Sabtu, 13 Juli 2019

Memakai Celana / kain di Bawah mata kaki

Memakai Celana / kain di Bawah mata kaki

Seorang mahasiswa perguruan tinggi di Surabaya mempertanyakan, apakah bila kita memakai celana harus di atas mata kaki atau harus ditinggikan di bawah lutut? Pertanyaan ini disampikannya terkait anjuran sekelompok umat Muslim di Indonesia bagi kaum laki-laki untuk memakai celana yang tinggi, hampir di bawah lutut. Kelompok ini sudah berkembang di kampus-kampus.
 
Sepanjang yang kami ketahui, praktik memakai celana di atas mata kaki, ini merujuk pada suatu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah. Bahwa Rasulullah SAW bersabda,

مَا أسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإزَارِ فَفِيْ النَّارِ

 
Sarung (celana) yang di bawah mata kaki akan ditempatkan di neraka

Dari hadits tersebut para ulama berpendapat bahwa sunnah memakai pakaian tidak melebihi kedua mata kaki. Sebagian ulama bahkan mengharamkan mengenakan pakaian sampai di bawah mata kaki jika dimaksudkan lil khulayah atau karena faktor kesombongan, akan tetapi kalau tidak sombong maka diperbolehkan memakai kain atau celana dibawah mata kaki.

Hal ini juga didasarkan pada hadits lain riwayat Al-Bukhari dari Ibnu Umar. Rasulullah SAW bersabda,
 

لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ

 
Allah tidak melihat orang yang merendahkan pakaiannya dengan penuh kesombongan. 

Tentunya ini sesuai dengan konteks saat itu, bahwa merendahkan pakaian atau memakai pakaian di bawah mata kaki di daerah Arab waktu itu adalah identik dengan ria dan kesombongan.

Nah, secara fiqhiyah, atau menurut para ulama fikih, hadits ini difahami bahwa kain celana atau sarung di atas mata kaki dimaksudkan supaya terbebas dari kotoran atau najis. Artinya masalikul illat atau ihwal disunnahkan mengangkat celana adalah untuk menghindari najis yang mungkin ada di tanah atau jalanan yang kita lewati, akan tetapi kalau jalanan tidak bernajis maka hukum kesunahannya tidak berlaku, perlu difahami Matan hadist tersebut  adalah tentang kesombongan, bukan masalah batas kain nya, sehingga bisa diartikan kalau sombong Haram kalau tak sombong tak Haram.

Berdasarkan ketentuan fikih ini, menurut kami, kita dipersilakan memakai pakaian sebatas mata kaki, tidak harus di atasnya, selama kita bisa memastikan akan bisa menjaga celana kita dari kotoran dan najis, misalnya dengan memakai sepatu atau sandal atau mengangkat atau menekuk celana kita pada saat jalanan hujan atau basah.

Perlu direnungkan bahwa berpakaian adalah bagian dari budaya. Dalam Islam kita mengenal istilah tahzinatau etika dalam berpenampilan yang selaras sesuai dengan adat lingkungan setempat. Kita dipersilakan mengikuti tren pakaian masa kini asal tetap mengikuti ketentuan yang wajib yakni untuk laki-laki harus menutupi bagian tubuh dari mulai pusar hingga lutut, itu wajibnya, akan tetapi Kalau kita berpakaian sampai lutut saja tentu aurat kita dalam keadaan lutut terlipat akan terlihat.

sarannya adalah dalam berbusana hendaknya selain memperhatikan tata kesopanan juga tak kalah penting perhatikan juga menurut Sar'inya, sebab sekarang kita lihat kelompok cingkrang yang berlebihan ketika mereka sholat terlihat pangkal pahanya dari belakang dalam posisi lutut dilipat tepatnya posisi sujud, bukankah ini Aurat, dan kalau auratnya terbuka terlihat oleh orang lain maka sholatnya tidak sah.

Demikianlah semoga kita lebih bijak lagi dalam memahami sebuah hadist, sesuai dengan Tuntunan Nabi SAW, para sahabatnya, para Tabi'in, Tabi'ut, Tabi'ut Tabi'in para ulama terdahulu sampai sekarang, dan sampai Ilmu itu pada kita semua, inilah yang disebut sanad keilmuan yang bersambung.

Wallâhu'alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar