Banyak ayat Al-Quran atau juga Hadits Nabi Saw yang menjelaskan tentang keutamaan Ilmu dan orang yang berilmu (‘alim, atau bentuk pluralnya ‘ulama). Allah berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Tersebut dalam sebuah riwayat:
Nabi melihat Iblis sedang terpaku di sebuah pintu masjid. Nabi bertanya, “Hai Iblis, mengapa kau diam di sana!?”
“Aku bermaksud masuk masjid dan mengganggu orang yang sedang shalat itu. Hanya saja, langkahku terhenti melihat orang yang sedang tidur ini.”
“Mengapa bisa begitu?” tanya Nabi lagi.
“Orang yang sedang shalat itu bodoh. Tentu aku akan mudah mengganggu dan merusak shalatnya. Tapi orang yang tidur ini berilmu. Aku kuatir kalau aku merusak shalat orang bodoh itu, orang alim ini tiba-tiba bangun dan membetulkan kekeliruannya.”
Itulah kenapa seperti disebut dalam Hilyatul Auliya, Salman Al-Farisi mengabarkan, bahwa Nabi bersabda:
Naumun ‘alaa ‘ilmin khairun min shalaatin ‘alaa jahlin.
“Tidur dalam kondisi berilmu lebih baik daripada shalat dalam keadaan bodoh.”
Tentu saja, hadits tersebut di atas tak dapat dipahami secara gampangan, semisal dengan menyimpulkan bahwa tidur ternyata lebih baik daripada shalat. Itu jelas keliru. Hadits di atas sebetulnya hanya hendak mengungkapkan betapa pentingnya ilmu.
Kenapa sangat urgens!?
Sebab Anda tak bisa baca Al-Quran kecuali Anda mengerti alif ba ta. Anda tahu alif ba ta saja juga belum cukup, sehingga karena itu bacaan Anda bakal awut-awutan. Anda mesti belajar kapan perlu membaca huruf dengan dengung atau kapan Anda diperbolehkan membaca pendek atau sekedar panjang atau sangat panjang. Itu berarti untuk membaca Al-Quran Anda juga mesti belajar ilmu tajwid.
Demikian pula, untuk memahami Al-Quran, Anda tidak bisa sembarangan, semisal dengan cuma berpedoman pada terjemahan lantas Anda berlagak sok menjadi ulama ahli Quran. Seperti disebutkan oleh para ulama tafsir, untuk memahami Al-Quran (atau dengan kata lain untuk menafsiri Al-Quran), seseorang mesti menguasai setidaknya 17 bidang ilmu; ilmu lughah, ilmu asbab nuzul, ilmu qiraat, ilmu nasikh mansukh, dan sebagainya. Pendeknya, Anda mesti ‘alim ilmu-ilmu Al-Quran (‘Ulumul Qur’an).
Resiko ketidaktahuan adalah kekeliruan. Betul bahwa orang yang keliru akibat ketidaktahuan bisa saja dimaafkan, tetapi membiarkan diri dalam kebodohan adalah kekeliruan itu sendiri. Apa artinya!? Anda yang tidak tahu, dan lantas enggan mencari tahu, padahal masih memiliki kemampuan untuk melakukannya, sudah pasti terjeremus dalam kekeliruan yang sebenarnya; yang tak termaafkan.
Bacaan shalat Anda agak miring, lalu kemudian ngotot untuk terus shalat seperti itu, padahal Anda mampu untuk belajar dan memperbaikinya, maka selama itulah shalat Anda tidak sah. Ketidaktahuan pun akhirnya menjerumuskan Anda pada kekeliruan yang fatal. Itulah sebabnya, Ibnu Ruslan menggubah sebuah syair dalam kitab Zubad:
Wa kullu man bi ghairi ilmin ya’malu, a’maluhu mardudatun la tuqbalu.
“Orang yang beramal tanpa ilmu, amalnya tertolak tanpa diterima lagi.”
Ilmu sangat penting dan orang yang berilmu pastilah memiliki derajat yang luhur, setidak-tidaknya di sisi Allah. Sebab tidak selalu orang yang berilmu juga sekaligus diselimuti dengan gemerlap duniawiyah; kaya, terhormat, atau bahkan tidak sama sekali dihargai sebagai ulama. Pendeknya, tidak memperoleh kemuliaan secara lahiriyah. Ibnu Rawandi, dikutip dari Syarah Alfiah Ibnu Malik, bersyair:
Kam ‘aqilin aqilin a’yat madzahibuhu, wa jahilin jahilin talqoohu marzuqa.
“Betapa banyak orang yang berilmu, yang hidupnya susah. Tapi juga berapa banyak orang bodoh, yang bergelimang harta.”
Memang, dalam ranah keagamaan, derajat seseorang seringkali tak dapat diukur secara lahiriah belaka. Orang boleh sama-sama shalat, orang boleh berlomba-lomba beribadah (menuju kebaikan), tapi shalat satu orang bisa saja lebih tinggi nilainya dibandingkan shalat orang lain. Dalam sebuah hadits disebutkan:
“Dua rakaat shalatnya orang yang berilmu adalah lebih baik daripada seribu rakaat dari shalatnya orang bodoh.”
Nabi suatu saat ditanya, “Amal apakah yang utama?”
“Ilmu tentang Allah,” jawab beliau.
Yang bertanya memprotes jawaban Nabi yang dikiranya tidak tepat sasaran, “Maksudnya amal, Wahai Nabi. Perbuatan badan.”
Nabi pun bersabda, “Ilmu akan selalu memberi manfaat kepadamu, dengan sedikit amal sekalipun. Sebaliknya, kebodohan tak pernah memberimu manfaat, dengan banyak amal sekalipun.” (HR. Tirmidzi)
Ilmu terbukti sangat penting, meski bukan berarti tidak ada yang lebih penting.
Dalam Shifat al-Shafwat, Imam Ibnu Al-Jauzi berkata, “Hampir-hampir saja adab setara dengan tiga perempat ilmu.”
Dalam Madarij al-Salikin, disebutkan maqalah dari salafus shalih (terkadang disebut Ibn Mubarak), “Kami lebih butuh sedikit adab, daripada banyaknya ilmu.”
Demikianlah, adab atau yang disitilahkan dalam bahasa Indonesia sebagai tata krama ternyata lebih penting daripada ilmu. Sampai-sampai salah seorang shahabat Nabi yang utama, sang Khalifah Umar bin al-Khattab yang sering hanya dikenal dengan ketegasannya itu, menyeru:
Taaddabu tsumma ta’allamu.
“Belajarlah tata krama, baru kemudian pelajarilah ilmu.” Atau, “Bertatakramalah lebih dulu sebelum berilmu.”
Dalam beberapa kesempatan, para ulama mendeskripsikan, apabila dengan ilmu seseorang dapat mengetahui sah atau tidaknya suatu ibadah, maka dengan adab seseorang dapat mengerti diterima atau tidaknya suatu ibadah.
Semisal, Anda shalat, dan dalam shalat tersebut Anda sebetulnya berkeinginan untuk dipuji orang lain sebagai ahli ibadah atau sebagai orang yang shalatnya sudah lurus nian. Shalat Anda sah? Sejauh bersesuaian dengan syarat dan rukunnya, tentu sah, dan karena itu Anda tidak dianggap berdosa karena meninggalkan shalat. Tetapi apakah diterima? Belum tentu, dan kemungkinan besar tidak, sebab Anda terjangkit riya’ atau sum’ah. Anda tidak ber-adab (tata krama) di hadapan Allah: Anda sedang menghadap Allah, tapi Anda memalingkan muka dari-Nya, dan hanya memandang orang-orang yang Anda berharap pujian dari mereka.
Sebab itulah, menurut Imam Al-Ghazali, tidak setiap orang yang berilmu (ulama) itu baik. Terkadang juga, atau bahkan banyak, ulama yang buruk (ulama suu’).
Tatakrama adalah kunci. Karenanya, tidaklah tepat seseorang menyalahkan, atau bahkan membid’ah-bid’ahkan, perilaku tertentu, hanya karena ia baru bisa pandai dalam satu dua hadits. Kalaupun ia benar, atau yakin dirinya benar, belum tentu juga pendapat yang lain keliru. Jika hal ini dimaknai sebagai perdebatan, maka dalam perdebatan pun perlu tatakrama (adab al-munazharah).
Imam Syafi’i adalah orang yang sangat menganjurkan qunut dalam shalat shubuh. Sebaliknya, Abu Hanifah tidak menganjurkannya. Akan tetapi, saat berziarah ke makam Abu Hanifah, Imam Syafii justru tidak ber-qunut. Ini membuat muridnya kebingungan.
“Guru, mengapa engkau tidak qunut?”
Imam Syafii menjawab,
Ikraman wa ta’zhiman li Abi Hanifah. Memuliakan dan menghormati Abu Hanifah.
Akhirnya, hari-hari ini, adakah yang masih memiliki perangai seperti Imam Syafi’i? mudah2an ada.
mudah2an anda...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar