Bolehkah Meminjam Uang Organisasi untuk Kepentingan Pribadi?
Ilustrasi (Reuters)
Khoiron, NU Online | Jumat, 21 Desember 2018 10:00
Pengurus sebuah organisasi tentu pernah mengalami berbagai dinamika organisasi yang diembannya, salah satunya dalam persoalan keuangan. Orang yang berada dalam posisi bendahara dituntut agar cemerlang dalam hal mengelola uang serta mencatat segala pemasukan dan pengeluaran organisasi secara rinci, sebagai bentuk laporan pertanggungjawaban.
Namun seringkali, pengurus organisasi tidak terlepas dengan berbagai kebutuhan pribadi yang bersifat mendesak, sedangkan kondisi keuangannya tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Hingga akhirnya ketika ia melihat uang organisasi yang sedang tidak digunakan, ia berinisiatif menggunakan uang organisasi untuk kepentingan pribadinya dengan niat nanti ketika uang tersebut digunakan oleh organisasi, ia akan segera membayar utangnya pada organisasi. Dalam permasalahan demikian muncul sebuah pertanyaan, dapatkah dibenarkan tindakan yang ia lakukan tersebut secara syara’?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut baiknya dipahami terlebih dahulu bahwa uang organisasi merupakan uang yang hanya boleh digunakan untuk segala kepentingan yang berhubungan dengan kemaslahatan organisasi. Sehingga, tidak diperkenankan bagi pengurus organisasi untuk menggunakan uang organisasi untuk kepentingan lain yang tidak ada hubungannya dengan kemaslahatan organisasi.
Ketentuan demikian berdasarkan hadits:
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا أَحَلَّ حَرَامًا أَوْ حَرَّمَ حَلاَلاً
“Orang Muslim wajib menunaikan persyaratan yang telah disepakati bersama kecuali persyaratan yang menghalalkan perkara yang haram atau mengharamkan perkara yang halal.” (HR. Baihaqi)
Tindakan yang masuk kategori menggunakan uang organisasi untuk kepentingan di luar kemaslahatan organisasi adalah menggunakan uang organisasi untuk kepentingan pribadi dengan bentuk mengutang. Sebab, tindakan demikian keluar dari mashraf (alokasi penggunaan) yang semestinya.
Namun berutang uang organisasi menjadi boleh ketika keperluan pengurus organisasi terhadap pemenuhan kebutuhannya berada dalam keadaan mendesak (dlarurat), misalnya seperti menggunakan uang organisasi untuk menyelamatkan nyawa orang lain, untuk berobat, atau untuk keperluan Baik seperti Biaya sekolah, menuntut ilmu sedangkan ia tidak dapat menemukan pinjaman uang lain selain uang milik organisasi, maka diperbolehkan.
Selain itu, meminjam uang organisasi menjadi boleh ketika yang mengelola uang adalah dari pihak hakim pemerintah yang memang memiliki kekuasaan khusus dalam pengelolaan uang organisasi ini, sebab ruang kekuasaan hakim dianggap sangatlah luas dibanding dengan pengurus organisasi yang bersifat independen.
Penjelasan demikian seperti yang terdapat dalam kitab Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah dalam menerangkan persoalan harta seorang muwali (orang yang hartanya dikelola oleh orang lain):
أما الشافعية فقد فصلوا في المسألة وقالوا: لا يجوز إقراض الولي مال موليه من غير ضرورة إذا لم يكن الحاكم، أما الحاكم فيجوز له عندهم إقراضه من غير ضرورة - خلافا للسبكي - بشرط يسار المقترض وأمانته وعدم الشبهة في ماله إن سلم منها مال المولى عليه، والإشهاد عليه، ويأخذ رهنا إن رأى ذلك
“Mazhab Syafi’iyah dalam permasalahan ini (meminjam harta muwali) memberikan perincian: tidak boleh bagi wali untuk meminjam harta muwali selain dalam keadaan darurat, bila si peminjam bukan seorang hakim. Sedangkan bila ia hakim maka boleh baginya untuk berutang harta muwali (kepada orang lain) meskipun tidak dalam keadaan darurat (meskipun terjadi perbedaan pendapat menurut Imam As-Subki) dengan syarat: orang berutang itu kaya dan amanah, tak ada syubhat dalam praktik peminjaman ini, hakim menyertakan saksi dan boleh mengambil jaminan darinya jika hakim memandang bahwa hal tersebut adalah yang maslahat.” (Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Juz. 33, hal. 116)
Bagi orang yang sudah terbiasa melakukan penggunaan uang organisasi untuk keperluan pribadi, seperti dengan cara mengutang ini, masih terdapat solusi agar tindakannya dapat dibenarkan. Yaitu dengan cara meminta izin kepada hakim atau kepada donatur yang memberikan uang kepada organisasi, agar dirinya diperkenankan meminjam uang organisasi untuk keperluan pribadinya. Ketentuan ini berdasarkan referensi dalam Bughyat al-Mustarsyidin:
ـ (مسئلة ش) ليس لناظر الوقف وولى المحجور الاقتراض له لنحو نفقة وعمارة كإقراض ماله الا باذن الواقف او الحاكم
“Nadzir (pengelola) barang wakaf dan wali dari orang yang dicegah mengelola harta (seperti karena anak-anak atau gila, red) dilarang meminjam harta yang dikelolanya seperti untuk kepentingan memberi nafkah dan membangun. Seperti halnya tidak diperkenankan meminjam uang tersebut (pada orang lain) kecuali telah diizinkan oleh orang yang mewakafkan barang atau mendapat izin dari hakim.” (Abdurrahman bin Muhammad bin Husein Ba’lawy, Bughyat al-Mustarsyidin, hal. 175)
Berutang yang tidak diperbolehkan dalam permasalahan di atas tidak hanya terbatas pada bentuk berutang untuk kepentingan pribadinya saja, tapi juga mencakup segala bentuk berutang dari uang organisasi yang tidak ada kaitannya dengan kemaslahatan organisasi. Termasuk memberi utang orang lain untuk kepentingan kebutuhan mereka sendiri, maka hal ini juga tidak diperbolehkan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa meminjam uang organisasi untuk diri sendiri atau orang lain adalah hal yang tidak diperbolehkan secara syara’, sebab tindakan tersebut tidak berkaitan dengan alokasi uang organisasi yang hanya diperuntukkan untuk kepentingan organisasi saja. Kecuali dalam keadaan mendesak (dlarurat) atau pengurus sudah mendapat izin dari hakim atau donatur yang memberikan uang kepada organisasinya.
Wallahu a’lam.
(Ustadz Ali Zainal Abidin)
KONTAK
Nahdlatul Ulama
Jl. Kramat Raya 164, Jakarta 46133 - Indonesia, redaksi[at]nu.or.id
MEDIA PARTNER
© 2016 NU Online. All rights reserved. Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar