==================================
Assalamu'alaikum wr wb. saya pernah mencuri buah mangga di desa sebelah dan saya ingin bertobat.
Saya ingin mengembalikan Harta curian itu namun saya tidak tahu pemilik tanah itu. Saya sudah berusaha mencari dan saya tidak menemukan pemilik tanah itu. Bagaimana cara saya mengembalikan harta itu? Mohon dijawab karena saya ingin benar benar bertobat. (Nuris, Bondowoso)
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warhmatullahi wabarakatuh. Penanya yang budiman, semoga rahmat dan kasih sayang Allah subhanahu wata’ala senantiasa menyertai kita semua! Âmîn yâ rabbal ‘âlamîn.
Bersyukurlah, Saudara masih mendapat anugerah kesadaran untuk tetap peduli dengan hak sesama manusia (haq adami). Terus terang, penulis cemburu dengan Saudara yang dikaruniai kelembutan hati sedemikian ini. Kadang penulis merasa malu sendiri untuk menjawabnya karena merasa tidak lebih baik.
Semoga kita semua dapat istiqamah memegang komitmen menjauhi segala perkara haram, sedikit apa pun itu. Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Al-Baihaqi dari Sayyidina Abu Bakar al-Shiddiq radliyallahu ‘anhu, dan tertuang di dalam kitab Nashaihul ‘Ibad karya Syekh Nawawi Umar al-Jawi, atau yang biasa dikenal dengan panggilan Syekh Nawawi Banten. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: kullu lahmin nabata min suhtin fa al-naru aula bihi (setiap daging yang tumbuh dari perkara yang haram, maka api adalah lebih utama baginya dibanding perkara haram tersebut).
Di dalam kesempatan yang lain juga disampaikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dalam Syu’abu al-Iman, dari Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
وَلاَيَكْسِبُ عَبْدٌ مَالاً مِنْ حَرامٍ فَيُنفِقُ مِنْهُ فَيُبَارَكَ لَهُ فِيْهِ وَلاَ يَتَصَدَّقَ بِهِ فَيُقْبَلَ مِنْهُ وَلاَيَتْرُكُهُ خَلْفَ ظَهْرِهِ إلاَّ كاَنَ زَادَهُ إلى النّارِ إنَّ اللّهَ لاَ يَمْحُوْ السَّيْءَ بِالسَّيْءِ وَلكِنْ يَمْحُوْ السَّيْءَ بِالْحَسَنِ إنَّ الْخَبِيْثَ لاَ يَمْحُوْ الْخَبِيْثَ
"Tiada seseorang bekerja dengan cara haram, lalu setelah mendapatkan kemudan ia infakkan harta itu lantas ia beroleh keberkahan. Tiada pula karena bersedekah dengan harta itu, lantas kemudian ia menjadi seorang yang diterima (amal ibadahnya). Tiadalah ia karena meninggalkan harta itu ke ahli warisnya, melainkan justru semakin mendekatkannya ke api neraka.
Ketahuilah sesunguhnya Allah subhanahu wata’ala tiada menghapus suatu keburukan dengan keburukan. Namun, Allah hanya akan menghapus suatu keburukan lewat jalan kebaikan.
Sesungguhnya keburukan tiada menghapus keburukan” (HR al-Baihaqi). Apa yang disampaikan dalam hadits ini merupakan penghasilan yang diperoleh lewat jalan bekerja.
Adanya menjadi perhatian disebabkan rezeki itu harus masuk ke perut, sehingga tumbuh menjadi daging. Bila daging tumbuh dari perkara haram, maka nerakalah yang kelak pasti akan menjadi hisabnya. Lantas, bagaimana lagi bila penghasilan itu didapat dari jalan mengambil hak orang lain? Sudah barang tentu, imbasnya akan lebih besar dan lebih berat hisabnya kelak di akhirat.
Untuk itulah, maka di dalam Islam, berlaku yang namanya upaya mencari pelebur (kafarat) dari dosa yang pernah dilakukan.
Jika dalil asal cara bertobat dari mengambil hak orang lain adalah dengan cara mengembalikan fisik materi dari hak itu, apalagi dalam kasus pencurian, maka bila tidak ditemui adanya pihak yang layak menerima hak tersebut untuk dimintai ridhanya, maka solusinya adalah dengan melakukan amal kebaikan.
Hal ini sebagaimana bunyi eksplisit hadits yang menyatakan bahwasannya “iringilah perbuatan yang buruk (sayyiah) dengan perbuatan yang baik (hasanah) sebagai peleburnya!” (wa atbi’is sayyiatal-hasanata tamhuha). Itu artinya, perbuatan baik dengan tujuan melebur perbuatan buruk yang terlanjur dilakukan memang bisa menjadi solusi meski hal itu belumlah sempurna.
Sebab, sempurnanya pelebur adalah mengembalikan hak. Selama tidak bisa kembali, maka melakukan perbuatan baik, hanyalah merupakan sarana yang paling realistis dibanding tidak sama sekali.
Hal ini sesuai dengan bunyi kaidah ma la yudraku kulluh, la yutraku kulluh (segala sesuatu bila tidak bisa dilakukan menurut idealitasnya, ya jangan ditinggalkan seluruhnya). Meski tak seluruhnya, minimal sebagian dari idealiatas itu harus dilakukan. Semoga menjadi pelebur.
Sejauh mana perbuatan baik itu akan dilakukan? Seperti apa ukurannya? Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan tuntunan, yaitu “wa khaliq al-nas bi khuluqin hasanin” (pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik). Jadi, kisaran kafarat pencurian itu ada pada kisaran idealitas pengembalian, berbuat baik, dan aksi sosial. Alhasil, wasilah yang paling dekat dalam konteks ini, adalah dengan jalan berbuat kebaikan dalam bentuk materi kepada masyarakat.
Caranya, ya berbuat sedekah kepada masyarakat, minimal adalah senilai barang curian itu. Tentu, lebih besar adalah lebih baik, sebab bagaimanapun sedekah ini cuma solusi alternatif akibat kendala menemukan pemilik harta yang kita curi. Baca: Cara Melunasi Utang pada Orang yang Sulit Ditemukan Keberadaannya.
Semoga tulisan singkat ini dapat menjadi inspirasi kebaikan bagi para pembaca! Ada banyak kisah yang bisa kita temui untuk dijadikan dasar pedoman. Termasuk kisah ayah dari Imam Abu Hanifah atau Imam Al-Syafi’i (dalam sebagian versi) yang pernah mengambil buah apel yang jatuh di sungai dan hanyut tanpa diketahui pemiliknya. Bagi seorang yang wara’ (senantiasa menjaga perkara halal dan haram yang dikonsumsi), tentu mengambil sesuatu yang statusnya tidak jelas ini menjadi sebuah permasalahan.
Imbasnya, kita bisa rasakan sendiri sehingga sekarang, kedua keturunan dari beliau-beliau ini, menjadi ulama mujtahid mutlak. Pendapatnya banyak diikuti oleh umat Islam di hampir seantero wilayah dunia. Berkah dari riyadlah dan kehati-hatian sang orang tua, akhirnya lahir generasi unggul.
Wallahu a’lam bish shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar