Tragedi Karbala, Potret Buram Sistem Khilafah
Tidak dipungkiri umat Islam, sistem kekhilafahan adalah sistem terbaik, selama kekhilafan tersebut berada diatas koridor kenabian (baca : ala manhaj an-nubuwwah).
Namun, bila lepas dari relnya, sistem kekhilafahan lebih riskan dari demokrasi. Tragedi Karbala hanya satu contoh kecil dari sekian fakta sejarah kelamnya. Bagaimana seorang penguasa atas nama khalifah bebas membantai rakyatnya yang dianggap membangkang. Tragedi Karbala adalah potrem buram sistem khilafah.
Tahun 60 Hijriyah Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan wafat. Beliau menjabat sebagai pemimpin umat Islam selama 19 tahun, yaitu semenjak Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib memutuskan mundur dari jabatan, demi keutuhan umat Islam. Peristiwa yang terjadi pada tahun 41 Hijriyah ini kelak dikenal dengan ‘Aamul Jamaah atau tahun persatuan.
Al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib tidak lama berkuasa, hanya sekira 6 bulan. Dimulai pasca wafat ayahnya, Ali bin Thalib. Diceritakan Al-Hamid Al-Husaini dalam “Al-Husein bin Ali, Pahlawan Besar dan Kehidupan Islam pada Zamannya”, beberapa saat sebelum Ali bin Abi Thalib wafat, seorang sahabatnya bertanya apakah para pengikutnya harus membaiat salah satu putranya, yakni Hasan. Ali bin Abi Thalib menjawab, “Aku tidak menyuruh dan tidak melarang.”
As-Suyuthi, dalam Tarikh al-Khulafa menceritakan, Al-Hasan dibaiat oleh penduduk Kufah. Dia tinggal di Kufah selama enam bulan ditambah beberapa hari. Kemudian datanglah Mu’awiyyah menemuinya.
Al-Hasan kemudian mengirimkan utusan dan menyerahkan semua kekhilafahan kepada Mu’awiyyah, namun dengan syarat khilafah setelah itu diserahkan kembali bila ia wafat. Lalu keduanya melakukan perdamaian. Saat itulah tampak mukjizat kenabian Rasulullah yang pernah bersabda, “Dia (Al-Hasan) akan mendamaikan dua golongan kaum muslimin yang sedang bertikai. “
Namun, kelak Mu’awiyah bin Abi Sufyan menyiapkan anaknya sebagai khalifah penggantinya. Dari sinilah tragedi bermula. Dari pengangkatan Yazid bin Mu’wiyah bin Abi Sufyan sebagai khalifah, memimpin umat Islam. As-Suyuthi mengutip cerita Ibnu Sirrin :
“Amr bin Hazm datang menemui Mu‟awiyah sebagai utusan, kemudian berkata kepadanya, ‘Saya mengingatkan kamu tentang ummat Muhammad. Siapakah yang akan kau angkat sebagai khalifah sepeninggalmu?’
Muawiyah menjawab, ‘Kau telah menasihatiku dan mengatakannya sesuai dengan pendapatmu bahwa tidak ada seorang pun selain anakku dan anak-anak mereka (yang berhak). Dan anakku adalah yang lebih berhak.'”
Maka ketika Muawiyah wafat, penduduk Syam membaiat Yazid menjadi khalifah. Kemudian, sebagai khalifah, dia mengutus seseorang ke Madinah untuk mengambil baiat penduduknya, namun Al-Husein dan Ibnu Zubair menolak. Pada malam hari keduanya pergi menuju Mekkah.
Ibnu Zubair menolak membaiat Yazid, namun tidak mengajak orang lain untuk berbaiat kepada dirinya. Adapun Al-Husein, yang pada masa Muawiyah berkuasa pernah mendapatkan surat dari penduduk Kufah agar dia pergi ke Kufah untuk dibaiat, namun ditolaknya, ketika Yazid dibaiat, mereka meminta kembali agar datang ke Kufah. Al-Husein kali ini setuju dan berniat untuk mendatangi dan menerima baiat dari mereka.
Meski beberapa sahabat Nabi melarang, diantaranya Ibn ‘Abbas, Ibn ‘Umar, Jabir bin Abdillah, Abu Sa’id al-Khudri dan Waqid al-Laitsi. Namun larangan dan nasehat para sahabat Nabi tersebut tidak digubris. Tekadnya sudah bulat. Tanggal 10 Dzulhijjah Al-Husein berangkat bersama para Ahli Bait dan para pembantunya dari Mekkah menuju Iraq.
Mengetahui keberangkatan Al-Husein, Yazid bin Mu’awiyah yang berada di Syam menulis surat kepada gubernurnya di Iraq, Ubaidillah bin Ziyad, agar menghadang dan membunuhnya. Ibnu Ziyad kemudian mengerahkan bala tentaranya yang berjumlah 4000 orang, dipimpin Amr bin Sa’ad bin Abi Waqqas.
Terjadilah apa yang terjadi. Al-Husein dan keluarga serta pembantunya yang berjumlah total 73 orang dikepung dan dibantai 4000 pasukan. Tak ada yang tersisa kecuali para wanita dan seorang anak kecil, Ali bin Al-Husein. Padang Karbala menjadi saksi, bagaimana darah mulia tumpah, mengalir membasahi tanah. Tepat di hari mulia, 10 Muharram 61 Hijriyah, terhitung 49 tahun setelah wafat kakeknya, Baginda Rasulullah shalallahu ‘alaih wa aalih wa sallam, Al-Husein wafat sebagai syahid. Tidak hanya dibunuh, bahkan lehernya dipenggal hingga putus oleh pasukan Ibn Ziyad.
Syahidnya Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib adalah sebuah cermin, bagaimana sebuah sistem politik mengatasnamakan khilafah begitu mudah menumpahkan darah. Karena seorang khalifah adalah penguasa penuh, berhak memaksa rakyat untuk membaiatnya. Berhak memerangi siapa yang menolak baiat. Bebas membantai tanpa ada yang berani mengadilinya.
Iya kalau khalifahnya adil seperti Abu Bakr, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Kalau seperti Yazid bin Muawiyah? Siapa yang berani menjamin di zaman sekarang ini ada yang seperti Khulafaur Rasyidin tersebut?
Mun’im Sirry, dalam tulisannya “Khilafah Itu Institusi Politik, Bukan Agama!” yang dimuat Geotimes menjelaskan, bahwa sejak awal (berdirinya Indonesia), bahkan sebelum kemerdekaan, ide khilafah itu sama sekali tidak menjadi pertimbangan kaum Muslim (Indonesia).
Dua tahun setelah Khilafah Usmaniyah dibubarkan pada 1924, kongres tentang khilafah digelar di Kairo dan Jeddah, yang juga dihadari oleh peserta dari Indonesia.
Dituturkan oleh Prof. Hamka, salah seorang peserta kongres tersebut adalah bapaknya sendiri. “Peserta dari Indonesia sama sekali tidak antusias dengan sistem khilafah,” tulis Hamka dalam memori mengenang orang tuanya, Ajahku: Riwajat Hidup Dr. H. Abd Karim Amrullah dan Perdjuangan Kaum Agama di Sumatera (1958).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar