Rabu, 03 Oktober 2018

Dizaman Penuh Hoax, Kalau yang Waras Ngalah, yang Goblok akan Merasa Benar

Dizaman Penuh Hoax, Kalau yang Waras Ngalah, yang Goblok akan Merasa Benar
 

Memilih untuk bersuara di panggung politik Indonesia adalah pilihan berdasarkan panggilan hati bagi yang waras. Melihat ribet dan komplikasinya persoalan Indonesia, serta maraknya hoax yang beredar di media sosial, terkadang banyak dari kita lebih memilih diam dengan jargon: Yang waras mengalah. Hilangkan sikap itu untuk memperbaiki apa yang sudah terlanjur runyam karena banyaknya orang goblok lebih bersuara sementara yang waras memilih diam.

Yang waras bukan waktunya mengalah

Lihatlah di media sosial, beragam pendapat berseliweran ke sana ke mari tak tentu arah dan seolah kebenaran sulit kita temukan. Setiap orang mengutarakan pendapat dan kebenarannya masing-masing. Bahkan hoax pun kelihatan seolah fakta ketika Tengku Zulkarnain pun ikut mempostingnya di Twitternya. Bayangkan jika tidak ada yang membantahnya, apa jadinya?

Entah sengaja atau tidak, mereka, yang kita anggap bijak selama ini, bisa kelihatan seperti orang paling goblok, ketika lebih banyak yang kontra daripada yang pro. Padahal kalau Anda mau mencoba memahami postingannya, justru sangat rasional dan kontekstual. Tetapi karena lebih banyak yang kontra, seolah postingan itu suatu yang salah.

Bukan hanya di media sosial, lihatlah politikus ketika berbicara di acara-acara. Cukup mengencangkan urat saraf dan urat malu, yang lain mengangguk-angguk mengiyakan, sekalipun pendapat itu tidak masuk akal. Lain lagi dengan pernyataan yang kelihatan masuk akal dan sangat meyakinkan padahal tanpa bukti yang nyata, semua hanya berdasarkan asumsi belaka.

Kalau yang waras (masuk akal dan berdasarkan bukti-bukti valid dan otentik) diam, mereka akan dianggap benar. Ini sangat berbahaya bagi perkembangan bangsa ini di era digital. Sengotot-ngototnya orang goblok berpendapat, yang waras harus lebih ngotot dengan argumen-argumen masuk akal dan mencerdaskan serta mewaraskan. Memang sangat dibutuhkan kesabaran.

Yang waras akan mampu mengolah emosi dan menjaga rasionalitas argumennya, sementara yang goblok akan merambah ke mana-mana dengan argumen asal dimuntahkan dari otaknya. Yang waras tetap menjaga etika berargumen dan sistematika pemikiran, sementara yang goblok akan mengeluarkan umpatan tidak mengenakkan dan yang paling buruk sekaligus.

Targetnya adalah mereka membaca argumen kita. Soal mereka menerima atau tidak, itu urusan mereka. Tetapi percayalah, ketika suatu saat mereka menghadapi kenyataan berhubungan dengan yang kita nyatakan, mereka akan mangut-mangut seperti orang tolol dan goblok, dan semoga menyesal.

Contoh: Isu Rohingya

Bagi mereka yang punya agenda tersendiri, tragedi Rohingya akan dikatakan sebagai pembantaian umat Islam di Myanmar, sehingga ketika pemerintah tidak cepat bertindak, maka tuduhan anti-Islam kepada Jokowi pun akan semakin gencar. Padahal kenyataannya, baik Islam maupun Budha, etnis Rohingya diusir dari rumah mereka. Pada kenyataannya, tragedi Rohingya murni soal pembersihan etnis, bukan persoalan agama.

Nah kalau ini kita biarkan, maka mereka yang sangat doyan dengan isu agama akan menggorengnya menjadi masalah agama. Muncullah rencana ‘aksi Borobudur’, karena Myanmar mayoritas Budha, dengan demikian Borobudur sebagai tempat suci orang Budha harus di demo. Kalau dibiarkan, di negeri ini akan terjadi pembasmian dan pengusiran umat Budha dengan tujuan menciptakan kekacauan dan pertikaian. Jika kekacauan dan pertikaian antar agama terjadi, maka perhatian pemerintah akan terbagi antara mengatasi kekacauan dan melanjutkan pembangunan.

Padahal, apa hubungan Rohingya dengan Borobudur? Borobudur, selain tempat ibadah, adalah tempat wisata. Hanya orang goblok yang mau merusak pendapatan negaranya sendiri, sebab jika ada demo di sana, siapa yang mau datang berwisata. Iya kalau Borobudurnya baik-baik saja, kalau dirusak seperti ISIS menghancurkan tempat-tempat bersejarah di Timur Tengah, kan rugi besar Indonesia.

Siapa yang akan diuntungkan? Partai politik oposisi, yang berada di luar pemerintahan. Alasannya jelas, agar pemerintah dan partai pendukungnya dianggap tidak mampu mengelola toleransi di Indonesia. Pemerintahan Jokowi lemah. Selain itu, ormas-ormas radikal pun akan menggoreng isu ini. Kalau pemerintah melindungi non-Islam, mereka akan sebut pemerintah anti-Islam. Kalau pemerintah melindungi Islam, dunia akan menyalahkan Jokowi karena tidak mampu menjaga toleransi di Indonesia serta menindas minoritas. Jokowi akan maju nabrak, mundur pun masuk jurang, ke kiri neraka kanan pun kuburan.

Kita tidak mau, hal seperti ini terjadi. Apakah dengan seperti itu kita membela pemerintah? Bukan, kita berjuang untuk Indonesia bersama dengan pemerintah. Yang waras bukan lawan pemerintah pun bukan alat pemerintah. Ketika saatnya tiba, kita juga akan menguliti pemerintah yang memang tidak mampu mengelola negara ini dengan baik. Pemerintah tidak sempurna pun belum mampu menyejahterakan rakyat sepenuhnya, tetapi kalau ditambah harus mengurusi hal-hal yang seharusnya tidak perlu, bagaimana mau fokus pada kemajuan bangsa?

Contoh lain, isu PKI

Saya 1000% setuju bahwa paham komunis tidak bisa lagi ada di Indonesia. Tidak ada tawar menawar soal itu. Kalau PKI bangkit lagi, seperti kata Jokowi, sekarang juga kita gebuk. Tetapi kalau faktanya PKI tidak ada tanda-tanda bangkit, kenapa diisukan kebangkitan PKI. Jangankan mau membangkitkan PKI, mendengar kata PKI pun sebagian besar anak bangsa ini sudah tidak tertarik. Lebih tertarik membahas: kenapa Raisa diambil asing?

Tetapi kita tidak bisa anggap remeh isu PKI ini. Bukan kebangkitan PKI-nya yang harus kita perhatikan, karena sudah ada UU yang menjegalnya, tetapi untuk apa isu PKI ini didengungkan kembali. Karena ini sangat berbahaya. Kita tahu semua bahwa Jokowi dituduh keturunan PKI pada Pilpres 2014 lalu, siapa yang berseberangan dengan mereka dituduh PKI, pokoknya alat untuk menyingkirkan lawan, siapa pun itu, cukup dituduh PKI, maka selesai.

Selesai, karena PKI-fobia sudah dipatri dalam-dalam di benak kita selama kira-kira 32 tahun masa pemerintahan Orde Baru. Maka ketika dituduh PKI, manusia Indonesia, sekalipun tidak percaya 100%, tetap mengantisipasi dengan cara mereka sendiri, mungkin menghindari, menjauh dan bahkan memusuhi. Terbukti isu ‘Jokowi adalah PKI’ sangat ampuh mendongkrak suara Prabowo pada pemilihan presiden tahun 2014.

Sudah terbukti pula bahwa ada pihak-pihak yang menggunakan jasa Saracen untuk menyebarkan ujaran kebencian, fitnah kejam dan isu-isu mematikan lainnya. Kalau tidak dilawan, mereka akan semakin merajalela bagai kuda mau kawin.

Yang waras tidak boleh kalah pada yang goblok

Anda mungkin akan dicaci maki, dihina dengan kalimat umpatan paling kotor dan kejam, dan dituduh ini-itu. Mungkin juga akan diperlakukan seperti orang bodoh karena dikeroyok rame-rame. Tetapi kalau Anda tetap waras dan sabar, Anda akan menang. Mereka akan diam dengan sendirinya. Sebaliknya, mereka akan merasa menang dan benar, jika Anda diam dan mengalah. Bukan yang goblok yang kelihatan goblok, melainkan yang waras yang kelihatan goblok.

Semua ini kita lakukan bukan semata-mata demi membela Bangsa. Lakukanlah ini demi bangsa dan negara. Lakukanlah ini demi anak-cucu Anda agar mereka tidak dipimpin dan dibina orang-orang goblok yang merasa waras. Kalau pun itu terlalu tinggi, lakukanlah ini demi mempertahankan kewarasan Anda sendiri.

Salam dari rakyat jelata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar