Ini Alasan Muktamar NU 1930 Haramkan Sedekah Bumi dan Sedekah Laut(Foto: halopacitan)
Jakarta, NU Online
Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) Ustadz H Mahbub Ma’afi Ramdan menjelaskan logika putusan hasil Muktamar NU Ke-5 di Pekalongan pada 13 Rabiuts Tsani 1349 H/7 September 1930 M perihal perayaan untuk memperingati jin penjaga desa/sedekah bumi.
Ustadz Mahbub mengatakan bahwa para kiai NU pada forum itu memutuskan perihal sedekah bumi bahwa upacara adat seperti demikian adalah haram dalam agama. Putusan ini juga dapat dikenakan pada upacara sedekah laut atau larungan.
Menurutnya, putusan haram itu tidak dapat dilepaskan dari deskripsi pertanyaan yang diajukan kepada para kiai di forum muktamar tersebut. Ia mengajak masyarakat untuk membaca putusan muktamar dan sekaligus menelaah deskripsi dalam pertanyaannya.
“Ya karena deskripsi seperti itu. Jawaban atau putusan forum bahtsul masail itu bergantung sekali pada deskripsinya,” kata Ustadz Mahbub Ma’afi Ramdan kepada NU Online di Jakarta, Jumat (19/10) siang.
Berikut ini adalah deskripsi, pertanyaan, dan jawaban yang mengemuka pada forum Muktamar NU Ke-5 1930 M di Pekalongan.“Bagaimana hukumnya mengadakan pesta dan perayaan guna mmemperingati jin penjaga desa (mbahu rekso, Jawa) untuk mengharapkan kebahagiaan dan keselamatan, dan kadang terdapat hal-hal yang mungkar. Perayaan tersebut dinamakan ‘sedekah bumi’ yang biasa dikerjakan penduduk desa (kampung) karena telah menjadi adat kebiasaan sejak dahulu kala?”
“Jawabannya: Adat kebiasaan sedemikian itu hukumnya haram.”
Pengurus Komisi Bahtsul Masail Ad-Diniyyah Al-Maudhu’iyyah LBM PBNU ini menambahkan bahwa situasi di lapangan yang digambarkan dalam deskripsi masalah akan sangat menentukan corak jawaban para kiai di forum bahtsul masail.
Ia mengatakan bahwa putusan dan jawaban perihal sedekah bumi pada forum muktamar NU ini akan berbeda bila deskripsi masalah yang diajukan kepada para kiai itu berbeda.
“Kalau pun diputuskan haram, apakah deskripsi yang diangkat dalam muktamar ini terverifikasi (tahqiqul manath) pada kondisi dan situasi di lapangan. Kalau setelah diverifikasi unsur-unsur dalam putusan itu tidak terbukti, maka upacara sedekah bumi atau sedekah laut yang dimaksud dalam putusan Muktamar berbeda dengan upacara adat di masyarakat. Karena berbeda, maka hukumnya tentu akan berbeda lagi,” kata Ustadz Mahbub.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar