Senin, 31 Juli 2017

Tidak Benar NU Lebih Mesra dengan Non-Muslim

Tidak Benar NU Lebih Mesra dengan Non-Muslim

NU Online 

Saat ini, banyak serangan-serangan yang dialamatkan ke Nahdlatul Ulama (NU) karena organisasi yang didirikan KH Hasyim Asy’ari itu dianggap mesra dengan umat agama lain dan galak dengan ormas sesama Islam. 

Menanggapi hal itu, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid menjelaskan bahwa pada dasarnya NU itu menjalin hubungan perasaudaraan dengan semua pihak, baik sesama umat Islam ataupun umat agama lain. 

Namun demikian, Alissa mengaku dilema dengan kelompok-kelompok yang ingin meniadakan NU dan bahkan ingin merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

“Bagaimana caranya kita membangun persaudaraan dengan orang-orang yang ingin meniadakan NU karena NU dianggap tidak Islam,” kata Alissa di Cikini, Jakarta, Senin (31/7).

Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa tradisi Islam di Indonesia itu pada dasarnya ramah, damai, dan menghormati adat budaya setempat. 

Namun setelah datangnya paham-paham transnasional yang menganggap praktik keislaman di Indonesia itu tidak lah benar karena tidak murni lagi, maka ‘perselisihan’ itu menjadi tidak terhindarkan lagi.

“Tradisi Islam Indonesia itu merangkul dan menjalin persaudaraan, bukan memukul,” jelasnya. 

Minggu, 30 Juli 2017

Hukum Sunah Memanah dan Berkuda?


Hukum Sunah Memanah dan Berkuda?

Foto: Ilustrasi

Akhir-akhir ini banyak orang yang berlomba-lomba mengamalkan hal-hal yang dianggap sebagai sunah Rasulullah SAW. Semua hal yang mereka baca dari hadits-hadits Rasul seketika langsung diamalkan dengan anggapan bahwa hal tersebut merupakan sunah Rasul SAW.

Sebut saja memanah dan berkuda. Dua hal ini menjadi hal yang sering digaungkan lewat medsos-medsos terkait dengan anjuran dan kesunahan memanah. Tentu hal ini menjadi pertanyaan besar di benak kita. Benarkah memanah atau berkuda itu sunah? Sehingga sangat dianjurkan untuk dipelajari bahkan sampai dilakukan di dalam masjid.

Beberapa literatur hadits yang menunjukkan keutamaan memanah adalah hanya ada beberapa hadits. Salah satunya yang diriwayatkan merupakan tafsir Rasulullah atas surat Al-Anfal ayat 60.

وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ

Artinya, “Siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi.”

Setelah mengucapkan ayat itu kemudian nabi mengulang-ulang sebuah kalimat sebanyak tiga kali untuk menafsirkan ayat dari Al-Anfal yang dibacanya.

ألا إِنَّ الْقُوَّةَ الرَّمْيُ

Artinya, “Ketahuilah, sesungguhnya yang dimaksud dengan kekuatan itu adalah memanah.”

Dalam hadits lain sebagaimana ditulis Ibnu Hajar dalam Fathul Bari-nya juga dijelaskan terkait keutamaan seorang pemanah yang masuk surga karena anak panahnya. Hadits ini diriwayatkan oleh Uqbah bin Amir. Juga ada satu hadis lagi yang menjelaskan kerugian bagi orang yang mampu memanah tapi tidak mengamalkan kemampuannya, bahkan dalam riwayat Ibnu Majah orang yang tidak mengamalkan kemampuannya dalam memanah dikatakan sebagai orang yang durhaka kepada Rasul (maksiat dan berdosa).

Tampaknya, hadits-hadits tersebutlah yang dijadikan landasan kesunahan memanah sehingga sebagian dari kita gencar sekali mengampanyekan memanah hingga menjadikan masjid sebagai tempat memanah.

Tentunya, masyarakat harus mengetahui bagaimana kategori sebuah tindakan rasul itu sebagai sunah atau tidak. Atau dalam bahasa Kiai Ali Mustafa Yaqub, kita harus membedakan antara sunah atau agama dan budaya dalam membaca hadits.

Membaca hadits di atas, pensyarah Sunan Abu Dawud, Abdul Muhsin bin Hammad Al-Abbad mengatakan, hadits di atas diungkapkan kepada para sahabat pada masa perang kekurangan pasukan sehingga senjata yang paling efektif untuk menunjang peperangan saat itu adalah panah mengingat panah adalah satu-satunya senjata yang ada saat itu.

Ibnu Hajar juga menekankan bahwa poin penting dalam hadits-hadits di atas adalah kemampuan untuk mengalahkan musuh yang lebih efektif. Maka Rasul pada saat itu melihat bahwa panah adalah senjata yang paling efektif. Rasul akan sangat kesal sekali pada saat itu jika ada seorang pemanah jitu tapi menyia-siakan kemampuannya.

Hal ini tentu sangat berbeda dengan senjata sekarang yang sudah semakin berkembang dan dinamis. Bahkan saat ini juga bukan masa-masa perang sebagaimana anjuran menguasai memanah yang dikatakan Rasul pada saat itu.

Dalam metode memahami hadits, kita diharuskan untuk bisa membedakan antara sarana yang berubah dan tujuan yang tetap. Dalam hal ini, panah adalah sebuah sarana, bukan tujuan. Sedangkan tujuannya adalah mampu mengalahkan lawan.

Sehingga dari penjelasan beberapa ahli di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa panah adalah hanya sarana yang bisa digunakan pada saat itu. Jika pada masa sekarang, ketika musuh menyerang kita dari berbagai hal mulai persenjataan, siber, kecerdasan dan keilmuan yang lain, maka sunahnya adalah menguasai sarana-sarana yang digunakan oleh pihak lawan itu, tentunya bukan hanya memanah.

Jika berlatih memanah dan ingin ahli menjadi pemanah, hukumnya hanya mubah. Tetapi menganggap pemanah menjadi sebuah kesunahan yang akhirnya menimbulkan perilaku tidak etis seperti berlatih di masjid dan sebagainya apalagi sampai menyalahkan orang yang tidak mampu memanah adalah sebuah kesalahan. 

Wallahu alam.

Sabtu, 29 Juli 2017

PEDULI DENGAN SAUDARA MUSLIM

PEDULI DENGAN SAUDARA MUSLIM

Barangsiapa yang tidak peduli dengan urusan kaum Muslimin, maka ia bukan termasuk golongan kami.

((مَنْ لَمْ يَهْتَمَّ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ، فَلَيْسَ مِنَّا...)).

Hadits diatas dikeluarkan oleh al hakim,ath Thabrani, al baihaqi dll


Ya! Peduli dengan urusan kaum Muslimin hukumnya wajib! Namun harus tepat dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat dan kaidah-kaidahnya. Bahkan di dalam Sunan at-Tirmidzi telah di jelaskan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar dan 'Umar berbincang-bincang pada malam hari dan tidak tidur demi membicarakan dan menyelesaikan urusan kaum Muslimin.

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah saling bersaudara, karena itu damaikanlah dua saudaramu yang tengah bertikai dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian diberi rahmat”. (QS. Al Hujurat: 10)

“Perumpamaan orang yang beriman dalam cinta dan kasih sayang sesama mereka adalah bagaikan satu tubuh yang bila salah satu anggota tubuh mengeluh sakit maka seluruh anggota tubuh yang lain tidak dapat tidur dan selalu merasa panas”. (HR. Muslim)

“Seorang muslim dengan muslim yang lain adalah bersaudara. Ia tidak boleh berbuat zhalim dan aniaya kepada saudaranya yang muslim. Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa yang melepaskan seorang muslim dari suatu kesulitan, maka Allah akan melepaskannya dari kesulitan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat kelak.” (HR. Al-Bukhari no. 2442 dan Muslim no. 2580)

“Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya”. [HR Muslim]

Janganlah kalian saling dengki, saling menipu, saling marah dan saling memutuskan hubungan. Dan janganlah kalian menjual sesuatu yang telah dijual kepada orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, (dia) tidak menzaliminya dan mengabaikannya, tidak mendustakannya dan tidak menghinanya. Taqwa itu disini (seraya menunjuk dadanya sebanyak tiga kali). Cukuplah seorang muslim dikatakan buruk jika dia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim yang lain; haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.
(Hadits Riwayat Muslim).

“Barangsiapa yang melepaskan seorang mukmin dari suatu kesulitan dunia, maka Allah akan melepaskannya dari suatu kesulitan pada hari kiamat. Barangsiapa yang memberi kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim. Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya menuju surga. Tidaklah sekelompok orang berkumpul di suatu rumah (masjid) dari rumah-rumah Allah untuk membaca Al Qur’an dan saling mengajari di antara mereka, melainkan ketenangan akan turun kepada mereka, mereka akan diliputi oleh rahmat, dikelilingi oleh para malaikat, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka pada malaikat-malaikat yang berada di sisi-Nya. Barang siapa yang ketinggalan amalnya (untuk masuk surga), maka nasabnya (keturunannya) tidak akan bisa mempersegera dia (untuk masuk ke surga).” (HR. Muslim no. 2699)

“Tidaklah seseorang membiarkan seorang muslim di suatu tempat yang padanya dicela kemuliaannya dan dirusak kehormatannya melainkan Allah ta’ala akan membiarkannya di suatu tempat yang ia menyukai pertolongan-Nya.  Dan tidaklah seseorang menolong seorang muslim di suatu tempat yang padanya dicela kemuliaannya dan dirusak kehormatannya melainkan Allah akan menolongnya di suatu tempat yang ia menyukai pertolongan-Nya”. [HR Abu Dawud: 4884.]

“Barangsiapa yang di sisinya dighibah seorang mukmin lalu ia menolongnya maka Allah akan memberikan balasan kebaikan untuknya didunia dan akhirat. Dan barangsiapa yang di sisinya dighibah seorang mukmin, lalu ia tidak menolongnya maka Allah akan memberikan balasan keburukan untuknya di dunia dan akhirat”. [Telah mengeluarkan atsar ini al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 734.]

“Barangsiapa menolong saudaranya yang sedang ghaib (tidak berada di tempat) maka Allah akan menolongnya di dunia dan akhirat”. [HR al-Baihaqiy: 7637, ad-Dainuriy dan adl-Dliya’ al-Muqaddisiy.].

Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. [QS Muhammad/ 47: 7].

“Dan barangsiapa yang berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah juga akan berusaha memenuhi kebutuhannya”. [HR al-Bukhoriy: 2442]
Barangsiapa yang tidak peduli dengan urusan kaum Muslimin, maka ia bukan termasuk golongan kami.

((مَنْ لَمْ يَهْتَمَّ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ، فَلَيْسَ مِنَّا...)).

Hadits diatas dikeluarkan oleh al hakim, ath Thabrani, al baihaqi, dll. Di internet ada yang mengatakan hadits diatas riwayat Muslim, namun itu tidak benar.

Ya! Peduli dengan urusan kaum Muslimin hukumnya wajib! Namun harus tepat dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat dan kaidah-kaidahnya. Bahkan di dalam Sunan at-Tirmidzi telah di jelaskan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Bakar dan 'Umar berbincang-bincang pada malam hari dan tidak tidur demi membicarakan dan menyelesaikan urusan kaum Muslimin.

“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah saling bersaudara, karena itu damaikanlah dua saudaramu yang tengah bertikai dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian diberi rahmat”. (QS. Al Hujurat: 10)

“Perumpamaan orang yang beriman dalam cinta dan kasih sayang sesama mereka adalah bagaikan satu tubuh yang bila salah satu anggota tubuh mengeluh sakit maka seluruh anggota tubuh yang lain tidak dapat tidur dan selalu merasa panas”. (HR. Muslim)

“Seorang muslim dengan muslim yang lain adalah bersaudara. Ia tidak boleh berbuat zhalim dan aniaya kepada saudaranya yang muslim. Barangsiapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa yang melepaskan seorang muslim dari suatu kesulitan, maka Allah akan melepaskannya dari kesulitan pada hari kiamat. Dan barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutupi aibnya pada hari kiamat kelak.” (HR. Al-Bukhari no. 2442 dan Muslim no. 2580)

“Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya”. [HR Muslim]

Janganlah kalian saling dengki, saling menipu, saling marah dan saling memutuskan hubungan. Dan janganlah kalian menjual sesuatu yang telah dijual kepada orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, (dia) tidak menzaliminya dan mengabaikannya, tidak mendustakannya dan tidak menghinanya. Taqwa itu disini (seraya menunjuk dadanya sebanyak tiga kali). Cukuplah seorang muslim dikatakan buruk jika dia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas muslim yang lain; haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.
(Hadits Riwayat Muslim).

“Barangsiapa yang melepaskan seorang mukmin dari suatu kesulitan dunia, maka Allah akan melepaskannya dari suatu kesulitan pada hari kiamat. Barangsiapa yang memberi kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim. Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya menuju surga. Tidaklah sekelompok orang berkumpul di suatu rumah (masjid) dari rumah-rumah Allah untuk membaca Al Qur’an dan saling mengajari di antara mereka, melainkan ketenangan akan turun kepada mereka, mereka akan diliputi oleh rahmat, dikelilingi oleh para malaikat, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka pada malaikat-malaikat yang berada di sisi-Nya. Barang siapa yang ketinggalan amalnya (untuk masuk surga), maka nasabnya (keturunannya) tidak akan bisa mempersegera dia (untuk masuk ke surga).” (HR. Muslim no. 2699)

“Tidaklah seseorang membiarkan seorang muslim di suatu tempat yang padanya dicela kemuliaannya dan dirusak kehormatannya melainkan Allah ta’ala akan membiarkannya di suatu tempat yang ia menyukai pertolongan-Nya.  Dan tidaklah seseorang menolong seorang muslim di suatu tempat yang padanya dicela kemuliaannya dan dirusak kehormatannya melainkan Allah akan menolongnya di suatu tempat yang ia menyukai pertolongan-Nya”. [HR Abu Dawud: 4884.]

“Barangsiapa yang di sisinya dighibah seorang mukmin lalu ia menolongnya maka Allah akan memberikan balasan kebaikan untuknya didunia dan akhirat. Dan barangsiapa yang di sisinya dighibah seorang mukmin, lalu ia tidak menolongnya maka Allah akan memberikan balasan keburukan untuknya di dunia dan akhirat”. [Telah mengeluarkan atsar ini al-Bukhoriy di dalam al-Adab al-Mufrad: 734.]

“Barangsiapa menolong saudaranya yang sedang ghaib (tidak berada di tempat) maka Allah akan menolongnya di dunia dan akhirat”. [HR al-Baihaqiy: 7637, ad-Dainuriy dan adl-Dliya’ al-Muqaddisiy.].

Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. [QS Muhammad/ 47: 7].

“Dan barangsiapa yang berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah juga akan berusaha memenuhi kebutuhannya”. [HR al-Bukhoriy: 2442]

Menag: Dana Haji Boleh Diinvestasikan untuk Pembangunan Infrastruktur


Menag: Dana Haji Boleh Diinvestasikan untuk Pembangunan Infrastruktur

Menag Lukman Hakim Saifuddin.

NU Online

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan bahwa dana setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) boleh dikelola untuk hal-hal yang produktif, termasuk pembangunan infrastruktur. Kebolehan ini mengacu pada konstitusi maupun aturan fiqih. 

“Dana haji boleh digunakan untuk investasi infrastruktur selama memenuhi prinsip-prinsip syariah, penuh kehati-hatian, jelas menghasilkan nilai manfaat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan demi untuk kemaslahatan jamaah haji dan masyarakat luas,” ujar Menag Lukman melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu (29/7). 

Menag mengutip hasil Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia IV Tahun 2012 tentang Status Kepemilikan Dana Setoran BPIH Yang Masuk Daftar Tunggu (Waiting List). Disebutkan bahwa dana setoran BPIH bagi calon haji yang termasuk daftar tunggu dalam rekening Menteri Agama boleh di-tasharruf-kan untuk hal-hal yang produktif (memberikan keuntungan), antara lain penempatan di perbankan syariah atau diinvestasikan dalam bentuk sukuk. 

Hasil investasi itu menjadi milik calon jemaah haji. Adapun pengelola berhak mendapatkan imbalan yang wajar/tidak berlebihan. Namun demikian, dana BPIH  tidak boleh digunakan untuk keperluan apa pun kecuali untuk membiayai keperluan yang bersangkutan. 

Fatwa itu juga sejalan dengan aturan perundangan terkait pengelolaan dana haji. UU Nomor 34 tahun 2014 mengatur bahwa BPKH selaku Wakil akan menerima mandat dari calon jemaah haji selaku Muwakkil untuk menerima dan mengelola dana setoran BPIH. 

Mandat itu merupakan pelaksanaan dari akad wakalah yang diatur dalam Perjanjian Kerja Sama antara Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Kementerian Agama, dan Bank Penerima Setoran BPIH tentang penerimaan dan pembayaran BPIH. 

Akad wakalah ditandatangani setiap calon jemaah haji ketika membayar setoran awal BPIH. Melalui akad wakalah, calon jemaah haji selaku Muwakkil memberikan kuasa kepada Kementerian Agama selaku Wakil untuk menerima dan mengelola dana setoran awal BPIH yang telah disetorkan melalui Bank Penerima Setoran (BPS) BPIH sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 

UU 34/2014 mengamanatkan pengelolaan keuangan haji dilaksanakan oleh BPKH. Badan ini berwenang berwenang menempatkan dan menginvestasikan keuangan haji dalam bentuk produk perbankan, surat berharga, emas, investasi langsung dan investasi lainnya. Nilai manfaat (imbal hasil) atas hasil pengelolaan keuangan haji ini dimaksudkan untuk sebesar-besarnya kepentingan jemaah haji. 

Namun, investasi yang dilakukan BPKH juga harus mempertimbangkan aspek keamanan, kehati-hatian, nilai manfaat, dan likuiditas serta kesesuaian dengan prinsip syariah. Hal ini mengingat dana haji adalah dana titipan masyarakat yang akan melaksanakan ibadah haji. 

“Selanjutnya, badan pelaksana maupun dewan pengawas BPKH bertanggung jawab secara tanggung renteng jika ada kerugian investasi yang ditimbulkan atas kesalahan dan/atau kelalaian dalam pengelolaanya,” tandasnya. 

Investasi produktif

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo ingin agar dana haji yang tersimpan di pemerintah bisa diinvestasikan untuk pembangunan infrastruktur.

Hal ini disampaikan Jokowi usai melantik Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Badan Pelaksana Pengelola Keuangan Haji (BPKH) di Istana Negara, Jakarta, Rabu (26/7).

Jokowi menekankan bahwa pengelolaan keuangan haji adalah hal yang paling penting. "Jadi, bagaimana uang yang ada, dana yang ada ini, bisa dikelola, diinvestasikan ke tempat-tempat yang memberikan keuntungan yang baik," kata Jokowi. 

Menurut Jokowi, cara seperti ini sudah dipakai di negara lain seperti Malaysia. "Bisa saja kan (untuk infrastruktur). Daripada uang ini diam, ya lebih baik diinvestasikan tetapi pada tempat-tempat yang tidak memiliki risiko tinggi, aman, tapi memberikan keuntungan yang gede," ucap Jokowi.

Jumat, 28 Juli 2017

Ini Doa Shalat Tahajud Rasulullah SAW


Ini Doa Shalat Tahajud Rasulullah SAW


Doa setelah shalat tahajud tidak kalah pentingnya dari shalat tahajud itu sendiri. Karena doa shalat tahajud itu selalu menyertai shalat tahajud Rasulullah SAW. Doa tahajud Rasulullah SAW ini berisi pujian, pengakuan, dan sekaligus permohonan ampunan. Berikut ini doanya.

اَللهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ اَنْتَ قَيِّمُ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ. وَلَكَ الْحَمْدُ اَنْتَ مَلِكُ السَّمَوَاتِ واْلاَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ. وَلَكَ الْحَمْدُ اَنْتَ نُوْرُ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ. وَلَكَ الْحَمْدُ اَنْتَ الْحَقُّ وَوَعْدُكَ الْحَقُّ وَلِقَاءُكَ حَقٌّ وَقَوْلُكَ حَقٌّ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ وَالنَّبِيُّوْنَ حَقٌّ وَمُحَمَّدٌ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ وَالسَّاعَةُ حَقٌّ. اَللهُمَّ لَكَ اَسْلَمْتُ وَبِكَ اَمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَاِلَيْكَ اَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ وَاِلَيْكَ حَاكَمْتُ فَاغْفِرْلِيْ مَاقَدَّمْتُ وَمَا اَخَّرْتُ وَمَا اَسْرَرْتُ وَمَا اَعْلَنْتُ وَمَا اَنْتَ اَعْلَمُ بِهِ مِنِّيْ. اَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَاَنْتَ الْمُؤَخِّرُ لاَاِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ. وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّ بِاللهِ 

Allâhumma rabbana lakal hamdu. Anta qayyimus samâwâti wal ardhi wa man fî hinna. Wa lakal hamdu anta malikus samâwâti wal ardhi wa man fî hinna. Wa lakal hamdu anta nûrus samâwâti wal ardhi wa man fî hinna. Wa lakal hamdu antal haq. Wa wa‘dukal haq. Wa liqâ’uka haq. Wa qauluka haq. Wal jannatu haq. Wan nâru haq. Wan nabiyyûna haq. Wa Muhammadun shallallâhu alaihi wasallama haq. Was sâ‘atu haq.

Allâhumma laka aslamtu. Wa bika âmantu. Wa alaika tawakkaltu. Wa ilaika anabtu. Wa bika khâshamtu. Wa ilaika hâkamtu. Fagfirlî mâ qaddamtu, wa mâ akhkhartu, wa mâ asrartu, wa mâ a‘lantu, wa mâ anta a‘lamu bihi minnî. Antal muqaddimu wa antal mu’akhkhiru. Lâ ilâha illâ anta. Wa lâ haula, wa lâ quwwata illâ billâh.

Artinya, “Ya Allah, Tuhan kami, segala puji bagi-Mu, Engkau penegak langit, bumi, dan makhluk di dalamnya. Segala puji bagi-Mu, Engkau penguasa langit, bumi, dan makhluk di dalamnya. Segala puji bagi-Mu, Engkau cahaya langit, bumi, dan makhluk di dalamnya. Segala puji bagi-Mu, Engkau Maha Benar. Janji-Mu benar. Pertemuan dengan-Mu kelak itu benar. Firman-Mu benar adanya. Surga itu nyata. Neraka pun demikian. Para nabi itu benar. Demikian pula Nabi Muhammad SAW itu benar. Hari Kiamat itu benar.

Ya Tuhanku, hanya kepada-Mu aku berserah. Hanya kepada-Mu juga aku beriman. Kepada-Mu aku pasrah. Hanya kepada-Mu aku kembali. Karena-Mu aku rela bertikai. Hanya pada-Mu dasar putusanku. Karenanya ampuni dosaku yang telah lalu dan yang terkemudian, dosa yang kusembunyikan dan yang kunyatakan, dan dosa lain yang lebih Kau ketahui ketimbang aku. Engkau Yang Maha Terdahulu dan Engkau Yang Maha Terkemudian. Tiada Tuhan selain Engkau. Tiada daya upaya dan kekuatan selain pertolongan Allah.”

Doa ini dianjurkan dibaca seusai shalat tahajud. Doa Rasulullah SAW ini diriwayatkan Bukhari dan Muslim. Doa ini juga dicantumkan Imam An-Nawawi dalam karyanya Al-Adzkar.

Bermakmum dengan Imam yang Beda Madzhab

Bermakmum dengan Imam yang Beda Mazhab 


Assalamua'alaikum warahmatullaohi wabarakaatuh. Nama saya Rifqi Alhaolani usia 23  tahun, saya adalah seorang karyawan salah satu perusahaan di Bandung, semenjak saya bekerja selama kurang lebih 3 tahun di sini. Sering saya  mendapatkan perasaan khawatir akan sah atau tidaknya sholat yang saya laksanakan di masjid yang berlokasi di area perusahaan, dikarenakan pengurus masjid di perusahaan tempat saya bekerja bukanlah dari golongan madzhab imam syafi'i dan bukan pula dari NU, pengertian dan pelaksanaan rukun sholat yang pertama yaitu Niat mereka berbeda dengan apa yang  selama ini saya lakukan.

Setahu saya niat itu ditekadkan di dalam hati berbarengan dengan takbiratul ikhram dalam sholat (sesuai dengan keterangan Syeikh Nawawi Albantani dalam sarah Safinatunnaja). Mengenai hal ini saya ingin bertanya kepada pakar NU, apakah sah sholat saya jika saya berjamaah dengan mereka? atau sebaiknya saya sholat munfarid saja?  Bagaimana pula dengan sholat Juma'at saya, mengingat ada pula perbedaan dalam pelaksanaannya juga tidak ada 40 orang mukim walaupun kapasitas masjid dan jemaahnya ada lebih dari 1000 orang?

Besar harapan saya untuk segera mendapatkan jawaban mengenai hal ini. Wassalamu'alaikum warhmatulloh wabarokatuh

Jawaban

Wa’alaikum salam wr. wb Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Bahwa persoalan bermakmum kepada orang yang menganut madzhab yang berbeda memang acapkali mengemukan di kalangan masyarakat bawah. Perbedaan antara imam dan makmum itu sebenarnya perbedaan dalam soal furu`.

Meskipun perbedaan ini menyangkut soal furu` tetapi faktanya menimbulkan kebingungan tersendiri bagi umat dibawah. Kebingunan ini lahir karena shalatnya imam dalam keyakinan imam adalah sah, tetapi dalam pandangan makmum dianggap tidak sah, atau sebaliknya.

Misalnya, imam dalam shalat tidak membaca basmalah, padahal dalam madzhab syafi’i basmalah termasuk bagian dari surat Al-Fatihah. Atau dalam soal wudlu, di mana menurut pendapat madzhab syafi’i, wudlu itu harus tertib, tetapi imam dalam melakukan wudlu tidak tertib. Menurut imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kasus yang seperti ini terdapat empat pendapat.

اَلْاِقْتِدَاءُ بِأَصْحَابِ الْمَذَاهِبِ الْمُخَالِفِينَ بِأَنْ يَقْتَدِيَ شَافِعِيٌّ بِحَنَفِيٍّ أَوْ مَالِكِيٍّ لَا يَرَى قِرَاءَةَ الْبَسْمَلَةِ فِي الْفَاتِحَةِ وَلَا إِيْجَابَ التَّشَهُّدِ الْأَخِيرِ وَالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا تَرْتِيبِ الْوُضُوءِ وَشِبْهِ ذَلِكَ؛ وَضَابِطُهُ أَنْ تَكُونَ صَلَاةُ الْإِمَامِ صَحِيحَةً فِي اعْتِقَادِهِ دُونَ اعْتِقَادِ الْمَأْمُومِ أَوْ عَكْسِهِ لِاخْتِلَافِهِمَا فِي الْفُرُوعِ فِيهِ أَرْبَعَةُ أَوْجُهٍ:

“Bermakmum dengan orang yang menganut madzhab lain itu contohnya seperti orang yang menganut madzhab Syafi’i bermakmum dengan orang yang mengikuti madzhab hanafi, atau maliki yang tidak membaca basmalah ketika membaca surat Al-Fatihah, tidak mewajibkan tasyahhud akhir, shalawat kepada Nabi saw, tidak mengharuskan adanya tertib dalam wudlu dan semisalnya. Prinsipnya adalah bahwa shalatnya imam itu sah menurut keyakinan pihak imam itu sendiri, bukan makmum atau sebaliknya, karena terdapat perbedaan di antara keduanya dalam hal-hal furu`. Dalam konteks ini ada empat pendapat.” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Jeddah-Maktabah al-Irsyad, tt, juz, 4 h. 182)    

Pendapat pertama adalah pendapat yang dikemukakan oleh al-Qaffal. Menurut al-Qaffal bermakmum kepada imam yang berbeda madzhab adalah sah secara mutlak. Kesahan ini dilihat dari sudut pandangan imam itu sendiri.

Artinya, karena imam menyakini bahwa shalat yang dia lakukan adalah sah, maka shalat orang yang bermakmum kepadanya otomatis juga sah, tanpa harus melihat perbedaan keyakinan keduanya dalam soal-soal furu`.  

أَحَدُهَا- اَلصِّحَّةُ مُطْلَقًا: قَالَهُ الْقَفَّالُ اِعْتِبَاراً بِاعْتِقَادِ الْاِمَامِ

“(Pertama) sah secara mutlak. Pandangan ini dikemukakan oleh oleh al-Qaffal dengan melihat pada keyakinan imam itu sendiri.” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)

Pendapat kedua menyatakan tidak sah secara mutlak. Ini adalah pendapat yang dianut oleh Abu Ishaq al-Isfarayini. Alasan yang dikemukan adalah jika seorang imam melakukan apa yang kami anggap sebagai syarat atau kami mewajibkannya, padahal ia tidak menyakini apa yang dia lakukan adalah sebagai syarat sah atau kewajiban maka ia sama saja tidak dianggap melakukannya.

وَالثَّانِي- لَا يَصِحُّ اقْتِدَاؤُهُ مُطْلَقًا: قَالَهُ أَبُو إِسْحَاقَ اَلَإِسْفَرَايِنِيُّ لِأَنَّهُ وَإِنْ أَتَى بِمَا نَشْتَرِطُهُ وَنُوْجِبُهُ فَلَا يَعْتَقِدُ وُجُوبَهُ فَكَأَنَّهُ لَمْ يَأْتِ بِهِ

“(Kedua) tidak sah secara mutlak. Pandangan ini dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Isfarayini karena jika imam melakukan sesuatu yang kita syaratkan atau wajibkan tetapi ia tidak menyakini kewajbannya maka ia seperti tidak melakukannya” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)

Dari pendapat kedua ini maka lahirlah pendapat ketiga yang menyatakan bahwa jika imam melakukan apa yang dianggap oleh madzhab makmum telah melakukan apa yang dipandang sah menurutnya maka sah bermakmum kepada imam tersebut. Namun apabila imam meninggalkan apa yang dianggap sebagai syarat bagi kesahan shalat dalam pandangan madzhab makmum, atau makmum meragukannya maka tidak sah bermakmum kepadanya.   

وَالثَّالِثُ-- إِنْ أَتَي بِمَا نَعْتَبِرُهُ نَحْنُ لِصِحَّةِ الصَّلَاةِ صَحَّ الْاِقْتِدَاءُ وَإِنْ تَرَكَ شَيْئاً مِنْهُ أَوْ شَكَّكْنَا فِي تَرْكِهِ لَمْ يَصِحَّ

“(Ketiga) jika imam melakukan apa yang kita anggap sebagai syarat kesahan shalat maka sah bermakmum kepadanya, dan jika ia meninggalkan sesuatu yang kami anggap sebagai  kesahan shalat atau kita meragukan dalam meninggalkannya maka tidak sah bermakmum kepadanya” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)

Selanjutnya adalah pendapat yang keempat. Pendapat ini menyatakan bahwa jika imam telah terbukti secara nyata meninggalkan sesuatu yang dianggap terkait dengan kesahan shalat dalam pandangan madzhab makmum maka tidak sah bermakmum kepadanya.

Tetapi jika terbukti secara nyata melakukan seluruh hal yang menjadi kesahan shalat menurut pendapat madzhabnya makmum atau diragukannya, maka bermakmum kepadanya adalah sah. Pendapat ini dipegangi oleh Abu Ishaq al-Marwazi, Syaikh Abu Hamid al-Isfarayini, al-Bandaniji, al-Qadli Abu ath-Thayyib, dan mayoritas ulama dari kalangan madzhab syafi’i.   

 وَالرَّابِعُ-- وَهُوَ الْأَصَحُّ وَبِهِ قَالَ أَبُو إِسْحَاقَ اَلْمَرْوَزِيُّ وَالشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ اَلْإِسْفَرَايِنِيِّ وَالْبَنْدَنِيجِيُّ وَالْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ وَالْأَكْثَرُونَ إِنْ تَحَقَّقْنَا تَرْكَهُ لِشَيْءٍ نَعْتَبِرُهُ لَمْ يَصِحَّ الْاِقْتِدَاءُ وَاِنْ تَحَقَّقْنَا الْإِتْيَانَ بِجَمِيعِهِ أَوْ شَكَّكْنَا صَحَّ

“(Empat) yaitu pendapat yang paling sahih yang dikemukakan oleh Abu Ishaq al-Marwazi, Syaikh Abu Hamid al-Isfarayini, al-Bandaniji, al-Qadli Abu ath-Thayyib, dan mayoritas ulama (madzhab syafi’i). (Pendapat ini menyatakan) jika kita mengetahui secara pasti ia meninggalkan sesuatu yang kita anggap sebagai syarat kesahan shalat, maka tidak sah bermakmum kepadanya. Tetapi jika kita mengetahui secara pasti ia melakukan semua hal yang menjadi syarat kesahan shalat menurut pandangan kita atau kita meragukannya maka sah bermakmum kepadanya.”  (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, juz, 4, h. 182)  

Pendapat kedua, ketiga, dan keempat sebenarnya merupakan pendapat yang saling berkaitkelindan. Jadi, empat pendapat tersebut bisa diringkas jadi dua. Yaitu, pendapat yang menyatakan sah secara mutlak, dan pendapat yang menyatakan tidak sah. Bahkan ketidaksahan bermakmum itu bisa secara mutlak ketika imam meninggalkan hal-hal yang diwajibkan atau disyaratkan dalam shalat menurut madzhabnya makmum. Namun jika, ternyata imam melakukan apa yang diwajib atau disyaratkan menurut madzhabnya makmum maka sah bermakmum kepadanya.

Penjelasan ini dapat membantu untuk menjawab pertanyaan mengenai shalat jumatan dengan orang yang tidak mensyaratkan adanya empat puluh orang mukim. Karena jumlah empat puluh orang merupakan syarat kesahan shalat jumat maka shalat jumat anda tentu tidak sah karena tidak terpenuhi jumlah tersebut. Tetapi jika anda mengikuti pandangan al-Qaffal maka shalat anda sah dan boleh.

Sedang mengenai perbedaan dalam niat antara imam dan makmum sepanjang yang kami ketahui tidak ada persoalan. Tetapi jika ternyata dalam pelaksanaan shalat diketahui secara pasti bahwa imam misalnya tidak membaca basmalah, sedangkan anda mengikuti pendapat yang menyatakan bahwa basmalah adalah bagian dari surat Al-Fatihah maka shalat anda tidak sah.

Dalam kondisi seperti ini maka sebaiknya anda bermakmum dengan orang yang sepaham dengan anda, jika tidak ditemukan maka shalat munfarid. Tetapi jika anda mengikuti pandangan al-Qaffal maka shalat anda sah. 

Dari penjelasan yang kami kemukakan dapat dipahami bahwa inti permasalahannya bukan terletak pada apakah imam menganut madzhab yang berbeda atau tidak. Tetapi apakah imam telah memenuhi apa yang menjadi syarat-rukun atau kewajiban yang kita yakini atau tidak. 

Demikian penjelasan yang dapat kami kemukakan karena keterbatasan ruang dan waktu. Jika dirasa kurang memuaskan kami mohon maaf, dan bisa dilanjutkan pada kesempatan lain. Kami selau terbuka menerima saran, kritik dan koreksi atas jawaban yang kami kemukakan.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq. Wassalamu’alaikum wr. wb. 

Rabu, 26 Juli 2017

Ulama Yaman: Sunni-Syiah Hidup Rukun, Politiklah Penyebab Konflik Timteng

Ulama Yaman: Sunni-Syiah Hidup Rukun, Politiklah Penyebab Konflik Timteng

Demak, NU Online

Konflik telah menyebar di berbagai belahan negara Timur Tengah. Semua bergulir satu-persatu secara bergantian, mulai Irak, Mesir, Libya, Yaman, Suriah dan lain sebagainya. Hal ini mendorong KH Hanif Ismail, Pengasuh Pesantren Roudlotul Quran An Nasimiyyah, Semarang menanyakannya langsung kepada ulama asal Yaman, Habib Muhammad Al Junaid Al Hadramiy pada acara Majlis Muwashalah Baina Ulamail Muslimin (Pertemuan Para Ulama) yang digelar di Pesantren Futuhiyah Mranggen, Demak, Selasa (23/8).

"Faktor apakah yang sebenarnya terjadi sehingga saudara-saudara kita di sana tega melakukan perang antar saudara sendiri seperti di Suriah?" tanya Kiai Hanif. 

Habib Muhammad Al Junaid menjelaskan bahwa konflik yang terjadi di negara-negara Muslim Timur Tengah bukan karena faktor agama, tapi dipicu masalah politik. "Dari dahulu ulama Ahlus Sunnah dengan Syi'ah atau dengan aliran manapun dan di manapun hidup rukun berdampingan," jelas Habib Al Junaid.

Namun, lanjut Habib, karena kepentingan politik, agama dibuat tameng dan dibikin pemicu penghalalan hasrat nafsu politik kelompok-kelompok tertentu. “Jika sudah begini, ya sudah, kalau agama sudah dicampur-adukkan dengan kepentingan, hancur,” kata Habib Al Junaid. 

Perhelatan yang diinisiasi oleh Habib Umar bin Hafidz ini diikuti oleh para mursyid thariqah dan para kiai Jawa Tengah. Hadir sebagai pembicara Habib Muhammad Al Junaid Al Hadramiy, Yaman, Habib Muhsin Al Hamid dan lain sebagainya.

Hukum Pakai Celana Panjang hingga Menjulur di Lantai (Isbal) dan Kotor


Hukum Pakai Celana Panjang hingga Menjulur di Lantai (Isbal) dan Kotor


Memastikan kesucian pakaian ketika mengerjakan shalat adalah keniscayaan. Terlebih lagi, kesucian menjadi salah satu syarat sah shalat baik suci jasmani maupun pakaian. Mensucikan jasmani dengan cara mandi bagi orang junub (hadats besar) dan berwudhu untuk hadats kecil. Sementara mensucikan pakaian ialah dengan cara mencuci dan membersihkannya dari setiap najis yang menempel padanya.

Namun perlu diketahui bahwa belum tentu setiap kotoran adalah najis. Misalnya, baju terkena tanah atau keringat, menurut lahirnya baju terkena tanah itu disebut kotor. Tetapi ia tidak dinamakan najis dan sah dibawa shalat sesuai pandangan syariat.

Terdapat perbedaan ulama bila tanah tersebut bercampur najis terutama bagi yang menggunakan celana panjang. Mari kita simak bagaimana penjelasan Wahbah Az-Zuhayli terkait masalah ini dalam Fiqhul Islam wa Adillatuhu.

تكرار المشي في الثوب الطويل الذي يمس الأرض النجسة والطاهرة: يطهر الثوب، لأن الأرض يطهر بعضها بعضاً، بدليل حديث أم سلمة: أنها قالت: «إني امرأة أطيل ذيلي، أمشي في المكان القذر، فقال لها رسول الله صلّى الله عليه وسلم: يطهره ما بعده» ويتفق المالكية والحنابلة مع الحنفية في ذلك، وأقره الشافعي بما جرى على يابس، وقيده الحنابلة بيسير النجاسة، وإلا وجب غسله 

Artinya, “Apabila pejalan kaki menggunakan celana panjang dan ujungnya menjulur ke tanah yang suci dan najis, maka pakaiannya masih dianggap suci, karena tanah dapat mensucikan sebagiannya. Dalilnya ialah hadits Ummu Salamah RA yang pernah bertanya kepada Nabi, ‘Ujung celana saya panjang (menjulur ke tanah) dan saya pernah melewati tempat yang kotor.’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Kotoran itu akan disucikan oleh tanah yang bersih setelahnya.’ Ulama madzhab Maliki, Hanbali, dan Hanafiyah sepakat dengan hal ini. Sementara As-Syafi’i membatasi makna hadis ini pada tanah yang kering saja. Madzhab Hanbali mensyaratkan najisnya sedikit dan mesti dicuci bila banyak.”

Bagi siapa yang suka menggunakan celana panjang dan ujung celananya kotor karena tanah, pendapat-pendapat di atas dapat dijadikan pertimbangan.

Seandainya tidak memiliki sarung untuk shalat atau tidak ada lagi celana bersih yang dapat dijadikan gantinya, pendapat madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali bisa dijadikan dalil.

Kendati demikian, selagi masih mungkin menggunakan sarung atau celana bersih, gunakanlah dalam rangka ihtiyath (kehati-hatian). 

Wallahu a’lam.

MAU BERTOBAT GA MESTI KELUAR POLISI

MAU BERTOBAT GA MESTI KELUAR POLISI

Saudaraku sekalian,.. Terkadang tgs yg diemban oleh seorang anggota polri membutuhkan waktu yg ekstra agar benar-benar tgs yg dijalankan tersebut dapat terlaksana sesuai harapan masyarakat, sehingga tak jarang teman2 dilapangan banyak yg lalai akan waktu utk melaksanakan sholat Fardhu ada yg berniat diqodho dan qoshor, atau bahkan ada yg tdk melaksanakannya kewajibannya utk melaksanakan sholat Fardhu dengan alasan kecapean...

Saudaraku sekalian, ketahuilah bahwa bagaimanapun, sedang apapun, kapanpun, dalam kondisi apapun sholat adalah merupakan kewajiban yg tak boleh tertinggal, meninggalkan sholat 5 waktu karena hukumnya Fardhu tentu menjadi berdosa bila tak melaksanakannya...
Namun demikian Alloh SWT memberikan Rukhsoh keringanan-keringan utk menjalankan ibadah sholat, diantaranya bisa dijama, dan qoshor dan itupun ada syarat dan rukunnya...

Menanggapi kondisi seperti tugas polisi ini terkadang bagi temen2 Anggota polisi yg Imannya Mantaaap, itu sudah tdk menjadi hambatan artinya sholatnya tetap Ia laksanakan meski dalam keadaan apapun, pasti Alloh SWT beri jalan bagi Hamba-Nya yg ingin beribadah Pada-Nya, jadi ga ada alasan untuk tidak melaksanakan sholat Fardhu.

Namun ada jga diantara Anggota yg bener-bener sudah terbawa salah satu pemahaman Tasawuf yg berlebihan, mereka beranggapan bahwa hidup didunia ini tak lain hanya utk beribadah kepada Alloh SWT saja, sehingga aktivitasnya selalu didalam masjid tiap harinya, tanpa bekerja, makan minum sekedarnya, tak perlu mencari Nafkah, tak perlu menafkahi keluarganya karena mereka beranggapan Semua itu sudah dijamin hidupnya oleh Alloh SWT...sehingga ada diantaranya yg meninggalkan keluarganya demi beribadah kepada Alloh SWT selama 40 hari diluar rumah utk dakwah (khuruz) namanya...padahal khuruz yg baik jga sudah diajarkan.

Pemahaman seperti itulah yg membawa pada akhirnya terdorong hatinya utk benar-benar beribadah secara Totalitas kepada Alloh SWT, dengan meninggalkan profesinya sebagai anggota polri...karena beranggapan profesi polri baginya akan menjadi hambatan utk beribadah kepada Alloh SWT, terlebih lagi ada yg menganggap bahwa dia mendaftar masuk polri dengan nyuap atau masuknya tdk murni karena seleksi, ditambah lagi dengan kajian2 Agama yg membawanya pada satu keyakinan bahwa dirinya masuk polisi tdk benar
Diperkuat lagi oleh Keterangan Hadist tentang suap menyuap misalnya...
Dalil as-Sunnah tentang Keharaman suap menyuap.

Dari Abdullah bin Umar, ia berkata,
لعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang menyuap dan yang menerima suap.” [HR. Abu Daud no. hadits 3580].

Semakin yakinlah bahwa dirinya takut dilaknat oleh Alloh SWT dan akhirnya masuk Neraka.... NAUZUBILLAH.

Saudaraku sekalian, itu memang pilihan hidupnya,.. Akan tetapi selaku senior mengingatkan kepada adik2 polri yg sudah cape melaksanakan pendidikan sampai sakit2, atau mau drop out nyawa taruhannya pada saat pendidikan, saya rasa pendidikan itu sdh mewakili dari uang suap bagi yg terlanjur menyuap...ditambah lagi tugas yg kita emban sesuai fungsi dan peranannya yg semuanya Nyawa taruhannya....

Suadaraku sekalian,..kalau kita benar-benar ingin harta yg kita dapatkan itu menjadi Halalan toyyibah mubarokah, maka masih banyak fungsi polri yg benar-benar hanya mendapatkan gaji bulanan saja tiap bulannya tanpa insentif itu dan ini...saya rasa kalau kita tdk cocok difungsi A karena ada penghasilan yg subhat tinggal pindah saja ke Brimob,!!!
InsyaAlloh barokah... sampingan Yaa jualan trasi dipasar atau ikan, atau apa saja yg penting halal... Hidup ini jangan dibikin pusing...!!!!

Kembali kepada urusan ukhrowi, itu tergantung kita menjalaninya...
Dalam kita menjalani kehidupan didunia ini harus balance antara dunia dan Akhirat, atau kalau masih kurang boleh akhirat difokuskan akan tetapi duniapun jangan lupa...

Sahabat polri yg dirahmati Alloh SWT, profesi polri adalah profesi mulia, yg mana kalau kita menjalaninya dengan jujur, benar sesuai aturan baik Aturan Agama dan perundang-undangan InsyaAlloh malah akan mendatangkan keridhoan Alloh SWT, bukankah Tugas pokok kita adalah " Melindungi, Mengayomi, dan Melayani Masyarakat dengan keikhlasan utk mewujudkan keamanan dan ketertiban" SUBHANALLOH... maknai tugas pokok itu maka Alloh SWT akan beri jalan kemudahan dalam menjalaninya, tinggalkan fikiran2 yg akan merusak dari pada jalannya tugas dan tanggung jawab polri... Apalagi bersuuzon terhadap institusi ini...jangan beranggapan Gaji kita tdk halal....

Kalau mau bertobat Ga usah keluar polisi karena Hakekatnya polisi mengemban tugas yg mulia demi keamanan, ketertiban masyarakat dalam rangka Mencari Ridho Alloh SWT.

Semoga bermanfaat


Selasa, 25 Juli 2017

CIRI-CIRI ORANG BAIK


CIRI-CIRI ORANG BAIK

1. Orang Baik cenderung lebih banyak tersenyum. Percaya atau tidak, kebaikan seseorang bisa ditunjukkan dari cara dia tersenyum. Mengapa? Karena semakin banyak orang tersenyum, maka hawa positif akan bertebaran disekitarnya. Selain itu, dengan tersenyum, orang akan terkesan lebih ramah dan bisa dipercaya.

2. Pikiran-pikiran negatif seperti iri hati dan dengki jarang menghinggapi orang baik.
Orang baik akan selalu menanamkan pikiran positif dalam hidupnya. Bahkan saat dia mengalami masa-masa sulit sekalipun sehingga akan menyebarkan suasana nyaman.

3. Orang Baik biasanya lebih sering menyapa duluan.
Orang baik tidak akan keberatan untuk menyapa semua orang, bahkan terhadap orang yang berbuat jahat padanya sekalipun. Orang baik selalu terhindar dari rasa menjadi orang penting, ingin dicari dan dibutuhkan. Dia biasanya tidak membutuhkan pengakuan orang atas kinerjanya selama ini.

4. Orang Baik tidak ingin menunjukkan bahwa dia baik. Tapi orang jahat akan selalu membangun citra baik untuk (kekurangan) dirinya.

5. Orang baik selalu pintar mengendalikan emosi.
Mereka terlihat sangat sabar dan toleran. Tidak mengutamakan kepentingan diri sendiri.

6. Orang baik akan bercerita atau membagikan hal-hal yang bermanfaat. Dengan tujuan memberi tahu. Bukan untuk menggiring opini publik bahwa hanya dirinyalah yang benar.

7. Orang baik selalu menghafal 3 kata sakti, yaitu : MAAF, TOLONG, dan TERIMA KASIH.

8. Orang baik tidak akan keberatan untuk mengakui kelebihan orang lain. Apalagi jika dia merasa bersalah. Mereka tidak akan segan-segan untuk MEMINTA MAAF DAN MEMPERBAIKI KESALAHAN. Berbeda dengan orang jahat yang memiliki gengsi tinggi dan menganggap dirinya selalu benar. Jangankan mengaku salah, menganggap orang lain berprestasi saja gengsi, Ada saja alasan untuk mencari kesalahan serta untuk menjatuhkan orang lain.Semoga kita bisa melatih diri menjadi orang sabar dalam menghadapi setiap kejahatan dan perilaku orang jahat.

"MEMANG BAIK MENJADI ORANG PENTING, TAPI JAUH LEBIH PENTING MENJADI ORANG YANG BAIK"

Semoga Bermanfaat.

Mari kita sama-sama berusaha menjadi Baik, dan yg terbaik meskipun bertentangan terkadang dengan Hati Nurani kita, akan tetapi InsyaAlloh Alloh SWT akan membimbing Hati kita utk selalu berbuat baik.

Aamiin..

Doa Lengkap Menyembelih Hewan Kurban

Ini Doa Lengkap Menyembelih Hewan Kurban

Penyembelihan hewan kurban adalah bagian dari ibadah yang sangat dianjurkan. Untuk menyempurnakan ibadah itu, kita dianjurkan untuk berdoa ketika penyembelihan hewan kurban. Inilah doa yang dibaca sesaat sebelum hewan kurban kita disembelih. Doa ini dibaca dengan harapan Allah menerima ibadah kurban kita.

اَللَّهُمَّ هَذِهِ مِنْكَ وَإِلَيْكَ فَتَقَبَّلْ مِنِّيْ يَا كَرِيْمُ

Allâhumma hâdzihî minka wa ilaika, fataqabbal minnî yâ karîm

Artinya, “Ya Tuhanku, hewan ini adalah nikmat dari-Mu. Dan dengan ini aku bertaqarrub kepada-Mu. Karenanya hai Tuhan Yang Maha Pemurah, terimalah taqarrubku.”

Doa ini bisa kita temukan antara lain di buku Irsyadul Anam fi Tarjamati Arkanil Islam karya Sayid Utsman bin Yahya atau Tausyih ala Ibni Qasim karya Syekh M Nawawi bin Umar Banten.

Namun demikian ada sejumlah doa yang dianjurkan ketika kita mengambil ancang-ancang untuk menyembelih hewan kurban. Hal ini ditunjukkan oleh Syekh M Nawawi Banten dalam Tausyih ala Ibni Qasim.

Menurutnya, sebelum kita menghadapkan hewan kurban ke kiblat dan siap menggoreskan senjata tajam, kita dianjurkan membaca bismillâh, lengkap dan sempurnanya bismillâhir rahmânir rahîm. Setelah itu kita dianjurkan membaca sholawat untuk Rasulullah SAW, bertakbir tiga kali. Setelah menghadap kiblat dan sesaat sebelum menyembelih, kita dianjurkan membaca doa menyembelih seperti di atas.

Berikut ini kami urutkan bacaan doanya.

1. Baca “Bismillâh”

بِسْمِ اللهِ الله اكبر 

Artinya, “Dengan nama Allah”Alloh maha Besar. 

Lebih sempurna “Bismillâhir rahmânir rahîm”

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم  اَللهُ أَكْبَرُ

Artinya :

 “Dengan nama Allah Yang Maha pengasih, lagi Maha Penyayang”Alloh maha Besar

2. Baca sholawat untuk Rasulullah SAW 

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمّدٍ 

Allâhumma shalli alâ sayyidinâ muhammad, wa alâ âli sayyidinâ Muhammad...... Dst 

Artinya, “Tuhanku, limpahkan rahmat untuk Nabi Muhammad SAW dan keluarganya.”

3. Baca takbir tiga kali dan tahmid sekali

اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ اَللهُ أَكْبَرُ. لا إله إلا الله والله اكبر الله اكبر. وَلِلهِ الْحَمْدُ

Allâhu akbar, Allâhu akbar, Allâhu akbar, lâilâha illallôhu wallôhu akbar Allôhu akbar  walillâhil hamd

Artinya, “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada Tuhan selain Alloh dan Dia Maha Besar, dan segala puji bagi-Mu.”

4. Baca doa menyembelih

اَللَّهُمَّ هَذِهِ مِنْكَ وَإِلَيْكَ فَتَقَبَّلْ مِنِّيْ يَا كَرِيْمُ

Allâhumma hâdzihî minka wa ilaika, fataqabbal minnî yâ karîm

Artinya, “Ya Tuhanku, hewan ini adalah nikmat dari-Mu. Dan dengan ini aku bertaqarrub kepada-Mu. Karenanya hai Tuhan Yang Maha Pemurah, terimalah taqarrubku.”

Adapun takbir pada poin ketiga bisa juga dibaca sebelum bismillah pada poin pertama. Demikian doa yang dianjurkan dalam rangkaian upacara penyembelihan hewan kurban. Keterangan ini bisa ditemukan antara lain di buku Tausyih ala Ibni Qasim karya Syekh M Nawawi Banten. 


Doa menyembelih Hewan Qurban  sendiri

بِسْمِ اللَّه اللَّهُمَّ وَاللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُمَّ هَذَا مِنْكَ وَلَكَ، هَذَا عَنِّي

Artinya: (Dengan Nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah ini dari-Mu dan untuk-Mu, ini kurban dariku).

Doa Menyembelih Hewan Qurban  Orang Lain

بِسْمِ اللَّه اللَّهُمَّ وَاللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُمَّ هَذَا مِنْكَ وَلَكَ، هَذَا عَنْ فُلَانٍ

"Dengan Nama Allah, Allah Maha Besar, Ya Allah ini dari-Mu dan untuk-Mu, ini kurban dariku." Di tambah:

اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ فُلَانٍ وَآلِ فُلَانٍ

"Ya Allah, terimalah kurban dari fulan dan keluarga fulan," (dengan menyebut namanya).

Namun yang wajib dari bacaan ini adalah membaca Basmalah (Bismillah). Jika sudah membacanya, maka sah penyembelihan hewan qurban tersebut walau tidak menambah bacaan selainnya. Adapun kalimat-kalimat sesudahnya hanya anjuran, bukan wajib. 

Wallahu a‘lam. 

Minggu, 23 Juli 2017

Surat Terbuka untuk Tengku Zulkarnain tentang Jubah vs Batik


Surat Terbuka untuk Tengku Zulkarnain tentang Jubah vs Batik

NU Online 

Assalaamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokaatuh. 

Bismillaahirrohmaanirrohiim.

Allohumma Sholli ‘ala sayyidina Muhammad, wa ‘ala aalihi washohbihi ajma’in. Wa ba’du...

Semoga Allah swt senantiasa melimpahkan rahmatNya kepada Ustaz Tengku Zulkarnain. 

Rasulullah saw bersabda: 

من لبس ثوب شهرة في الدنيا، ألبسه الله ثوب مذلة يوم القيامة

“Barang siapa mengenakan pakaian syuhroh (nyeleneh/tidak lazim) di dunia, Allah akan memakaikan pakaian kehinaan untuknya di hari kiamat.”

Dalam riwayat lain ada tambahan, “Lalu dikobarkan api pada pakaian itu”. 

Ada pula riwayat lain yang redaksinya jika diterjemahkan menjadi “Barang siapa mengenakan pakaian syuhroh maka Allah berpaling darinya sampai dia melepaskan pakaian itu.”

Redaksi lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Barr, jika diterjemahkan berbunyi, “Barang siapa memakai pakaian syuhroh, Allah akan berpaling darinya meskipun dia seorang wali.”

Banyak sekali ulama yang memberikan penjelasan mengenai apa itu pakaian syuhroh, di antaranya Ibnu Taimiyah, Assyaukani, Abul Walid al-Bahji, Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani, Ibnu Ruslan, dan lain-lain. 

Jika penjelasan dari para ulama itu dirangkum, kita akan mendapatkan pemahaman bahwa pakaian syuhroh adalah pakaian yang tidak lazim dan terlihat aneh atau nyeleneh pada suatu masyarakat. Ketidak-laziman itu bisa jadi karena pakaian itu pakaian orang asing, atau warna dan bentuknya memang aneh dan terlalu menyolok, meskipun hasil kreasi orang setempat. 

Pakaian syuhroh juga bisa berarti pakaian yang sengaja dipakai untuk menarik perhatian orang sehingga ia menjadi terkenal atau mendapat pujian; baik dipuji karena indahnya pakaian itu, atau dipuji karena buruknya pakaian itu sehingga ia dianggap sebagai orang yang zuhud terhadap dunia. 

Al-Walid Al-Baji mengatakan bahwa Rasulullah saw tidak menyukai pakaian yang tidak lazim; yaitu pakaian yang membuat pemakainya terkenal karena jeleknya atau terkenal karena indahnya. 

Adapun Assyaukani mengatakan bahwa jika suatu pakaian dimaksudkan untuk mengundang perhatian orang, bagus atau jelek, maka sama haramnya. 

Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa tuntunan dalam berpakaian adalah agar seseorang mengenakan pakaian yang lazim dan mudah didapatkan menurut warga daerah tempat dia tinggal. 

Hadis di atas, dengan berbagai macam redaksi dan jalur riwayat, sangat terkenal di kalangan para ulama sehingga mereka berbicara mengenai hukum mengenakan pakaian syuhroh. 

Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa memakai pakaian syuhroh hukumnya haram. Adapun dalam mazhab Hanbali, memakai pakaian syuhroh hanya dianggap makruh, tidak sampai haram. Dalam madzhab Hanbali ada penekanan kata “pakaian yang tidak sesuai dengan daerah tempat tinggal.” 

يكره لبس ما فيه شهرة, أو خلاف زي بلده من الناس

“Makruh memakai pakaian yang masuk kategori syuhroh, atau tidak sesuai dengan pakaian orang umum di suatu daerah/negara.” 

Imam Ahmad pernah menyuruh orang mengganti pakaian karena pakaiannya tidak lazim, tetapi beliau tidak mengatakan itu haram, sambil memberitahu seandainya orang tersebut memakainya di Makkah atau di Madinah, maka beliau tidak akan menyuruhnya mengganti pakaian tersebut. Tetapi di tempat Imam Ahmad melihat orang itu, pakaian yang dikenakannya terlihat nyeleneh, sehingga masuk dalam kategori syuhroh. 

Para ulama Kuwait sebagaimana dirangkum dalam mausu’ah fiqhiyah juga menganggap semua jenis pakaian yang tidak lazim dipakai suatu masyarakat tertentu, maka hukumnya makruh. 

Perlu diketahui juga bahwa tidak semua yang bersifat tradisional pasti boleh dipakai, karena yang tradisionalpun, jika sudah tidak lazim dipakai, maka ia menjadi syuhroh juga. 

Al-Hashin mengatakan bahwa Zubaid Al-Yami mengenakan Burnus, semacam jubah yang ada tudung kepalanya, tetapi oleh Ibrahim Annakha’i disalahkan. Al-Hashin membela Zubaid dengan mengatakan kepada Annakha’i bahwa orang dulu biasa memakai itu.

Annakha’i menjawab, “Ya benar, dulu orang-orang memakainya, tapi orang-orang itu sudah wafat semua. Kalau sekarang orang memakai burnus, maka akan jadi perhatian orang dan ditunjuk dengan jari sebagai orang aneh.” 

Pernyataan Annakha’i ini menjelaskan bahwa pakaian tradisional suatu daerahpun, apabila sudah tidak lazim dipakai orang, maka ia termasuk syuhroh. Hal ini juga menunjukkan bahwa suatu gaya berpakaian bisa cepat berubah, bisa jadi hanya dalam hitungan satu generasi. Gaya berpakaian umat Islam di Nusantara pada abad ke 19 bisa jadi berbeda dengan abad ke 20, dan seterusnya.

Maka melihat cara berpakaian orang pada zaman dahulu, tidak bisa jadi alasan untuk meyakini bahwa cara berpakaian tersebut lebih utama dari zaman lainnya. Jenis dan bentuk pakaian, produk budaya negara tertentu, hasil kreasi bangsa tertentu, juga tidak menjadi acuan kebaikan dalam menilai cara berpakaian menurut agama. 

Para ulama memberi batasan dalam berpakain yang diringkas dalam kata, Laa yashifu, walaa yasyiffu, walaa yaksyifu; “tidak menggambarkan bentuk tubuh (ketat), tidak transparan atau tembus pandang, dan tidak menyingkap aurat, kemudian ditambahkan ‘serta tidak syuhroh’.”

Syaikh Ali Jum’ah (Mufti Mesir bermazhab Syafi’i), mengatakan bahwa kebiasaan berpakaian Rasulullah saw memakai surban, membawa tongkat dan lain-lain yang lazim digunakan oleh masyarakat di tempat hidup Rasul saw pada zamannya, tidak boleh ditiru di semua tempat dan semua waktu.

 

Meniru gaya penampilan Rasul saw, di tempat yang tidak lazim memakai surban dan membawa tongkat bukanlah sunnah, tetapi justru termasuk syuhroh yang dilarang oleh nabi saw sendiri. Ini beda dengan sunnah memegang tongkat ketika khutbah, karena bagi sebagian ulama, hal itu merupakan urusan ibadah murni, bukan style berpakaian.

 

Maka tidak aneh jika Ibnu Taimiyah yang mengharamkan syuhroh-pun, menganggap ibadah tanpa memakai tutup kepala sebagai perbuatan munkar. Padahal di luar ibadah, tutup kepala bisa jadi masuk dalam kategori syuhroh pada zaman dan tempat tertentu. 

Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani juga menyatakan bahwa pakaian yang membuat orang jadi perhatian serta tidak sejalan dengan kebiasaan suatu daerah dan warganya haruslah dihindari. 

Para ulama Sunni berpendapat bahwa seorang Muslim tidak selayaknya berpenampilan beda dari kebiasaan warga di mana dia tinggal dalam berpakaian, sepanjang pakaian yang biasa digunakan warga di situ tidak bertentangan dengan aturan agama. 

Maka para ulama menganjurkan untuk meniru cara berpakaian Rasulullah saw itu dalam hal kesederhanaanya, bukan pada jenis rancangan busananya.

)حيث كان الرسول متواضعاً في ملبسه بعيداً عن الخيلاء(

Rasulullah saw secara khusus berpesan agar umatnya kalau makan, minum, bersedekah, dan berpakaian janganlah berlebih-lebihan. 

قال النبيصلعم : كلوا واشربوا وتصدقوا والبسوا ،في غير إسراف ولا مخيلة

Para ulama yang berbicara mengenai hukum memakai pakaian syuhroh ini mengaitkan larangan tersebut dengan potensi ghibah yang akan muncul dari orang-orang yang melihat keanehan pada orang-orang yang memakai pakaian syuhroh. Mereka juga mengaitkannya dengan sifat ujub dan suka dipuji dari si pemakai pakaian syuhroh. 

Kalau potensi ghibah dan ujub dalam berpakaian saja dikhawatirkan oleh para ulama dan diperintahkan untuk dihindari, lalu apa kira-kira kata para ulama mengenai caci maki dan pertengkaran di media mengenai jenis pakaian mana yang paling agamis? Padahal jika sampai terjadi ghibah, si pemakai pakaian syuhroh ini dikatakan para ulama harus ikut menanggung dosa ghibah tersebut. 

Jubah, sarung, daster, gamis, batik, kemeja, jas, kaos, atau apapun, bukan ukuran kebaikan dan kesalihan dan tidak bisa dijadikan sebagai acuan untuk menilai mana yang lebih religius jika dipakai. Juga tidak bisa dijadikan patokan untuk menilai mana yang lebih rendah nilai kesalihannya, asalkan tidak ada larangan syar’i padanya, misalnya bertuliskan makian, atau memuat gambar porno, gambar makhluk bernyawa secara utuh (bagi yang mengharamkannya), dan lain sebagainya. 

Maafkan saya kalau terkesan mengajari, tetapi meributkan mana yang lebih baik dalam pandangan agama antara jubah dan batik, menurut saya bukan perkara yang sangat penting bagi ustadz masyhur seperti anda. Semoga Allah menyibukkan anda dengan hal-hal lain yang lebih bermanfaat. Dan karena anda ustadz terkenal, tentu tidak sulit merujuk kitab-kitab maroji’ apa saja yang menjelaskan masalah yang saya tulis di atas. 

Wallahul muwaffiq ilaa aqwamitthoriq, Wassalaamu‘alaikum warohmatullahi wabarokaatuh. 

 
KONTAK

Nahdlatul Ulama
Jl. Kramat Raya 164, Jakarta 46133 - Indonesia, redaksi[at]nu.or.id

Sabtu, 22 Juli 2017

Tips Nabi SAW, Melunakkan Hati Yg keras

Tips Rasulullah untuk Melunakkan Hati yang Keras

Pernahkah Anda terbukti bersalah namun sukar sekali mengeluarkan minta maaf? Alasannya: orang yang dimintai maaf lebih muda dari kita, lebih miskin dari kita, atau status jabatannya lebih rendah dari kita. Jika kita penah mengalami demikian atau menyaksikan orang yang berperilaku begitu, yang bersangkutan sesungguhnya telah mengidap penyakit hati yang keras.

Surat Al-Baqarah ayat 67-74 mengambarkan kondisi penyakit tersebut ketika mengisahkan tentang Bani Israil. Mereka dilukiskan sebagai orang-orang yang sulit menerima kebenaran meskipun bukti nyata telah hadir di depan mata. Hati mereka mengeras seperti batu, bahkan bisa lebih keras lagi.

Penyakit ini susah disembuhkan karena yang mesti dihadapi penderitanya adalah dirinya sendiri. Egoisme, gengsi, atau perasaan paling istimewa, biasanya menjadi biang keladi mengapa hati seseorang membatu sehingga sukar dimasuki kebenaran dan kebaikan yang datang dari luar dirinya. Namun, susah disembuhkan bukan berarti tidak bisa diobati. 

Suatu hari seorang laki-laki datang mengadu kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam tentang hatinya yang keras (qaswatul qalb). Nabi menjawab:

إن أردت تلين قلبك، فأطعم المسكين، وامسح رأس اليتيم

Artinya: “Jika kamu ingin melunakkan hatimu maka berilah makan orang miskin dan usaplah kepala anak yatim.” (HR al-Hakim dalam al-Mustadrak)

Dalam hadits tersebut, Rasulullah menganjurkan orang yang keras hatinya untuk melatih diri berempati dengan orang-orang lemah. Empati tersebut diwujudkan salah satunya dengan memberi makan orang miskin.

Makan adalah di antara kebutuhan primer (hâjiyât) setiap manusia. Penghasilan orang miskin sering hanya bisa mencukupi keperluan pokok tersebut tanpa bisa menambah kebutuhan sekunder lainnya. Lebih dari miskin disebut faqîr. Keduanya merupakan kelompok rentan yang sama-sama membutuhkan uluran tangan.

Ibnu Rajab al-Hanbali saat menjelaskan hadits ini mengatakan bahwa bergaul dengan orang-orang miskin dapat meningkatkan rasa ridha dan syukur seorang hamba atas nikmat yang dikaruniakan oleh Allah. Sebaliknya, bergaul dengan orang kaya potensial membuatnya kurang menghargai rizeki yang diterimanya.

Selanjutnya adalah mengusap kepala anak yatim. Kata “mengusap” di sini merupakan kiasan dari anjuran untuk menyayangi, berlemah lembut, dan mengayomi mereka. Tentang hal ini, Nabi bersabda:

من مسح رأس يتيم أو يتيمة لم يمسحه إلا لله ، كان له بكل شعرة مرت عليها يده حسنات ، ومن أحسن إلى يتيمة أو يتيم عنده ، كنت أنا وهو في الجنة كهاتين ، وقرن بين أصبعيه

“Barangsiapa yang mengusap kepala anak yatim laki-laki atau perempuan hanya karena Allah, baginya setiap rambut yang diusap dengan tangannya itu mengalirkan banyak kebaikan, dan barangsiapa berbuat baik kepada anak yatim perempuan atau laki-laki yang dia asuh, aku bersama dia di surga seperti ini (Nabi menyejajarkan dua jarinya).”

Dalam hadits itu, Allah memberikan kebaikan kepada orang-orang yang mengusap kepala anak yatim. Jumlah rambut di hadits ini merupakan ilustrasi dari kebaikan yang tak terhitung sebagaimana tak terhitungnya jumlah rambut kepala orang. Artinya, sebanyak apa kebaikan seseorang kepada anak yatim, sebesar itu pula Allah berikan kebaikan kepadanya. Inilah mengapa hati yang keras menjadi mudah melunak, terbuka terhadap kebenaran dan kebaikan. Sebab, Sang Penguasa Hati sedang berada di pihaknya. 

Wallah a’lam. 

Lima Jurus Imam al-Ghazali agar Terhindar dari Ujub

Lima Jurus Imam al-Ghazali agar Terhindar dari Ujub

Dalam kitab Bidâyatul Hidâyah, Imam al-Ghazali menyebut ujub sebagai penyakit kronis (ad-dâu 'idlâl). Kepada diri sendiri, pengidap penyakit ini merasa mulia dan dan besar diri, sementara kepada orang lain ada kecenderungan untuk meremehkan dan merendahkan. 

Biasanya buah dari sikap ini, kata al-Ghazali, adalah obral keakuan: gemar mengatakan aku begini, aku begitu. Seperti yang Iblis la'natullah katakan ketika menolak perintah Allah untuk hormat kepada Nabi Adam, "aku lebih baik dari Adam. Kau ciptakan aku dari api sementara Kau ciptakan dia dari tanah" (QS al-A'raf:12).

Dalam majelis-majelis, pengidap penyakit ujub juga suka meninggikan diri sendiri, serta ingin selalu menonjol dan terdepan. Saat bercakap-cakap atau berdialog umumnya orang seperti ini tak mau kalah dan dibantah.

Dalam kitab yang sama Imam al-Ghazali menerangkan takabbur dan ujub dengan definisi yang mirip. Katanya, orang yang takabur (mutakabbir) gusar ketika menerima nasihat tapi kasar saat memberi nasihat. Siapa saja yang menganggap dirinya lebih baik dari hamba Allah yang lain, itulah mutakabbir. Lantas bagaimana agar bisa keluar dari jeratan ini? Imam al-Ghazali memberikan tips dengan mengembalikannya pada manajemen pikiran.

بل ينبغي لك أن تعلم أن الخير من هو خير عند الله في دار الآخرة، وذلك غيب، وهو موقوف على الخاتمة؛ فاعتقادك في نفسك أنك خير من غيرك جهل محض، بل ينبغي ألا تنظر إلى أحد إلا وترى أنه خير منك، وأن الفضل له على نفسك

"Ketahuilah bahwa kebaikan adalah kebaikan menurut Allah di akhirat kelak. Itu perkara ghaib (tidak diketahui) dan karenanya menunggu peristiwa kematian. Keyakinan bahwa dirimu lebih baik dari selainmu adalah kebodohan belaka. Sepatutnya kau tidak memandang orang lain kecuali dengan pandangan bahwa ia lebih baik ketimbang dirimu dan memiliki keutamaan di atas dirimu."

Ujub dan takabur adalah tentang dua entitas antara diri sendiri dan orang lain. Yang ditekankan adalah bagaimana yang pertama menata pikiran agar terhindar dari perasaan lebih istimewa dari yang kedua. Secara praktis, kiat-kiat yang ditawarkan Imam al-Ghazali adalah sebagai berikut:

Pertama, bila yang disebut orang lain itu anak kecil maka sadarlah bahwa ia belum pernah bermaksiat kepada Allah, sementara dirimu yang lebih tua sebaliknya. Tak diragukan lagi, anak kecil itu lebih baik dari dirimu.

Kedua, bila orang lain itu lebih tua, beranggapanlah bahwa ia beribadah kepada Allah lebih dulu ketimbang dirimu, sehingga tentu orang tersebut lebih baik dari dirimu. 

Ketiga, bila orang lain itu berilmu, beranggapanlah bahwa ia telah menerima anugerah yang tidak engkau peroleh, menjangkau apa yang belum kau capai, mengetahui apa yang tidak engkau ketahui. Jika sudah begini, bagiamana mungkin kau sepadan dengan dirinya, apalagi lebih unggul?

Keempat, bila orang lain itu bodoh, beranggapanlah bahwa kalaupun bermaksiat orang bodoh berbuat atas dasar kebodohannya, sementara dirimu berbuat maksiat justru dengan bekal ilmu. Ini yang menjadi alasan atau dasar (hujjah) pada pengadilan di akhirat kelak.

Kelima, bila orang lain itu kafir, beranggapanlah bahwa kondisi akhir hayat seseorang tidak ada yang tahu. Bisa jadi orang kafir itu di kemudian hari masuk Islam lalu meninggal dunia dengan amalan terbaik (husnul khâtimah). Jika demikian, ia keluar dari dosa-dosa masa lalu sebagaimana keluarnya sehelai rambut dari adonan roti, mudah sekali. Sementara dirimu? Bisa jadi Allah sesatkan dirimu di ujung kehidupan, berubah haluan menjadi kafir, lalu menutup usiamu dengan amal terburuk (sûul khâtimah). Dengan demikian, muslim dan kafir sekarang masih sangat mungkin berbalik nasib di kemudian hari. Dirimu yang kini muslim mungkin di kemudian hari masuk kelompok orang yang jauh dari Allah dan dia yang sekarang kafir mungkin di kemudian hari masuk golongan orang yang dekat dengan Allah.

Tampak sekali Imam al-Ghazali hendak menutup peluang timbulnya ujub dan takabur dengan menunjukkan kemungkinan-kemungkinan terburuk dalam diri manusia. Seolah beliau ingin mengatakan bahwa sepatutnya seseorang menghabiskan energinya untuk introspeksi (muhâsabah) kepada diri sendiri ketimbang sibuk menghakimi kualitas diri orang lain. Sebab, hakim sejati hanyalah Allah dan keputusan final yang hakiki hanya ada di akhirat, bukan di dunia ini. 

Wallâhu a‘lam.

JASADNYA MASIH UTUH KETIKA PEMERINTAH ARAB MEMBONGKAR MAKAMNYA

Kagetnya Pemerintah Arab Saudi saat Membongkar Makam Syekh Nawawi


Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun kuburannya harus digali. Tulang belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan tulang belulang mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota. 

Lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah berikutnya terus silih berganti. Kebijakan ini dijalankan tanpa pandang bulu. Siapapun dia, pejabat atau orang biasa, saudagar kaya atau orang miskin, sama terkena kebijakan tersebut.

Inilah yang juga menimpa makam Syaikh Nawawi Al-Bantani. Setelah kuburnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari pemerintah kota untuk menggali kuburnya. 

Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim. Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti biasanya. Yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet atau tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. 

Bahkan kain putih kafan penutup jasad beliau tidak sobek dan tidak lapuk sedikit pun.Terang saja kejadian ini mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan. 

Langkah strategis lalu diambil. Pemerintah Arab Saudi melarang membongkar makam Syekh Nawawi Al-Bantani. Jasad beliau lalu dikuburkan kembali seperti sediakala. Hingga sekarang makam beliau tetap berada di Ma'la, Mekkah. 

Syekh Nawawi Al-Jawi Al-Bantani (1813-1898)

Nama lengkapnya ialah Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin Arabi al-Jawi al-Bantani. Ia dilahirkan di Tanara, serang, Banten, pada tahun 1230 H/1813 M. Ayahnya seorang tokoh agama yang sangat disegani. Ia masih punya hubungan nasab dengan Maulana Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (Cirebon).

Pada usia 15 tahun, Nawawi muda pergi belajar ke Tanah Suci Mekkah, karena saat itu Indonesia –yang namanya masih Hindia Belanda- dijajah oleh Belanda, yang membatasi kegiatan pendidikan di Nusantara. Beberapa tahun kemudian, ia kembali ke Indonesia untuk menyalurkan ilmunya kepada masyarakat.

Tak lama ia mengajar, hanya tiga tahun, karena kondisi Nusantara masih sama, di bawah penjajahan oleh Belanda, yang membuat ia tidak bebas bergiat. Ia pun kembali ke Makkah dan mengamalkan ilmunya di sana, terutama kepada orang Indonesia yang belajar di sana. 

Banyak sumber menyatakan Syekh Nawawi wafat di Makkah dan dimakamkan di Ma’la pada 1314 H/1897 M, namun menurut Al-A’lam dan Mu’jam Mu’allim, dua kitab yang membahas tokoh dan guru yang berpengaruh di dunia Islam, ia wafat pada 1316 H/1898 M.

Peran strategis bagi dunia dan Indonesia

Syekh Nawawi Al-Bantani adalah satu dari tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid Al-Haram di Makkah Al-Mukarramah pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dua yang lain ialah muridnya, Ahmad Khatib Minangkabau dan Syekh Mahfudz Termas. Ini menunjukkan bahwa keilmuannya sangat diakui tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di semenanjung Arab. 

Syekh Nawawi sendiri menjadi pengajar di Masjid al-Haram sampai akhir hayatnya yaitu sampai 1898, lalu dilanjutkan oleh kedua muridnya itu. Wajar, jika ia dimakamkan berdekatan dengan makam istri Nabi Muhammad, Khadijah ra di Ma’la.

Syekh Nawawi Al-Bantani mendapatkan gelar Sayyidu Ulama’ al-Hijaz yang berarti Sesepuh Ulama Hijaz atau Guru dari Ulama Hijaz atau Akar dari Ulama Hijaz. Yang menarik dari gelar di atas adalah beliau tidak hanya mendapatkan gelar Sayyidu ‘Ulama al-Indonesi sehingga bermakna, bahwa kealiman beliau diakui di semenanjung Arabia, apalagi di tanah airnya sendiri. 

Selain itu, beliau juga mendapat gelar al-imam wa al-fahm al-mudaqqiq yang berarti Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam. Snouck Hourgronje member gelar “Doktor Teologi”.

Jumat, 21 Juli 2017

Mengatasi Taher

Skip to content

Anda menginginkan tampilan yang lebih macho dengan sentuhan brewok yang diidamkan setiap wanita seperti ini?

Atau Anda mengalami masalah kebotakan?

Sekarang banyak orang yang masih berusia muda tapi sudah mengalami KEBOTAKAN seperti gambar ini... Hmmm ndk banget bukan..

Mau Tahu Cara Mudah dan Praktis
Menumbuhkan Brewok, Mengatasi Masalah Rambut Rontok Atau Kebotakan

Hari ini kami akan memberitahu kamu solusi yang mudah, murah, dan praktis yang dapat membantu kamu menumbuhkan brewok yang bikin gemes para cewek dan sekaligus bisa bantu atasi masalah kebotakan kamu.

MEMPERKENALKAN MINYAK KEMIRI AL-KHADRI

Apa itu Minyak Kemiri Al khodry ?

Minyak Kemiri Al khodry merupakan minyak kemiri asli 100% tradisional yang sangat aman dipakai karena sudah terdaftar izin dari Depkes RI. Minyak kemiri sudah sejak lama dikenal sebagai ramuan untuk membantu menumbuhkan, menyuburkan dan menebalkan rambut serta sangat baik jika dipakai untuk perawatan rambut secara rutin.

Apa Aja Khasiat Minyak Kemiri Al Khodry ?

Membantu menghitamkan warna rambut secara alami , bukan seperti efek semir yang buatanMembantu menebalkan rambut yang tipisMembantu mengatasi rambut yang rontokMembantu menyuburkan pertumbuhan rambutMembantu menumbuhkan bulu-bulu halusMembantu menumbuhkan alis mataUntuk bayi bisa membantu menebalkan dan menyuburkan rambut

Dijamin Original ?

Minyak Kemiri Al Khodry  ​dari kami dijamin ORIGINAL karena kita langsung import dari pabriknya. GARANSI UANG KEMBALI JIKA PALSU.

Cara pemakaian biar maksimal bagaimana?

Coba perhatikan video ini untuk cara pemakaiannya...

Cara Order

Caranya sangat mudah, anda cukup klik tombol "beli sekarang" yang ada di bawah foto dan anda akan kami pandu secara otomatis melalui sistem kami, setelah anda transfer maka orderan akan diterima bagian "penerima order" dan akan segera kami kirim ke alamat yang sudah anda daftarkan

Rp. 279.000

Rp. 145.000

(Hemat 134 ribu)

BELI SEKARANG

TESTIMONIAL

Previous

Next1234

Ada promo khusus hari ini, produk ini sedang ada diskon, tapi ndak lama karena stok tinggal sedikit. Jadi buruan diorder untuk dapat harga promo.. eh kalau persediaan masih ada juga ya ^_^ . Yuk.. BURUAN DIORDER!

Rp. 279.000

Rp. 145.000

(Hemat 134 ribu)

BELI SEKARANG

TUNGGU SEBENTAR !!!

Setiap orang mempunyai gen yang berbeda beda ada yang 1 bulan sudah terlihat hasilnya, bahkan ada yang 2 bulan baru terlihat hasilnya.

Jika kamu memesan 2 botol sekaligus, maka kamu akan mendapat 1 botol minyak kemiri lagi secara GRATIS.

Dan ingat! Saat ini Anda bisa bayar belakangan (via transfer). Bayar setelah barang sampai di tangan Anda. Tidak ada resiko, dan tidak perlu takut tertipu!

Jangan tunggu harga kembali normal, jangan tunggu promo 2 gratis 1 berakhir. Segera pesan sekarang! Tidak ada resiko apapun untuk Anda.

PROMO BELI 2 GRATIS 1 (Buruan Sebelum Kehabisan dan PROMO ini DITUTUP!)

YES Saya Mau, PESAN SEKARANG

Do'a sujud ketika dibacakan atau membaca atau mendengar ayat sajadah

Do'a sujud ketika dibacakan atau membaca atau mendengar ayat sajadah

Sebelum mengetahui apa itu sujud sajadah, ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan “ayat sajadah”. Ayat sajadah merupakan ayat dalam Al-Quran yang biasanya diberi tanda kubah seperti ini ,

contoh gambar dalam Al-Quran :

Ayat sajadah diantaranya :

– Ayat ke-206 dari Surah Al-A’raf
– Ayat ke-15 dari Surah Ar-Ra’d
– Ayat ke-50 dari Surah An-Nahl
– Ayat ke-109 dari Surah Al-Isra’
– Ayat ke-58 dari Surah Maryam
– Ayat ke-18 dari Surah Al-Hajj
– Ayat ke-77 dari Surah Al-Hajj, termasuk ayat sajadah menurut Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hambali
– Ayat ke-60 dari Surah Al-Furqan
– Ayat ke-25 hingga Ayat ke-26 dari Surah An-Naml
– Ayat ke-15 dari Surah As-Sajdah
– Ayat ke-38 dari Surah Fussilat
– Ayat ke-62 dari Surah An-Najm
– Ayat ke-21 dari Surah Al-Insyiqaq
– Ayat ke-19 dari Surah Al-‘Alaq Ayat ke-19 dari surat Al-‘Alaq 96:19
– Ayat ke-24 dari Surah Sad, tidak termasuk ayat sajdah menurut mazhab syafi’i dan mazhab Hambali, melainkan ayat yang disunnahkan untuk sujud syukur bila dibacakan.

ketika ada seseorang yang membaca ayat sajadah maka yang membaca ayat dan yang mendengarkan disunnahkan untuk melakukan sujud, sambil membaca :

“Sajada wajhiya lil ladzii kholaqohu washowwarohu wa syaqqo sam’ahu wabashorohu bihawlihi wa quwwatihi”

Artinya: “Wajahku sujud kepada Tuhan yang menciptakan, yang melukiskannya (membentuknya) yang memberi pendengaran dan penglihatan dengan daya serta kuasa-Nya.”

 

Arti Sujud Sajadah

Jadi dapat diartikan sujud sajadah (tilawah) merupakan sujud sunnah yang dilakukan ketika telah membaca atau mendengarkan ayat sajadah, baik dalam keadaan shalat atau tidak.

 

Apabila Ayat Sajadah Dibacakan Saat Shalat  :

maka kita langsung melakukan sujud sajadah, sehabis sujud kita akan terus bangun seperti saat shalat biasanya, dengan menyambung membaca ayat al-Quran kemudian teruskan dengan rukuk seperti biasa. Detailnya sebagai berikut:

1. Niat “aku sujud sajadah kerana Allah Ta’ala”, Mengucapkan takbir untuk sujud
2. Sujud sambil membaca doa di atas.
3. Mengucapkan takbir saat bangun dari sujud tanpa perlu mengangkat kedua tangan.
4. Selesai sujud berdiri tegak kembali dan meneruskan bacaan shalat kalau masih ada ayat yang hendak dibaca. Kalau tidak ada lagi ayat yang ingin dibaca, maka kita rukuk dan melanjutkan shalat seperti biasanya.

 

Apabila Ayat Sajadah Dibacakan Diluar Shalat :

1. Niat – “aku sujud sajadah kerana Allah Ta’ala”
2. Takbiratul Ihram, mengangkat kedua tangan untuk melaksanakan sujud sebagaimana mengangkat tangan saat sujud takbirotul ihrom (takbir pertama) saat shalat.
3. Sujud – sambil membaca bacaan sujud sajadah di atas
4. Duduk kemudian Salam.

 

Banyak ulama berpendapat, hukum dari sujud sajadah adalah sunnah muakkad. Sunnah muakkad adalah sunnah yang dituntut, sehingga seseorang yang membaca dan mendengarkan haruslah melakukan sujud, walaupun masih dalam kategori sunnah (bila tidak dikerjakan tidak akan menjadi dosa). Oleh karena itu seseorang yang akan membaca ayat sajadah sebaiknya mengetahui kondisi sekitar atau orang-orang yang ada disekelilingnya apakah semuanya akan mampu melakukan sujud atau tidak. Karena dikhawatirkan ada orang tua atau ada orang berhalangan seperti akan berpergian yang tidak bisa melakukan sujud.

Rabu, 19 Juli 2017

Ayat Khilafah versi HTI


Ayat Khilafah versi HTI

Ilustrasi (ok.ru)

Oleh M Kholid Syeirazi

Dalam sebuah talkshow di salah satu stasiun TV swasta, sahabat dan senior saya, Masduqi Baidlawi (Wasekjen PBNU), terlibat perdebatan panas dengan Rokhmat S. Labib, Ketua DPP HTI. Di puncak debat, Cak Duqi—demikian sapaan akrabnya—mengejar tokoh HTI untuk menunjukkan ayat Al-Qur’an yang memerintahkan pendirian Khilafah. Akhirnya dikutip ayat Al-Qur’an, QS. al-Baqarah/2: 30:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً.... الآية

Untuk memperkuat dalilnya, Ketua HTI mengutip Tafsîr al-Qurthûbî. Saya tidak ingin membeberkan sikap taqiyyah/ngeles HTI dalam banyak pokok soal. Jejak digitalnya telah dihimpun secara apik oleh sahabat saya, Mahmud Syaltout. Saya hanya ingin melacak dalil yang digunakan tokoh HTI untuk meyakinkan kewajiban penegakan Khilafah. Karena yang dikutip adalah Tafsîr al-Qurthûbî, saya akan buka dan sampaikan isinya. Imam Qurthûbî (Abû Abdillâh Muhammad ibn Ahmad al-Anshârî al-Qurthûbî) adalah salah seorang mufassir terkemuka dari Cordova, Spanyol, yang hidup di masa keemasan dinasti Islam di Semenanjung Iberia. Beliau bermadzhab Maliki, belajar ke Timur, menetap dan wafat di Mesir. Karyanya yang terkenal adalah Tafsîr al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, dikenal dengan Tafsîr al-Qurthûbî. Sesuai judulnya, fokus tafsir ini adalah menguraikan berbagai hukum Islam berdasarkan dalil al-Qur’an dan Sunnah. Versi yang saya gunakan adalah cetakan Beirut: Dâr al-Kitâb al-Arabî, 2008, ditahqiq oleh Abdurrazzâk al-Muhdî.

Jika di kitab tafsir lain terkait QS. al-Baqarah/2: 30 tidak ditemukan ‘tafsir politis’ (karena ayat ini menjelaskan proses pengangkatan Nabi Adam sebagai خليفة الله في الارض), Imam Qurtûbhî menafsirkan ayat وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً sebagai titik tolak pembahasan tentang fikih siyasah, diuraikan panjang lebar, hingga 14 halaman (dari h. 302 ̶ 315). Tokoh HTI mengutip Qurthûbî untuk mengukuhkan keyakinan tentang kewajiban penegakan Khilafah. Penggalan pernyataan yang dikutip adalah: 

هذه الاية اصل في نصب امام وخليفة

“Ayat ini adalah dasar untuk mengangkat imam atau khalifah.”

Saya akan mengutip selengkapnya sebagai berikut (h. 305):

هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع ، لتجتمع به الكلمة ، وتنفذ به أحكام الخليفة . ولا خلاف في وجوب ذلك بين الأمة ولا بين الأئمة إلا ما روي عن الأصم حيث كان عن الشريعة أصم ، وكذلك كل من قال بقوله واتبعه على رأيه ومذهبه ، قال : إنها غير واجبة في الدين بل يسوغ ذلك ، وأن الأمة متى أقاموا حجهم وجهادهم ، وتناصفوا فيما بينهم ، وبذلوا الحق من أنفسهم ، وقسموا الغنائم والفيء والصدقات على أهلها ، وأقاموا الحدود على من وجبت عليه ، أجزأهم ذلك ، ولا يجب عليهم أن ينصبوا إماما يتولى ذلك . ودليلنا قول الله تعالى : إني جاعل في الأرض خليفة ، وقوله تعالى : يا داود إنا جعلناك خليفة في الأرض ، وقال : وعد الله الذين آمنوا منكم وعملوا الصالحات ليستخلفنهم في الأرض أي يجعل منهم خلفاء ، إلى غير ذلك من الآي .

“Ayat ini adalah dasar untuk mengangkat imam atau khalifah yang didengar dan dipatuhi, untuk menyatukan kalimat dan melaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada perbedaan pendapat di antara umat dan imam tentang kewajibannya kecuali apa yang diriwayatkan oleh al-Asham (Abu Bakar al-Asham, pemuka Mu’tazilah), padahal dia tuli terhadap syariat, dan orang yang sependapat dengannya dan pengikutnya, yang mengatakan: ‘Mengangkat imam/khilafah tidak wajib, tetapi sekadar menyempurnakan agama. Apabila umat sudah bisa mendirikan haji dan jihad, saling bahu-membahu di antara mereka, mencurahkan hak mereka sendiri, membagikan harta rampasan perang, fai, dan sedekah kepada yang berhak, menegakkan hukum kepada pelaku kejahatan—yang demikian ini sudah cukup dan tidak wajib mengangkat imam untuk memimpin pelaksanaan hal-hal itu.’ Dalil kami (tentang wajibnya mengangkatnya pemimpin) adalah firman Allah إني جاعل في الأرض خليفة dan firman Allah yang lain يا داود إنا جعلناك خليفة في الأرض serta ayat  وعد الله الذين آمنوا منكم وعملوا الصالحات ليستخلفنهم في الأرض.

Apa yang bisa dipetik dari kutipan ini? Pertama, Imam Qurthûbî menyatakan pengangkatan pemimpin (imam/khalifah) atau bahasa arabnya نصب الامامة itu wajib. Wajibnya bukan wajib aqli, tetapi wajib syar’i. Pernyataan ini lumrah di kalangan Sunni, termasuk al-Mawardi dalam kitabnya al-Ahkam as-Sulthaniyyah yang dipelajari di pesantren-pesantren. Meski menyebut tidak ada perbedaan di antara imam-imam besar tentang kewajiban نصب الامامة, Qurthûbî menyinggung pendapat ganjil al-Asham—pemuka Mu’tazilah yang dia cela sebagai tuli terhadap syariat (الأصم كان عن الشريعة أصم)—yang berpendapat sebaliknya. 

Kedua, yang perlu digarisbawahi adalah kewajiban mengangkat pemimpin, bukan sistem kepemimpinan Khilafah ala HTI yang bentuknya sampai sekarang tidak jelas. Kalau soal نصب الامامة, yang dilakukan di semua negara di dunia, termasuk negeri-negeri Muslim, semuanya adalah dalam rangka نصب الامامة. Mereka mengangkat pemimpin mereka, ada yang dengan cara demokrasi—dengan berbagai bentuk dan variasinya, ada model monarki/ مملكة (dinasti turun temurun), ada juga kudeta (mengambil paksa dari pemimpin sebelumnya), dst. 

Hal ini diakui Qurthûbî dalam uraian berikutnya bahwa bentuk نصب الامامة bermacam-macam yang tidak didasarkan kepada nash baku. Karena itu, beliau menolak pendapat yang berkembang di kalangan syiah tentang keharusan transmisi Imâmah dari jalur Imam Ali karramallahu wajhah  dan keturunannya berdasarkan hadis “من كنت مولاه فعلي مولاه”. Hadis ini, menurut Qurthûbî, bukan justifikasi tekstual untuk mengangkat Imam Ali dan keturunanannya sebagai Khalifah dalam pengertian pemimpin politik sepeninggal Nabi. Qurthûbî mengakui bentuk-bentuk نصب الامامة bermacam-macam sebagaimana berlangsung di antara Khulafa’ Rasyidun, yaitu pengangkatan Abu Bakar RA, dari Abu Bakar RA ke Umar RA, dari Umar RA ke Utsman RA, dari Utsman RA ke Ali KW; masing-masing berbeda-beda dan wajib ditaati. Bahkan, seandainya seorang Imam meraih kekuasaan dengan cara kudeta, dia juga harus ditaati, sejauh tidak mengancam agama (h. 311). 

Ketiga, demokrasi adalah salah satu mekanisme نصب الإمامة yang sah. Dan ini yang dipilih dan disepakati oleh founding fathers yang mendirikan NKRI. Para pendiri NKRI antara lain adalah ulama dan tokoh-tokoh Islam yang paham dalil. Program HTI adalah mengubah kesepakatan, mengharamkan nasionalisme, men-thagut-kan demokrasi, dan berniat mengganti NKRI berdasarkan Pancasila dengan Khilafah. Dalam perspektif Qurthubi, tindakan ini merupakan خروج من البيعة, keluar dari kesepakatan, bagian dari rencana bughot yang harus diperangi. 

Akhirul kalam, istidlâl HTI terhadap QS. al-Baqarah/2: 30 sebagai dasar kewajiban mendirikan Khilafah sebagai sistem politik, yang sampai sekarang bentuknya tidak jelas itu, terlalu jauh. Mengutip Qurthubi juga tidak lengkap. Kewajiban mengangkat pemimpin adalah satu hal, cara memilih pemimpin adalah hal lain. Wallâhu a’lam.

Penulis adalah Sekretaris Jenderal PP ISNU