SEJARAH KRESEK:PELURUSAN DAN PENYEMPURNAAN
Zaman dahulu nama Kresek lebih dikenal dengan nama Cakung. Data belanda tahun 1900 tentang tanah distrik Balaraja, bahwa distrik balaraja terdiri dari Antjol Victoria of Daroe (sekarang masuk ke wilayah Kecamatan Jambe dan sebagian Kab. Bogor), Antjol Pasir (sekarang masuk kecamatan Jambe), Blaradja en Boeniajoe (sekarang masuk wilayah kecamatan Balaraja dan Sukamulya), Tigaraksa (sekarang masuk wilayah kecamatan Tigaraksa), Tjikoeja (sekarang masuk wilayah Kecamatan Cisoka dan Solear), Karangserang dalem of Kemiri (sekarang masuk wilayah kecamatan Kemiri), Pasilian (sekarang masuk wilayah kecamatan Kronjo), Djenggati (sekarang masuk wilayah Kabupaten Serang), Tjakoeng of Kresek (sekarang masuk wilayah kecamatan Kresek). Seperti Pasilian yang berubah menjadi Kronjo begitu pula Cakung berubah menjadi Kresek.
Sedangkan Cakung sendiri sekarang ini masuk wilayah dua Kabupaten, yaitu desa Cakung yang masuk kecamatan Binuang Kabupaten Serang. Dan Kampung Cakung yang masuk ke wilayah Desa Kandawati Kecamatan Gunungkaler. Gunungkaler sendiri adalah pemekaran dari Kecamatan Kresek pada tahun 2008.
Letak geografis
Secara geografis, Kecamatan Kresek berada di ujung Barat sebelah utara dari Kabupaten Tangerang. Wilayahnya berbatasan dengan kecamatan Sukamulya di sebelah timur, Gunung Kaler (pemekaran kecamatan Kresek) sebelah Utara. Sedangkan sungai Cidurian di sebelah barat menjadi batas antara Kresek dan kecamatan Binuang yang masuk wilayah Serang. Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan Kresek bukanlah Kresek sebagai nama sebuah kecamatan tapi lebih spesifik Kresek sebagai sebuah desa yang terdiri dari masyarakat yang sebagian besar berasal dari satu keturunan yang kini telah mencapai jumlah sekitar limabelas ribu jiwa, dengan menyertakan beberapa kampung yang walaupun secara letak formal pemerintahan berada di luar Kresek, tapi ketika ditilik dari sudut pandang adat dan kekeluargaan masih berada dalam satu rumpun yang sama.
Bahasa
Masyarakat Kresek khususnya ibu Kota kecamatan kresek, yakni Desa Kresek, dan sekitarnya menggunakan bahasa Jawa-Banten dalam keseharian. Bahasa Jawa-Banten ini berkembang selain karena letaknya dengan ibu kota kesultanan Banten pada zaman dahulu yang rekatif dekat, juga karena memang sebagian masyarakat Kresek adalah keturunan sultan Banten yang nanti akan di jelaskan dalam bagian pembahasan asal-usul masyarakat Kresek.
Asal-Usul Masyarakat Kresek
Masyarakat Kresek diperkirakan telah menjadi suatu komunitas penduduk tetap pada awal permulaan berdirinya kesultanan Banten, sama dengan daerah Banten utara lainnya seperti: Tirtayasa, Pontang, Tanara, Kronjo dan Mauk. Paling tidak beberapa tahun setelah daerah-daerah tersebut.
PANGERAN JAGA LAUTAN
Dalam tulisan ini penulis juga ingin mencoba memberikan informasi tentang sosok Pangeran Jagalautan. Data tentang dirinya begitu banyak versi. Kebetulan tanpa sengaja penulis diberi kemudahan oleh Allah untuk mendapatkan data-data sejarah yang berupa manuskrip-manuskrip kuno dan tulisan-tulisan keluarga yang semula enggan dibuka namun sekarang sudah mau membukanya, mungkin juga yang demikian itu karena banyaknya kekeliruan serta asumsi juga cerita-cerita tutur tinular yang tanpa dasar yang beredar mengenai sosoknya.
Penulis berharap tulisan ini (Januari 2019) merupakan antitesis terhadap tulisan-tulisan penulis tentang Sejarah Cakung dan Kresek yang penulis tulis tahun 2012. Karena tulisan penulis pada tahun itu hanya berdasar kepada catatan-catatan silsilah keluarga dan cerita keluarga secara tutur tinular turun temurun, tanpa buku induk yang menjadi panduan. Waktu itu tujuan penulis adalah menjaga apa yang penulis ketahui agar tidak hilang dan dapat menjadi acuan dan informasi awal. Selain bahwa ajal manusia itu tidak ada yang tahu kapan datangnya. Penulis takut data ini akan terkubur lagi bersama penulis dan tidak diketahui oleh yang mestinya mengetahui. Karena tidak semua keluarga mempunyai catatan silsilah itu. Dan yang mengetahui begitu erat menjaga agar silsilah itu tidak tersebar.
Data-data selanjutnya yang penulis dapatkan kemudian menjadi jawaban kenapa para leluhur menyembunyikan silsilah keluarga mereka bahkan ada keturunannya sekarang yang nyaris kepaten obor tidak mengetahui siapa dirinya dan darimana asalnya. Tekanan dan ancaman intimidasi dari penguasa VOC kepada para anak cucu pejuang yang antikompromi dengan belanda dan sebagian yang mulai ingin hidup normal seperti masarakat lainnya adalah alasan alasan yang dapat dimaklumi.
Secara pribadi saya ucapkan terimaksih yang tak terhingga kepada Keluarga besar Babad Kesulthanan Banten terutama Kang Tubagus Mogy Nurfadhil dan Tubagus Sholeh yang telah membawa buku penting yang salinan aslinya ditulis tahun 1830 M dalam tulisan pegon (arab gundul) berbahasa Sunda. Buku itu berjudul 'Pararimbon ke-ariyaan Parahiyang'. Dalam Buku itu jelas disebutkan siapa nama asli Syekh Ciliwulung, siapa ayah dan ibunya, siapa saudara-saudaranya?.
Terimakasih juga kepada Kang Lutfi dan Kang Muklis dan seluruh keluarga Lengkong yang berkenan membuka data papakem Lengkong untuk disesuaikan dengan data kresek.
Juga kepada Kang Bayu Yasin dan Kang yang telah membawakan data penting berumur 346 tahun tentang hari syahidnya Syekh Ciliwulung.
Dan terimakasih kepada seluruh keluarga Nonoman Sumedang Larang yang membantu menemukan makam Pangeran Wiraraja ayah Raden Kenyep/Arya Wangsakara di Sumedang.
Tidak lupa terimakasih kepada kakanda KH. Mustanjid dan KH. Maujud sebagai pemegang beberapa data penting keluarga besar Kresek-Cakung.
Dari bukti-bukti sejarah berupa manuskrip, kitab, dan ranji silsilah yang disebutkan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Silsilah Syekh Ciliwulung adalah Syekh Ciliwulung bin Raden Kenyep bin Pangeran Wiraraja Sumedang bin Prabu Gesan Ulun.
2. Nama asli Syekh Ciliwulung yaitu Raden Wiranegara. Syekh Ciliwulung syahid dalam perang tirtayasa di Tanara pada hari Sabtu tanggal 26 haji 1093 hijriah atau tahun 1682.
3. Raden Kenyep mempunyai banyak nama lain yaitu: Raden Arya Wangsakara, Imam Haji Wangsaraja, Arya Tangerang I, Raden Wiraraja II, Kiayi Lenyep dan Kiayi Narantaka.
3. Nama Wiranegara untuk Syekh Ciliwulung ini adalah nama keluarga dari ibu Syekh Ciliwulung yang bernama Ratu Maemunah binti Tubagus Idham (RTb. Wiranegara 2) bin RTb. Wiranegara 1 bin Pangeran Wiraraja (Mas Wi/Pangeran Jagalautan) bin Pangeran Sunyararas bin Maulana Hasanuddin.
4. Pangeran Jagalautan pulo cangkir adalah nama yang dalam data silsilah Kresek-Cakung disebut sebagai ayah raden Kenyep. Dalam dua versi silsilah yang jalur ke atas dari P. Jagalautan yang berbeda dapat dijelaskan bahwa betul Pangeran Jagalautan sebagai leluhur Syekh Ciliwulung, baik versi Banten maupun versi Sumedang. Masalah terjadi karena ada dua nama yang sama yaitu Pangeran Wiraraja Sumedang, nama asli ayah Raden Kenyep dan Pangeran Wiraraja Banten Kakek dari isteri Raden Kenyep. Lalu siapakah Pangeran Jagalautan, apakah P. Wiraraja Sumedang atau P. Wiraraja Banten?
Menurut Tubagus Mogy Nurfadhil, Ketua Kekancingan Babad Kesulthanan Banten, bahwa pangeran Jagalautan yang disebut sebagai putra Maulana Hasanuddin itu sebenarnya adalah cucunya. Karena nama Jagalautan tidak ditemukan dalam data Banten sebagai anak Maulana Hasanudin. Hal ini terbantu oleh data Tangerang bahwa ibu Syekh Ciliwulung adalah Ratu Maimunah bin Tubagus idham. Dan data dari buku Nasab Jayadiningrat bahwa P. Sunyararas mempunyai cucu bernama Wiranegara sama dengan nama Syekh Ciliwulung dalam data Tangerang tahun 1830 M.
Dapat ditarik benang merah, menurut Tubagus Mogy, bahwa pencatatan keluarga itu terjadi distorsi antara cucu kepada anak dan antara menantu menjadi anak.
Sebagaimana dimaklumi sebagian keturunan Syekh Ciliwulung menulis silsilah syekh Ciliwulung begini: Syekh Ciliwulung bin Raden Kenyep bin Pangeran Jagalautan bin Maulana Hasanuddin. Sebagian lagi mencatat begini: Syekh Ciliwulung bin Raden Kenyep bin P. Jagalautan bin...pangeran sumedang bin Prabugesan ulun.
Pernah terjadi musyawarah para keturunan Syekh Ciliwulung di Pulau Cangkir pada tahun 2013 ditengahi oleh Tubagus Fathul Adzim dari kenadziran Banten yang menyimpulkan bahwa Pangeran Jagalautan adalah sebagai anak dari Maulana Hasanudin, tetapi keputusan musyawarah itu tidak kemudian diikuti secara menyeluruh oleh para keturunan syekh Ciliwulung karena Tubagus FathulAdzim ketika menetapkan tidak bersumber kepada data apapun selain cerita orangtua dan kata hati.
Menurut Tubagus Mogy data silsilah dua versi ini tidak mutlak salah dan tidak mutlak benar. Karena memang Syekh Ciliwulung adalah keturunan Maulana Hasanuddin dan juga Prabu Geusan Ulun. Yang salah dari dua versi penulisan silsilah ini hanyalah penempatan cucu menjadi anak dan menantu menjadi anak.
Menurut Tubagus Mogy, silsilah Syekh Ciliwulung dari garis ayah yang benar yang sesuai dengan data kesulthanan Banten dan data Tangerang tahun 1830 adalah sebagai berikut: Syekh Ciliwulung bin Raden Kenyep bin Pangeran Wiraraja bin Prabu Geusan Ulun raja Sumedang.
Adapun dari jalur ibu adalah sebagai berikut: Syekh Ciliwulung (Raden Wiranegara) bin Ratu Maimunah bin Tubagus Idham(Rtb Wiranegara 2) bin Rtb Wiranegara 1 bin Pangeran Wiraraja (Mas Wi/P.Jagalutan) bin Pangeran Sunyararas bin Maulana Hasanuddin.
Sebelumnya, Tubagus Mogy cenderung menyimpulkan bahwa Pangeran Jagalautan ini adalah Pangeran Wiraraja Sumedang, ayah dari Raden Kenyep. Tetapi dibantu oleh Nonoman krathon Sumedang Larang dapat ditemukan bahwa ayah Raden Kenyep yaitu Pangeran Wiraraja dimakamkan disebuah bukit yang diitari oleh sungai didesa Darmawangi kecamatan Tomo Sumedang. Maka sebelumnya disimpulkan bahwa jika Pangeran Wirarja adalah Pangeran Jagalautan maka makam yang ada di Pulau Cangkir hanya petilasan saja. Tetapi ketika ditemukan data bahwa Syekh Ciliwulung adalah cicit Pangeran Wiraraja Banten bin Pangeran Sunyararas maka besar kemungkinan Pangeran Jagalautan Pulocangkir ini adalah Mas Wi atau Pangeran Wiraraja Banten.
Maka berdasar kepada teori ilmu sejarah nasab, kemungkinan Pangeran Jagalautan pulocangkir adalah pangeran wiraraja bin pangeran Sunyararas adalah 90% mendekati kesesuaian. Sepuluh persen lagi adalah kemungkinan ditemukannya data pembanding yang lebih kuat yang berbeda dengan penelitian ini.
Tubagus Mogy berharap tulisan silsilah Syekh Ciliwulung dari para keturunannya ke depan agar menyesuaikan dengan penelitian Kekancingan Babad Kesulthanan Banten ini agar sesuai dengan buku induk nasab kesulthanan Banten. Dan agar tidak menjadi kebingungan dihari kemudian.
Dengan hasil penelitian ini juga diharapkan pengurus makam karomah Pangeran Jagalautan Pulocangkir Kronjo mengikuti penulisan silsilah pangeran Jagalautan sebagaimana tadi telah disebutkan. Dan alangkah lebih bagus bila penulisan itu juga menyertakan alias. Jadi ditulis Pangeran Jagalautan alias Maswi alias Pangeran Wiraraja bin Pangeran Sunyararas bin Maulana Hasanuddin. Penulisan alias dalam data sejarah sangatlah penting karena terkadang dalam buku sejarah pelaku sejarah ditulis dalam satu peristiwa sejarah dengan satu nama dan dalam peristiwa yang lain dengan nama lainnya. Kemudian dikira satu orang ini adalah dua orang karena tidak diketahui bahwa ia mempunyai nama yang lain.
ANAK RADEN KENYEP
Distorsi yang lain dari catatan-catatan Kresek-Cakung adalah bahwa Raden Kenyep mempunyai banyak anak yang semuanya menggunakan nama depan Cili. Dalam cerita-cerita yang kemudian ditulis bahwa Raden Kenyep mempunyai anak Ciliwulung, Ciliwangsa, Ciliglebeg, Cilimede, Cilibadrin, Cilimandira, Cilibayun, Cilikored, Cilijohar, dan Cilibred.
Kisah mengenai nama anak Raden Kenyep di atas tidak berdasar data sejarah apapun. Yang demikian itu hanya berdasar pada asumsi dari kesamaan nama depan mereka yang menggunakan nama cili.
Ada dua data yang bisa mebantah bahwa Raden Kenyep mempunyai anak yang semua bernama Cili. Yang perama buku Pararimbon keariyaan parahyang yang menyebutkan dengan jelas nama-nama isteri dan anak Raden Kenyep.
Dalam data itu Raden Kenyep mempunyai tiga anak laki-laki dan empat anak perempuan. Dari isteri Nyai Nurmala mempunyai anak Raden Yudanagara dan Raden Raksanagara. Dari isteri Ratu Maemunah mempunyai satu anak yaitu Raden Wiranegara atau Syekh Ciliwulung. Dari isteri Ratu Zakiyah mempunyai empat putri yaitu Raden Ratna sukaesih, Raden Wira Sukaesih, Raden Sukaedah dan Raden Karasupadmi.
Yang kedua yang bisa menjelaskan bahwa nama Cili wangsa dsb itu bukan anak Raden Kenyep adalah bahwa nama Cili adalah nama pangkat senapati militer Kesulthanan Banten di bawah senapati utama atau ingalaga. Kemungkinan besar nama ciliglebeg, Ciliwangsa dsb itu berbeda masa dengan Ciliwulung. Karena tidak mungkin ada Pangkat senapati yang begitu banyak dalam satu waktu.
SYEKH CILIWULUNG
Syekh ciliwulung inilah yang menurunkan keturunan yang sekarang sebagian besar tinggal di Kresek dan sekitarnya.
Syekh Ciliwulung mempunyai anak yaitu Syekh Cinding, syekh Sa'uddin, syekh syuaib dan Ratu Fatimah.
Syech Sa'uddin adalah anak kedua Syech Ciliwulung, dari syech Sa'uddin inilah banyak melahirkan keturunan Para kiayi dan 'Ulama diantaranya :
Syech karamuddin berputra
KH. Adung / ki atif / Abdullatif,(Lempuyang) berputra
Kiyai Muhammad Ali, (lempuyang) berputra
Ki Armah, (lempuyang) berputra
Ki Asmuni, (Bangkir) berputra
Ki Syafi'i, (Bangkir) berputra
H.Abdullatif.(lempuyang) berputra 8 orang anak diantara adalah
Aliyah
Shodiq SH.,Mh.Camat Tirtayasa sekarang
Alifah
Ahiroh
Sanhaji S.ud (Kasubden 2 Gegana)
Ustadzah Uswatun Hasanah Spd.,Mpdi
Roudhotul Jannah
Syarifuddin.
Sedangkan Ratu Fatimah menikah dengan cucu sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qadir yang bernama Raden Mahmud bin Pangeran Soleh (Arya Banten) pada masa pemerintahan sultan Maulana Manshur Abunnashar Abdul Kohar (1683-1687) atau yang dikenal dengan sultan Haji.
Dari pernikahan ini mempunyai putra bernama Raden Tubagus Hasan Bashri yang kemudian menjadi ulama besar yang tinggal di Cakung (kurang lebih satu kilometer dari Kresek) dikenal dengan nama syekh Hasan Bashri. Kuburannya sekarang ramai di ziarahi orang.
Syekh Hasan Bashri mempunyai tiga orang anak yaitu Syekh Ibrohim di Cakung, syekh hasan Mustofa di palembang, dan nyai Ratu syarifah di tirtayasa.
Syekh Ibrohim mempunyai anak Syekh Abdullah yang dikenal dengan nama Ki Bulus. Syekh Abdullah mempunyai anak Ki mualim atau Syekh Alim. Syekh Alim adalah seorang ulama yang mempunyai pesantren di daerah Kresek. Ia mempunyai anak Syekh Bendo atau syekh Murtadho, nyai Ratu Antimah, Nyai ratu Darwinah dan nyai ratu Kanisah.
Dari Syekh Alim inilah banyak menurunkan para ulama yang sekarang ada di Kresek dan sekitarnya.
Selain dari keturunan Syekh ciliwulung dan syekh Hasan Bashri, masyarakat Kresek juga terbentuk dari dibukanya perkampungan-perkampungan baru oleh Sultan agung tirtayasa yang akan disebutkan dalam pembahasan selanjutnya.
Sultan Agung Tirtayasa Membangun Kampung-Kampung di Tanara-Kresek
Pada tahun 1659 Sultan Agung Tirtayasa berencana membangun terusan dari sungai cidurian ke sungai cisadane. Sungai Cidurian adalah sungai yang melewati Jayanti, Kresek, Gunung kaler dan Tanara. Akhirnya proyek ini dimulai pada tanggal 27 April 1663. Terusan ini menghubungkan sungai cidurian ke sungai Pasilian, yang juga dinamakan Cimanceuri, melewati Balaraja sepanjang enam kilometer.
Pada tanggal 9 September 1663, sultan Agung Tirtayasa berangkat ke Tanara melalui laut dengan 150 kapal dan mengangkut limaribu orang laki-laki. Selain membuat terusan, sultan Agung juga membuat lahan persawahan baru yang membentang disekitar terusan. Dalam pembangunan itu sultan Agung membuat pesanggrahan untuk tetap tinggal di lokasi selama pembangunan. Diberitakan dalam tulisan berbahasa belanda dengan judul “La politique vivriere de Sultan Ageng’ yang pertama kali diterbitkan oleh majalah Archipel pada tahun 1995, bahwa rumah sultan itu berada di ‘pegunungan’ Tanara. Atau tempat yang agak tinggi struktur tanahnya di sekitar Tanara. Diperkirakan lokasi tepat rumah itu di Gunung Kaler, pertengahan antara Tanara-Kresek.
Persawahan yang dibangun sultan Agung itu membentang datar dari mulai Sawah luhur sampai Pontang, dari Pontang sampai Lempuyang, dari Lempuyang sampai Tersaba, dari Tersaba sampai Carenang, dari Carenang sampai Cikande, Dari Tanara Sampai Kresek, dari Kresek sampai Balaraja, dari Balaraja sampai Mauk, dari Mauk kembali sampai Kronjo. Di lokasi persawahan itu, Sultan Agung membuat desa-desa baru sebagai komunitas penduduk ‘Jawa-Banten’. Perpindahan penduduk dari ibu Kota Surosowan itu tidak hanya terbatas di daerah yang disebutkan di atas, Sultan juga membuat desa-desa baru di sepanjang sungai cisadane-Tangerang.
Berbeda dengan daerah sebelumnya, penduduk baru ini diwajibkan menanam kelapa di sepanjang perbatasan dengan Batavia. Hal ini selain untuk kepentingan pangan, juga sebagai tantangan kepada musuh bebuyutan sultan agung yaitu pemerintah VOC di Batavia akan keseriusan Sultan Agung dalam sikapnya menentang segala macam monopoli yang dijalankan VOC.
VOC menganggap kampung-kampung baru yang di buat Sultan Agung ini sebagai politik kelas tinggi dari seorang raja yang cerdik. Bukan hanya mengakibatkan Banten menjadi Negara yang mandiri secara pangan, tapi juga membuat Kraton Surasowan tidak bisa di serang secara langsung oleh musuh, karena sebelum sampai ke kraton musuh harus berhadapan dengan penduduk-penduduk ‘Jawa’ yang setia kepada sultan. Dalam sensus tahun 1659 penduduk ‘Jawa’ di ibu kota Kota Surasowan berjumlah 100.000,- orang. Sedangkan yang berada di pemukiman baru sekitar 30.000,- orang.
Kraton Surasowan memang kraton yang di sekelilingnya di bentengi oleh perkampungan orang-orang ‘Jawa’, yaitu orang-orang yang setia kepada sultan yang berbahasa dengan bahasa Kraton kesultanan, yaitu bahasa Jawa yang telah mengalami proses singkritis bahasa sehingga menjadi bahasa jawa yang khas yang berbeda dengan orang-orang jawa Mataram.
Mulai dari timur di sepanjang Sungai cisadane para penduduk menggunakan bahasa Jawa-banten, bahkan di Jakarta, mulai pemerintahan Mangkubumi ranamanggala terjadi 6000 eksodus orang-orang Jawa-Banten. Kemudian bahasa Jawa di Jakarta dan Tangerang bersentuhan dengan bahasa Melayu sehingga kemudian melahirkan dialek bahasa yang sekarang dikenal dengan bahasa Betawi.
Dari timur mulai Mauk, sukadiri, Kronjo, Mekar Baru, Kresek, gunung Kaler, Binuang, Carenang, sebagian Cikande, Tanara, tirtayasa, Pontang sampai sekarang masih menggunakan bahasa jawa-Banten. Kemudian di wilayah Selatan mulai dari Padarincang, sebagian Ciomas, Serang, Taktakan, kelapa dua, terus agak ke barat, kramat watu, plamunan, cibeber, cilegon, cigading, sampai ke Bojonegara, kesemuanya adalah penduduk ‘jawa’ yang mengelilingi Kraton Banten untuk sewaktu-waktu, selain mereka menjalankan kehidupan sehari-hari, mereka juga siap untuk berperang bila diperintahkan sultan.
Untuk waktu berikutnya, banyak bangsawan ‘Jawa’ Banten yang juga kemudian menjalin kekerabatan dengan penduduk asli di selatan Banten yang kemudian keturunan mereka berbahasa sunda. Kemudian tradisi kesantrian tidak hanya menjadi monopoli orang-orang utara, tapi juga meyebar ke seluruh Banten. Bahkan, banyak kemudian muncul ulama-ulama besar dari orang-orang sunda Banten.
Akhirnya Kraton Surasowan Banten tidak hanya dibentengi orang ‘Jawa’ atau mereka yang berbahasa Jawa, tapi oleh seluruh penduduk Banten mulai dari Utara sampai selatan, timur dan barat, memiliki kesetiaan yang paripurna terhadap kesultanan Banten. Agama Islam berkembang di Banten dengan memiliki kekentalan yang lebih terasa dari pada perkembangan Islam di pulau Jawa lainnya. Sinkritisme Islam dengan ajaran kejawen seperti yang terjadi di Mataram, tidak ditemukan di Banten.
Kini penduduk Banten berjumlah sekitar 10 juta jiwa yang sepertiga dari mereka masih setia menggunakan bahasa Jawa sebagai warisan kesultanan Banten.
halo apakah boleh saya minta referensi yang digunakan?
BalasHapus