Oleh M Kholid Syeirazi
Gerakan Islam yang berkembang di Indonesia tidak terlepas dari konfigurasi dan dinamika harakah Islam di Timur Tengah. Di bagian pertama tulisan ini telah dijelaskan anatomi dan genealogi kelompok Islam garis keras, yang bermuasal dari ortodoksi Imam Ahmad Ibn Hanbal, absolutisme Ibn Taymiyyah, dan salafisme Muhammad Ibn Abdul Wahab. Selain itu bersumber juga dari Dinasti Saudi, neo-fundamentalisme Ikhwan al-Muslimun serta Jama’ati Islami dan pecahan-pecahannya. Teror dan kekerasan bersampul Islam sebagian besar bersumber dari tafsir Islam ortodoks dan kaku ala Ibn Taymiyyah dan pengikutnya. Tentu saja tidak semua penganut salafi Wahabi dan Ikhwan adalah pelaku teror dan kekerasan, tetapi hampir semua gerakan teror dan kekerasan modern bersumber dari epsitemologi Islam radikal-fundamentalistik yang dikembangkan Ibn Taymiyyah pada ke-13 dan penerusnya.
Ada benang merah yang menalipusarkan gerakan Wahabi di abad ke-18 dengan al-Ikhwan al-Muslimun di abad ke-20 dan al-Qaedah serta ISIS di abad ke-21. Tafsir Islam yang kaku, letterlijk, puritan, cenderung hitam putih dan melihat sesuatu secara oposisi biner melandasi perilaku ekstrem-fundamentalistik para pemeluk salafisme dari abad ke-13 hingga kini. Para pengikutnya yang mulai menjamur di Tanah Air menggemakan jargon: “Kembali kepada Qur’an dan Hadis,” tetapi hanya sedikit sekali yang mengerti apa isi Qur’an dan Hadis. Kembali kepada Qur’an dan Hadis itu seringkali ditafsirkan secara simplistis sebagai menjiplak persis apa yang ada pada masa Rasulullah dan menyebut selebihnya sebagai bid’ah.
Manhaj Islam Moderat
Nahdhatul Ulama (NU), embrio kelahirannya adalah Komite Hijaz, dibentuk pada 1925 sebagai reaksi keras atas rencana rezim Wahabi dinasti Saud memugar makam Rasulullah dan situs-situs bersejarah Islam karena dianggap sumber kultus dan kemusyrikan. Para ulama mengirim delegasi, dipimpin KH Abdul Wahab Hasbullah, murid Hadlratus Syeikh Hasyim Asy’ari yang paling cemerlang di Tebuireng, Jombang. Kepada Raja Ibn Saud, delegasi menyampaian lima permohonan, antara lain meminta Raja menjamin kebebasan beramaliyah dalam empat madzhab di Tanah Haram dan tidak ada penggusuran terhadap makam Nabi dan para sahabat.
Untuk mendukung legalitas komite, pada 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M dibentuklah secara resmi jam’iyyah Nahdlatul Ulama, organisasi Islam beraliran Ahlussunnah Waljama’ah. Hadlratus Syeikh Hasyim Asy’ari, Rais Akbar NU, menyusun Qânûn Asâsi, di dalamnya berisi salah satunya tentang definisi Ahlussunnah Waljam’ah, yang kemudian dielaborasi oleh KH Bisri Mustofa, ayahnda KH Mustofa Bisri (Gus Mus).
Ahlussunnah Waljama’ah didefinisikan sebagai kelompok Islam bermadzhab, yang mengikuti manhaj para tokoh dalam tauhid, fiqih, dan tasawuf: yaitu mengikuti pandangan Abu Hasan al-Asy’ari (873-935 M) dan Abu Mansur al-Maturidi (853-944 M) dalam akidah; mengikuti salah satu di antara empat imam madzhab yaitu Imam Abu Hanifah (700-767 M), Imam Malik bin Anas (713-795 M), Imam Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (767-820 M), dan Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M) dalam fiqih; dan mengikuti Junaid al-Baghdadi (830-910 M) dan Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 M) dalam tasawuf.
Semangat dari kelahiran Nahdlatul Ulama adalah menjalankan paham keagamaan moderat yang bersendikan prinsip tawassuth yang meliputi sikaptawâzun (proporsional), i’tidâl (tidak berat sebelah), dan iqtishâd (tidak berlebihan/ifrâth). Prinsip-prinsip ini diyakini sebagai intisari ajaran Islam. Al-qur’an secara tegas menyebut umat Islam sebagai ummatan wasathan (umat tengah/moderat). Dalam hadisnya, Rasulullah menyatakan: “Aku diutus untuk menyampaikan agama tegak lurus dan toleran (bu’itstu bil hanafiyyah al-samhah). Beliau juga mencela kelompok-kelompok ekstrem dalam beragama. Dalam sahih Muslim, Rasulullah diriwayatkan bersabda: “Halakal mutanatthi’ûn, halakal mutanatthi’ûn” (Hancurlah orang-orang ekstrem, hancurlah orang-orang ekstrem). Dalam rangka menjunjung prinsip-prinsip tawasutthiyyahinilah jam’iyyah NU didirikan. Tokoh-tokoh yang dirujuk NU sebagai nisbat paham Ahlussunnah Waljama’ah adalah ulama yang pada masanya menolak ekstremitas.
Empat ahli fiqih yang kelak membentuk madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali adalah para tokoh yang hidup di puncak-puncak keemasan dinasti Abbasiyah, khususnya pada periode tujuh kekuasaan kekhilafahan antara al-Mahdi (775-785 M) dan al-Mutawakkil (847-861 M). Pada periode ini, umat Islam mengenyam dinamika ilmu pengetahuan yang didukung Khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833 M). Para ulama dan filsuf merayakan kebebasan intelektual dengan penggalakan penerjemahan buku-buku asing, termasuk filsafat Yunani. Pendirian Baitul Hikmah (Home of Wisdom) oleh Khalifah al-Ma’mun mengukuhkan Baghdad sebagai mercusuar kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Pengaruh dari gerakan penerjemahan buku-buku asing telah membawa kemajuan bukan hanya di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga di bidang ilmu pengetahuan agama. Pada masa dinasti Abbasiyah, telah berkembang dua jenis tafsir, tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-ra’yi. Jelas sekali bahwa tafsir bi al-ra’yi sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan.
Empat imam madzhab yang dijadikan rujukan definisi Aswaja ala NU adalah tokoh-tokoh moderat yang tidak bermadzhab dengan cara ekstrem. Semua tidak mempertentangkan ‘aql (rasio) dengan naql(teks), meski ada kecenderuang penonjolan ke salah satu. Imam Abu Hanifah yang hidup di Kufah, kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang telah maju, lebih menonjolkan ‘aql daripadanaql dalam proses istinbâth al-ahkâm. Sementara Imam Malik bin Anas yang hidup di Madinah yang kaya sumber naqliyyah, lebih banyak menonjolkannaql (hadis) ketimbang ‘aql. Pendapat dua tokoh mazhab ini ditengahi oleh Imam Syafi’i yang mendudukkan ‘aql dan naql dalam neraca yang seimbang. Moderatisme Imam Syafi’i inilah yang diikuti NU. Imam Ahmad bin Hanbal, diantara empat imam madzhab, adalah yang paling tekstualis. Kepada para muridnya, dia memerintahkan agar berpegang kepada hadis Nabi dan pemahaman para sahabat. Ini dilakukan dalam rangka menjaga dan memurnikan ajaran Islam dari kebudayaan serta adat istiadat non-Arab. Disamping empat imam madzhab itu, karena kebebasan intelektual dilindungi pemerintahan Bani Abbas, banyak para mujtahid lain yang mengeluarkan pendapatnya secara bebas dan mendirikan madzhab sendiri. Di antaranya adalah Madzhab al-Tsawri (didirikan oleh Abu Abdillah Sufyan ibn Masruq al-Tsawry--65-161 H), Madzhab Ibn ‘Uyaiynah(didirikan oleh Abu Muhammad Sufyan ibn ‘Uyaiynah), Madzhab al-Awza’iy (didirikan oleh Abd al-Rahman ibn Amr al-Awza’iy), Madzhab al-Thabary (didirikan oleh Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir ibn Yazid ibn Khalid ibn Ghalib al-Thabary—224-310 H), dan Madzhab al-Zhahiry (didirikan oleh Abu Sulayman Dawud ibn ‘Ali al-Zhahiry—202-270 H). Akan tetapi, karena pengikutnya tidak berkembang atau tidak ditopang oleh kekuasaan, pemikiran dan mazhab itu hilang seiring berlalunya zaman.
Dalam hal teologi, Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi juga merupakan tokoh yang menampik keekstreman teologis seperti yang ditunjukkan oleh kaum Khawarij dan Mu’tazilah. Al-Asy’ari tidak menolak rasio karena dia sebelumnya pengikut Mu’tazilah dan banyak sekali terpengaruh logika Yunani. Tetapi, dia tidak mengagungkan rasio sebagai instrumen tunggal penemu kebenaran. Al-Asy’ari juga menengahi konflik aliran Qadariyah dan Jabariyah dengan memperkenalkan teori kasab. Keluar dari perdebatan lama antara kaum Khawarij dan Murji’ah, al-Asy’ari berpendapat mukmin pelaku dosa besar adalah mukmin yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur. Al-Asy’ari juga memperkenalkan ta’wil sebagai jalan tengah dari dua pandangan ekstrem kaum Mujassimah (antropomorfis) dan kaum Musyabbihah. Doktrin-doktrin teologi al-Maturidi yang mencakup akal dan wahyu, perbuatan manusia, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, sifat Tuhan, melihat Tuhan, kalam Tuhan, perbuatan manusia, pengutusan Rasul dan dosa besar juga merefleksikan struktur berpikir (manhajul fikr) dialektis yang menolak ekstremitas.
Dalam bidang tasawuf, al-Baghdadi adalah tokoh yang berhasil memadukan dzauq tasawuf dengan syariah. Al-Baghdadi merupakan perintis aliran tasawuf yang bersendikan syariah. Praksis sufistik al-Baghdadi tidak ditempuh dengan cara meninggalkan dunia, karena beliau juga adalah seorang pedagang. Teori zuhud al-Baghdadi dinilai paling manusiawi. Karena fitrah manusia goncang di antara imanensi dan transendensi, bimbang di antara makhluk langit dan makhluk bumi, tasawuf tidak boleh ditempuh dengan cara meninggalkan dunia, sebab dunia adalah taman sari akhirat. Al-Ghazali merupakan tokoh penting lain yang mencoba membangun jembatan antara syariat dan hakikat, hukum (fiqih) dan etika (tasawuf) dalam magnum opus-nya, Ihyâ Ulum al-Dîn.
Dalam semangat menegakkan prinsiptawasutthiyyah inilah NU dibentuk untuk menentang gerakan purifikasi Islam yang tidak toleran dari dinasti Wahabi Saudi. Selain untuk menyelamatkan aset-aset dan peninggalan Islam yang berharga, terutama makam Nabi, para ulama membela keragaman tafsir atas Islam sebagaimana diwakili oleh para ulama madzhab. Keragaman tafsir Islam dan manifestasinya harus dipertahankan karena Qur’an dan Hadis, dua sumber otoritatif Islam, adalah kitab yang terbuka terhadap tafsir dan nalar yang berkembang dalam sejarah. Sikap ini membuat NU menjelma menjadi organisasi Islam dengan khazanah intelektual yang sangat kaya. NU mewarisi berjilid-jilid kitab tafsir Qur’an, kitab-kitab hadis, fiqih, kalam, dan sebagainya. Dalam pandangan NU, sumber Islam bukan hanya Qur’an, tetapi juga hadis, terutama yang diseleksi oleh Imam Bukhari (810-870 M), Imam Muslim (821-875 M), Imam Abu Dawud (817-888 M), Imam Turmudzi (824-892 M), Imam Ibn Majah (824-887 M), dan Imam An-Nasa’i (839-915 M).
Karena semangat NU adalah mewarisi khazanah Islam klasik yang berkembang pada abad ke-7 hingga 13 M, NU merujuk kepada tokoh-tokoh yang hidup pada masa di mana kebebasan ijtihad diakui. Sebagaimana telah disebutkan di atas, empat tokoh madzhab fiqih, dua tokoh kalam, dan dua tokoh tasawuf tersebut adalah bintang-bintang yang bersinar terang di era kejayaan Bani Abbasiyah yang menghargai keterbukaan sikap dan kebebasan berpikir. Selain mereka, masih berjejer tokoh-tokoh yang sumbangan intelektualnya terhadap peradaban dunia tidak diragukan seperti Jabir ibn Hayyan (721-815 M) bapak ilmu kimia modern; al-Fazari (w. 796/806 M) dan al-Farghani (w. 870 M), keduanya ahli matematika dan astronomi yang banyak dirujuk para penulis Eropa; al-Kindi (801-873) filsuf Muslim pertama yang banyak sekali menerjemahkan karya-karya Yunani;al-Khawarizmi (780-850 M) pencipta ilmu aljabar/algoritma; al-Farabi (874-950 M) ahli filsafat, logika, ilmu jiwa, etika, dan kenegaraan; al-Mas’udi (896-956) ahli ilmu geografi; Ibn Miskawaih (932-1030) ahli etika dan ilmu jiwa; Ibn Sina (980-1037 M) dan al-Razi (1149-1209 M), keduanya ahli ilmu kedokteran dan filsafat yang nyaris tiada bandingannya dalam sejarah; al-Haitsami (w. 1039 M) pakar ilmu optik; dan Ibn Rushd (1126-1198 M) yang di Eropa terkenal dengan Averroes. Tanpa sumbangan pemikiran tokoh terakhir ini, demikian tulis para sarjana, Eropa masih tetap akan dibekap abad kegelapan (the dark age).
Semangat keterbukaan inilah yang diwariskan ketika penguasa Dinasti Abbasiyah (pada waktu al-Ma’mun) mengirim juru dakwah pada sekitar abad ke-9 ke Nusantara. Juru dakwah yang dikirim adalah ahli agama yang beraliran Aswaja dan bermadzhab Syafi’i ke wilayah Sumatera Utara. Pada tahun 839 M, berdiri kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu Kerajaan Perlak. Khalifah yang berkuasa pada waktu itu adalah al-Mu’tashim Billah. Dapat dipastikan bahwa agama Islam telah masuk jauh sebelum kerajaan itu berdiri, sebab ketika kerajaan itu berdiri sebagian besar penduduknya telah cukup lama memeluk Islam. Pada 1042 M berdiri kerajaan Islam Samudera-Pasai dan pada tahun 1025 berdiri kerajaan Islam Aceh. Kesultanan Samudera-Pasai pada masa Sultan al-Malikus Shaleh menganut paham Aswaja dan beraliran Syafi’i.
Islam masuk ke Pulau Jawa diperkirakan pada akhir abad ke-14 atau awal abad ke-15. Pada saat itu, dengan dukungan Walisongo, Raden Fatah mendirikan kerajaan Demak. Berkat metode dakwah yang ditempuh Walisongo, Islam berkembang pesat sehingga dalam waktu yang relatif singkat, hampir seluruh masyarakat Jawa memeluk agama Islam. Islam kemudian menyebar ke wilayah lain yang ditandai oleh berdirinya beberapa kerajaan Islam di Ternate, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Pada abad ke-16, Islam telah menjadi agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk yang kelak bernama Indonesia. Metode dakwah yang dikembangkan Walisongo, terutama Sunan Kalijogo, dilestarikan oleh para ulama yang mendirikan pesantren sebagai pusat penyebaran dakwah Islam.
Adalah nikmat yang harus disyukuri bahwa Islam datang di Indonesia dengan pendekatan budaya. Islam tidak datang melalui kampanye militer dan konflik kekerasan terhadap para penganut agama dan budaya lokal. Kearifan Hindu-Budha yang telah mengguyur Nusantara lebih dari 300 tahun justru berhasil disisihkan Wali Sanga dengan strategi budaya, yang adaptif dan mengayomi tradisi lokal. Wali Sanga menjalankan pendekatan substansialisasi Islam, tidak memerangi bentuk tetapi menyusupkan isi. Beberapa bentuk kebudayaan yang telah ada dipertahankan, tetapi isi dan maknanya diubah dengan pesan-pesan dakwah. Pendekatan sintesis kreatif ini secara sempurna ditunjukkan oleh model dakwah Sunan Kalijaga, yang menciptakan istilah-istilah kejawen tetapi sebenarnya berisi Islam, seperti Sekaten, Dalang, jimat Kalimosodo, dan sebagainya. Hasilnya, proses Islamisasi yang telah berlangsung sejak pertengahan abad ke-15 mengalami akselerasi yang luar biasa sehingga penduduk kepulauan Nusantara, kecuali sebagian kecil saja, telah berhasil diislamkan seluruhnya pada abad ke-16.
Setelah Terusan Suez dibuka pada tahun 1869, terjadi kontak langsung antara umat Islam di Indonesia dan dunia lain, baik melalui jamaah haji maupun para pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di negeri Arab. Kontak ini menyebabkan masuknya paham lain, terutama Wahabisme. Mereka datang dengan tangan terkepal dan wajah muram, menuding Muslim yang menjalankan Islam dengan budaya sebagai pelaku bid’ah, syirik, dan kafir. Padahal, tanpa budaya, mungkin nenek moyang kita masih memeluk agama Hindu-Budha. Mereka ingin menggusur budaya lokal, diganti dengan budaya Arab. Bagi mereka, Arab adalah Islam, Islam adalah Arab. Menyinggung Arab berarti menghina Islam. Simbol-simbol Arab adalah pertanda surga, melecehkan Arab dekat dengan neraka. Jika ada tulisan Arab diinjak atau digunakan sebagai kostum pekerja seni yang “kafir”, bisa dituding melecehkan Islam karena tulisan Arab adalah huruf al-Qur’an. Banyak orang bangga menggunakan jubbah dan merasa sudah berislam secara kaffah. Jelas ini salah kaprah, tetapi sedang mewabah. Wahabisme telah sukses membuat banyak orang Islam rabun mata sehingga tidak bisa membedakan agama dengan budaya. Padahal, mengutip Gus Dur, “Islam datang bukan untuk mengubah budaya leluhur menjadi budaya Arab, bukan untuk (mengganti) ‘aku’ menjadi ‘ana,’ ‘sampeyan’ jadi ‘antum’, dan ‘sedulur’ menjadi ‘akhi’… Kita pertahankan milik kita, kita harus serap ajarannya, bukan budaya Arabnya.”
Agar semakin tidak gagal paham, setiap orang Islam harus mempelajari Islam (tafaqquh fid dîn) dari sumber yang terpercaya, sanad ilmunya sahih dan bisa dipertanggungjawabkan, metodologinya teruji dan layak diikuti.
Sekjen Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar