Kamis, 15 April 2021

CARA MENUNDUKKAN HAWA NAFSU

CARA MENUNDUKKAN HAWA NAFSU 
============================


 ุงู„ุญَู…ْุฏُ ู„ู„ู‡ِ ุงู„َّุฐِูŠْ ุฃَู†ْุฒَู„َ ุงู„ุณَّูƒِูŠْู†َุฉَ ุนَู„َู‰ ู‚ُู„ُูˆْุจِ ุงْู„ู…ُุณْู„ِู…ِูŠْู†َ ุงู„ู…ُุคْู…ِู†ِูŠْู†َ، ูˆَุฌَุนَู„َ ุงู„ุถِّูŠุงَู‚َ ุนَู„َู‰ ู‚ُู„ُูˆْุจِ ุงู„ْู…ُู†َุงูِู‚ِูŠْู†َ ูˆَุงู„ْูƒَุงูِุฑِูŠْู†َ. ุฃَุดْู‡َุฏُ ุฃَู†ْ ู„َุง ุฅِู„َู‡َ ุฅِู„َّุง ุงู„ู„ู‡ُ ุงู„ْู…َู„ِูƒُ ุงْู„ุญَู‚ُّ ุงْู„ู…ُุจِูŠْู†ُ. ูˆَุฃَุดْู‡َุฏُ ุฃَู†َّ ู…ُุญَู…َّุฏًุง ุนَุจْุฏُู‡ُ ูˆَุฑَุณُูˆْู„ُู‡ُ ุงู„ุตَّุงุฏِู‚ُ ุงู„ْูˆَุนْุฏِ ุงู„ุฃَู…ِูŠْู†ِ. ุงู„ู„َّู‡ُู…َّ ุตَู„ِّ ูˆَุณَู„ู…ِّ ุนَู„َู‰ ุณَูŠِّุฏِู†َุง ูˆَู…َูˆْู„َุงู†َุง ู…ُุญَู…َّุฏٍ ุงู„ู…َุจْุนُูˆْุซِ ุฑَุญْู…َุฉً ู„ِู„ْุนَุงู„َู…ِูŠْู†َ ูˆَุนَู„َู‰ ุขู„ِู‡ِ ูˆَุตَุญْุจِู‡ِ ูˆَุงู„ุชَّุงุจِุนِูŠْู†َ ู„َุงุญَูˆْู„َ ูˆَู„َุงู‚ُูˆَّุฉَ ุฅِู„َّุง ุจِุงู„ู„ู‡ِ ุงْู„ุนَู„ِูŠِّ ุงْู„ุนَุธِูŠْู…ِ. ุฃَู…َّุง ุจَุนْุฏُ ุฃَูŠُّู‡ุงَ ุงْู„ุญَุงุถِุฑُูˆْู†َ ุงْู„ู…ُุณْู„ِู…ُูˆْู†َ ุฑَุญِู…َูƒُู…ُ ุงู„ู„ู‡ُ ุฃُูˆْุตِูŠْูƒُู…ْ ูˆَุฅِูŠَّุงูŠَ ุจِุชَู‚ْูˆَู‰ ุงู„ู„ู‡ِ. ู‚َุงู„َ ุงู„ู„ู‡ُ ุชَุนَุงู„ู‰َ ูِูŠ ูƒِุชَุงุจِู‡ِ ุงู„ْูƒَุฑِูŠْู…ِ: ูˆَู…َู† ูŠَุชَّู‚ِ ุงู„ู„َّู‡َ ูŠَุฌْุนَู„ ู„َّู‡ُ ู…َุฎْุฑَุฌًุง ูˆَูŠَุฑْุฒُู‚ْู‡ُ ู…ِู†ْ ุญَูŠْุซُ ู„َุง ูŠَุญْุชَุณِุจُ 


Jamaah shalat Jumat Rahimakumullรขh,  

Nafsu merupakan bagian dari makhluk Allah. Dengan berbekal nafsu pula manusia dapat menjalankan kehidupannya secara wajar sebagai makhluk hidup yang hidup di alam dunia. 

Berbagai kebutuhan penting manusia, seperti makan, minum, tidur, menikah, dan lain sebagainya, melibatkan nafsu di dalamnya.

Karena itu, secara alamiah nafsu bukanlah hal yang mutlak buruk. Namun demikian, nafsu memiliki kecederungan-kecenderungan untuk menyimpang. Kerena itu, dalam Islam terkandung anjuran kuat untuk mengendalikan nafsu. 

Memang manusia tak diperintahkan untuk memusnahkannya, namun nafsu harus memegang kuasa penuh atasnya agar selamat dari jebakan dan godaan-godaannya yang menjerumuskan. 

Pilihannya hanya dua, apakah kita menguasai nafsu atau justru dikuasai oleh nafsu. 

Dua pilihan ini pula yang menentukan apakah kita akan memperoleh kebahagiaan hakiki atau tidak. 

Imam Abu Hamid al-Ghazali pernah mengatakan dalam kitab Ihyรข’
‘ร›lรปmiddรฎn: 

ุงู„ุณَّุนَุงุฏَุฉُ ูƒُู„ُّู‡َุง ูِูŠ ุฃَู†ْ ูŠَู…ْู„ِูƒَ ุงู„ุฑَّุฌُู„ُ ู†َูْุณَู‡ُ ูˆَุงู„ุดَّู€ู€ู‚َู€ู€ุงูˆَุฉُ ูِูŠ ุฃَู†ْ ุชَู…ْู€ู„ِู€ูƒَู€ู€ู€ู‡ُ ู†َูْู€ุณُู€ู€ู€ู€ู‡ُ 

“Kebahagiaan adalah ketika seseorang mampu menguasai nafsunya. Kesengsaraan adalah saat seseorang dikuiasai nafsunya.”

Jamaah shalat Jumat Rahimakumullรขh, Tentu saja, usaha mengendalikan nafsu ini bukan perkejaan yang mudah. 

Karakter nafsu yang tak tampak dan kerapkali membawa efek kenikmatan menjadikannya sebagai musuh paling sulit untuk diperangi.

Rasulullah sendiri mengistilahkan ikhtiar pengendalian nafsu ini dengan “jihad”, yakni jihรขdun nafsi. Sepulang dari perang badar, Nabi ๏ทบ bersabda, “Kalian semua pulang dari sebuah pertempuran kecil dan bakal menghadapi pertempuran yang lebih besar. 

Lalu ditanyakan kepada Rasulullah ๏ทบ, ‘Apakah pertempuran akbar itu, wahai Rasulullah?’ Rasul menjawab, ‘jihad (memerangi) hawa nafsu’.” 

Nafsu menjadi musuh paling berat dan berbahaya karena yang dihadapi adalah diri sendiri. 

Ia menyelinap ke dalam diri hamba yang lalai, lalu memunculkan perilaku-perilaku tercela, seperti ujub, pamer, iri, meremehkan orang lain, dusta, khianat, memakan penghasilan haram, dan seterusnya. 

Lantas, bagaimana cara efektif yang bisa kita ikhtiarkan untuk jihรขdun nafsi, jihad mengendalikan nafsu ini?

Jamaah shalat Jumat Rahimakumullah, Dalam Futuhat Al-Makkiyah karya Muhyiddin ibn Arabi, diceritakan bahwa ketika pertama kali menciptakan nafsu, Allah bertanya, "Siapa Aku?". Nafsu membangkang dan malah balik bertanya, "Siapa pula aku ini". 

Allah ๏ทป murka, kemudian memasukkan nafsu dalam lautan lapar sampai seribu tahun. 

Kemudian dientas dan ditanya lagi, "Siapa Aku?". Setelah dihajar dengan lapar barulah nafsu mengakui siapa dirinya dan Tuhannya. "Engkau adalah Tuhanku Yang Maha Agung, dan aku hamba-Mu yang lemah". 

Sejalan dengan itu, Abu Sulaiman Ad-Daroni juga berkata, "Kunci dunia adalah kenyang dan kunci akhirat adalah lapar." Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani dalam kitab al-Minahus Saniyyah menjelaskan bahwa maksud dari perkataan ini adalah: Allah memberikan ilmu dan kebijaksanaan (hikmah) pada orang-orang yang berpuasa dan menjadikan kebodohan dan tindak kemaksiatan pada mereka yang kenyang. 

Makan kenyang dan nafsu adalah dua komponen yang saling mendukung. Terkait hal ini, menurut Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, hal pertama yang penting dilakukan untuk mengendalikan hawa nafsu adalah  melalui puasa. 

Nafsu ibarat kayu kering, sementara makanan adalah bahan bakarnya. Api yang menjalar pada kayu itu akan kian berkobar manakala bahan bakar disuplai tanpa batas. 

Untuk memadamkannya, perlu strategi untuk mengurangi, bahkan menghabiskan, bahan bakar tersebut. Secara luas, berpuasa juga bisa dimaknai menahan diri dari berbagai keinginan-keinginan yang tak terlalu penting. 

Meskipun halal, mencegah diri—misalnya—dari keinginan baju baru yang lebih mewah dari yang sudah ada termasuk cara kita untuk menguasai nafsu. Contoh lainnya: menyisihkan harta untuk membantu orang lain yang butuh ketimbang untuk membeli perhiasan, dan sejenisnya. 

Sikap-sikap seperti ini dalam jangka panjang akan menjauhkan hati manusia dari sikap tamak, mau menang sendiri, egois, dan lain sebagainya. 

Jamaah shalat Jumat rahimakumullah, 

Cara kedua untuk menundukkan hawa nafsu sebagaimana tertuang dalam al-Minahus Saniyyah adalah mengurangi tidur. 

Ini bukan berarti kita begadang dengan ragam kegiatan yang mubazir. Tidur, sebagaimana juga makanan, bisa menjadi sumber yang menutup kejernihan kita dalam menerima cahaya Tuhan. Mengurangi tidur berarti bergiat bagun menunaikan shalat malam, memperbanyak dzikir, serta bermunajat kepada Allah, dan kegiatan-kegiatan "berat" lainnya. Rasululah ๏ทบ bersabda: 

ุนَู„َูŠْูƒُู…ْ ุจِู‚ِูŠَุงู…ِ ุงู„ู„َّูŠْู„ِ ، ูَุฅِู†َّู‡ُ ุฏَุฃْุจُ ุงู„ุตَّุงู„ِุญِูŠู†َ ู‚َุจْู„َูƒُู…ْ ، ูˆَู‡ُูˆَ ู‚ُุฑْุจَุฉٌ ุฅِู„َู‰ ุฑَุจِّูƒُู…ْ ، ูˆَู…َูƒْูَุฑَุฉٌ ู„ِู„ุณَّูŠِّุฆَุงุชِ ، ูˆَู…َู†ْู‡َุงุฉٌ ู„ِู„ุฅِุซْู…ِ 

“Laksanakanlah qiyamul lail (shalat malam) karena ia merupakan kebiasaan orang-orang saleh sebelum kalian, mendekatkan kepada Rabb kalian, menghapus dosa-dosa kalian, dan menjauhkan kalian dari berbuat dosa.” (HR at-Tirmidzi).

Bisa dikatakan, nafsu ibarat hewan beringas dan nakal. Untuk menjinakkannya, menjadikan hewan itu lapar dan payah merupakan pilihan strategi yang efektif. 

Selama proses penundukkan itu, nafsu mesti disibukkan dengan hal-hal positif agar semakin jinak dan tidak buas. 

Untuk menjernihkan rohani, Syekh Abu Hasan Al-Azzaz rahimahullah pernah mengingatkan tiga hal, 

Tidak makan kecuali di waktu sangat lapar

tidak tidur kecuali sangat kantuk

dan tidak berbicara kecuali bila sangat perlu. 

Kekayaan, makanan, dan tidur adalah tiga hal yang sangat akrab dengan keseharian kita. Saking akrabnya kadang kita tak merasakan ada masalah dalam tiga hal ini. 

Padahal—karena statusnya yang mubah—kerap kali kita mengumbar begitu saja keinginan-keinginan kita hingga terlena bahwa apa yang kita lakukan sama seperti menumpuk-numpuk kabut pekat dalam hati kita. 

Lama-lama kalbu kita pun semakin gelap, sehingga mudah sekali dikuasai nafsu buruk yang sudah dicegah. Semoga kita dikaruniai kekuatan untuk senantiasa bertobat, terbuai dengan kenikmatan yang fana, sadar akan kewajiban sebagai hamba, dan kelak meraih kebahagiaan hakiki berjumpa dengan Allah ๏ทบ. ร‚mรฎn. 
Wallรขhu a‘lam bish shawรขb. 

ุจَุงุฑَูƒَ ุงู„ู„ู‡ ู„ِูŠ ูˆَู„َูƒُู…ْ ูِู‰ ุงْู„ู‚ُุฑْุขู†ِ ุงْู„ุนَุธِูŠْู…ِ، ูˆَู†َูَุนَู†ِูŠ ูˆَุฅِูŠَّุงูƒُู…ْ ุจِู…َุงูِูŠْู‡ِ ู…ِู†ْ ุขูŠَุฉِ ูˆَุฐِูƒْุฑِ ุงู„ْุญَูƒِูŠْู…ِ ูˆَุชَู‚َุจَّู„َ ุงู„ู„ู‡ُ ู…ِู†َّุง ูˆَู…ِู†ْูƒُู…ْ ุชِู„ุงَูˆَุชَู‡ُ ูˆَุฅِู†َّู‡ُ ู‡ُูˆَ ุงู„ุณَّู…ِูŠْุนُ ุงู„ุนَู„ِูŠْู…ُ، ูˆَุฃَู‚ُูˆْู„ُ ู‚َูˆْู„ِูŠ ู‡َุฐَุง ูَุฃุณْุชَุบْูِุฑُ ุงู„ู„ู‡َ ุงู„ุนَุธِูŠْู…َ ุฅِู†َّู‡ُ ู‡ُูˆَ ุงู„ุบَูُูˆْุฑُ ุงู„ุฑَّุญِูŠْู… 

Khutbah II 

ุงَู„ْุญَู…ْุฏُ ู„ู„ู‡ِ ุนَู„ู‰َ ุฅِุญْุณَุงู†ِู‡ِ ูˆَุงู„ุดُّูƒْุฑُ ู„َู‡ُ ุนَู„ู‰َ ุชَูˆْูِูŠْู‚ِู‡ِ ูˆَุงِู…ْุชِู†َุงู†ِู‡ِ. ูˆَุฃَุดْู‡َุฏُ ุฃَู†ْ ู„ุงَ ุงِู„َู‡َ ุฅِู„ุงَّ ุงู„ู„ู‡ُ ูˆَุงู„ู„ู‡ُ ูˆَุญْุฏَู‡ُ ู„ุงَ ุดَุฑِูŠْูƒَ ู„َู‡ُ ูˆَุฃَุดْู‡َุฏُ ุฃู†َّ ุณَูŠِّุฏَู†َุง ู…ُุญَู…َّุฏًุง ุนَุจْุฏُู‡ُ ูˆَุฑَุณُูˆْู„ُู‡ُ ุงู„ุฏَّุงุนِู‰ ุฅู„ู‰َ ุฑِุถْูˆَุงู†ِู‡ِ. ุงู„ู„ู‡ُู…َّ ุตَู„ِّ ุนَู„َู‰ ุณَูŠِّุฏِู†َุง ู…ُุญَู…َّุฏٍ ูˆِุนَู„َู‰ ุงَู„ِู‡ِ ูˆَุฃَุตْุญَุงุจِู‡ِ ูˆَุณَู„ِّู…ْ ุชَุณْู„ِูŠْู…ًุง ูƒِุซูŠْุฑًุง ุฃَู…َّุง ุจَุนْุฏُ ูَูŠุงَ ุงَูŠُّู‡َุง ุงู„ู†َّุงุณُ ุงِุชَّู‚ُูˆุง ุงู„ู„ู‡َ ูِูŠْู…َุง ุฃَู…َุฑَ ูˆَุงู†ْุชَู‡ُูˆْุง ุนَู…َّุง ู†َู‡َู‰ ูˆَุงุนْู„َู…ُูˆْุง ุฃَู†َّ ุงู„ู„ู‡َ ุฃَู…َุฑَูƒُู…ْ ุจِุฃَู…ْุฑٍ ุจَุฏَุฃَ ูِูŠْู‡ِ ุจِู†َูْุณِู‡ِ ูˆَุซَู€ู†َู‰ ุจِู…َู„ุข ุฆِูƒَุชِู‡ِ ุจِู‚ُุฏْุณِู‡ِ ูˆَู‚َุงู„َ ุชَุนุงَู„َู‰ ุฅِู†َّ ุงู„ู„ู‡َ ูˆَู…َู„ุขุฆِูƒَุชَู‡ُ ูŠُุตَู„ُّูˆْู†َ ุนَู„ู‰َ ุงู„ู†َّุจِู‰ ูŠุข ุงَูŠُّู‡َุง ุงู„َّุฐِูŠْู†َ ุขู…َู†ُูˆْุง ุตَู„ُّูˆْุง ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„ِّู…ُูˆْุง ุชَุณْู„ِูŠْู…ًุง. ุงู„ู„ู‡ُู…َّ ุตَู„ِّ ุนَู„َู‰ ุณَูŠِّุฏِู†َุง ู…ُุญَู…َّุฏٍ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„ู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„ِّู…ْ ูˆَุนَู„َู‰ ุขู„ِ ุณَูŠِّุฏِู†ุงَ ู…ُุญَู…َّุฏٍ ูˆَุนَู„َู‰ ุงَู†ْุจِูŠุขุฆِูƒَ ูˆَุฑُุณُู„ِูƒَ ูˆَู…َู„ุขุฆِูƒَุฉِ ุงْู„ู…ُู‚َุฑَّุจِูŠْู†َ ูˆَุงุฑْุถَ ุงู„ู„ّู‡ُู…َّ ุนَู†ِ ุงْู„ุฎُู„َูَุงุกِ ุงู„ุฑَّุงุดِุฏِูŠْู†َ ุฃَุจِู‰ ุจَูƒْุฑٍ ูˆَุนُู…َุฑ ูˆَุนُุซْู…َุงู† ูˆَุนَู„ِู‰ ูˆَุนَู†ْ ุจَู‚ِูŠَّุฉِ ุงู„ุตَّุญَุงุจَุฉِ ูˆَุงู„ุชَّุงุจِุนِูŠْู†َ ูˆَุชَุงุจِุนِูŠ ุงู„ุชَّุงุจِุนِูŠْู†َ ู„َู‡ُู…ْ ุจِุงِุญْุณَุงู†ٍ ุงِู„َู‰ูŠَูˆْู…ِ ุงู„ุฏِّูŠْู†ِ ูˆَุงุฑْุถَ ุนَู†َّุง ู…َุนَู‡ُู…ْ ุจِุฑَุญْู…َุชِูƒَ ูŠَุง ุฃَุฑْุญَู…َ ุงู„ุฑَّุงุญِู…ِูŠْู†َ ุงَู„ู„ู‡ُู…َّ ุงุบْูِุฑْ ู„ِู„ْู…ُุคْู…ِู†ِูŠْู†َ ูˆَุงْู„ู…ُุคْู…ِู†َุงุชِ ูˆَุงْู„ู…ُุณْู„ِู…ِูŠْู†َ ูˆَุงْู„ู…ُุณْู„ِู…َุงุชِ ุงَู„ุงَุญْูŠุขุกُ ู…ِู†ْู‡ُู…ْ ูˆَุงْู„ุงَู…ْูˆَุงุชِ ุงู„ู„ู‡ُู…َّ ุฃَุนِุฒَّ ุงْู„ุฅِุณْู„ุงَู…َ ูˆَุงْู„ู…ُุณْู„ِู…ِูŠْู†َ ูˆَุฃَุฐِู„َّ ุงู„ุดِّุฑْูƒَ ูˆَุงْู„ู…ُุดْุฑِูƒِูŠْู†َ ูˆَุงู†ْุตُุฑْ ุนِุจَุงุฏَูƒَ ุงْู„ู…ُูˆَุญِّุฏِูŠَّุฉَ ูˆَุงู†ْุตُุฑْ ู…َู†ْ ู†َุตَุฑَ ุงู„ุฏِّูŠْู†َ ูˆَุงุฎْุฐُู„ْ ู…َู†ْ ุฎَุฐَู„َ ุงْู„ู…ُุณْู„ِู…ِูŠْู†َ ูˆَ ุฏَู…ِّุฑْ ุฃَุนْุฏَุงุกَ ุงู„ุฏِّูŠْู†ِ ูˆَุงุนْู„ِ ูƒَู„ِู…َุงุชِูƒَ ุฅِู„َู‰ ูŠَูˆْู…َ ุงู„ุฏِّูŠْู†ِ. ุงู„ู„ู‡ُู…َّ ุงุฏْูَุนْ ุนَู†َّุง ุงْู„ุจَู„ุงَุกَ ูˆَุงْู„ูˆَุจَุงุกَ ูˆَุงู„ุฒَّู„ุงَุฒِู„َ ูˆَุงْู„ู…ِุญَู†َ ูˆَุณُูˆْุกَ ุงْู„ูِุชْู†َุฉِ ูˆَุงْู„ู…ِุญَู†َ ู…َุง ุธَู‡َุฑَ ู…ِู†ْู‡َุง ูˆَู…َุง ุจَุทَู†َ ุนَู†ْ ุจَู„َุฏِู†َุง ุงِู†ْุฏُูˆู†ِูŠْุณِูŠَّุง ุฎุขุตَّุฉً ูˆَุณَุงุฆِุฑِ ุงْู„ุจُู„ْุฏَุงู†ِ ุงْู„ู…ُุณْู„ِู…ِูŠْู†َ ุนุขู…َّุฉً ูŠَุง ุฑَุจَّ ุงْู„ุนَุงู„َู…ِูŠْู†َ. ุฑَุจَّู†َุง ุขุชِู†ุงَ ูِู‰ ุงู„ุฏُّู†ْูŠَุง ุญَุณَู†َุฉً ูˆَูِู‰ ุงْู„ุขุฎِุฑَุฉِ ุญَุณَู†َุฉً ูˆَู‚ِู†َุง ุนَุฐَุงุจَ ุงู„ู†َّุงุฑِ. ุฑَุจَّู†َุง ุธَู„َู…ْู†َุง ุงَู†ْูُุณَู†َุง ูˆَุงุฅู†ْ ู„َู…ْ ุชَุบْูِุฑْ ู„َู†َุง ูˆَุชَุฑْุญَู…ْู†َุง ู„َู†َูƒُูˆْู†َู†َّ ู…ِู†َ ุงْู„ุฎَุงุณِุฑِูŠْู†َ. ุนِุจَุงุฏَุงู„ู„ู‡ِ ! ุฅِู†َّ ุงู„ู„ู‡َ ูŠَุฃْู…ُุฑُู†َุง ุจِุงْู„ุนَุฏْู„ِ ูˆَุงْู„ุฅِุญْุณَุงู†ِ ูˆَุฅِูŠْุชุขุกِ ุฐِูŠ ุงْู„ู‚ُุฑْุจู‰َ ูˆَูŠَู†ْู‡َู‰ ุนَู†ِ ุงْู„ูَุญْุดุขุกِ ูˆَุงْู„ู…ُู†ْูƒَุฑِ ูˆَุงْู„ุจَุบْูŠ ูŠَุนِุธُูƒُู…ْ ู„َุนَู„َّูƒُู…ْ ุชَุฐَูƒَّุฑُูˆْู†َ ูˆَุงุฐْูƒُุฑُูˆุง ุงู„ู„ู‡َ ุงْู„ุนَุธِูŠْู…َ ูŠَุฐْูƒُุฑْูƒُู…ْ ูˆَุงุดْูƒُุฑُูˆْู‡ُ ุนَู„ู‰َ ู†ِุนَู…ِู‡ِ ูŠَุฒِุฏْูƒُู…ْ ูˆَู„َุฐِูƒْุฑُ ุงู„ู„ู‡ِ ุฃَูƒْุจَุฑْ 

(Sanhaji)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar