Rabu, 24 Maret 2021

BAHAYA BELAJAR AGAMA SECARA OTODIDAK



Akhir – akhir ini ramai terjadi pro kontra di kalangan warganet yang membahas isi pengajian seorang penceramah yang cukup kontroversial, bahkan sang penceramah pernah dilaporkan ke polisi atas isi ceramahnya yang mengatakan jika Nabi Muhammad pernah sesat.

Selain itu sang penceramah tersebut mengakui jika dirinya tak pernah memiliki guru dan belajar agama secara otodidak.

Benarkah belajar ilmu agama bisa dilakukan tanpa guru ? mengingat zaman sekarang sudah banyak - fasilitas terjemah Al Qur’an, Hadits bahkan kitab- kitab para ulama.

Dalam sebuah pengajian Gus Baha mengingatkan pentingnya sanad (transimisi keilmuan) dalam memahami ilmu agama.

“Andaikan tidak ada sanad (transmisi keilmuan) maka orang akan berpikir agama sesuai maunya dan itu bahaya sekali,”tegasnya.

“Karena agama Islam ini riwayat mau tidak mau ngaji itu harus lewat ulama jangan lewat terjemah, karena teks tidak mewakili ahwal,”

"Imam Ghozali yang mempunyai kitab Ihya fatwanya seperti itu (masih menyebut sanad,red), lho kok sekarang ada orang yang membaca Ihya hanya lewat terjemah lalu berkoar mewakili Imam Ghozali, atau orang membaca Al Qur’an hanya lewat terjemah lalu membuka majelis tafsir, ini celaka,” lanjutnya.

Berdasarkan hadits – hadits berikut ini sangat jelas Rasulullah mengingatkan jika belajar ilmu agama harus melalui seorang guru, dan tidak bisa secara otodidak
Rasulullah SAW bersabda:

يا أيها الناس تعلموا فإنما العلم بالتعلم والفقه بالتفقه

Artinya : Wahai manusia, belajarlah ilmu. Karena sesungguhnya ilmu hanya diperoleh dengan belajar dan pengetahuan agama hanya diperoleh dengan belajar melalui guru. (Hadits hasan).

Dalam hadits lain dari Ibnu Abbas Rasulullah SAW bersabda:

من قال في القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار

Aritnya : Barangsiapa yang berpendapat mengenai al-Quran dengan pendapatnya, maka bersiaplah menempati tempatnya di neraka. (HR Tirmidzi).

Gus Baha mengungkap jika dahulu para orientalis juga gemar mengutip ayat Al Qur'an dan hadits semaunya karena mereka tidak mempunyai guru. 

Selain itu Gus Baha menerangkan pentingnya transmisi keilmuan ini untuk menjaga keotentikan ajaran agama Islam agar sesuai aslinya dan bersambung kepada sumber utamanya.

“Kenapa kita harus menyebut sanad imam - imam kita, pertanyaannya kamu kok tahu kalau sahabat melakukan itu kata siapa? kata guru saya kan ? kamu tidak bisa langsung mengatakan kata Nabi karna hidup tidak se zaman, kata Nabi itu rawinya siapa ? Imam Bukhari, Imam bukhari itu siapa ? muridnya Imam Syafii, sehingga mau tidak mau kita harus menyebut ulama,”

“Misalnya kamu ditanya tahu Amerika dari mana? dari TV, wong TV aja kamu jadikan sanad masak Imam Syafi’i tidak,”

Misalnya sebagai contoh kamu tahu Nabi dari saya dan saya itu muridnya Kyai Maimoen, Kyai Maimoen muridnya Kyai Zubair, Kyai Zubair muridnya Kyai Faqih Maskumambang, Kyai Faqih muridnya Kyai Mahfudh Tremas, Kyai Mahfudh itu Murid Sayyid Abu Bakar Satho' beliau muridnya Sayyid Zaini Dahlan, muridnya Syekh Usman Ad Dimyati terus sampai ke Imam Syafi'i,”

“Kemudian Imam Syafi'i muridnya Imam Malik yang berguru kepada Ibnu Sihab Azzuhri punya guru Imam Nafi' punya guru Abdullah Bin Umar yang bertemu Rasulullah SAW,” pungkas Gus Baha

Wallahu A’lam Bisshowaab


Tidak ada komentar:

Posting Komentar