Jumat, 12 Oktober 2018

SUAMI MENGUCAPKAN KATA “CERAI”

SUAMI MENGUCAPKAN KATA “CERAI”

 

Dalam masa pernikahan selama 5 tahun dengan suami, saya dikarunia dua orang anak berumur 4 tahun dan 2 tahun. Selama pernikahan tersebut seringkali terjadi  pertengkaran antara saya dan suami dari hal-hal yang sepele sampai hal-hal yang prinsip. Apabila bertengkar suami seringkali mengucapakan kata-kata cerai. Menurut teman saya jika sudah terucap kata cerai berarti sudah jatuh talak suami kepada saya, bagaimana menurut hukum? Terimakasih. Nita-Jakarta

Jawab :
Ibu, perkawinan merupakan ikatan suci tidak hanya antara laki-laki dan perempuan, tetapi juga dengan Tuhan. Karenanya, perceraian menjadi hal yang diijinkan namun sangat dibenci oleh Tuhan. Sejauh yang saya ketahui, ada beberapa macam lafazh yang digunakan oleh seorang laki-laki dalam menceraikan isterinya:

1. Lafazh yang secara tegas mengandung pengertian thalak (cerai), seperti dengan mengatakan: “Aku thalak (cerai) kamu” atau “Kamu aku thalak”.

2. Bila lafazh yang digunakan adalah lafazh yang dikaitkan dengan satu syarat (perbuatan atau kondisi tertentu), seperti dengan mengatakan: “Aku thalak (cerai) kamu bila kamu melakukan perbuatan….atau mengucapkan perkataan….” Lafazh seperti ini sangat tergantung kepada niat orang yang mengucapkannya. Bila dia benar-benar bermaksud menceraikan isterinya bila sang isteri melakukan perbuatan atau mengucapkan perkataan yang disyaratkan itu, maka thalak akan jatuh bila perbuatan tersebut dilakukan atau bila perkataan tersebut diucapkan. Tetapi bila suami hanya bermaksud mengancam atau menakut-nakuti isterinya, maka thalak tidak jatuh meskipun perbuatan tersebut dilakukan atau perkataan tersebut diucapkan. Dalam hal ini, suami hanya dikenai kewajiban membayar kaffarah (denda) sumpah, yaitu dengan memberi makan 10 orang miskin atau berpuasa selama tiga hari.

3.Tetapi bila lafazh yang digunakan adalah lafazh yang mengandung unsur kinayah (kiasan) atau lafazh yang multitafsir, seperti dengan mengatakan: “Pulanglah kamu ke rumah orangtuamu!”, maka lafazh tersebut membutuhkan adanya niat. Jadi, kalau tidak ada niat dari suami untuk menceraikan isterinya, maka tidak jatuh thalak.

Dan bagi muslim yang berniat untuk bercerai, maka ia harus menempuh terlebih dahulu langkah-langkah sbb : (1) shalat istikharah; (2) pisah tempat tidur; dan (3) telah mendatangkan penengah (hakim) dari masing-masing pihak. Jika telah ditempuh yang demikian,dan berketetapan hati untuk bercerai, maka suami dapat melakukan ikrar talak, dengan cara mengajukan permohonan ijin ke pengadilan agama, dan hakim akan menentukan apakah mengijinkan penjatuhan talak/tidak.

Demikianhalnya, untuk yang menyelesaikan perceraian secara agama terlebih dahulu atau perkawinan yang tidak dicatatkan, langkah-langkah tersebut tetap harus ditempuh. Dan penjatuhan talak tidaklah dapat dilakukan secara semena-mena, misalkan melalui telpon atau sms. Tetap ada adab/etika, seperti diawali dengan istighfar, dihadiri para pihak (isteri/walinya) dan disaksikan saksi. Mengapa ? karena bagaimanapun perceraian membawa akibat pada hak dan kewajiban suami. Suami yang menceraikan isterinya berkewajiban untuk memberikan mutah, biaya hadhanah dan biaya iddah. Dan jikapun telah jatuh talak, ada masa iddah dimana suami masih memiliki kewajiban untuk melindungi isteri, sekaligus memberikan waktu pada keduanya untuk meninjau ulang putusan yang diambil. Karenanya, rujuk pada masa iddah untuk talak 1 dan 2, tidak memerlukan ijab kabul kembali. Dari uraian diatas, penjatuhan talak tidak semudah seperti kita mengucapkannya.

Lantas, bagaimana jika suami dalam setiap pertengkaran sering mengucap kata ‘talak”, “cerai”, “pisah”, atau “pulang sana !” . Perkataan “talak” yang dilakukan oleh suami tidaklah sah baik dalam hukum agama maupun negara. Memang dalam kultur kita, terdapat asumsi bahwa jika suami menyatakan “talak”, “cerai” dan atau “kata-kata” yang dapat dipersamakan dengan cerai, maka telah terjadi perceraian. Sejauh yang saya baca, seluruh ulama bersepakat bahwa kata talak yang diucapkan dalam keadaan emosi tidaklah berlaku, karena keputusan didasari pada ketidaksadaran apa dan dampak dari ucapannya. Sedangkan secara hukum, “talak” baru sah apabila diucapkan di depan persidangan.

Terkait dengan permasalahan yang ibu hadapi, penjatuhan talak yang diucapkan suami ibu tidak melalui proses pengambilan keputusan yang dianjurkan Islam, dan diucapkan dalam keadaan emosi. Sehingga tidak terjadi perceraian baik dalam pengertian agama, maupun hukum. Namun untuk memberikan kenyamanan pada anda berdua, sebaiknya memperbaharui perkawinan dengan kembali mengucapkan syahadat, khususnya ketika ibu akan melakukan hubungan suami isteri. Selanjutnya ajak bicara dan

Mintalah pada suami untuk  tidak mengeluarkan kata-kata ‘cerai’ karena setiap ucapan adalah doa.

WALLOHU 'ALAM BISHOWAB


Tidak ada komentar:

Posting Komentar