilah dari salah seorang keturunannya. Dalam risalah ini silsilah keturunan syekh Ciliwulung sampai pada Nyai Raja Mantri Putri Sunan Tuakan raja Sumedang Keenam. Setelah penulis teliti dengan silsilah keturunan yang dimiliki oleh keraton sumedang Larang, maka terdapat perbedaan yang tajam. Sunan Tuakan memiliki tiga orang putri yaitu: Ratu Nyai Raja Mantri, Ratu Nyai Sintawati dan dan Ratu Nyai Sari Kencana. Keturunan Syekh Ciliwulung yang sampai pada Prabu Geusan Ulun, menurut urutan silsilah dari keraton sumedang Larang, bukan melalui Nyai Raja Mantri tetapi melalui adiknya yaitu Nyai Sintawati.
Maka penulis akan mengurutkan silsilah Syekh Ciliwulung sampai ke Prabu geusan Ulun dengan menggunakan pendekatan risalah silsilah yang dimiliki salah seorang keturunannya tadi, tapi ketika mengurut dari Prabu Geusan Ulun ke atas penulis menggunakan silsilah dari keraton Sumedang Larang, karena agaknya inilah yang bisa lebih dipertanggung jawabkan.
Sedangkan ketika penulis mengurut silsilah Syekh Ciliwulung sampai kepada Rasulullah melalui Syekh Dzatul Kahfi, Kakek Buyut Prabu Geusan Ulun, penulis menggunakan buku Sejarah Banten yang ditulis oleh Drs. Yosef Iskandar yang membahas buku Pangeran Wangsakerta, pangeran Cirebon, yang berjudul Rajya-rajya I bumi Nusantara yang menerangkan tentang silsilah para raja nusantara dan para penyebar agama islam.
SILSILAH DARI SYEKH DZATUL KAHFI CIREBON
Syekh Ciliwulung bin Raden Kenyep bin Pangeran Lautan bin Raden Tohir bin Raden Kejaksan bin Raden Diwangsa bin Pangeran Jaga Lautan bin Raden Tajuwangsa bin Raden Danugasa bin Raden Fatah bin Pangeran Sumedang bin Prabu Geusan ulun/Pangeran Angkawijaya bin Pangeran Santri bin Maulana Muhammad/Pangeran Palakaran bin Maulana Abdurrahman/Pangeran Panjunan bin Syekh Dzatul Kahfi bin Maulana Isa (Malaka) bin syekh Abdul Qadir bin Abdullah Khanuddin (Al Amir Abdullah Khanuddin-India) bin sayyid Abdul Malik (Adzomat Khan) bin Alwi Amir Al Faqih bin Sayyid Muhammad bin Ali Al Ghayyam bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa Al Bashri bin Muhammad Al Naqib bin Ali Al Uraidli bin Imam Ja'far Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein Al Sibthi bin Sayidatina Fatimah binti Rasulullah Muhammad saw.
SILSILAH DARI KERAJAAN SUMEDANG
Syekh Ciliwulung bin Raden Kenyep bin Pangeran Lautan bin Raden Tohir bin Raden Kejaksan bin Raden Diwangsa bin Pangeran Jaga Lautan bin Raden Tajuwangsa bin Raden Danugasa bin Raden Fatah bin Pangeran Sumedang bin Prabu Geusan ulun/Pangeran Angkawijaya bin Ratu Inten/Ratu Pucuk Umun binti Ratu Sintawati binti Sunan Tuakan Tirtakusuma bin sunan Guling Mertalaya bin Prabu Pagulingan Wirajaya bin Prabu Gajah Agung bin Prabu Lembu Agung bin Prabu Tajimalela.
SYEKH DZATUL KAHFI
Syekh Dzatul Kahfi bernama asli Syekh Idhofi Mahdi, dikenal juga dengan sebutan Syekh Nurjati. adalah seorang ulama pedagang turunan hadramaut. Sekitar tahun 1420 M Syekh Dzatul Kahfi datang ke Muara Jati. Oleh Ki Surawijaya, rombongan Syekh Dzatul Kahfi diijinkan tingggal di Kampung Pasambangan di mana terletak gunung Jati.
Sejak itu mulailah ia berdakwah menyebarkan agama Islam di wilayah Cirebon. Itulah mengapa sebelum kedatangan Sunan Gunung Jati telah banyak orang Cirebon yang beragama Islam. Raden Kian Santang dan adiknya Ratu Rara Santang anak Prabu Siliwangi Pajajaran masuk Islam dan berguru kepada Syekh Dzatul Kahfi. Rara Santang kemudian menikah dengan Syarif Abdullah dari Mesir dan mempunyai anak Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
PANGERAN SANTRI DAN PRABU GEUSAN ULUN
Pangeran Santri bernama asli Raden Sholih ia adalah penyebar agama Islam di Kerajaan Sumedang. Pangeran santri adalah putra Maulana Muhammad bin Maulana Abdurrahman bin Syekh Dzatul Kahfi.
Pangeran Santri menikah dengan ratu penguasa Sumedang yang bernama Ratu Inten dewata dan memiliki anak Pangeran angkawijaya. Pangeran Santri kemudian bersama isterinya memerintah di kerajaan Sumedang. Setelah menjadi raja Pangeran Santri bergelar Pangeran Kusumadinata satu.. Pangeran Angkawijaya kemudian menggantikan ayah dan ibunya dan dinobatkan sebagai raja Sumedang pada tanggal 22 April 1578 dengan gelar Prabu Geusan Ulun. Ia memerintah Kerajaan Sumedang sampai tahun 1601.
Kerajaan Sumedang adalah kerajaan bawahan dari kerajaan Pajajaran Bogor. Setelah Kerajaan Pajajaran sirna ing bumi ditaklukan wadyabala (tentara) Banten 8 mei 1579, Sumedang mewarisi wilayah bekas kerajaan Pajajaran.
PANGERAN SUMEDANG
Pangeran Sumedang bernama asli Pangeran Suradiwangsa adalah putra Prabu Geusan Ulun dengan Ratu Harisbaya/Marsabaya, putri dari Mataram. Karena ibunya asli Mataram ia memilih bergabung dengan Mataram pada tahun 1620 karena khawatir di serang kesultanan Surasowan Banten. Sejak itu Sumedang hanya menjadi sebuah kadipaten di bawah kerajaan Mataram. Pangeran Suradiwangsa kemudian menjadi Bupati pertama dengan gelar Pangeran Adipati Rangga Gempol I.
Dalam riwayat yang lain juga disebutkan, khajjata ma'ii. Artinya, (pahalanya seperti) haji bersamaku. Lalu apakah hadis tersebut dianggap sahih oleh kebanyakan ulama?
Melansir dari laman Muslim.or.id, hadis tersebut tergolong hadis yang shahihain atau sahih. Sehingga hadis itu dijadikan sebagai keutamaan ibadah umrah pada bulan Ramadhan.
Namun, sebagian ulama juga berpendapat bahwa hadis tersebut eksplisit (khusus) untuk seorang perempuan yang saat itu berbincang dengan Rasulullah saja.
Munculnya hadis tersebut dilatarbelakangi saat Rasulullah bertanya kepada seorang perempuan, "Mengapa engkau tidak berhaji bersamaku?".
Perempuan itu menjawab, ia tak berhaji bersama Rasulullah lantaran harus mengurus rumah tangga untuk menggantikan suaminya yang ikut berhaji bersama Rasulullah.
Maka kemudian, Rasulullah berkata kepada perempuan itu, "Apabila nanti datang bulan Ramadhan, pergilah umrah. Karena umrah di bulan Ramadhan pahalanya sama seperti ibadah haji."
Dari situlah, pendapat ulama terpecah menjadi dua. Sebagian ulama menganggap bahwa hadis tersebut khusus ditujukan untuk perempuan itu saja. Beberapa ulama bersikukuh bahwa hadis itu berlaku untuk semua orang yang beribadah umrah pada bulan Ramadhan.
Kelompok ulama yang tidak sepaham, kemudian mengajukan pertanyaan, bagaimana mungkin pahala ibadah umrah sama seperti haji? Padahal, amalan yang dilakukan haji lebih banyak?
Ulama ahli hadis dan ahli fikih menjawab, hadis itu sama seperti hadis Rasulullah tentang keutamaan membaca surat Al-Ikhlas yang sebanding dengan membaca sepertiga Alquran. Padahal, surat Al-Ikhlas hanya terdiri dari empat ayat.
Meskipun Rasulullah selalu berumrah pada bulan Dzulqa'dah, tetapi jumhur (kebanyakan) ulama berpendapat bahwa umrah pada bulan Ramadan sangat diutamakan jika membicarakan pahala.
Sedangkan jika berbicara keutamaan mengikuti kebiasaan Rasulullah, maka umrah pada bulan Dzulqa'dah lebih diutamakan.
Yang pasti, tidak diperbolehkan seseorang membanding-bandingkan dan menghakimi orang lain. Dalam artikel yang ditulis Amrullah Akadintha menyebutkan, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan jika masalah ini adalah masalah pilihan semata.
قال الإمام الشافعي: مَا جَادَلْتُ عَالِمًا إِلَّا غَلَبْتُهُ وَلَا جَادَلْتُ جَاهِلًا إِلَّا غَلَبَنِي
Artinya, “Setiap kali berdebat dengan kelompok intelektual, aku selalu menang. Tetapi anehnya, kalau berdebat dengan orang bodoh, aku kalah tanpa daya.”
Ucapan Imam Syafi’i ini dikutip dari Mafahim Yajibu an Tushahhah karya Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki, Surabaya, Haiatus Shafwah Al-Malikiyyah, tanpa catatan tahun, halaman 340. Kutipan ini diangkat oleh Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki ketika membahas masalah maulid di tengah segelintir orang yang ngotot membid’ahkan peringatan maulid karena gagal paham, atau masalah syariat agama lainya.
Gagal paham macam ini yang membuat disukusi sering kali tidak nyambung. Satu bicara apa. Siapa bicara apa. Gagal paham ini tidak jarang membuat lelah teman diskusi.
Dalam kitab-kitab fikih disebutkan bahwa semua bagian anggota tubuh hewan yang halal dimakan dihukumi suci dan boleh dikonsumsi, termasuk susu dan telurnya. Semua ulama sepakat bahwa telur hewan yang halal dimakan dihukumi suci dan halal. Namun, bagaimana dengan hukum makan telur hewan yang tidak halal dimakan, apakah dihukumi suci dan halal dimakan juga?
Kebanyakan ulama berpendapat, termasuk ulama Syafiiyah, bahwa telur hewan yang tidak halal dimakan dihukumi suci dan halal dimakan. Misalnya, telur burung elang atau buaya, meski burung elang dan buaya tidak halal dimakan namun telur dari dua hewan tersebut dihukumi suci dan halal dimakan. Selama telur tersebut tidak berbahaya bagi kesehatan, maka diperbolehkan untuk dikonsumsi.
Namun jika membahayakan seperti telur ular, maka tidak boleh dikonsumsi.
Hal ini sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Nihayatu al-Zain berikut;
فائدة: إذا فسد البـيض بحيث لا يصلح للتخلق فهو نجس، وكذا بـيض الميتة وما عدا ذلك طاهر مأكول ولو من حيوان غير مأكول كالحدأة والغراب والعقاب والبومة والتمساح والسلحفاة ونحوها إلا بـيض ا
“Faidah; ketika telur telah rusak, hingga tidak bisa berkembang untuk jadi piyik, maka hukumnya najis. Demikian pula telur hewan yang telah mati (telur bangkai). Dan selain itu, semua dihukumi suci dan bisa dimakan meskipun dari hewan yang tidak bisa dimakan seperti rajawali, gagak, elang, burung hantu, buaya, kura-kura dan semisalnya kecuali telur dari golongan ular.”
Dalam kitab I’antut Thalibin juga ditegaskan bahwa menurut pendapat yang paling sahih, telur dari hewan yang tidak halal dimakan hukumnya suci dan boleh dimakan selama telur tersebut tidak berbahaya. Syaikh Abu Bakar Syatha berkata;
وكذا بيض غير مأكول ويحل أكله على الأصح ، (قوله ويحل أكله) قال فى التحفة مالم يعلم ضرره
“Begitu juga dihukumi suci telur hewan yang tidak boleh dimakan dan halal memakannya menurut pendapat yang paling sahih. Perkatan mushannif, ‘Halal memakannya,’ Imam Ibnu Hajar dalam kitab Tuhfah menambahkan, ‘Selama telur tersebut tidak diketahui mengandung bahaya.”
Dengan demikian, semua jenis telur dihukumi suci dan halal dimakan selama tidak mengandung bahaya, baik telur hewan yang halal dimakan atau tidak. Namun jika mengandung bahaya, seperti telur ular, maka tidak boleh dikonsumsi.
Jumat, 08 Mei 2020
Syekh Nawawi al-Bantani dilahirkan di Tanara, serang, Banten sekitar tahun 1230 H/1813 M. Lahir dilingkungan pesantren yang membuat Beliau sudah sangat akrab dengan berbagai macam ilmu agama, terlebih sudah sedari kecil pula Beliau diajari langsung oleh sang ayah mengaji berbagai macam kitab.
Demi memperdalam ilmu agama. Saat usia Syekh Nawawi al-Bantani masih 15 tahun, Beliau mendapatkan kesempatan belajar langsung kepada para ulama yang ada di Tanah Suci Makkah, diantaranya Sayid Ahmad Nahrawi, Sayyid Ahmad Dhimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib al-Hambali, dan Ulama-ulama besar lainnya.
Sedangakan Syekh Asnawi bin Abdurrahman al-Bantani atau yang lebih dikenal dengan nama Syekh Asnawi Caringin adalah seorang ulama dari Banten Syekh Asnawi lahir di Kampung caringin labuan bantensekitar tahun 1850 M di tengah keluarga yang religius. Sang ayah, Syekh Abdurrahman bin Syekh Afifuddin, dan ibunya, Ratu Sabi’ah (Rabiah), berasal dari keluarga yang kental berislam. Bahkan, disebutkan pula bahwa Syekh Asnawi masih keturunan sultan Agung dari Mataram atau keturunan Raden fatah.
Sama2 Ulama menyampaikan ilmunya kepada ummat sehingga disebut syech, namun beda generasi dan tempat kelahiran, dan Makamnya.
Kamis, 07 Mei 2020
Shonhaji bin H.Abdullatif bin Ki syafei bin ki Asmuni bin ki Armah bin ki Muh Ali bin ki Abdullatif bin ki syech karamuddin bin ki syeh Ahmad sa'uddin bin ki syech Ciliwulung / abdurrohman bin ki syech Raden kenyep bin syech pangeran jaga lautan (syech sefulloh pulo cangkir kronjo) bin Syech Maulana Hasanuddin Al bantani Bin Syech Syarif Hidayatulloh (Sunan Gunung Djati)
Maulana Syech Syarif Hidayatulloh ___ Maulana Hadanuddin Al bantani ___ Syech Saefulloh ( pangeran jaga lautan Pulo cangkit kronjo tangerang banten) ___ Raden kenyep___ Syech Ciliwulung / syech abdurrohman___syech Ahmad Sauddin___Syech Karamuddin___ Kiayi Adung Abdullatif lempuyang Tanara banten___ kiyai Ali __ Kiyai Armah____ kiayi Asmuni___kiayi Syafei__ H Abdullatif___ Shonhaji.
Mereka ini semua ulama Salafus Sholeh atau dikenali dgn nama ulama SALAF…Apa itu salaf?
Salaf ialah nama “zaman” yaitu merujuk kpd golongan ulama yg hidup antara kurun zaman kerosulan Nabi Muhammad hingga 300 HIJRAH. Tiga kurun pertama itu bisa diartikan 3 Abad pertama (0-300 H)
1). Golongan generasi pertama dari 300 tahun hijrah tu disebut “Sahabat Nabi” karena mereka pernah bertemu Nabi SAW
2). Golongan generasi kedua pula disebut “Tabi’in” yaitu golongan yg pernah bertemu Sahabat nabi meski tdk pernah bertemu Nabi
3). Golongan generasi ketiga disebut sbg “Tabi’ tabi’in” yaitu golongan yg tak pernah bertemu nabi dan sahabat tapi bertemu dgn tabi’in.
Jadi Imam Abu Hanifah (pencetus mazhab Hanafi) merupakan murid Sahabat Nabi maka beliau seorang TABI’IN.
Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hanbali (Ahmad bin Hanbal), Imam Asy’ari pula berguru dgn tabi’in maka mereka adalah golongan TABI’IT TABI’IN
Jadi kesemua Imam2 yg mulia ini merupakan golongan *SALAF YG SEBENARNYA* dan pengikut mazhhab mereka lah yg paling layak digelar sbg “Salafi” atau "Salafiyah" karena “salafi” maksudnya “pengikut golongan SALAF”.
Jadi beruntung lah kita di Indonesia yg sebagian besar masih berpegang kpd mazhab Syafi’i yg merupakan mazhab SALAF yg SEBENARNYA dan tdk lari dari paham NABI DAN SAHABAT.
SEMENTARA ULAMA RUJUKAN WAHABI YANG MENGAKU SEBAGAI SALAFI ADALAH SBB :
1) Ibnu Taimiyyah lahir: 661 Hijrah (lahir 361 tahun setelah berakhirnya zaman SALAF)
2) Nashiruddin Al-Albani lahir: 1333 Hijrah (mati tahun 1420 hijrah atau 1999 Masehi,lahir 1033 tahun setelah berakhirnya zaman SALAF)
3) Muhammad Abdul Wahhab (pendiri gerakan Wahabi): 1115 Hijrah (lahir 815 tahun setelah berakhirnya zaman SALAF)
4) Bin baz lahir: 1330 Hijrah (wafat tahun 1420 hijrah atau 1999 Masehi, sama dfn Albani, lahir 1030 tahun setelah berakhirnya zaman SALAF)
5) Al-Utsaimin lahir: 1928 Masehi (wafat tahun 2001), beliau lahir entah berapa ribu tahun setelah zaman SALAF
Mereka ini semua hidup di AKHIR ZAMAN kecuali Ibnu Taimiyyah yg hidup di pertengahan zaman antara zaman salaf dan zaman dajjal (akhir zaman). Saat Islam diserang oleh tentara Mongol
Tak ada seorang pun Imam rujukan mereka yg mereka ikuti hidup di zaman SALAF
Mereka ini (ulama rujukan wahabi) semua SANGAT JAUH DARI ZAMAN SALAF tapi SANGAT ANEH apabila pengikut sekte Wahabi membanggakan diri sbg “Salafi” (pengikut Golongan Salaf) dan menyebut sebagai SALAFI WAHABI.
Sdgkan rujukan mereka adalah dari kalangan yg datang dari golongan ulama’ akhir zaman
Mereka menuding ajaran Sifat 20 Imam Asy’ari yg lahir tahun 240 H sbg bid’ah yg sesat. Padahal ajaran Tauhid Uluhiyyah, dan Asma wa Shifat yg mereka ajarkan juga bid’ah dan diajarkan pada masa Khalaf, oleh orang yg lahir tahun 1115 H.
Tak Mampu Ijtihad atau Ittiba’, Orang Awam Silakan Taqlid
Tak Mampu Ijtihad atau Ittiba’, Orang Awam Silakan Taqlid
Cara beragama Islam itu ada tiga. Yaitu, ijtihad, ittiba’ dan taqlid.
Jika ijtihad adalah cara beragama dengan mengetahui dalil dan bisa mengolah dalil tersebut, maka ittiba’ adalah cara beragama dengan mengetahui dalil namun tidak tahu cara mengolahnya.
Sementara taqlid adalah beragama tanpa mengetahui dalilnya.
Demikian disampaikan Katib Syuriyah PCNU Jember Kiai MN Harisudin dalam pengajian Subuh di Masjid Muhajirin, Perumahan Gunung Batu Sumbersari, Jember. Hadir tidak kurang 200 jama’ah yang aktif menyimak pengajian tersebut. Menurut Kiai Harisudin, ijtihad adalah level tertinggi dalam beragama.
Sementara, taqlid adalah level terendah dalam beragama. Di level tertinggi, katanya, ijtihad wajib hukumnya bagi yang mampu berijtihad. “Misalnya, Imam Syafi’i, Imam Hanafi, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hambal yang menghafal ribuan hadits, mengetahui tafsir Al-Qur’an, mengetahui bahasa Arab, mengetahui ijma’ ulama, mengetahui fiqih dan ushul fiqih, dan sebagainya. Orang-orang yang memiliki kompetensi ini wajib hukumnya berijtihad,” ujar kiai muda yang juga Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Mangli Kaliwates Jember tersebut. Sementara, orang yang awam cukup bertaqlid pada kiai dan ustadz. Dengan kata lain, orang awam tidak dibebani repot-repot mencari dalil.
Orang awam beragama di level terendah dengan cukup mengikuti apa kata kiai atau ustadz. “Bayangkan kalau orang awam itu tukang becak, penjual sayur di pasar, petani di sawah.
Mereka disuruh ribet mencari dalil dengan bolak-balik Al-Qur’an dan as-Sunnah. Tentu mereka akan kesulitan dan berat menerima perintah ijtihad. Selain itu, hasil ijtihadnya tidak dapat dipertanggungjawabkan karena mereka misalnya tidak tahu bahasa Arab, Al-Qur’an dan al-Hadits,” ujarnya.
Setidaknya, menurut dosen Pasca Sarjana IAIN Jember ini, ada tiga alasan mengapa ada pilihan-pilihan tersebut.
Pertama, manusia memang diciptakan dengan kelas-kelas berbeda. Secara sosiologis, memang manusia tidaklah satu, melainkan berbeda-beda karena itu kita tidak bisa menggeneralisasikan bahwa orang lain sama dengan kita.
“Kedua, adanya perintah untuk bertakwa semampu orang Islam. Ittaqullaha mas tatha’tum. Makanya, yang mampu ijtihad silakan Ijtihad. Dan yang tidak mampu ijtihad silakan ittiba’. Jika tidak mampu ittiba’, silakan taqlid.
Ketiga, tidak ada pembebanan (taklif) di luar kemampuan manusia. Seorang anak kecil umur dua tahun tidak bisa dibebani membawa beras satu karung. Itu taklifu ma la yuthaqu (membebani di luar kemampuan manusia).
Dengan model beragama ini, agama Islam terasa mudah diterima oleh umat. Inilah dimensi rahmatan lil alamin-nya agama Islam,” papar Kiai MN Harisudin yang juga Pengurus Majlis Ulama Indonesia Kabupaten Jember tersebut.
Banyak ayat Al-Quran atau juga Hadits Nabi Saw yang menjelaskan tentang keutamaan Ilmu dan orang yang berilmu (‘alim, atau bentuk pluralnya ‘ulama). Allah berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Tersebut dalam sebuah riwayat:
Nabi melihat Iblis sedang terpaku di sebuah pintu masjid. Nabi bertanya, “Hai Iblis, mengapa kau diam di sana!?”
“Aku bermaksud masuk masjid dan mengganggu orang yang sedang shalat itu. Hanya saja, langkahku terhenti melihat orang yang sedang tidur ini.”
“Mengapa bisa begitu?” tanya Nabi lagi.
“Orang yang sedang shalat itu bodoh. Tentu aku akan mudah mengganggu dan merusak shalatnya. Tapi orang yang tidur ini berilmu. Aku kuatir kalau aku merusak shalat orang bodoh itu, orang alim ini tiba-tiba bangun dan membetulkan kekeliruannya.”
Itulah kenapa seperti disebut dalam Hilyatul Auliya, Salman Al-Farisi mengabarkan, bahwa Nabi bersabda:
Naumun ‘alaa ‘ilmin khairun min shalaatin ‘alaa jahlin.
“Tidur dalam kondisi berilmu lebih baik daripada shalat dalam keadaan bodoh.”
Tentu saja, hadits tersebut di atas tak dapat dipahami secara gampangan, semisal dengan menyimpulkan bahwa tidur ternyata lebih baik daripada shalat. Itu jelas keliru. Hadits di atas sebetulnya hanya hendak mengungkapkan betapa pentingnya ilmu.
Kenapa sangat urgens!?
Sebab Anda tak bisa baca Al-Quran kecuali Anda mengerti alif ba ta. Anda tahu alif ba ta saja juga belum cukup, sehingga karena itu bacaan Anda bakal awut-awutan. Anda mesti belajar kapan perlu membaca huruf dengan dengung atau kapan Anda diperbolehkan membaca pendek atau sekedar panjang atau sangat panjang. Itu berarti untuk membaca Al-Quran Anda juga mesti belajar ilmu tajwid.
Demikian pula, untuk memahami Al-Quran, Anda tidak bisa sembarangan, semisal dengan cuma berpedoman pada terjemahan lantas Anda berlagak sok menjadi ulama ahli Quran. Seperti disebutkan oleh para ulama tafsir, untuk memahami Al-Quran (atau dengan kata lain untuk menafsiri Al-Quran), seseorang mesti menguasai setidaknya 17 bidang ilmu; ilmu lughah, ilmu asbab nuzul, ilmu qiraat, ilmu nasikh mansukh, dan sebagainya. Pendeknya, Anda mesti ‘alim ilmu-ilmu Al-Quran (‘Ulumul Qur’an).
Resiko ketidaktahuan adalah kekeliruan. Betul bahwa orang yang keliru akibat ketidaktahuan bisa saja dimaafkan, tetapi membiarkan diri dalam kebodohan adalah kekeliruan itu sendiri. Apa artinya!? Anda yang tidak tahu, dan lantas enggan mencari tahu, padahal masih memiliki kemampuan untuk melakukannya, sudah pasti terjeremus dalam kekeliruan yang sebenarnya; yang tak termaafkan.
Bacaan shalat Anda agak miring, lalu kemudian ngotot untuk terus shalat seperti itu, padahal Anda mampu untuk belajar dan memperbaikinya, maka selama itulah shalat Anda tidak sah. Ketidaktahuan pun akhirnya menjerumuskan Anda pada kekeliruan yang fatal. Itulah sebabnya, Ibnu Ruslan menggubah sebuah syair dalam kitab Zubad:
Wa kullu man bi ghairi ilmin ya’malu, a’maluhu mardudatun la tuqbalu.
“Orang yang beramal tanpa ilmu, amalnya tertolak tanpa diterima lagi.”
Ilmu sangat penting dan orang yang berilmu pastilah memiliki derajat yang luhur, setidak-tidaknya di sisi Allah. Sebab tidak selalu orang yang berilmu juga sekaligus diselimuti dengan gemerlap duniawiyah; kaya, terhormat, atau bahkan tidak sama sekali dihargai sebagai ulama. Pendeknya, tidak memperoleh kemuliaan secara lahiriyah. Ibnu Rawandi, dikutip dari Syarah Alfiah Ibnu Malik, bersyair:
Kam ‘aqilin aqilin a’yat madzahibuhu, wa jahilin jahilin talqoohu marzuqa.
“Betapa banyak orang yang berilmu, yang hidupnya susah. Tapi juga berapa banyak orang bodoh, yang bergelimang harta.”
Memang, dalam ranah keagamaan, derajat seseorang seringkali tak dapat diukur secara lahiriah belaka. Orang boleh sama-sama shalat, orang boleh berlomba-lomba beribadah (menuju kebaikan), tapi shalat satu orang bisa saja lebih tinggi nilainya dibandingkan shalat orang lain. Dalam sebuah hadits disebutkan:
“Dua rakaat shalatnya orang yang berilmu adalah lebih baik daripada seribu rakaat dari shalatnya orang bodoh.”
Nabi suatu saat ditanya, “Amal apakah yang utama?”
“Ilmu tentang Allah,” jawab beliau.
Yang bertanya memprotes jawaban Nabi yang dikiranya tidak tepat sasaran, “Maksudnya amal, Wahai Nabi. Perbuatan badan.”
Nabi pun bersabda, “Ilmu akan selalu memberi manfaat kepadamu, dengan sedikit amal sekalipun. Sebaliknya, kebodohan tak pernah memberimu manfaat, dengan banyak amal sekalipun.” (HR. Tirmidzi)
Ilmu terbukti sangat penting, meski bukan berarti tidak ada yang lebih penting.
Dalam Shifat al-Shafwat, Imam Ibnu Al-Jauzi berkata, “Hampir-hampir saja adab setara dengan tiga perempat ilmu.”
Dalam Madarij al-Salikin, disebutkan maqalah dari salafus shalih (terkadang disebut Ibn Mubarak), “Kami lebih butuh sedikit adab, daripada banyaknya ilmu.”
Demikianlah, adab atau yang disitilahkan dalam bahasa Indonesia sebagai tata krama ternyata lebih penting daripada ilmu. Sampai-sampai salah seorang shahabat Nabi yang utama, sang Khalifah Umar bin al-Khattab yang sering hanya dikenal dengan ketegasannya itu, menyeru:
Taaddabu tsumma ta’allamu.
“Belajarlah tata krama, baru kemudian pelajarilah ilmu.” Atau, “Bertatakramalah lebih dulu sebelum berilmu.”
Dalam beberapa kesempatan, para ulama mendeskripsikan, apabila dengan ilmu seseorang dapat mengetahui sah atau tidaknya suatu ibadah, maka dengan adab seseorang dapat mengerti diterima atau tidaknya suatu ibadah.
Semisal, Anda shalat, dan dalam shalat tersebut Anda sebetulnya berkeinginan untuk dipuji orang lain sebagai ahli ibadah atau sebagai orang yang shalatnya sudah lurus nian. Shalat Anda sah? Sejauh bersesuaian dengan syarat dan rukunnya, tentu sah, dan karena itu Anda tidak dianggap berdosa karena meninggalkan shalat. Tetapi apakah diterima? Belum tentu, dan kemungkinan besar tidak, sebab Anda terjangkit riya’ atau sum’ah. Anda tidak ber-adab (tata krama) di hadapan Allah: Anda sedang menghadap Allah, tapi Anda memalingkan muka dari-Nya, dan hanya memandang orang-orang yang Anda berharap pujian dari mereka.
Sebab itulah, menurut Imam Al-Ghazali, tidak setiap orang yang berilmu (ulama) itu baik. Terkadang juga, atau bahkan banyak, ulama yang buruk (ulama suu’).
Tatakrama adalah kunci. Karenanya, tidaklah tepat seseorang menyalahkan, atau bahkan membid’ah-bid’ahkan, perilaku tertentu, hanya karena ia baru bisa pandai dalam satu dua hadits. Kalaupun ia benar, atau yakin dirinya benar, belum tentu juga pendapat yang lain keliru. Jika hal ini dimaknai sebagai perdebatan, maka dalam perdebatan pun perlu tatakrama (adab al-munazharah).
Imam Syafi’i adalah orang yang sangat menganjurkan qunut dalam shalat shubuh. Sebaliknya, Abu Hanifah tidak menganjurkannya. Akan tetapi, saat berziarah ke makam Abu Hanifah, Imam Syafii justru tidak ber-qunut. Ini membuat muridnya kebingungan.
“Guru, mengapa engkau tidak qunut?”
Imam Syafii menjawab,
Ikraman wa ta’zhiman li Abi Hanifah. Memuliakan dan menghormati Abu Hanifah.
Akhirnya, hari-hari ini, adakah yang masih memiliki perangai seperti Imam Syafi’i? mudah2an ada.