Menjadi Islam itu artinya menjadi terbuka bagi ruang pintu kehidupan baru yang harmonis kepada sesama manusia. Ada tiga prasyarat utama yang harus terpenuhi sebagai penganut yang taat beragama, yaitu menjadi Islam, Iman, dan Ihsan. Berbuat baik kepada orang lain harus dilandasi dengan Islam dan Iman. Ihsan secara konkret dapat disaksikan oleh mata, berupa kesalehan sosial dengan cara-cara menolong sesama atau berdedikasi terhadap kegiatan sosial (Khairunnas Rajab, 2012).
Sebab itulah, agama menjadi lumbung pengetahuan yang bisa diambil dari pelbagai sudut pandang aspek epistemologi ilmu, baik itu ilmu sosial, budaya, politik dan semacamnya, semua seakan tertata rapi dalam bingkai agama Islam. Syahdan, secara garis besar kita harus membentuk kehidupan di tengah masyarakat dengan mengacu pada keteladanan kehidupan Rasulullah Saw., para sahabat, tabi’in, dan para ulama.
Salah satunya ajaran pokok agama Islam adalah mengajarkan hidup yang santun, bermartabat, dan cinta terhadap sesama. Seperti yang disinyalir oleh Gus Dur (2007:11) bahwa dasar sikap hormat bisa mendorong akan tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar sesama manusia. Bukan sering menyalahkan. Bukan sering mengkafirkan. Bukan sering menganggap orang lain itu salah.
Menampilkan sisi agama yang santun di tengah kehidupan masyarakat sebagai perisai dan laku hidup keseharian itu bagai menghiasi diri dengan keindahan-keindahan secara lahir dan batin. Kefiguran yang ditampilkan dengan sikap tersebut membuat masyarakat terlena. Akhirnya, agama tidak dipandang ruwet tapi luwes dan luas. Agama sebagai sumber nilai dan norma bukan berarti selalu melarang setiap tradisi yang menyimpang dengan agama, tapi memperbaharui, meluruskan, membenarkan dengan cara-cara akulturasi yang baik (J. Suyuthi Pulungan, 2002: 144).
Sikap luhur sebagai simbol dan ekspresi lahiriyah keagamaan, tetapi manusia senantiasa bisa menangkap makna di balik itu semua, berupa pendidikan moral, etika, atau akhlak yang mulia. Beragama dengan serius bukan berarti meninggalkan kehidupan duniawi, tetapi justru sebaliknya, mendorong ikut andil di dalamnya untuk memperbaiki masyarakat dalam dimensi-dimensi yang sangat kecil sekalipun (Nurcholish Madjid, 2007).
Mencontohkan Sikap Santun
Idealisme yang ingin dicapai dari hidup santun adalah mengubah cara pandang atau opini masyarakat atas stereotip agama yang selama ini dikenal garang, ngamuk, mengekang dan marah. Hemat penulis, melalui sikap santun dan santai masyarakat akan lebih menerima agama sebagai prinsip dalam bertindak dan berperilaku yang ideal. Islam yang santun bukan sekadar wacana mati yang tegak di atas menara gading, tapi harus dipraktikkan dalam bentuk kehidupan sosial yang nyata.
Terciptanya kerukunan sejati antar umat beragama, yang dapat menjamin terbinanya kehidupan yang penuh kedamaian, harmonis, tenang, membuka lebar cakrawala Islam untuk terus berdialog dan menumbuhkan sikap terbuka kepada orang lain dengan etika syariah Islam: menghormati!
Menjadi Islam santun dan santai tidak mudah. Harus ada figur! Siapa? Secara umum Rasulullah telah selesai mengajarkan keutamaan akhlak yang baik. Konteks hari ini diteruskan oleh para kiai atau ulama, dengan cara memberi contoh kepada masyarakat untuk mewujudkan manusia yang taat beragama dengan cara-cara yang baik—bersikap santun dan santai—tidak mengedepankan emosional dalam beragamaPenanaman sikap tersebut harus dimulai sejak sekarang. Bukan menunggu orang lain mengerjakan. Namun, menciptakan figur-figur kecil di tengah hiruk-pikuk kehidupan, yang pelan-pelan mulai melupakan etika, mengabaikan keutamaan akhlak. Maka, selama para tokoh agama dan pemimpin tidak mencerminkan sikap Islam yang santun dan santai mustahil akan tercipta generasi muslim yang lebih santun dan santai.
Wallahua’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar