Jumat, 03 April 2020

PANDEMI CORONA MENUAI KONTROFERSI RITUAL IBADAH


Sampai hari ini (sabtu, 04/04/2020), Indonesia belum menemukan titik terang menghadapi wabah Covid-19. Hal ini terlihat dari jumlah pasien positif yang terus meningkat, ODP dan PDP semakin melonjak  dan angka kematian terus bertambah. Pemerintah melalui juru bicara untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto menyebutkan bahwa kasus Covid-19 menembus angka 1790 orang positif dan 170 orang meninggal.

Berbagai kebijakan telah dilakukan untuk menekan penyebaran Covid-19, mulai dari pysical distancing (jaga jarak), melarang perkumpulan dalam skala besar, melarang acara-acara seperti seminar, diskusi, pernikahan dan lain sebagainya yang berpotensi besar menjadi jalan penularan virus.

Bahkan, di daerah-daerah sudah banyak yang membuat kebijakan tersendiri yang terkadang berbeda dengan kebijakan pemerintah pusat, seperti menutup ruas jalan dan karantina lokal. Walaupun mereka tidak berani untuk menyebutnya dengan istilah lockdown. Karena secara konstitusional kebijakan demikian merupakan kewenangan pemerintah pusat.

Dalam bidang keagamaan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menjadi manifestasi pemerintah dalam bidang keagamaan juga ikut menetapkan kebijakan untuk menekan penyebaran Covid-19. MUI menetapkan tidak bolehnya mengadakan acara-acara keagamaan dalam skala besar, seperti shalat Jumat, sholat Fardhu berjama'ah, pengajian, tabligh akbar dan lain sebagainya.

Kebijakan tersebut menuai tanggapan yang beragam dari masyarakat. Sebagaian mendukung kebijakan tersebut dan sebagian menolaknya. Mereka yang mendukung berargumentasi dengan keselamatan yang lebih besar. Dan mereka yang menolak berargumentasi bahwa shalat Jumat dan berjama'ah adalah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan dalam kondisi apapun. Bahkan sempat viral beberapa video yang memperlihatkan bersitegang antara aparat dengan jamaah yang tetap ingin melaksanakan shalat Jumat, dan sholat fardhu berjama'ah.

Menanggapi hal di atas, penulis mendukung pandangan yang meliburkan shalat Jumat, dan berjama'ah Pandangan ini dilontarkan sebagai respon atas pertanyaan seorang jamaah pada penulis.

beberapa argumentasi. Di antaranya adalah argumentasi logika dan argumentasi sejarah. diantara Argumentasi dan analognya antara lain :

pertama, jika kita sedang melaksanakan shalat, sementara di samping kita ada anak kecil yang akan terjatuh, apakah kita akan meneruskan shalat ataukah menolong anak tersebut? Jamaah sontak menjawab, "membatalkan salat".

Analogi kedua, jika kita sedang melaksanakan shalat dan kita mendengar ada orang yang hendak mencuri kendaraan kita, apakah kita juga akan melanjutkan shalat? Jamaah menjawab, "tidak". 

Dan analogi ketiga adalah jika kondisi ibu kita sakit, sementara di rumah tidak ada orang lain, apakah kita harus pergi shalat Jumat dan sholat jama'ah ataukah menemani ibu kita? Jelas jawabannya adalah menemani ibu kita.

Sedangkan argumentasi sejarah adalah dengan menyebutkan bahwa ibadah haji pernah diliburkan dua kali, yaitu ketika Perang Dunia kedua dan ketika Daulah Muawiyyah di bawah kepemimpinan Yazid bin Muawiyah. Pada waktu itu, Ka'bah hancur karena digempur oleh kepemimpinannya. Hal ini menyebabkan haji diliburkan, jika haji saja bisa diliburkan, apalagi shalat Jumat, dan berjama'ah sholat fardhu?????

Dengan analogi dan sejarah di atas, pada intinya penulis ingin mengatakan bahwa keselamatan harus lebih diutamakan daripada ibadah yang menimbulkan kemadharatan. Hal ini, karena jika shalat Jumat dan berjama'ah tetap dilaksanakan akan menimbulkan madharat yang besar karena virus Covid-19 sangat dimungkinkan menular dengan cepat dalam kerumunan masa yang besar. Sehingga tidak ada masalah untuk meliburkannya terlebih dahulu sampai kondisi pulih kembali. Meskipun tetap saja, shalat Jumat dalam kondisi pandemi ini harus diganti dengan shalat Dhuhur, dan sholat fardhu lainnya dilaksanakan Munfarid.

kemudian ada yg bertanya " Saya kurang Afdhol jika mengganti jumat dengan zuhur dan tidak melaksanakan sholat fardhu secara jama'ah"!!!!

begini saudara " Kita beribadah bukan pakai perasaan akan tetapi pakai ilmu!!!

sekarang saya tanya????

sholat zuhur ada ilmunya atau tidak?????
dan sholat munfarid atau sendiri ada tuntunannya atau tidak?????

maka kalau ada, Fatwa tersebut semuanya berdasar dan tidak ngarang-ngarang.

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa jika suatu ibadah menimbulkan kemadharatan maka harus ditinggalkan. Ibadah bisa ditanggalkan jika ada hal yang menjadi alasan kuat untuk ditinggalkan. Seperti misalnya shalat yang diharuskan untuk berdiri bisa diganti dengan duduk karena ada alasan kuat, seperti enggan mampu untuk berdiri dikarenakan sedang sakit parah, dan ibadah jangan pakai perasaan, karena ini akan repot dan menimbulkan sifat was-was, akan tetapi kalau pakai ilmu ibadah kita akan jadi tenang untuk dilaksanakan.

dan Begitu juga misalnya, puasa Ramadhan yang diwajibkan bagi semua kaum Muslimin bisa ditanggalkan dan diganti di bulan lain karena ada alasan kuat, seperti misalnya sakit, dalam perjalanan atau dalam masa lansia. Kenapa diperbolehkan tidak berpuasa? Karena jika memaksa untuk berpuasa keselamatan jiwa seseorang akan terancam. Pada akhirnya, dalam kondisi dharurat, keselamatan harus lebih diutamakan dibanding melakukam ibadah dengan cara-cara sebagaimana mestinya (ikhtiar).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar