Selasa, 27 April 2021

DALIL JIARAH KUBUR

DALIL JIARAH KUBUR
=============================

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ قَالَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِحَائِطٍ مِنْ حِيطَانِ الْمَدِينَةِ أَوْ مَكَّةَ فَسَمِعَ صَوْتَ إِنْسَانَيْنِ يُعَذَّبَانِ فِي قُبُورِهِمَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ ثُمَّ قَالَ بَلَى كَانَ أَحَدُهُمَا لَا يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ وَكَانَ الْآخَرُ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ دَعَا بِجَرِيدَةٍ فَكَسَرَهَا كِسْرَتَيْنِ فَوَضَعَ عَلَى كُلِّ قَبْرٍ مِنْهُمَا كِسْرَةً فَقِيلَ لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ فَعَلْتَ هَذَا قَالَ لَعَلَّهُ أَنْ يُخَفَّفَ عَنْهُمَا مَا لَمْ تَيْبَسَا أَوْ إِلَى أَنْ يَيْبَسَا

Telah menceritakan kepada kami 'Utsman berkata, telah menceritakan kepada kami Jarir dari Manshur dari Mujahid dari Ibnu 'Abbas berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melewati perkebunan penduduk Madinah atau Makkah, lalu beliau mendengar suara dua orang yang sedang di siksa dalam kumur mereka. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pun berkata: "Keduanya sedang disiksa, dan tidaklah keduanya disiksa disebabkan dosa besar." Lalu beliau menerangkan: "Yang satu disiksa karena tidak bersuci setelah kencing, sementara yang satunya lagi disiksa karena suka mengadu domba." Beliau kemudian minta diambilkan sebatang dahan kurma yang masih basah, beliau lalu membelah menjadi dua bagian, kemudian beliau menancapkan setiap bagian pada dua kuburan tersebut. Maka beliau pun ditanya, "Kenapa Tuan melakukan ini?" Beliau menjawab: "Mudah-mudahan siksanya diringankan selama dahan itu masih basah."
( HR. Bukhori : 209)

Senin, 26 April 2021

SETAN-SETAN DIBELENGGU

SETAN-SETAN DIBELENGGU
========================

Sebagaimana kita ketahui bahwa bulan Ramadaan merupakan bulan istimewa karena pada bulan tersebut seluruh umat Islam yang telah memenuhi syarat diwajibkan untuk menjalankan puasa. 

Karena itu maka bulan Ramadhan disebut juga syahrush shiyam (Bulan Puasa). Pada bulan itu menurut riwayat yang ada, setan-setan dibelenggu (shuffidatusy syayathin), pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup. Dalam riwayat lain dengan redaksi sulsilatisy syayathin.  

 إِذَا دَخَلَ رَمَضَانُ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِينُ ، وَفُتِحَتْ أَبُوَابُ الجَّنَةِ ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ 

Artinya, “Ketika masuk bulan Ramadlan maka syaitan-syaitan dibelenggu, pintu-pintu surga dibuka, dan pintu-pintu neraka ditutup,” 
(HR Bukhari dan Muslim). 

Lantas bagaimana maksud hadits di atas? Banyak para ulama mengajukan penjelasan soal makna hadits tersebut. 

Di antara penjelasan yang tersedia adalah yang dihadirkan Abu Hasan Ali bin Khalaf bin Abdul Malik bin Baththal Al-Bakri Al-Qurthubi atau yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Baththal. 

Menurut Ibnu Baththal, setidaknya ada dua penjelasan yang diajukan para ulama tentang makna sabda Rasulullah saw di atas. 

Pertama, ulama yang memahami secara literalis atau sesuai bunyi teks haditsnya. Pintu surga dibuka, dan setan dibelenggu dipahami dalam pengertian yang sebenarnya (al-haqiqi) sehingga intensitasnya dalam menggoda manusia berkurang pada bulan Ramadhan dibanding dengan bulan lainnya.

 وَتَأَوَّلَ الْعُلَمَاءُ فِى قَوْلِهِ ( فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَسُلْسِلَتِ الشَّيَاطِينُ ) ، مَعْنَيَيْنِ . أَحَدُهُمَا : أَنَّهُمْ يُسَلْسِلُونَ عَلَى الْحَقِيقَةِ ، فَيَقِلُّ أَذَاهُمْ وَوَسْوَسَتُهُمْ وَلَا يَكُونُ ذَلِكَ مِنْهُمْ كَمَا هُوَ فِى غَيْرِ رَمَضَانَ ، وَفَتْحُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ عَلَى ظَاهِرِ الْحَدِيثِ. 


Artinya, “Para ulama menakwil atau menafsirkan sabda Rasulullah saw, ‘Pintu-pintu surga dibuka dan setan-setan dibelenggu’ dengan dua pendekatan. Pertama, pendekatan dengan makna hakiki, yaitu mereka (setan-setan) dibelenggu dalam pengertian secara hakiki sehingga intensitas mereka menggoda manusia menjadi berkurang, berbeda dengan yang dilakukan pada bulan selain Ramadhan. Sedangkan ‘dibukanya pintu-pintu surga’ juga dipahami sesuai bunyi teks haditsnya (zhahirul hadits),” (lihat Ibnu Baththal, Syarhu Shahih al-Bukhari, Riyadl-Maktabah ar-Rusyd, cet ke-2, 1423 H/2003 M, juz IV, halaman 20). 

Kedua memahami secara majazi. 
Dalam konteks ini dibukanya pintu-pintu surga dipahami bahwa Allah SWT membuka pintu-Nya dengan amal perbuatan yang dapat mengantarkan hamba-Nya ke surga seperti shalat, puasa, dan tadarus Al-Qur`an. Sehingga, jalan menuju surga di bulan Ramdhan lebih mudah dan amal-perbuatan tersebut lebih cepat diterima. 

Begitu juga maksud ditutupnya pintu neraka adalah mencegah mereka dari kemaksiatan dan perbuatan-perbuatan yang mengantarkan ke neraka. 

Lebih lanjut dijelaskan bahwa mengingat sedikitnya siksaan Allah kepada hamba-hamba akibat perbuatan buruk mereka, maka Allah melewatkan (memaafkan) perbuatan-pebuatan itu dari beberapa kaum dengan berkah bulan Ramadhan, memberikan ampunan kepada orang yang berbuat keburukan karena adanya orang yang berbuat kebajikan, serta mengampuni pelbagai kesalahan. Inilah makna tertutupnya pintu neraka. 

وَالثَّانِى : عَلَى الْمَجَازِ ، وَيَكوُن ُالْمَعْنَى فِى فَتْحِ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ مَا فَتَحَ اللهُ عَلَى الْعِبَادِ فِيهِ مِنَ الْأَعْمَالِ الْمُسْتَوجِبِ بِهَا الْجَنَّةَ مِنَ الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَتِلَاوَةِ الْقُرْآنِ ، وَأَنَّ الطَّرِيقَ إِلَى الْجَنَّةِ فِى رَمَضَانَ أَسْهَلُ وَالْأَعْمَالُ فِيهِ أَسْرَعُ إِلَى اْلقُبُولِ ، وَكَذَلِكَ أَبْوَابُ النَّارِ تُغْلَقُ بِمَا قَطَعَ عَنْهُمْ مِنَ الْمَعَاصِى ، وَتَرْكِ الْأَعْمَالِ الْمُسْتَوْجِبِ بِهَا النَّارَ ، وَلِقِلَّةِ مَا يُؤَاخِذُ اللهُ العِبَادَ بِأَعْمَالِهِمْ السَّيِّئَةِ ، يَسْتَنْفِذُ مِنْهَا بِبَرَكَةِ الشَّهْرِ أَقْوَامًا وَيَهِبُ الْمُسِئَ لِلْمُحْسِنِ ، وَيَتَجَاوَزُ عَنِ السَّيِّئَاتِ فَهَذَا مَعْنَى الْغَلَقِ 

Artinya, “Kedua, pendekatan dengan makna majazi. 

Makna atau pengertian dibukanya pintu-pintu surga adalah sesuatu yang Allah buka untuk hamba-hamba-Nya di bulan Ramadhan berupa amal-amal yang mengantarkan ke surga seperti shalat, puasa, dan tadarus Al-Qur`an. Jalan menuju surga di bulan Ramadhan lebih mudah dan amal-ibadah di dalamnya lebih cepat diterima. 

Begitu juga pintu-pintu neraka ditutup dengan sesuatu yang mencegah mereka dari kemaksiatan dan perbuatan-perbuatan yang mengantarkan ke neraka. 

Mengingat sedikitnya siksaan Allah kepada hamba-hamba akibat perbuatan buruk mereka, maka Allah melewatkan (memaafkan) perbuatan-pebuatan itu dari beberapa kaum dengan berkah bulan Ramadhan, memberikan ampunan kepada orang yang berbuat keburukan karena adanya orang yang berbuat kebajikan, serta mengampuni pelbagai kesalahan. Inilah makna tertutupnya pintu neraka,” (Lihat Ibnu Baththal, Syarhu Shahih al-Bukhari, juz IV, halaman 20). 

Lantas bagaimana dengan dibelengunya setan? Menurut Ad-Dawudi dan Al-Mahlab, maksudnya adalah Allah menjaga kaum muslimin atau mayoritas dari mereka dari kemaksiatan dan kecenderungan untuk menuruti bisikan setan. Bahkan Al-Mahlab memberikan argumentasi bagi kalangan yang memahami dibelenggunya setan dalam pengertian hakiki. 

Menurutnya, masuknya para pendurhaka (ahlul ma’ashi) pada bulan Ramadhan dalam ketataan sehingga mereka mengabaikan hawa nafsunya menunjukkan terbelenggunya setan.

 وَكَذَلِكَ قَوْلُهُ : ( سُلْسِلَتِ الشَّيَاطِينُ ) ، يَعْنِى : أَنَّ اللهَ يَعْصِمُ فِيهِ الْمُسْلِمِينَ أَوْ أَكْثَرَهُمْ فِى الْأَغْلَبِ عَنِ الْمَعَاصِى وَالْمَيْلِ إِلَى وَسْوَسَةِ الشَّيَاطِينِ وَغُرُورِهِمْ ، ذَكَرَهُ الدَّاوُدِيُّ وَالْمَهْلَبُ . وَاحْتَجَّ الْمَهْلَبُ لِقَوْلِ مَنْ جَعَلَ الْمَعْنَى عَلَى الْحَقِيقَةِ فَقَالَ : وَيَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ مَا يُذْكَرُ مِنْ تَغْلِيلِ الشَّيَاطِينِ وَمَرَدَتِهِمْ بِدُخُولِ أَهْلِ الْمَعَاصِى كُلِّهَا فِى رَمَضَانَ فِى طَاعَةِ اللهِ ، وَالتَّعَفُّفِ عَمَّا كَانُوا عَلَيْهِ مِنَ الشَّهَوَاتِ 

Artinya, “Begitu juga sabda Rasulullah SAW ‘setan-setan dibelenggu’ maksudnya adalah sesungguhnya dalam bulan Ramadhan Allah menjaga orang-orang muslim atau atau mayoritas mereka secara umum dari kemaksiatan, kecenderungan untuk mengikuti bisikan dan godaan setan.

Demikian sebagaimana dikemukakan oleh Ad-Dawudi dan Al-Mahlab. Al-Mahlab pun memberikan argumentasi yang mendukung kalangan yang memahami makna hadits ini dengan makna hakiki. Ia menyatakan bahwa setan terbelenggu karena para pendurhaka di bulan Ramadhan masuk ke dalam ketatatan kepada Allah dan menjauhkan diri dari hawa nafsunya,” (Lihat Ibnu Baththal, Syarhu Shahih al-Bukhari, juz IV, halaman 20). 

Berangkat dari penjelasan di atas, maka soal dibukanya pintu surga, ditutupnya pintu neraka, dan dibelenggunya setan, para ulama berbeda dalam memahaminya. 

Ada yang memahami dengan pendekatan makna hakiki sesuai bunyi teks haditsnya, dan ada juga yang memahami dengan pendekatan makna yang terdapat di balik bunyi teksnya (majazi). 


Semoga bisa dipahami dengan baik. Mumpung di bulan Ramdhan tingkatkan amal ibadah karena lebih cepat diterima. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq Wassalamu’alaikum wr. wb.

Jumat, 23 April 2021

PAHALA PUASA

PAHALA PUASA
==============


Dalam kitab Is’afu Ahlil Iman bi Wadza’if Syahri Ramadhan, sebuah kitab kecil yang secara khusus disajikan untuk mengupas hal-hal seputar puasa. Kitab ini ditulis oleh Syekh Hasan Al-Masyath, ulama kelahiran Makkah yang dijuluki Syaikhul ‘Ulama (gurunya para ulama).
Diantara murid beliau dari Nusantara.

diantara murid beliau adalah Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki (ulama pakar hadis yang fatwa-fatwanya banyak menjadi rujukan), Maulana Syekh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Majid (salah satu ulama besar Indonesia dari Lombok Timur, juga pendiri Nahdlatul Wathan dan tarekat Hizib Nahdlatul.

Dalam menjabarkan hadis yang termuat dalam setiap babnya, Syekh Al-Masyath menjabarkannya dalam bentuk catatan (ta’liq) secara padat dan berisi. 

Contoh saja saat menjelaskan salah satu keutamaan orang berpuasa dengan mengutip hadis di bawah ini: 

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ 

“Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya.” 

Jika kita pahami hadis ini secara tekstual, tentu akan janggal.

Bukannya semua amal ibadah akan dibalas oleh Allah? Bukan hanya ibadah puasa. Shalat, zakat, haji dan ibadah lainnya pasti akan Allah balas. 

Mengapa redaksi hadis di atas seolah menegaskan bahwa hanya puasa yang Allah balas? Menurut Syekh Al-Masyath, hadis ini menunjukkan bahwa ibadah puasa lebih unggul dibanding ibadah lainnya dengan beberapa argumen berikut: 

Pertama , puasa adalah ibadah yang tidak terlihat secara gerakan, berbeda dengan ibadah pada umumnya. Jika kita misal shalat, zakat ataupun haji, maka ibadah yang kita lakukan pasti terlihat orang; saat kita melakukan shalat, gerakan shalat kita memperlihatkan kita sedang shalat. Saat sedang menunaikan zakat, orang lain melihat kita melakukan zakat. Pun saat kita haji, orang lain melihat bagaimana kita melakukan ibadah tersebut. Lain halnya dengan berpuasa. 

Ketika seseorang berpuasa, tidak ada gerakan yang menunjukan kita sedang berpuasa. Contoh sederhananya, saat kita melihat dua orang berdampingan duduk, mereka tidak minum atau makan. Satu sedang berpuasa dan yang satu tidak. Apa kita bisa menebak mana yang puasa dan mana yang tidak? Sulit, bukan? Karena ibadah puasa tidak terihat secara  eksplisit oleh orang lain, maka sulit untuk terjerumus dalam sifat pamer ibadah (riya). 

Jika pun sengaja pamer puasa, hanya mampu diungkapkan dalam kata-kata saja. “Saya sedang puasa. loh,” dengan tujuan pamer, misalkan. Tidak bisa diungkapkan dalam sebuah gerakan. Berbeda dengan ibadah-ibadah yang lainnya. 

Kedua, puasa adalah ibadah yang mampu mengekang syahwat dengan sebab meninggalkan makan dan minum. Sementara syahwat adalah pintu utama bagi syaitan. 

Hal ini menjadikan puasa memiliki nilai lebih dibanding ibadah umumnya.

Ketiga, hanya Allah yang mengetahui bobot pahala ibadah puasa. Berbeda dengan ibadah lainnya, pahalanya sudah diberitahukan penggandaan 10 sampai 700 kali lipat, sampai yang Allah kehendaki. 

Keempat , balasan orang yang berpuasa adalah berjumpa dan berbincang langsung dengan Allah swt di akhirat kelak, tanpa ada penghalang apapun. Sementara ibadah selain puasa, pahalanya adalah surga. 

Tentu, berjumpa dengan Allah swt adalah nikmat paling agung, lebih agung daripada nikmat mendapat surga dan seisinya.

Selasa, 20 April 2021

HADIST AT TIRMIDZI NO 2910


HADIST AT TIRMIDZI NO 2910
========================

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بۡنُ بَشَّارٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو بَكۡرٍ الۡحَنَفِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا الضَّحَّاكُ بۡنُ عُثۡمَانَ، عَنۡ أَيُّوبَ بۡنِ مُوسَى، قَالَ: سَمِعۡتُ مُحَمَّدَ بۡنَ كَعۡبٍ الۡقُرَظِيَّ يَقُولُ: سَمِعۡتُ عَبۡدَ اللهِ بۡنَ مَسۡعُودٍ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: 

Muhammad bin Basysyar telah menceritakan kepada kami, beliau berkata: Abu Bakr Al-Hanafi menceritakan kepada kami, beliau berkata: Adh-Dhahhak bin 'Utsman menceritakan kepada kami, dari Ayyub bin Musa, beliau berkata: Aku mendengar Muhammad bin Ka'b Al-Qurazhi berkata: Aku mendengar 'Abdullah bin Mas'ud berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,


مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ

“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari kitabullah (al-Qur’an) maka baginya satu kebaikan, dan setiap satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat kebaikan yang sama dengannya, aku tidak berkata ‘alif laam miim’ satu huruf, akan tetapi ‘alif ’ satu huruf, ‘lam’ satu huruf, dan ‘mim’ satu huruf.” (HR. at-Tirmidzi, no. 2910)

Kamis, 15 April 2021

SEJARAH DAN SANAD KEILMUAN ULAMA NUSANTARA

Dalam peringatan haul Kiai Ali Maksum di Krapyak pada Rabu (23/12/2020), Kiai Abdul Ghofur Maimoen (Gus Ghofur) menyatakan minatnya untuk mengkaji dan menggali jejaring ulama-ulama Nusantara. Bagi Gus Ghofur, mengetahui sejarah dan genealogi keilmuan para ulama Nusantara adalah sesuatu yang sangat penting.

Gus Baha yang menjadi pembicara dalam acara itu juga banyak bercerita tentang koneksi ulama-ulama zaman dulu yang pada intinya semuanya masih bersambung pada kiai yang sedang di-hauli, yaitu Kiai Ali Maksum, dan juga kiai-kiai lainnya dari berbagai pesantren. Tulisan ini bermaksud mengelaborasi apa yang disampaikan oleh Gus Ghofur dan Gus Baha mengenai sejarah dan sanad keilmuan para para ulama Nusantara.

Kita mulai dari Walisongo. Referensi yang menurut subjektivitas saya sangat otoritatif (mu’tamad) adalah buku “Atlas Walisongo” karya Agus Sunyoto. Jawaban mengapa Islam baru diterima secara luas di Nusantara pada era Walisongo, yaitu pada sekitar abad ke-15/16 ada di buku itu. Yang jelas, kearifan dakwah Walisongo dengan pendekatan sufistik sangat berperan dalam islamisasi Jawa.

Satu tema yang menarik dalam pembahasan Islam era Walisongo adalah “pertikaian” Walisongo dengan Syekh Siti Jenar. Ia sangat kontroversial, ada yang bilang sesat, ada yang bilang sebenarnya tidak sesat. Kita harus membaca karya Abdul Munir Mulkhan, Agus Sunyoto, dan karya lainnya untuk tahu detailnya, tetapi secara umum Siti Jenar dianggap sesat karena mengajarkan tasawuf wujudiyah (manunggaling kawulo Gusti).

Ada pula informasi yang menyatakan bahwa pertikaian Walisongo dengan Siti Jenar bukan dipicu oleh paham wahdatul wujud, melainkan karena Siti Jenar menyebarkan faham syiah. Artinya, pertikaian itu dilakukan dalam rangka mengarusutamakan paham Ahlus sunnah wal jamaah (Aswaja). Perjuangan Walisongo kemudian diteruskan Sultan Agung yang pada tahun 1641 memperoleh legitimasi dari Syarif Makkah sebagai “Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani”.

Dari Jawa kita menyeberang ke Pulau Sumatera, khususnya Kesultanan Aceh. Di situ terdapat “produk pesantren paling awal” kalau menurut Zamakhsyari Dhofier, yaitu Hamzah Fansuri.

Dia masyhur sebagai penganut tasawuf wahdatul wujud dan pernah menjadi Syekhul Islam (jabatan tinggi di Kesultanan Aceh yang mengurus masalah agama) pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah. Hamzah memiliki seorang murid bernama Syamsuddin Sumatrani yang kelak juga menjadi Syekhul Islam di Kesultanan Aceh.

Bisa dikatakan Aceh pada periode itu dikuasai oleh pengaruh Hamzah Fansuri yang notabene beraliran wahdatul wujud. Tapi kemudian datang seorang ulama asli Ranir, India, yaitu Nuruddin Ar-Raniri. Dia menjadi syekhul Islam di Aceh tahun 1637 tidak terlalu lama setelah Hamzah dan Syamsuddin.

Dialah yang melakukan “syariatisasi” di sana. Dia dinilai terlalu keras terhadap pengikut wujudiyah dengan melarang buku-buku Hamzah Fansuri dan bahkan memerangi pengikutnya karena dianggapnya sesat.

Kita berterima kasih kepada Azyumardi Azra yang telah menulis disertasi tentang jaringan ulama Nusantara dan Timur Tengah abad 17-18. Banyak informasi penting di buku itu yang secara garis besar menunjukkan bahwa pada abad itu, ulama Nusantara mulai dari Nuruddin Ar-Raniri, Abdur Rauf As Singkili, Syekh Yusuf Maqassari, kemudian Arsyad Al Banjari, Dawud Al Fattani (Patani Tailand) terkoneksi dengan ulama-ulama di Makkah, Madinah, Mesir, Yaman, dan lain-lain.

Ulama-ulama Nusantara tersebut terhubung dengan Syekh Ibrahim Al Kurani, Zakariya Al Anshari, Murtadha Az Zabidi (yang karyanya tentang syarh Ihya “Ithaf” sering disebut Gus Baha), Al Barzanji yang menulis maulid Barzanji dan “Lujain Ad Dani” tentang manaqib Syekh Abdul Qodir Jailani, dan lain-lain. Kita jadi tidak asing kenapa di pesantren banyak dikaji kitab-kitab ulama-ulama di atas.

Dari abad 17-18 kita naik ke abad 19. Inilah masa “keemasan ulama Jawa di Haromain”. Tentu kita sangat familiar dengan Syekh Nawawi Banten, Syekh Ahmad Khatib Sambas, Syekh Mahfud Termas, Syekh Kholil Bangkalan, Syekh Soleh Darat, Syekh Khotib Minangkabau, dan lain-lain. Di sini kita berhutang pada Abdurrahman Mas’ud yang menulis disertasi berjudul “Dari Haromain ke Nusantara”.

Syekh Nawawi Banten, ulama yang bergelar “sayyidu ulami hijaz” adalah kiai ensiklopedis. Beliau mempunyai banyak karangan di bidang fikih, tafsir, akhlak, dan lain-lain. Reputasi keulamaannya sangat tinggi. Beliau pernah diundang untuk berceramah di Universitas Al-Azhar Kairo. Menurut Snouck Hurgronje di bukunya tentang Makkah pada akhir abad 19, tidak ada orang Jawa yang tidak mencium tangan Syekh Nawawi, sebagai bentuk penghormatan.

Syekh Nawawi punya murid Syekh Mahfud Termas yang terutama karena penguasaannya di bidang hadis beliau dijuluki “Al Bukhori Abad 19”. Syekh Mahfud lalu punya murid bernama Kiai Hasyim Asyari (Pendiri NU).

Mbah Hasyim sebenarnya juga berguru pada Syekh Khatib Minangkabau yang berpikir “modernis” ala Abduh di Mesir, tapi beliau lebih intens belajar kepada Syekh Mahfud. Kiai Ahmad Dahlanlah (Pendiri Muhammadiyah) yang berguru pada Syekh Khatib Minangkabau dengan intens sehingga corak pemikirannya bisa dikatakan mirip dengan Syekh Khatib.

Jangan lupa, di masa itu ada Syekh Ahmad Khatib Sambas yang dikenal sebagai pendiri tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Syekh Nawawi walaupun kata Snouck tidak mengajarkan atau melarang muridnya untuk bertarekat, tapi beliau mengaku sebagai pengikut Syekh Khatib Sambas. Beda dengan Syekh Khatib Minangkabau yang tidak sepakat dengan tarekat.

Kiai Hasyim Asyari juga berguru pada Syekh Nawawi. Artinya beliau tunggal guru dengan gurunya, yakni Mbah Kholil Bangkalan, yang juga berguru pada Syekh Nawawi. Kiai Mahfud yang punya guru bernama Abu Bakr Syatha (penulis kitab fikih “Ianatu Thalibin” yang banyak dipelajari di pesantren) mempunyai adik yang juga alim, namanya Kiai Dimyati. Nama yang disebut terakhir merupakan pengasuh pesantren Termas Jawa Timur.

Pada akhir abad 19 dan awal abad 20, banyak kiai lulusan Hijaz yang mendirikan pesantren di Jawa dan menjadi pusat keilmuan Islam. Selain Pesantren Kiai Kholil Bangkalan, Kiai Zubaer Sarang, dan lainnya, dua pesantren yang menjadi pusat keilmuan waktu itu adalah Pesantren Tebu Ireng dan Pesantren Termas. Dari pesantren-pesantren inilah, kelak muncul kiai-kiai yang kemudian menjadi “pembesar kiai abad 20” seperti Kiai Ali Maksum, Kiai Muslih Mranggen, Kiai Hamid Pasuruan, dan banyak kiai lainnya.

Kiai-kiai pendiri pesantren tersebut kebanyakan saling menjalin hubungan kekerabatan (dzurriyatun ba’dhuha min ba’dh) dengan cara menikahkan putra-putri mereka. Dengan demikian ikatan emosional di antara para kiai pesantren-pesantren itu terjalin sangat kuat. 

Wallahu a’lam bis shawab.

(Sanhaji)


CARA MENUNDUKKAN HAWA NAFSU

CARA MENUNDUKKAN HAWA NAFSU 
============================


 الحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ عَلَى قُلُوْبِ اْلمُسْلِمِيْنَ المُؤْمِنِيْنَ، وَجَعَلَ الضِّياَقَ عَلَى قُلُوْبِ الْمُنَافِقِيْنَ وَالْكَافِرِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ الْمَلِكُ اْلحَقُّ اْلمُبِيْنُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الصَّادِقُ الْوَعْدِ الأَمِيْنِ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلمِّ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ المَبْعُوْثِ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ. أَمَّا بَعْدُ أَيُّهاَ اْلحَاضِرُوْنَ اْلمُسْلِمُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ. قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ 


Jamaah shalat Jumat Rahimakumullâh,  

Nafsu merupakan bagian dari makhluk Allah. Dengan berbekal nafsu pula manusia dapat menjalankan kehidupannya secara wajar sebagai makhluk hidup yang hidup di alam dunia. 

Berbagai kebutuhan penting manusia, seperti makan, minum, tidur, menikah, dan lain sebagainya, melibatkan nafsu di dalamnya.

Karena itu, secara alamiah nafsu bukanlah hal yang mutlak buruk. Namun demikian, nafsu memiliki kecederungan-kecenderungan untuk menyimpang. Kerena itu, dalam Islam terkandung anjuran kuat untuk mengendalikan nafsu. 

Memang manusia tak diperintahkan untuk memusnahkannya, namun nafsu harus memegang kuasa penuh atasnya agar selamat dari jebakan dan godaan-godaannya yang menjerumuskan. 

Pilihannya hanya dua, apakah kita menguasai nafsu atau justru dikuasai oleh nafsu. 

Dua pilihan ini pula yang menentukan apakah kita akan memperoleh kebahagiaan hakiki atau tidak. 

Imam Abu Hamid al-Ghazali pernah mengatakan dalam kitab Ihyâ’
‘Ûlûmiddîn: 

السَّعَادَةُ كُلُّهَا فِي أَنْ يَمْلِكَ الرَّجُلُ نَفْسَهُ وَالشَّــقَــاوَةُ فِي أَنْ تَمْـلِـكَـــهُ نَفْـسُــــهُ 

“Kebahagiaan adalah ketika seseorang mampu menguasai nafsunya. Kesengsaraan adalah saat seseorang dikuiasai nafsunya.”

Jamaah shalat Jumat Rahimakumullâh, Tentu saja, usaha mengendalikan nafsu ini bukan perkejaan yang mudah. 

Karakter nafsu yang tak tampak dan kerapkali membawa efek kenikmatan menjadikannya sebagai musuh paling sulit untuk diperangi.

Rasulullah sendiri mengistilahkan ikhtiar pengendalian nafsu ini dengan “jihad”, yakni jihâdun nafsi. Sepulang dari perang badar, Nabi ﷺ bersabda, “Kalian semua pulang dari sebuah pertempuran kecil dan bakal menghadapi pertempuran yang lebih besar. 

Lalu ditanyakan kepada Rasulullah ﷺ, ‘Apakah pertempuran akbar itu, wahai Rasulullah?’ Rasul menjawab, ‘jihad (memerangi) hawa nafsu’.” 

Nafsu menjadi musuh paling berat dan berbahaya karena yang dihadapi adalah diri sendiri. 

Ia menyelinap ke dalam diri hamba yang lalai, lalu memunculkan perilaku-perilaku tercela, seperti ujub, pamer, iri, meremehkan orang lain, dusta, khianat, memakan penghasilan haram, dan seterusnya. 

Lantas, bagaimana cara efektif yang bisa kita ikhtiarkan untuk jihâdun nafsi, jihad mengendalikan nafsu ini?

Jamaah shalat Jumat Rahimakumullah, Dalam Futuhat Al-Makkiyah karya Muhyiddin ibn Arabi, diceritakan bahwa ketika pertama kali menciptakan nafsu, Allah bertanya, "Siapa Aku?". Nafsu membangkang dan malah balik bertanya, "Siapa pula aku ini". 

Allah ﷻ murka, kemudian memasukkan nafsu dalam lautan lapar sampai seribu tahun. 

Kemudian dientas dan ditanya lagi, "Siapa Aku?". Setelah dihajar dengan lapar barulah nafsu mengakui siapa dirinya dan Tuhannya. "Engkau adalah Tuhanku Yang Maha Agung, dan aku hamba-Mu yang lemah". 

Sejalan dengan itu, Abu Sulaiman Ad-Daroni juga berkata, "Kunci dunia adalah kenyang dan kunci akhirat adalah lapar." Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani dalam kitab al-Minahus Saniyyah menjelaskan bahwa maksud dari perkataan ini adalah: Allah memberikan ilmu dan kebijaksanaan (hikmah) pada orang-orang yang berpuasa dan menjadikan kebodohan dan tindak kemaksiatan pada mereka yang kenyang. 

Makan kenyang dan nafsu adalah dua komponen yang saling mendukung. Terkait hal ini, menurut Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, hal pertama yang penting dilakukan untuk mengendalikan hawa nafsu adalah  melalui puasa. 

Nafsu ibarat kayu kering, sementara makanan adalah bahan bakarnya. Api yang menjalar pada kayu itu akan kian berkobar manakala bahan bakar disuplai tanpa batas. 

Untuk memadamkannya, perlu strategi untuk mengurangi, bahkan menghabiskan, bahan bakar tersebut. Secara luas, berpuasa juga bisa dimaknai menahan diri dari berbagai keinginan-keinginan yang tak terlalu penting. 

Meskipun halal, mencegah diri—misalnya—dari keinginan baju baru yang lebih mewah dari yang sudah ada termasuk cara kita untuk menguasai nafsu. Contoh lainnya: menyisihkan harta untuk membantu orang lain yang butuh ketimbang untuk membeli perhiasan, dan sejenisnya. 

Sikap-sikap seperti ini dalam jangka panjang akan menjauhkan hati manusia dari sikap tamak, mau menang sendiri, egois, dan lain sebagainya. 

Jamaah shalat Jumat rahimakumullah, 

Cara kedua untuk menundukkan hawa nafsu sebagaimana tertuang dalam al-Minahus Saniyyah adalah mengurangi tidur. 

Ini bukan berarti kita begadang dengan ragam kegiatan yang mubazir. Tidur, sebagaimana juga makanan, bisa menjadi sumber yang menutup kejernihan kita dalam menerima cahaya Tuhan. Mengurangi tidur berarti bergiat bagun menunaikan shalat malam, memperbanyak dzikir, serta bermunajat kepada Allah, dan kegiatan-kegiatan "berat" lainnya. Rasululah ﷺ bersabda: 

عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ ، فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ ، وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ ، وَمَكْفَرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ ، وَمَنْهَاةٌ لِلإِثْمِ 

“Laksanakanlah qiyamul lail (shalat malam) karena ia merupakan kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian, mendekatkan kepada Rabb kalian, menghapus dosa-dosa kalian, dan menjauhkan kalian dari berbuat dosa.” (HR at-Tirmidzi).

Bisa dikatakan, nafsu ibarat hewan beringas dan nakal. Untuk menjinakkannya, menjadikan hewan itu lapar dan payah merupakan pilihan strategi yang efektif. 

Selama proses penundukkan itu, nafsu mesti disibukkan dengan hal-hal positif agar semakin jinak dan tidak buas. 

Untuk menjernihkan rohani, Syekh Abu Hasan Al-Azzaz rahimahullah pernah mengingatkan tiga hal, 

Tidak makan kecuali di waktu sangat lapar

tidak tidur kecuali sangat kantuk

dan tidak berbicara kecuali bila sangat perlu. 

Kekayaan, makanan, dan tidur adalah tiga hal yang sangat akrab dengan keseharian kita. Saking akrabnya kadang kita tak merasakan ada masalah dalam tiga hal ini. 

Padahal—karena statusnya yang mubah—kerap kali kita mengumbar begitu saja keinginan-keinginan kita hingga terlena bahwa apa yang kita lakukan sama seperti menumpuk-numpuk kabut pekat dalam hati kita. 

Lama-lama kalbu kita pun semakin gelap, sehingga mudah sekali dikuasai nafsu buruk yang sudah dicegah. Semoga kita dikaruniai kekuatan untuk senantiasa bertobat, terbuai dengan kenikmatan yang fana, sadar akan kewajiban sebagai hamba, dan kelak meraih kebahagiaan hakiki berjumpa dengan Allah ﷺ. Âmîn. 
Wallâhu a‘lam bish shawâb. 

بَارَكَ الله لِي وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذِكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ، وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم 

Khutbah II 

اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ 

(Sanhaji)

SHALAT TARAWIH 20 RAKAAT SELAMA TUJUH (7) MENIT ITU TERLALU…..


Berikut penjelasan Gus Baha:

Saya kalau Tarawih itu milih jadi makmum. Masalahnya, nanti kalau ada salahnya dan ditanya Allah:

Ha’, sujud kok cepete ngono!? (Ha’, sujud kok cepat begitu!?)”

Lah imame cepet ngoten Gusti (Allah). Jarene makmum ken anut imam!? (kan imamnya cepat, Gusti. Katanya makmum harus ikut imam!?).”

Makanya, kelak yang ‘diburu’ (dimintai pertanggungjawaban) adalah imam.

Menurut Fikih kan, wa yajibu alal-makmuumi mutaaba’atul imaam (makmum wajib mengikuti imam).

Kelak kalau ditanyai Allah, “Ha’, shalatmu kok cepet ora thuma’ninah?”


“Imame, Gusti. Kulo kan wajib anut imam (imamnya, Gusti. Saya kan wajib mengikuti imam).”


Ganti si imam ditanyai, “Imam, kenapa kok sholatmu cepet!?”

“Permintaan pasar,” jawab imam.

Bebas hisab!

Imam melakukan itu karena tahu, konsumennya minta seperti itu. Sebab kalau mencoba Tarawih lama, musholla-nya sepi.

Wong cah enom kalau Tarawih takok, “Seng cepet endi?” Ora, “Seng apik endi?” (anak muda kalau Tarawih tanya, “Yang cepat mana?” Bukan, “Yang baik mana?”).

Saya pernah di Lasem (daerah di Kabupaten Rembang), ada imam sepuh (tua renta) sedang berjalan ke tempat pengimaman (mihrab masjid). Lalu ada orang di belakang ngomong, “Waduh kok mbah iku, suwi iki!” Ojo-ojo Gus! Pindah-pindah!” (Waduh, kok Mbah itu, lama ini. Jangan Gus! Pindah-pindah!)

Saya sampai sekarang tidak pernah mengimami shalat Tarawih. Masalahnya saya tidak siap tanggung jawab. Jadi makmum saja.

Menurut saya, kalau Tarawih terlalu lama juga keberatan. Tapi, mudah-mudahan diterima Allah.

Saya ingin melatih kalian berpikir logika Nabi. Harus latihan. Di dunia ini cuma mampir minum. Kita semua sebentar lagi meninggal. Soalnya umur rata-rata itu 60-70 tahun. Setelah itu meninggal.

Ketika kita meninggal, yang kita kenang di dunia hanya sujud, karena itu perintahnya Allah, wasjud waqtarib.

Kita ini di dunia, disuruh sujud. Bukan disuruh untuk kaya, punya jabatan, tapi disuruh sujud. Meskipun kamu tidak apa-apa jika punya jabatan dan uang, tapi perintah Allah itu untuk bersujud. Dan kita sujud!

Itulah cara logika Nabi!

Nabi itu kalau shalat itu nyaman sekali. Saking nyamannya, kalau baca sampai 200 ayat.

“Berani kalian makmum sama Nabi?”

Ada sahabat yang coba menghitung  lamanya shalat Nabi. Nabi itu shalat sedang takbir, ia berkata, “Aku pernah mencoba hitung, aku tinggal pulang, menyembelih kambing, aku kuliti, masak lalu makan. Lalu saat kembali lagi, Nabi masih di rakaat pertama.”

Coba! Dulu kan belum ada jam. Cara menghitungnya seperti itu. Berani kamu?”

Makanya kalau Nabi tahu Tarawih model Wonokromo, Jejeran. Padahal Wonokromo sudah bagus, sudah standar.

Apalagi kalau melihat Tarawih Blitar. Tarawih di Blitar berapa? Tujuh (7) menit malah.

Itu gimana?

Itu umatnya Nabi Sulaiman bukan umatnya Nabi Muhammad. Pengikutnya Ashif bin Barkhiya (yang membawa istana Bilqis).

Model kilat! Nek kulo mboten cocok, karepe piye kiaine! (Model kilat! Kalau saya tidak cocok, maksudnya bagaimana kiainya!)

Tujuh menit bagi dua puluh rakaat, berapa?

“Satu menit, tiga rakaat.”

Kalau satu menit dapat tiga rakaat, lalu Fatihah-nya itu berapa huruf?!

“Terlalu…!!”

Makmum sama Nabi lho seru! Dua ratus ayat!

Nabi ya enjoy, asyik. Makmum juga asyik. Sama pahamnya, sama sholehnya. Setelah shalat, bahagia semua. Hal ini karena ketenangan jiwa ada dalam shalat.

Tapi ini nyata. Andaikan kalian, sudahlah nggak perlu sesh0leh Nabi. Terlalu tinggi!

Misalnya kalian nyaman saat shalat seperti Sayyid Ali Zainal Abidin. Beliau dalam sehari bisa shalat sampai 1000 rakaat.

Ketika ditanya, “Kenapa engkau bisa shalat sampai 1000 rakaat?”

Beliau (Sayyid Ali Zainal Abidin) menjawab, “Sebenarnya aku ini cuma ingin shalat dua rakaat aja.” Setelah selesai shalat, ia berkata, “Ya Allah, terima kasih telah memberiku kesempatan shalat ketika orang lain dalam kesesatan, ketika orang lain menikmati kebatilan. Engkau menakdirkanku menikmati kesalehan, yaitu sujud kepada-Mu. Saya bersyukur Ya Allah.”

Kemudian takbir lagi, shalat dua rakaat. Syukur lagi, lalu shalat lagi.

“Terima kasih Ya Allah. Orang lain ribet dengan urusan duniawi, kebatilan, namun Engkau menakdirkanku shalat.”

Syukur, shalat lagi. Gitu, seterusnya.

Saya pernah nyoba, Cuma kuat sampai 100 rakaat. Lumayanlah, pernah nyoba. Daripada kalian tidak pernah!

Maksudnya, saya pernah shalat sampai 100 rakaat tanpa rencana. Tidak terencana, awalnya shalat dua rakaat, kemudian masih kangen Allah, saya tambahi.

Kangen lagi, saya tambahi. Itu bukan karena ingin keren, tidak! Mengalir aja. Sehingga kalau nyoba lagi belum tentu bisa. Harus memang cinta sekali sama Allah. 

Wallohua'lam

(sanhaji)


Rabu, 14 April 2021

HADIST TENTANG IMSAK !

HADIST TENTANG IMSAK ! 
==============================
(Gbar hanya pemanis saja)

Berdasarkan kesaksian Hudzaifah, ia pernah makan sahur bersama Nabi Muhammad SAW saat menjelang subuh, (HR Ibnu Majah). 

Kesaksian Hudzaifah ini diperkuat oleh pengakuan Zaid bin Tsabit. Zaid pernah sahur bersama Nabi Muhammad SAW kemudian setelah itu shalat berjamaah. Ketika ditanya, berapa lama jarak antara selesai makan dan shalat(IMSAK), Zaid menjawab, “Kisaran membaca lima puluh ayat(10-15 menit sebelum adzan subuh)” 
(HR Ibnu Majah). 

tentu kisaran waktu ini sudah diuji coba oleh para Ulama,  kalau kita yg menguji cobanya bahkan bisa lebih dari 15 menit karena keterbatasan dalam membaca Ayat2 Alquran, utk itu jangan dipraktekkan sendri ukuran Imsak ini.

Dengan memperhatikan berbagai pendapat  dan riwayat ini, dapat disimpulkan bahwa waktu paling baik makan sahur ialah di sepertiga terakhir malam, terutama menjelang waktu subuh. Usahakan jarak antara makan dan waktu subuh tidak terlalu dekat, supaya makannya tidak terburu-buru dan ada kesempatan untuk menyikat gigi. 

Wallahu a’lam.

SENSASI SHALAT TARAWIH TERCEPAT

SENSASI SHALAT TARAWIH TERCEPAT 
=============================
Pondok Pesantren Mamba’ul Hikam yang terletak di Desa Mantenan, Udanawu, Blitar akhir-akhir ini viral di media sosial karena Shalat Tarawihnya yang super cepat. 

Shalat Tarawih beserta witir yang berjumlah 23 rakaat di pondok yang diasuh oleh KH Muhammad Dhiyauddin Azzamzami ini hanya ditempuh dalam kurun waktu sepuluh menit.  Fenomena ini marak di media sosial karena keunikannya. 
Pasalnya shalat tarawih yang umum di kalangan NU dilakukan sebanyak 23 rakaat ini umumnya ditempuh dalam waktu sekitar 30 menit atau lebih. Melihat fenomena itu, sejumlah televisi dan media cetak online membuat liputan mengenai fenomena ini. 

Konten itu lalu menjadi viral setelah diperbanyak oleh puluhan channel YouTube. Konon, Shalat Tarawih di pondok itu merupakan salah satu yang tercepat di dunia. Penasaran akan hal itu, saya menyambangi pondok pesantren ini untuk merasakan sensasi Shalat Tarawih yang ramai diperbincangkan ini.

Pondok Mamba’ul Hikam ini sendiri terletak sekitar 22 kilometer dari pusat kota. Dari sana perjalanan ditempuh sekitar 30 menit dengan mengendarai roda dua. Jalan yang lengang setelah buka puasa membuat perjalanan sedikit lebih singkat dari yang diperkirakan oleh aplikasi peta digital. Setibanya di kawasan pesantren, sebelum Azan Isya berkumandang, tampak ratusan warga telah mendatangi pesantren untuk bersiap melaksanakan shalat. Di kawasan pesantren, terdapat sebuah mushalla yang berukuran besar sekitar 500 meter persegi yang digunakan sebagai pusat peribadatan.  

Namun tampaknya area itu masih kurang untuk menampung jamaah yang hadir. 
Sehingga para santri yang dibantu warga menggelar sejumlah terpal ukuran belasan meter untuk dijadikan alas shalat bagi jamaah yang tidak kebagian tempat di mushalla. Dari lokasi yang disiapkan, baik di mushalla maupun lokasi ekstra, kawasan kira-kira cukup untuk menampung 400-an jamaah. 

Sembari para santri dan warga sedang sibuk menyiapkan tempat shalat, di bagian halaman lain yang agak jauh dari mushalla, puluhan anak kecil usia sekolah dasar asik membunyikan petasan. Suara ledakan dari ‘mercon’ bersauhatan membuat telinga pekak. Namun ratusan warga yang di sana tampak sudah biasa dengan suara bising petasan itu. 

Bahkan puluhan suara petasan terus meledak saat pimpinan pesantren, Kiai Muhammad Dhiyauddin Azzamzami membacakan kitab Kifayatul Akhyar. Menariknya, sang kiai terus saja membacakan kitab itu lengkap beserta makna dan penjelasannya tanpa sedikitpun tampak terganggu oleh suara petasan. 

Azan Isya yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Bersamaan dengan itu, sang kiai mengakhiri bacaan kitabnya dan bersiap memimpin Shalat Isya dan Tarawih. Para jamaahpun juga terlihat memenuhi posisi kosong di depannya dalam shaf. 

Sebagian orang yang tak kebagian shalat di mushalla menempati terpal panjang berwarna biru yang disediakan panitia di halaman mushalla. 

Shalat Cepat Kiai Muhammad Dhiyauddin Azzamzami memimpin langsung Shalat Tarawih pada malam 26 Ramadhan kali ini. Sensasi shalat cepat sebenarnya telah terasa setelah azan rampung dikumandangkan. 

Kulihat beberapa jamaah di kanan kiriku menunaikan dua rakaat Shalat Qobliyah Isya (shalat sunnah sebelum shalat Isya) lebih cepat dariku. Aku merasa, shalat sunnah ini seperti pemanasan menuju shalat tarawih yang konon sangat cepat itu. Benar saja, saat Shalat Isya dimulai, bacaan Al-Fatihah dan surat pendeknya cenderung lebih cepat dari yang biasa kuikuti di masjid lain. 

Kecepatan makin terasa saat mengerjakan rukun shalat lain setelah Al-Fatihah. Bagian ruku’, tuma’ninah, sujud, duduk di antara dua sujud, tasyahhud akhir dan salam berlangsung jauh lebih cepat dari rata-rata.  

Kecepatan bacaan Al-Fatihah berlipat saat Shalat Tarawih dimulai. Lepas Al-Fatihah, sang imam hanya membaca satu potong surat pendek dari Al-Qur’an seperti ‘Yaasin’, ‘Alif Lam Mim’, Alif Lam Ro’, dan potongan surat sejenis. Rukun shalat lain juga dilakukan dengan begitu cepat. 

Dalam shalat di rakaat-rakaat pertama, saya keteteran mengikuti ritme shalat yang super cepat ini. Saya baru bisa menyesuaikan diri dengan irama gerakan imam dan jamaah yang lain setelah shalat ketiga. Dari penunjuk waktu yang kusiapkan, 20 rakaat Shalat Tarawih dan tiga rakaat Shalat Witir rampung dalam waktu 10 menit 48 detik. Ternyata, shalat kilat ini menjadi daya tarik tersendiri bagi warga. 

Sebagian warga mengaku ikut Shalat Tarawih di sini karena waktu tempuhnya yang cepat. Rahmad (42) misalnya mengaku setiap malam ikut Shalat Tarawih di pondok Mamba’ul Hikam. Selain karena jarak rumahnya yang berdekatan dengan pesantren, tapi alasan lainnya karena shalatnya cepat. “Enak (Shalat Tarawih di sini) karena cepat,” katanya. 

Para santripun mengaku senang dengan shalat yang cepat ini. “Sudah biasa di sini, shalatnya cepat gini,” kata salah seorang santri usai shalat. Usai shalat rampung digelar, puji-pujianpun berkumandang. 

Lantunan shalawat pada Nabi Muhammad SAW dinyanyikan dengan iringan bedug dan kentongan. Nampak dua anak kecil usia sekolah dasar memukul-mukul bedug dan kentongan mengikuti irama shalawat yang dibaca dan diikuti semua jamaah. Rangkaian Shalat Tarawih, Shalat Witir, doa setelah Shalat Tarawih dan puji-pujian beserta shalawatan selesai sekitar jam 19.15 WIB atau sekitar 1 jam lebih dari waktu Isya di kawasan Blitar.  Bolehkah Shalat Cepat? Sebenarnya tak ada masalah dengan shalat cepat. 

Sebab, selama syarat dan rukun shalat terpenuhi dengan baik, maka shalat apapun hukumnya sah secara fiqh, baik shalat cepat maupun lambat. 

Adapun soal diterima atau tidak oleh Allah SWT, itu hak prerogratif Allah untuk menerima atau sebaliknya, karena sholat cepat juga ada Dalil atau referensinya, diantaranya riwayat sahabat Muad yg jadi imam sangat lambat karena bacaan suratnya panjang2, Diantaranya surat Al Baqoroh yg beliau baca, Nabi  SAW mengisyaratkan agar membaca Sabbihis saja....kemudian ada sahabat ngadu kepada Nabi SAW,  Muad dipanggil dan dimaki-maki oleh Nabi SAW, " Muad kamu ini perusak agama" 
ahirnya mendapat teguran keras tersebut muad terbayang-bayang terus. wal hasil sekarang diindonesia bacaan suratnya pendek2. Qulhu sama Qulya...

demikian halnya melaksanakan sholat lambat juga ada referensi dan dalilnya, salah satu riwayat yg cukup Populer bahwa baginda Nabi SAW pernah dalam membaca surat sampai 200 ayat, atau Beliau pernah sholat berdiri sampai kaki beliau bengkak-bengkak, ini bukti beliau sholatnya panjang, namun bagi kita tidak perlu mempraktekkan seperti sesempurna Nabi SAW.

Artinya kita tidak boleh menghukumi kegiatan sholat tarawih super cepat tersebut.

Memang, seringkali shalat cepat dikhawatirkan mengabaikan salah satu rukun dari sejumlah shalat. Namun, pada dasarnya pengabaian terhadap bagian dari rukun shalat itu bukan disebabkan cepat atau lambatnya shalat. 

Di dalam shalat sendiri, rukun (fardlu) yang bersifat qauliyah atau pengucapan, antara lain takbiratul ihram, pembacaan Surat Al-Fatihah, tasyahud dan shalawat dalam tasyahud, serta salam. 

Sementara yang lain hukumnya sunnah yang tidak menyebabkan batalnya shalat, mengupas kajian fiqih dalam melaksanakan shalat dengan cepat, Rinciannya sebagai berikut:  

1. Niat dan Takbir Takbiratul Ihram dilakukan bersamaan dengan niat di dalam hati. Keduanya merupakan bagian daripada rukun shalat. Lafadz takbiratul Ihram adalah Allahu Akbar (الله أكبر) atau Allahul Akbar (الله الأكبر). Dua lafadz takbir ini diperbolehkan, kecuali oleh Imam Malik, sehingga ulama menyarankan agar hanya menggunakan lafadz "Allahu Akbar", untuk menghindari khilaf ulama. Niat di dalam hati. Adapun melafadzkan niat dihukumi sunnah agar lisan bisa membantu hati dalam menghadirkan niat. Niat shalat wajib hanya perlu memenuhi 3 unsur, yaitu: 
(1). Qashdul fi'il (menyengaja suatu perbuatan) seperti lafadh Ushalli (sengaja aku shalat...); 
(2). Ta'yin (menentukan jenis shalat), seperti Dhuhur, 'Asar, dan lain-lain; dan 
(3) Fardliyyah (menyatakan kefardluannya), seperti lafadz 'Fardlan'. Sedangkan shalat sunnah (kecuali sunnah muthlaq) hanya perlu memenuhi 2 unsur, yaitu Qashdul Fi'li dan Ta'yin

Misalnya shalat tarawih, maka niatnya cukup dengan lafadh "sengaja aku shalat tarawih" atau "sengaja aku shalat qiyam ramadlan", sudah mencukupi. 

2. Membaca Surah Al-Fatihah Membaca surah al-Fatihah hukumnya wajib, tidak bisa ditinggalkan. Dalam hadits shahih dijelaskan "لا صَلاَة إِلاَّ بِفَاتِحَة الكِتابِ (Tidak shalat kecuali dengan surah Al-Fatihah)". Dalam hal ini, diperlukan kemahiran membaca cepat dengan tetap menjaga makhrijul huruf dan tajwidnya. Bila mampu, boleh saja membaca dengan satu kali nafas atau washol seluruhnya selama tidak mengubah makna. Membaca surah Al-Qur'an setelah al-Fatihah hukumnya sunnah. Bila ditinggalkan maka tidak disunnahkan sujud sahwi. Oleh karena, Imam hendaknya tetap membaca surah walaupun pendek, bahkan walaupun satu ayat. Sedangkan bagi makmum, sering kali tidak memiliki cukup waktu membaca surah Al-Fatihah bila menunggu imam selesai. Oleh karena itu, makmum hendaknya bisa memperkirakan lama bacaan surah Imam atau membaca al-Fatihah bersamaan dengan Imam, atau pada pertengahan bacaan Al-Fatihah imam lalu disambung kembali saat selesai mengucapkan amin.  

3. Ruku', I'tidal, Sujud dan Duduk di antara Dua Sujud Yang terpenting dari rukun-rukun shalat diatas adalah thuma'ninah. Thuma'niah adalah berhenti sejenak setelah bergerak, lamanya sekadar membaca tasbih (Subhanallah). Kira-kira 1 detik atau tidak sampai 1 detik.Bacaan dalam ruku', i'tidal, sujud dan duduk diantara dua sujud hukumnya sunnah, sehingga bisa ditinggalkan. Namun shalat cepat, bacaan tersebut sangat mencukupi untuk membacanya sehingga sebaiknya tidak ditinggalkan. 

4. Tasyahud  Tasyahud akhir hukumnya wajib, sehingga tidak boleh ditinggalkan. Sedangkan tasyahhud awal bagi shalat yang lebih dari 2 raka'at hukumnya sunnah,  sehingga bisa saja ditinggalkan, tetapi disunnahkan sujud sahwi, baik ditinggalkan karena lupa maupun sengaja. Tasyahhud dibaca secara sir (lirih) berdasarkan ijma' kaum muslimin.  Karena Shalat Tarawih dikerjakan dengan dua raka'at satu kali salam, artinya hanya ada tasyahhud akhir. 

5. Shalawat Kepada Nabi Saw Shalawat kepada Nabi Muhammad Saw setelah tasyahhud akhir hukumnya wajib, sehingga tidak sah shalat seseorang apabila meninggalkan shalawat. 
Sedangkan shalawat kepada keluarga Nabi tidak wajib dalam madzhab Syafi'i, namun hukumnya sunnah menurut pendapat yang shahih serta masyhur. Sebagian ulama Syafi'i mengatakan tetap wajib. 

6. Salam Salam dalam rangka keluar dari shalat termasuk bagian daripada rukun/fardlu shalat. 

Bila ditinggalkan maka tidak sah shalat seseorang. Salam yang sempurna menggunakan lafadh.
Assalamu'alaikum wa Rahmatullah السَّلامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ ke kanan satu kali dan ke kiri satu kali. 

Salam yang wajib hanya satu kali, sedangkan salam kedua hukumnya sunnah sehingga bila ditinggalkan tidak akan merusak shalat. 

Wallohu'alam

Sumber Nu Online
(penulis dan Editor Sanhaji)

Selasa, 13 April 2021

MENGENAL SYARIAT, TAREKAT, DAN HAKIKAT

Supaya tidak salah paham, Syeikh Nawawi al-Bantani menjelaskan pengertian dan maksud dari tiga istilah ini dalam kitab Maraqil Ubudiyah. Beliau mengatakan,

Syariat adalah hukum-hukum yang dibebankan Rasulullah dari Allah kepada kita. Hukum-hukum itu meliputi perkara-perkara wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah. Selain itu, ada pula yang mendefenisikan syariat sebagai pelaksanaan agama Allah dengan menaati segala perintah dan meninggalkan segala larangan-Nya.

Tarekat adalah melaksanakan perkara-perkara wajib dan sunnah, meninggalkan yang haram, memalingkan diri dari perkara-perkara yang mubah yang tidak bermanfaat, mengutamakan sifat wara’, atau hati-hati agar tidak terjerumus pada hal-hal haram atau makruh, yang dapat ditempuh melalui riyadhah, semisal puasa, dan lain-lain.

Hakikat adalah memahami hakikat sesuatu, seperti hakikat asma, sifat, dan dzat. Memahami rahasia al-Qur’an, rahasia perintah dan larangan, rahasia alam ghaib, dan lain-lain.

Sebagian ulama menggambarkan syariat sebagai bahtera, tarekat sebagai lautan dan hakikat sebagai mutiara. 

Seorang tidak akan menemukan mutiara kecuali di dasar lautan, dan tidak akan bisa sampai ke laut kecuali dengan bahtera.

Dengan demikian, pembagian ini bertujuan untuk memberi gambaran bahwa dalam setiap ibadah yang dilakukan itu adalah hikmah dan tujuan yang bisa dipahami setelah melakukan ibadah itu secara terus-menerus dan istiqamah. Akan tetapi, orang yang sudah sampai pada pemahaman inti dari sebuah ibadah, bukan berati tidak diwajibkan lagi mengerjakan ibadah tersebut, karena bagaimanapun selama masih hidup, kewajiban yang dibebankan Tuhan kepada manusia tetap harus dilakukan.


Senin, 12 April 2021

NIAT PUASA SATU BULAN PENUH

NIAT PUASA SATU BULAN PENUH
============================
Dalam Kitab Ad Dardir, asy-Syarhul Kabir jilid pertama ditulis bahwa jumhur fuqaha, -kecuali mahdzab Hanafi-, menyatakan hukum niat adalah wajib apabila menjadi sarat sah sebuah perbuatan. Misalnya: wudhu, mandi wajib, tayamum, sholat, puasa, haji, zakat dan lainnya.

Hukum niat menjadi sunah apabila sah tidaknya perbuatan yang akan dilakukan bukan bergantung dari niat.

Dalil yang menyatakan bahwa niat hukumnya wajib antara lain terdapat dalam Al Quran Surat al Bayyinah ayat 5

وَمَآ أُمِرُوٓا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَ ۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلْقَيِّمَةِ

Artinya: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." (al-Baiyinah: 5).

Dalil lainnya adalah sebuah hadits yang disepakati keshahihannya oleh Imam al - Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i, Ibnu Majah dan Imam Ahmad. Hadits ini bersumber dari Umar bin Khattab r.a.

Umar berkata pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda:

"Sesungguhnya (sahnya) amal-amal perbuatan adalah hanya bergantung kepada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang diniatinya. Barangsiapa hijrahnya adalah karena Allah SWT dan Rasulu-Nya, maka hijrahnya dicatat Allah SWT dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena untuk mendapatkan dunia atau (menikahi) wanita, maka hijrahnya adalah (dicatat) sesuai dengan tujuan hijrahnya tersebut."

Disebutkan oleh Syaikh Mahmud Al-Mishri 'Ensiklopedi Akhlak Rasulullah Jilid 1', Imam An-Nawawi menyebutkan "Niat adalah ukuran keshahihan amal perbuatan. Jika niatnya benar, amalannya pasti benar namun jika niat rusak, rusak juga amalnya."

tentang niat Puasa ulama mazhab berbeda pendapat, kecuali Mazhab Hanapi bahwa ada yg berniat 1 bulan penuh
(Imam Maliki RAH). ada yg berpendapat harus setiap malam.
(Imam As syafi'i RAH)

Niat Puasa 1 bulan penuh, taqlid pada Imam Maliki, dibaca pada tengah malam  atau setelah sahur,
dan hanya 1 kali baca niat pada malam Pertama dibulan Ramadhan,  karena Imam maliki melakukannya seperti itu, menurut perhitungan waktu Beliau.

Sedangkan menurut Mazhab Syafi'i Niat harus dibaca setiap malam, tidak boleh 1 bulan penuh, dan menurut hitungan waktunya Imam syafi'i yaitu pada malam hari, hitungan malam menurut imam syafi'i RAH, itu semenjak matahari tenggelam dan terbitnya Fajar, namun karena kita As Syafi'i maka kita tetap bertaqlid pada imam syafi'i yaitu membaca niat setiap malam.

Tentang niat mengucapkan Puasa satu bulan penuh boleh Namun harus seperti yg dilakukan oleh Imam maliki RAH, yaitu dengan bertaqlid padanya dan diwaktu tengah malam, artinya Niat kita 2 kali lafad niat yg sudah ada yaitu :

 نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى 

dibaca setiap malam seperti kebiasaan Mazhab syafi'i.

نويت صوم جميع شهر رمضان هذه السنة تقليدا للاءمام مالك فرضا لله تعالى

Aku niat berpuasa disepanjag bulan ramadhan tahun ini dengan mengikuti Imam Maliki fardhu karen Alloh Ta'ala.

Lafad Niat 1 bulan penuh hanya sifatnya  sebagai jaga2 saja manakala kita lupa berniat.

mengikuti mazhab lain selain Mazhab yg kita anut hukumnya boleh, tapi dengan syarat harus mengetahui asal muasal hukum fiqihnya dan setelah tahu tentunya kita mengikutinya dan mempraktekkannya sesuai Mazhab yg akan kita praktekkan, saya rasa bagi temen2 yg sudah berhaji Faham,  karena orang berhaji itu kondisi dilapangan akan sangat banyak kesulitan, kalau kita mengikuti hanya Mazhab syafi'i saja maka kita akan kewalahan dan terlalu cape, ada kalanya mengukuti mazhab yg lainnya, dengan dipandu oleh pemandu Haji yg tahu ilmu fiqih mazhab yg lainnya.

Wallahu a'lam.

Minggu, 11 April 2021

LAFAL NIAT PUASA: RAMADLANA ATAU RAMADLANI?

LAFAL NIAT PUASA: RAMADLANA ATAU RAMADLANI? 
============================
Sebagaimana ibadah-ibadah lain, niat menjadi rukun yang mesti dilakukan dalam puasa Ramadhan.

Niat adalah iktikad tanpa ragu untuk melaksanakan sebuah perbuatan. Kata kuncinya adalah adanya maksud secara sengaja bahwa setelah terbit fajar ia akan menunaikan puasa. 

Imam Syafi’I sendiri berpendapat bahwa makan sahur tidak dengan sendirinya dapat menggantikan kedudukan niat, kecuali apabila terbersit (khathara) dalam hatinya maksud untuk berpuasa. (al-Fiqh al-Islami, III, 1670-1678).

Meski niat adalah urusan hati, melafalkannya (talaffudh) akan membantu seseorang untuk menegaskan niat tersebut. Talaffudh berguna dalam memantapkan iktikad karena niat terekspresi dalam wujud yang konkret, yaitu bacaan atau lafal. 

Tentang hal ini, sering kita jumpai beragam versi bacaan niat puasa. Perbedaan terutama ada pada bagian harakat kata رمضان; apakah ia dibaca ramadlâna atau ramadlâni.

Sebagian masyarakat membaca lafal niat di malam hari seperti ini:  

 نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى 

Menurut kaidah ilmu nahwu, redaksi tersebut keliru. Jika memaksa memilih membaca ramadlâna (dengan harakat fathah), maka pilihan yang paling mungkin kalimat selanjutnya adalah hâdzihis sanata (sebagai dharaf zaman/keterangan waktu), bukan hâdzihis sanati.

Ramadlâna dibaca fathah sebagai ‘alamat jar karena termasuk isim ghairu munsharif yang ditandai dengan tambahan alif dan nun sebagai illatnya. 

Artinya, boleh membaca ramadlâna dengan syarat kalimat selanjutnya hâdzihis sanata. Namun, yang seperti ini jarang diungkapkan dalam kitab-kitab fiqih. 

Yang paling lazim adalah membacanya dengan harakat kasrah, ramadlâni, yakni dengan meng-idhafah-kan (menggabungkan) dengan kata sesudahnya. Konsekuensinya, ia tidak lagi ghairu munsharif sehingga berlaku hukum sebagai isim mu’rab pada umumnya. 

Hal ini sesuai dengan ungkapan Al-‘Allâmah Abû ‘Abdillâh Muhammad Jamâluddîn ibn Mâlik at-Thâî alias Ibnu Malik dalam nadham Alfiyah: 

 وَجُرَّ بِالْفَتْحَةِ مَا لاَ يَنْصَرِفْ ¤  مَا لَمْ يُضَفْ اَوْ يَكُ بَعْدَ اَلْ رَدِفْ

 “Tandailah jar isim ghairu munsharif dengan fathah, selagi tak di-idhafah-kan (digabung dengan kata setelahnya) atau tidak menempel setelah ‘al’.” Jika ramadlâni diposisikan sebagai mudhaf (di samping sekaligus jadi mudhaf ilaih-nya "syahri") maka hadzihis sanati mesti berposisi sebagai mudhaf ilaih dan harus dibaca kasrah. 

Pembacaan dengan model mudhaf-mudhaf ilaih inilah yang paling dianjurkan, Sehingga bacaan yang tepat dan sempurna adalah:
 نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى 

“Saya niat berpuasa esok hari untuk menunaikan fardhu di bulan Ramadhan tahun ini, karena Allah Ta'ala.” Yang perlu diingat, kekeliruan dalam melafalkan niat tak berpengaruh pada keabsahan puasa, selama terbesit dalam hati untuk berpuasa. Seperti dikatakan, niat berhubungan dengan getaran batin. 

Sehingga ucapan lisan hanya bersifat sekunder belaka. Tapi kekeliruan akan menimbulkan rasa janggal, terutama di mata para ahli gramatika Arab. 

Wallahu a'lam.

PENDAPAT ULAMA SOAL MEMAJANG GAMBAR ATAU LUKISAN DI RUMAH

PENDAPAT ULAMA SOAL MEMAJANG GAMBAR ATAU LUKISAN DI RUMAH
===========================


Menyimpan lukisan atau gambar-gambar sebagai penghias rumah sudah merupakan hal yang lumrah dilakukan masyarakat. Gambar dan lukisan yang disimpan cenderung variatif, mulai dari gambar tokoh, hewan, pemandangan alam, dan aneka gambar serta lukisan lain sesuai selera pemilik atau desain interior rumah.  

Lantas sebenarnya bagaimana syariat menyikapi realitas demikian? Bolehkah bagi seorang Muslim untuk menyimpan berbagai gambar dan lukisan dalam rumahnya?   Dalam berbagai hadits memang dijelaskan tentang larangan menyimpan gambar atau lukisan di dalam rumah. Misalnya seperti dalam hadits berikut:  

 إِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لاَ تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ   

 “Sesungguhnya Malaikat tidak masuk pada rumah yang terdapat gambar di dalamnya” (HR. Baihaqi).   

Berdasarkan hadits di atas, dapat dipahami seolah-olah menyimpan gambar di dalam rumah merupakan sebuah larangan syariat yang tidak dapat ditoleransi. Namun, rupanya terdapat hadits lain yang mengindikasikan ditoleransinya menyimpan gambar di dalam rumah, seperti hadits berikut ini:  

 عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عَبْدِ اللهِ ، أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى أَبِي طَلْحَةَ الأَنْصَارِيِّ يَعُودُهُ فَوَجَدَ عِنْدَهُ سَهْلَ بْنَ حُنَيْفٍ فَأَمَرَ أَبُو طَلْحَةَ إِنْسَانًا يَنْزِعُ نَمَطًا تَحْتَهُ ، فَقَالَ لَهُ سَهْلٌ : لِمَ تَنْزِعُهُ ؟ قَالَ : لأَنَّ فِيهِ تَصَاوِيرَ ، وَقَدْ قَالَ فِيهَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا قَدْ عَلِمْتَ ، قَالَ : أَلَمْ يَقُلْ إِلاَّ مَا كَانَ رَقْمًا فِي ثَوْبٍ ، قَالَ : بَلَى ، وَلَكِنَّهُ أَطْيَبُ لِنَفْسِي  

 Diriwayatkan dari ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bahwa ia berkunjung pada Abu Thalhah al-Anshari untuk menjenguknya. Di sana terdapat Sahl bin Hunaif, lalu Abu Thalhah memerintahkan seseorang untuk melepaskan tikar yang ada di bawahnya, melihat hal tersebut, Sahl bertanya: “Kenapa engkau melepasnya?” 

“Sebab pada tikar itu terdapat gambar, dan Rasulullah telah mengatakan tentang larangan menyimpan gambar, seperti halnya yang engkau tahu” jawab Abu Thalhah.   

“Bukankah Rasulullah mengatakan: ‘Kecuali gambar yang ada di pakaian?’” sanggah Sahl   “Iya memang, tapi melepaskan (tikar) lebih menenteramkan hatiku” ungkap Abu Thalhah” (HR. An-Nasa’i).   

Dari dua hadits di atas, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kategori lukisan atau gambar yang dilarang oleh syara’ untuk membuat ataupun menyimpannya. 

Namun para ulama sepakat atas keharaman suatu gambar ketika memenuhi lima kategori berikut:  

 فعلم أن المجمع على تحريمه من تصوير الأكوان ما اجتمع فيه خمسة قيود عند أولي العرفان أولها ؛ كون الصورة للإنسان أو للحيوان ثانيها ؛ كونها كاملة لم يعمل فيها ما يمنع الحياة من النقصان كقطع رأس أو نصف أو بطن أو صدر أو خرق بطن أو تفريق أجزاء لجسمان ثالثها ؛ كونها في محل يعظم لا في محل يسام بالوطء والامتهان رابعها ؛ وجود ظل لها في العيان خامسها ؛ أن لا تكون لصغار البنان من النسوان   فإن انتفى قيد من هذه الخمسة . . كانت مما فيه اختلاف العلماء الأعيان . فتركها حينئذ أورع وأحوط للأديان    

“Maka dapat dipahami bahwa gambar yang disepakati keharamannya adalah gambar yang terkumpul di dalamnya lima hal:

Pertama, gambar berupa manusia atau hewan. 
Kedua, gambar dalam bentuk yang sempurna, tidak terdapat sesuatu yang mencegah hidupnya gambar tersebut, seperti kepala yang terbelah, separuh badan, perut, dada, terbelahnya perut, terpisahnya bagian tubuh. 
Ketiga, gambar berada di tempat yang dimuliakan, bukan berada di tempat yang biasa diinjak dan direndahkan. 
Keempat, terdapat bayangan dari gambar tersebut dalam pandangan mata. 
Kelima, gambar bukan untuk anak-anak kecil dari golongan wanita. Jika salah satu dari lima hal di atas tidak terpenuhi, maka gambar demikian merupakan gambar yang masih diperdebatkan di antara ulama.

Meninggalkan (menyimpan gambar demikian) merupakan perbuatan yang lebih wira’i dan merupakan langkah hati-hati dalam beragama” (Sayyid Alawi al-Maliki al-Hasani, Majmu’ fatawa wa ar-Rasa’il, hal. 213)   

Jika melihat dari referensi di atas, maka gambar atau lukisan yang biasa terdapat di rumah-rumah tergolong sebagai suatu gambar yang masih diperdebatkan di antara ulama tentang boleh-tidaknya menyimpan gambar tersebut, sebab umumnya lukisan dan gambar yang dipajang di rumah-rumah tidak memiliki bayangan, sebab hanya dalam bentuk yang datar.   

 Klasifikasi perbedaan pendapat mengenai gambar ini dihimpun secara runtut dalam kitab Rawai’ al-Bayan dengan mengutip pandangan Imam an-Nawawi dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani:   

وقال الإمام النووى: إن جواز اتخاذ الصور إنما هو إذا كانت لا ظل لها وهى مع ذلك مما يوطأ ويداس أو يمتهن بالاستعمال كالوسائد وقال العلامة ابن حجر فى شرحه للبخارى حاصل ما فى اتخاذ الصور أنها إن كانت ذات أجسام حرم بالإجماع وإن كانت رقما فى ثوب فأربعة أقوال: الأول: يجوز مطلقا عملا بحديث إلا رقما فى الثوب الثانى: المنع مطلقا عملا بالعموم الثالث: إن كانت الصورة باقية بالهيئة قائمة الشكل حرم وإن كانت مقطوعة الرأس أو تفرقت الأجزاء جاز قال: وهذا هو الأصح الرابع: إن كانت مما يمتهن جاز وإلا لم يجز واستثنى من ذلك لعب البنات   

“Imam Nawawi menjelaskan bahwa boleh menggunakan gambar hanya ketika tidak memiliki bayangan, selain itu gambar tersebut juga biasa diinjak atau direndahkan penggunaannya, seperti bantal.”    Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani saat mensyarahi kitab Imam Bukhari mengatakan, 

“Kesimpulan dalam penggunaan gambar bahwa sesungguhnya jika gambar memiliki bentuk tubuh (jism) maka haram secara ijma’. 

Jika gambar hanya sebatas raqm (gambar) dalam baju, maka terdapat empat pendapat:
Pertama, boleh secara mutlak, berdasarkan redaksi hadits illa raqman fits tsaubi (kecuali gambar dalam baju). 
Kedua, haram secara mutlak, berdasarkan keumuman redaksi hadits. 
Ketiga, jika gambarnya dapat menetap dengan keadaan yang dapat berdiri sendiri, maka hukumnya haram. Namun jika gambarnya terpotong kepalanya atau terpisah bagian tubuhnya maka boleh. Pendapat ketiga ini merupakan pendapat yang ashah (paling kuat). 
Keempat, jika gambarnya merupakan gambar yang dianggap remeh maka diperbolehkan, jika tidak dianggap remeh (diagungkan misalnya) maka tidak diperbolehkan. 

Dikecualikan dari permasalahan di atas adalah mainan anak kecil” (Syekh Muhammad Ali as-Shabuni, Rawai’ al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam, juz 2, hal. 415).  

Ulama yang berpandangan tentang bolehnya menyimpan gambar atau lukisan di dalam rumah, salah satunya adalah ulama kenamaan mesir, Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi. Beliau menjelaskan tentang permasalahan ini dalam himpunan fatwanya:   

س: ما القول فيمن يزينون الحائط برسوم بعض الحيوانات؟ هل هذه ينطبق عليها ما ينطبق على التماثيل البارزة المجسدة من تحريم؟   (ج): يقول فضيلة الشيخ الشعراوى: لا شيء في ذلك، ولكن ما حرم هو ما يفعله البعض لتقديس وتعظيم هذه الحيوانات، أما أن ترسم لكي 
يستعمل في الزينة فلا مانع من ذلك   

“Pertanyaan: ‘Bagaimana pendapat anda tentang orang yang menghiasi tembok dengan gambar/lukisan sebagian hewan? Apakah berlaku pada permasalahan ini suatu hukum yang berlaku pada patung yang berbentuk jasad yakni hukum haram?’”   “Syekh as-Sya’rawi menjawab: ‘Hal di atas tidak perlu dipermasalahkan, hal yang diharamkan adalah perbuatan yang dilakukan sebagian orang berupa mengultuskan dan mengagungkan gambar hewan tersebut. 

Sedangkan melukis hewan dengan tujuan untuk digunakan menghias (tembok) maka tidak ada larangan untuk melakukannya” (Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi, Mausu’ah Fatawa as-Sya’rawi, hal. 591)   

Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keharaman menyimpan gambar yang disepakati oleh para ulama hanya berlaku pada gambar atau lukisan makhluk hidup yang memiliki bentuk (jism) atau memiliki bayangan dan diagungkan oleh pemiliknya, seperti patung misalnya. 

Sedangkan selain gambar dengan kriteria tersebut, ulama berbeda pendapat dalam menghukuminya, sebagian ulama menghalalkan dan sebagian ulama yang lain mengharamkannya. 

Berbeda halnya ketika gambar atau lukisan bukan bergambar makhluk hidup, tapi berupa pemandangan alam, lukisan abstrak dan berbagai lukisan tak hidup lainnya, maka para ulama memperbolehkan lukisan tersebut.   

Sehingga sebenarnya bagi kita diperbolehkan untuk memilih salah satu di antara berbagai pendapat ulama dalam menyikapi gambar atau lukisan makhluk hidup yang biasa difungsikan untuk menghias rumah, selama pilihan kita atas pendapat tersebut tidak atas jalan meremehkan urusan agama (tasahul fid din) dan tetap mempertimbangkan penilaian masyarakat setempat.

Yang pokok diperhatikan adalah tak boleh ada pengultusan berlebihan atas gambar. 

Wallahu a’lam.    

 

الكتب  أحيا علوم الدين


بسم الله الرحمن الرحيم
أحمد الله أولاً حمداً كثيرا متواليا وإن كان يتضاءل دون حق جلاله حمد الحامدين وأصلي واسلم على رسله ثانياً صلاة تستغرق مع سيد البشر سائر المرسلين وأستخيره تعالى ثالثاً فيما انبعث عزمي من تحرير كتاب في إحياء علوم الدين وأنتدب لقطع تعجبك رابعاً أيها العاذل المتغالي في العذل من بين زمرة الجاحدين المسرف في التقريع (1)
 
(1) بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذي أحيا علوم الدين فأينعت بعد اضمحلالها وأعيا فهوم الملحدين عن دركها فرجعت بكلالها أحمده وأستكين له من مظالم انقضت الظهور بأثقالها وأعبده وأستعين به لعصام الأمور وعضالها وأشهد أن لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ له شهادة وافية بحصول الدرجات وظلالها واقية من حلول الدركات وأهوالها وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الذي أطلع به فجر الإيمان من ظلمة القلوب وضلالها وأسمع به وقر الآذان وجلا به رين القلوب بصقالها صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم صلاة لا قاطع لاتصالها
وبعد فلما وفق الله تعالى لإكمال الكلام على أحاديث إحياء علوم الدين في سنة إحدى وخمسين تعذر الوقوف على بعض أحاديثه فأخرت تبييضه إلى سنة ستين فظفرت بكثير مما عزب عني علمه ثم شرعت في تبييضه في مصنف متوسط حجمه وأنا مع ذلك متباطىء في إكماله غير متعرض لتركه وإهماله إلى أن ظفرت بأكثر ما كنت لم أقف عليه وتكرر السؤال من جماعة في إكماله فأجبت وبادرت إليه ولكني اختصرته في غاية الاختصار ليسهل تحصيله وحمله في الأسفار فاقتصرت فيه على ذكر طرف الحديث وصحابيه ومخرجه وبيان صحته أو حسنه أو ضعف مخرجه فإن ذلك هو المقصود الأعظم عند أبناء الآخرة بل وعند كثير من المحدثين عند المذاكرة والمناظرة وأبين ما ليس له أصل في كتب الأصول والله أسأل أن ينفع به إنه خير مسئول
فإن كان الحديث في الصحيحين أو أحدهما اكتفيت بعزوه إليه وإلا عزوته إلى من خرجه من بقية الستة وحيث كان في أحد الستة لم أعزه إلى غيرها إلا لغرض صحيح بأن يكون في كتاب التزم مخرجه الصحة أو يكون أقرب إلى لفظه في الإحياء وحيث كرر المصنف ذكر الحديث فإن كان في باب واحد منه اكتفيت بذكره أول مرة وربما ذكرته فيه ثانيا وثالثا لغرض أو لذهول عن كونه تقدم وإن كرره في باب آخر ذكرته ونبهت على أنه قد تقدم وربما لم أنبه على تقدمه لذهول عنه وحيث عزوت الحديث لمن خرجه من الأئمة فلا أريد ذلك اللفظ بعينه بل قد يكون بلفظه وقد يكون بمعناه أو باختلاف على قاعدة المستخرجات وحيث لم أجد ذلك الحديث ذكرت ما يغنى عنه غالبا وربما لم أذكره وسميته المغني عن حمل الأسفار في الأسفار في تخريج ما في الإحياء من الأخبار
جعله الله خالصا لوجهه اكريم ووسيلة إلى النعيم المقيم


الجزء:  ¦ الصفحة: 1

والإنكار من بين طبقات المنكرين الغافلين فلقد حل عن لساني عقدة الصمت وطوقني عهدة الكلام وقلادة النطق ما أنت مثابر عليه من العمى عن جلية الحق مع اللجاج في نصرة الباطل وتحسين الجهل والتشغيب على من آثر النزوع قليلاً عن مراسم الخلق ومال ميلاً يسيراً عن ملازمة الرسم إلى العمل بمقتضى العلم طمعاً في نيل ما تعبده الله تعالى به من تزكية النفس وإصلاح القلب وتداركاً لبعض ما فرط من إضاعة العمر يائساً عن تمام حاجتك في الحيرة وانحيازاً عن غمار من قال فيهم صاحب الشرع صلوات الله عليه وسلامه أشد الناس عذاباً يوم القيامة عالم لم ينفعه الله سبحانه بعلمه (1) ولعمري إنه لا سبب لإصرارك على التكبر إلا الداء الذي عم الجم الغفير بل شمل الجماهير من القصور عن ملاحظة ذروة هذا الأمر والجهل بأن الأمر إد والخطب جد والآخرة مقبلة والدنيا مدبرة والأجل قريب والسفر بعيد والزاد طفيف والخطر عظيم والطريق سد وما سوى الخالص لوجه الله من العلم والعمل عند الناقد البصير رد وسلوك طريق الآخرة مع كثرة الغوائل من غير دليل ولا رفيق متعب ومكد فأدله الطريق هم العلماء الذين هم ورثة الأنبياء وقد شغر منهم الزمان ولم يبق إلا المترسمون وقد استحوذ على أكثرهم الشيطان واستغواهم الطغيان وأصبح كل واحد بعاجل حظه مشغوفاً فصار يرى المعروف منكراً والمنكر معروفاً حتى ظل علم الدين مندرساً ومنار الهدى في أقطار الأرض منطمساً ولقد خيلوا إلى الخلق أن لا علم إلا فتوى حكومة تستعين به القضاة على فصل الخصام عند تهاوش الطغام أو جدل يتدرع به طالب المباهاة إلى الغلبة والإفحام أو سجع مزخرف يتوسل به الواعظ إلى استدراج العوام إذ لم يروا ما سوى هذه الثلاثة مصيدة للحرام وشبكة للحطام

فأما علم طريق الآخرة وما درج عليه السلف الصالح مما سماه الله سبحانه في كتابه فقهاً وحكمة وعلماً وضياء ونوراً وهداية ورشداً فقد أصبح من بين الخلق مطوياً وصار نسياً منسياً

ولما كان هذا ثلماً في الدين ملماً وخطباً مدلهماً رأيت الاشتغال بتحرير هذا الكتاب مهماً إحياء لعلوم الدين وكشفاً عن مناهج الأئمة المتقدمين وإيضاحاً لمباهي العلوم النافعة عند التبيين والسلف الصالحين

وقد أسسته على أربعة أرباع وهي ربع العبادات وربع العادات وربع المهلكات وربع المنجيات

وصدرت الجملة بكتاب العلم لأنه غاية المهم لأكشف أولاً عن العلم الذي تعبد الله على لسان رسوله صلى الله عليه وسلم الأعيان بطلبه إذ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طلب العلم فريضة على كل مسلم (2) وأميز فيه العلم النافع من الضار إذ قال صلى الله عليه وسلم نعوذ بالله من علم لا ينفع (3) وأحقق ميل أهل العصر عن شاكلة الصواب وانخداعهم بلامع السراب واقتناعهم من العلوم بالقشر عن اللباب

ويشتمل ربع العبادات على عشرة كتب كتاب العلم وكتاب قواعد العقائد وكتاب أسرار الطهارة وكتاب أسرار الصلاة وكتاب أسرار الزكاة وكتاب أسرار الصيام وكتاب أسرار الحج وكتاب آداب تلاوة القرآن وكتاب الأذكار والدعوات وكتاب ترتيب الأوراد في الأوقات

(1) حديث أشد الناس عذاباً يوم القيامة عالم لم ينفعه الله بعلمه رواه الطبراني في الصغير والبيهقي في شعب الإيمان من حديث أبي هريرة بإسناد ضعيف

(2) حديث طلب العلم فريضة على كل مسلم رواه ابن ماجه من حديث أنس وضعفه أحمد والبيهقي وغيرهما

(3) حديث نعوذ بالله من علم لا ينفع رواه ابن ماجه من حديث جابر بإسناد حسن


الجزء:  ¦ الصفحة: 2

وأما ربع العادات فيشتمل على عشرة كتب كتاب آداب الأكل وكتاب آداب النكاح وكتاب أحكام الكسب وكتاب الحلال والحرام وكتاب آداب الصحبة والمعاشرة مع أصناف الخلق وكتاب العزلة وكتاب آداب السفر وكتاب السماع والوجد وكتاب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر وكتاب آداب المعيشة وأخلاق النبوة

وأما ربع المهلكات فيشتمل على عشرة كتب كتاب شرح عجائب القلب وكتاب رياضة النفس وكتاب آفات الشهوتين شهوة البطن وشهوة الفرج وكتاب آفات اللسان وكتاب آفات الغضب والحقد والحسد وكتاب ذم الدنيا وكتاب ذم المال والبخل وكتاب ذم الجاه والرياء وكتاب ذم الكبر والعجب وكتاب ذم الغرور

وأما ربع المنجيات فيشتمل على عشرة كتب كتاب التوبة وكتاب الصبر والشكر وكتاب الخوف والرجاء وكتاب الفقر والزهد وكتاب التوحيد والتوكل وكتاب المحبة والشوق والأنس والرضا وكتاب النية والصدق والإخلاص وكتاب المراقبة والمحاسبة وكتاب التفكر وكتاب ذكر الموت

فأما ربع العبادات فأذكر فيه خفايا آدابها ودقائق سننها وأسرار معانيها ما يضطر العالم العامل إليه بل لا يكون من علماء الآخرة من لا يطلع عليه وأكثر ذلك مما أهمل في فن الفقهيات

وأما ربع العادات فأذكر فيه أسرار المعاملات الجارية بين الخلق وأغوارها ودقائق سننها وخفايا الورع في مجاريها وهي مما لا يستغني عنها متدين

وأما ربع المهلكات فأذكر فيه كل خلق مذموم ورد القرآن بإماطته وتزكية النفس عنه وتطهير القلب منه وأذكر من كل واحد من تلك الأخلاق حده وحقيقته ثم أذكر سببه الذي منه يتولد ثم الآفات التي عليها تترتب ثم العلامات التي بها تتعرف ثم طرق المعالجة التي بها منها يتخلص كل ذلك مقروناً بشواهد الآيات والأخبار والآثار

وأما ربع المنجيات فأذكر فيه كل خلق محمود وخصلة مرغوب فيها من خصال المقربين والصديقين التي بها يتقرب العبد من رب العالمين وأذكر في كل خصلة حدها وحقيقتها وسببها الذي به تجتلب وثمرتها التي منها تستفاد وعلامتها التي بها تتعرف وفضيلتها التي لأجلها فيها يرغب مع ما ورد فيها من شواهد الشرع والعقل ولقد صنف الناس في بعض هذه المعاني كتباً ولكن يتميز هذا الكتاب عنها بخمسة أمور

الأول حل ما عقدوه وكشف ما أجملوه

الثاني ترتيب ما بددوه ونظم ما فرقوه

الثالث إيجاز ما طولوه وضبط ما قرروه

الرابع حذف ما كرروه وإثبات ما حرروه

الخامس تحقيق أمور غامضة اعتاصت على الأفهام لم يتعرض لها في الكتب أصلاً إذ الكل وإن تواردوا على منهج واحد فلا مستنكر أن يتفرد كل واحد من السالكين بالتنبيه لأمر يخصه ويغفل عنه رفقاؤه أو لا يغفل عن التنبيه ولكن يسهو عن إيراده في الكتب أو لا يسهو ولكن يصرفه عن كشف الغطاء عنه صارف فهذه خواص هذا الكتاب مع كونه حاوياً لمجامع هذه العلوم

وإنما حملني على تأسيس هذا الكتاب على أربعة أرباع أمران أحدهما وهو الباعث الأصلي أن هذا الترتيب في التحقيق والتفهيم كالضرورة لأن العلم الذي يتوجه به إلى الآخرة ينقسم إلى علم المعاملة وعلم المكاشفة وأعني

الجزء: ¦ الصفحة: 3

بعلم المكاشفة ما يطلب منه كشف المعلوم فقط وأعني بعلم المعاملة ما يطلب منه مع الكشف العمل به والمقصود من هذا الكتاب علم المعاملة فقط دون علم المكاشفة التي لا رخصة في إيداعها الكتب وإن كانت هي غاية مقصد الطالبين ومطمع نظر الصديقين وعلم المعاملة طريق إليه ولكن لم يتكلم الأنبياء صلوات الله عليهم مع الخلق إلا في علم الطريق والإرشاد إليه

وأما علم المكاشفة فلم يتكلموا فيه إلا بالرمز والإيماء على سبيل التمثيل والإجمال علماً منهم بقصور أفهام الخلق عن الاحتمال والعلماء ورثة الأنبياء فما لهم سبيل إلى العدول عن نهج التأسي والاقتداء ثم إن علم المعاملة ينقسم إلى علم ظاهر أعني العلم بأعمال الجوارح وإلى علم باطن أعني العلم بأعمال القلوب والجاري على الجوارح إما عادة وإما عبادة والوارد على القلوب التي هي بحكم الاحتجاب عن الحواس من عالم الملكوت إما محمود وإما مذموم فبالواجب انقسم هذا العلم إلى شطرين ظاهر وباطن والشطر الظاهر المتعلق بالجوارح انقسم إلى عادة وعبادة والشطر الباطن المتعلق بأحوال القلب وأخلاق النفس انقسم إلى مذموم ومحمود فكان المجموع أربعة أقسام ولا يشذ نظر في علم المعاملة عن هذه الأقسام

الباعث الثاني

أني رأيت الرغبة من طلبة العلم صادقة في الفقه الذي صلح عند من لا يخاف الله سبحانه وتعالى المتدرع به إلى المباهاة والاستظهار بجاهه ومنزلته في المنافسات وهو مرتب على أربعة أرباع والمتزيي بزي المحبوب محبوب فلم أبعد أن يكون تصوير الكتاب بصورة الفقه تلطفاً في استدراج القلوب ولهذا تلطف بعض من رام استمالة قلوب الرؤساء إلى الطب فوضعه على هيئة تقويم النجوم موضوعاً في الجداول والرقوم وسماه تقويم الصحة ليكون أنسهم بذلك الجنس جاذباً لهم إلى المطالعة والتلطف في اجتذاب القلوب إلى العلم الذي يفيد حياة الأبد أهم من التلطف في اجتذابها إلى الطب الذي لا يفيد إلا صحة الجسد فثمرة هذا العلم طب القلوب والأرواح المتوصل به إلى حياة تدوم أبد الآباد فأين منه الطب الذي يعالج به الأجساد وهي معرضة بالضرورة للفساد في أقرب الآماد فنسأل الله سبحانه التوفيق للرشاد والسداد إنه كريم جواد

كتاب العلم

وفيه سبعة أبواب الباب الأول في فضل العلم والتعليم والتعلم

الباب الثاني في فرض العين وفرض الكفاية من العلوم وبيان حد الفقه والكلام من علم الدين وبيان علم الآخرة وعلم الدنيا

الباب الثالث فيما تعده العامة من علوم الدين وليس منه وفيه بيان جنس العلم المذموم وقدره

الباب الرابع في آفات المناظرة وسبب اشتغال الناس بالخلاف والجدل

الباب الخامس في آداب المعلم والمتعلم

الباب السادس في آفات العلم والعلماء والعلامات الفارقة بين علماء الدنيا والآخرة

الباب السابع في العقل وفضله وأقسامه وما جاء فيه من الأخبار

الباب الأول في فضل العلم والتعليم والتعلم وشواهده من النقل والعقل

فضيلة العلم

شواهدها من القرآن قَوْلُهُ عَزَّ وَجَلَّ شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بالقسط فانظر


الجزء:  ¦ الصفحة: 4

كَيْفَ بَدَأَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى بِنَفْسِهِ وَثَنَّى بِالْمَلَائِكَةِ وَثَلَّثَ بِأَهْلِ الْعِلْمِ وَنَاهِيكَ بِهَذَا شَرَفًا وَفَضْلًا وجلاء ونبلاً وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى {يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا منكم والذين أوتوا العلم درجات} قال ابن عباس رضي الله عنهما للعلماء درجات فوق المؤمنين بسبعمائة درجة ما بين الدرجتين مسيرة خمسمائة عام

وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ {قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يعلمون والذين لا يعلمون} وَقَالَ تَعَالَى {إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ العلماء} وقال تعالى {قل كفى بالله شهيداً بيني وبينكم ومن عنده علم الكتاب} وقال تعالى {قال الذي عنده علم من الكتاب أنا آتيك به} تنبيهاً على أنه اقتدر بقوة العلم

وقال عز وجل {وقال الذين أوتوا العلم ويلكم ثواب الله خير لمن آمن وعمل صالحاً} بين أن عظم قدر الآخرة يعلم بالعلم

وقال تعالى {وتلك الأمثال نضربها للناس وما يعقلها إلا العالمون} وَقَالَ تَعَالَى {وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ} رَدَّ حُكْمَهُ فِي الْوَقَائِعِ إِلَى اسْتِنْبَاطِهِمْ وَأَلْحَقَ رُتْبَتَهُمْ بِرُتْبَةِ الْأَنْبِيَاءِ فِي كَشْفِ حُكْمِ اللَّهِ

وقيل في قوله تعالى يا بني آدم قد أنزلنا عليكم لباسا يواري سوءاتكم يعني العلم وريشاً يعني اليقين ولباس التقوى يعني الحياء

وقال عز وجل {ولقد جئناهم بكتاب فصلناه على علم} وقال تعالى {فلنقصن عليهم بعلم} وقال عز وجل {بل هو آيات بينات في صدور الذين أوتوا العلم} وقال تعالى {خلق الإنسان علمه البيان} وإنما ذكر ذلك في معرض الامتنان

وَأَمَّا الْأَخْبَارُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَيُلْهِمْهُ رُشْدَهُ (1) وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعُلَمَاءُ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ (2) وَمَعْلُومٌ أَنَّهُ لَا رُتْبَةَ فَوْقَ النُّبُوَّةِ وَلَا شَرَفَ فوق شرف الوراثة لتلك الرتبة

وقال صلى الله عليه وسلم يستغفر للعالم ما في السموات والأرض (3) وأي منصب يزيد على منصب من تشتغل ملائكة السموات والأرض بالاستغفار له

وقال صلى الله عليه وسلم إن الحكمة تزيد الشريف شرفاً وترفع المملوك حتى يدرك مدارك الملوك (4) وقد نبه بهذا على ثمراته في الدنيا ومعلوم أن الآخرة خير وأبقى

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَصْلَتَانِ لَا يكونان في منافق حسن سمت وفقه في الدين (5) ولا تشكن في الحديث لنفاق بعض فقهاء الزمان فإنه ما أراد به الفقه الذي ظننته وسيأتي معنى الفقه

وأدنى درجات الفقيه أن يعلم أن الآخرة خير من الدنيا وهذه المعرفة إذا صدقت وغلبت عليه برىء بها من النفاق والرياء

وقال صلى الله عليه وسلم أفضل الناس المؤمن العالم الذي إن احتيج إليه نفع وإن استغني عنه أغنى نفسه (6) وقال صلى الله عليه وسلم الإيمان عريان ولباسه التقوى وزينته الحياء وثمرته العلم (7) وقال صلى الله عليه وسلم أقرب الناس من درجة النبوة أهل العلم والجهاد أما أهل العلم فدلوا الناس على ما جاءت به الرسل وأما أهل الجهاد فجاهدوا بأسيافهم

 

(1) حديث مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدين ويلهمه رشده متفق عليه من حديث معاوية دون قوله ويلهمه رشده وهذه الزيادة عند الطبراني في الكبير

(2) حديث العلماء ورثة الأنبياء أخرجه أبو داود والترمذي وابن ماجه وابن حبان في صحيحه من حديث أبي الدرداء

(3) حديث يستغفر للعالم ما في السموات والأرض هو بعض حديث أبي الدرداء المتقدم

(4) حديث الحكمة تزيد الشريف شرفاً الحديث أخرجه أبو نعيم في الحلية وابن عبد البر في بيان العلم وعبد الغني الأزدي في آداب المحدث من حديث أنس بإسناد ضعيف

(5) حديث خصلتان لا تجتمعان في منافق الحديث أخرجه الترمذي من حديث أبي هريرة وقال حديث غريب

(6) حديث أفضل الناس المؤمن العالم الحديث أخرجه البيهقي في شعب الإيمان موقوفاً على أبي الدرداء بإسناد ضعيف ولم أره مرفوعا

(7) حديث الإيمان عريان الحديث أخرجه الحاكم في تاريخ نيسابور من حديث أبي الدرداء بإسناد ضعيف


الجزء:  ¦ الصفحة: 5

على ما جاءت به الرسل (1)

وقال صلى الله عليه وسلم لموت قبيلة أيسر من موت عالم (2) وقال عليه الصلاة والسلام الناس معادن كمعادن الذهب والفضة فخيارهم في الجاهلية خيارهم في الإسلام إذا فقهوا (3) وقال صلى الله عليه وسلم يوزن يوم القيامة مداد العلماء بدم الشهداء (4) وقال صلى الله عليه وسلم من حفظ على أمتي أربعين حديثاً من السنة حتى يؤديها إليهم كنت له شفيعاً وشهيداً يَوْمَ الْقِيَامَةِ (5) وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ من حمل من أمتي أربعين حديثاً لقي الله عز وجل يوم القيامة فقيهاً عالماً (6) وقال صلى الله عليه وسلم من تفقه في دين الله عز وجل كفاه الله تعالى ما أهمه وَرَزَقَهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ (7) وَقَالَ صَلَّى الله عليه وسلم أوحى الله عز وجل إلى إبراهيم عليه السلام يا إبراهيم إني عليم أحب كل عليم (8) وقال صلى الله عليه وسلم العالم أمين الله سبحانه في الأرض (9) وقال صلى الله عليه وسلم صنفان من أمتي إذا صلحوا صلح الناس وإذا فسدوا فسد الناس الأمراء والفقهاء (10) وقال صلى الله عليه وسلم إِذَا أَتَى عَلَيَّ يَوْمٌ لَا أَزْدَادُ فِيهِ عِلْمًا يُقَرِّبُنِي إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَلَا بُورِكَ لِي فِي طُلُوعِ شَمْسِ ذَلِكَ الْيَوْمِ (11) وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي تَفْضِيلِ الْعِلْمِ عَلَى الْعِبَادَةِ وَالشَّهَادَةِ فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَى رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِي (12) فَانْظُرْ كَيْفَ جَعَلَ الْعِلْمَ مُقَارِنًا لِدَرَجَةِ النُّبُوَّةِ وَكَيْفَ حَطَّ رُتْبَةَ الْعَمَلِ الْمُجَرَّدِ عَنِ الْعِلْمِ وَإِنْ كَانَ الْعَابِدُ لَا يَخْلُو عَنْ عِلْمٍ بِالْعِبَادَةِ الَّتِي يُوَاظِبُ عَلَيْهَا وَلَوْلَاهُ لَمْ تَكُنْ عِبَادَةٌ وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ على سائر الكواكب (13) وقال صلى الله عليه وسلم يشفع يوم القيامة ثلاثة الأنبياء ثم العلماء ثم الشهداء (14) فأعظم بمرتبة هي تلو النبوة وفوق الشهادة مع ما ورد في فضل الشهادة

وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ما عبد الله تعالى بشيء أفضل من فقه في الدين ولفقيه واحد أشد على الشيطان من ألف عابد ولكل شيء عماد وعماد هذا الدين الفقه (15) وقال صلى الله عليه وسلم خير دينكم أيسره وخير العبادة الفقه (16) وقال صلى الله عليه وسلم فضل المؤمن العالم على

 

(1) حديث أقرب الناس من درجة النبوة أهل العلم والجهاد الحديث أخرجه أبو نعيم في فضل العالم العفيف من حديث ابن عباس بإسناد ضعيف

(2) حديث لموت قبيلة أيسر من موت عالم أخرجه الطبراني وابن عبد البر من حديث أبي الدرداء وأصل الحديث عند أبي الدرداء

(3) حديث الناس معادن الحديث متفق عليه من حديث أبي هريرة

(4) حديث يوزن يوم القيامة مداد العلماء ودماء الشهداء أخرجه ابن عبد البر من حديث أبي الدرداء بسند ضعيف

(5) حديث من حفظ على أمتي أربعين حديثاً من السنة حتى يؤديها إليهم كنت له شفيعاً وشهيداً يوم القيامة أخرجه ابن عبد البر في العلم من حديث ابن عمر وضعفه

(6) حديث من حمل من أمتي أربعين حديثاً لقي الله يوم القيامة فقيهاً عالماً أخرجه ابن عبد البر من حديث أنس وضعفه

(7) حديث من تفقه في دين الله كفاه الله همه الحديث رواه الخطيب في التاريخ من حديث عبد الله بن جزء الزبيدي بإسناد ضعيف

(8) حديث أوحى الله إلى إبراهيم يا إبراهيم إني عليم أحب كل عليم ذكر ابن عبد البر تعليقا ولم أظفر له بإسناد

(9) حديث العالم أمين الله في الأرض أخرجه ابن عبد البر من حديث معاذ بسند ضعيف

(10) حديث صنفان من أمتي إذا صلحوا صلح الناس الحديث أخرجه ابن عبد البر وأبو نعيم من حديث ابن عباس بسند ضعيف

(11) حديث إِذَا أَتَى عَلَيَّ يَوْمٌ لَا أَزْدَادُ فِيهِ علماً يقربني الحديث أخرجه الطبراني في الأوسط وأبو نعيم في الحلية وابن عبد البر في العلم من حديث عائشة بإسناد ضعيف

(12) حديث فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَى رجل من أصحابي أخرجه الترمذي من حديث أبي أمامة وقال حسن صحيح

(13) حديث فَضْلُ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ البدر على سائر الكواكب أخرجه أبو داود والترمذي والنسائي وابن حبان وهو قطعة من حديث أبي الدرداء المتقدم

(14) حديث يشفع يوم القيامة الأنبياء ثم العلماء ثم الشهداء رواه ابن ماجه من حديث عثمان بن عفان بإسناد ضعيف

(15) حديث ما عبد الله بشيء أفضل من فقه في الدين الحديث رواه الطبراني في الأوسط وأبو بكر الآجري في كتاب فضل العلم وأبو نعيم في رياضة المتعلمين من حديث أبي هريرة بإسناد ضعيف وعند الترمذي وابن ماجه من حديث ابن عباس بسند ضعيف فقيه أشد على الشيطان من ألف عابد

(16) حديث خير دينكم أيسره وأفضل العبادة الفقه أخرجه ابن عبد البر من حديث أنس بسند ضعيف والشطر الأول عند أحمد من حديث محجن ابن الأدرع بإسناد جيد والشطر الثاني عند الطبراني من حديث ابن عمر بسند ضعيف


الجزء:  ¦ الصفحة: 6

المؤمن العابد بسبعين درجة (1) وقال صلى الله عليه وسلم إنكم أصبحتم في زمن كثير فقهاؤه قليل قراؤه وخطباؤه قليل سائلوه كثير معطوه العمل فيه خير من العلم وسيأتي على الناس زمان قليل فقهاؤه كثير خطباؤه قليل معطوه كثير سائلوه العلم فيه خير من العمل (2) وقال صلى الله عليه وسلم بين العالم والعابد مائة درجة بين كل درجتين حضر الجواد المضمر سبعين سنة (3) وقيل يا رسول الله أي الأعمال أفضل فقال العلم بالله عز وجل فقيل أي العلم تريد قال صلى الله عليه وسلم العلم بالله سبحانه فقيل له نسأل عن العمل وتجيب عن العلم فقال صلى الله عليه وسلم إن قليل العمل ينفع مع العلم بالله وإن كثير العمل لا ينفع مع الجهل بالله (4) وقال صلى الله عليه وسلم يبعث الله سبحانه العباد يوم القيامة ثم يبعث العلماء ثم يقول يا معشر العلماء إني لم أضع علمي فيكم إلا لعلمي بكم ولم أضع علمي فيكم لأعذبكم اذهبوا فقد غفرت لكم (5) نسأل الله حسن الخاتمة

وأما الآثار فقد قال عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لكميل يا كميل العلم خير من المال العلم يحرسك وأنت تحرس المال والعلم حاكم والمال محكوم عليه والمال تنقصه النفقة والعلم يزكو بالإنفاق

وقال علي أيضاً رضي الله عنه العالم أفضل من الصائم القائم المجاهد وإذا مات العالم ثلم في الإسلام ثلمة لا يسدها إلا خلف منه وقال رضي الله عنه نظماً

ما الفخر إلا لأهل العلم إنهم ... على الهدى لمن استهدى أدلاء

وقدر كل امرىء ما كان يحسنه ... والجاهلون لأهل العلم أعداء

ففز بعلم تعش حياً به أبداً ... الناس موتى وأهل العلم أحياء

وقال أبو الأسود ليس شيء أعز من العلم الملوك حكام على الناس والعلماء حكام على الملوك وقال ابن عباس رضي الله عنهما خير سليمان بن داود عليهما السلام بين العلم والمال والملك فاختار العلم فأعطي المال والملك معه وسئل ابن المبارك من الناس فقال العلماء قيل فمن الملوك قال الزهاد قيل فمن السفلة قال الذين يأكلون الدنيا بالدين ولم يجعل غير العالم من الناس لأن الخاصية التي يتميز بها الناس عن سائر البهائم هو العلم فالإنسان إنسان بما هو شريف لأجله وليس ذلك بقوة شخصه فإن الجمل أقوى منه ولا بعظمه فإن الفيل أعظم منه ولا بشجاعته فإن السبع أشجع منه ولا بأكله فإن الثور أوسع بطناً منه ولا ليجامع فإن أخس العصافير أقوى على السفاد منه بل لم يخلق إلا للعلم

وقال بعض العلماء ليت شعري أي شيء أدرك من فاته العلم وأي شيء فاته من أدرك العلم

وقال عليه الصلاة والسلام من أوتي القرآن فرأى أن أحداً أوتي خيراً منه فقد حقر ما عظم الله تعالى وَقَالَ فتح الموصلي رَحِمَهُ اللَّهُ أَلَيْسَ الْمَرِيضُ إِذَا مُنِعَ الطَّعَامَ وَالشَّرَابَ وَالدَّوَاءَ يَمُوتُ قَالُوا بَلَى قَالَ كَذَلِكَ الْقَلْبُ إِذَا مُنِعَ عَنْهُ الْحِكْمَةُ وَالْعِلْمُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ يَمُوتُ

وَلَقَدْ صَدَقَ فَإِنَّ غِذَاءَ الْقَلْبِ الْعِلْمُ وَالْحِكْمَةُ وَبِهِمَا حَيَاتُهُ كَمَا أَنَّ غِذَاءَ الْجَسَدِ الطَّعَامُ وَمَنْ فَقَدَ الْعِلْمَ فَقَلْبُهُ مَرِيضٌ وَمَوْتُهُ لَازِمٌ وَلَكِنَّهُ لَا يشعر به إذ حب الدنيا

 

(1) حديث فضل المؤمن العالم على المؤمن العابد بسبعين درجة أخرجه ابن عدي من حديث أبي هريرة بإسناد ضعيف ولأبي يعلى نحوه من حديث عبد البر بن عوف

(2) حديث إنكم أصبحتم في زمان كثير فقهاؤه الحديث أخرجه الطبراني من حديث حزام بن حكيم عن عمه وقيل عن أبيه وإسناده ضعيف

(3) حديث بين العالم والعابد مائة درجة الأصفهاني في الترغيب والترهيب من حديث ابن عمر عن أبيه وقال سبعون درجة بسند ضعيف وكذا رواه صاحب مسند الفردوس من حديث أبي هريرة

(4) حديث قيل يا رسول الله أي الأعمال أفضل فقال العلم بالله الحديث أخرجه ابن عبد البر من حديث أنس بسند ضعيف

(5) حديث يبعث الله العباد يوم القيامة ثم يبعث العلماء الحديث رواه الطبراني من حديث أبي موسى بسند ضعيف