WartaNasionalDaerahInternasionalKeislamanUbudiyahSyariahBahtsul MasailKhutbahHikmahTaushiyahDoaTokohFragmenPesantrenOpiniSeni BudayaPuisiCerpenRisalah RedaksiWawancaraPustakaHumorPendidikan IslamQuote IslamiKajian KeagamaanAnti HoaxTentang NU
Share
NU dari Kiai Hasyim Asy’ari ke Kiai Hasyim Muzadi
Mukafi, NU Online | Jumat, 21 April 2017 11:27
Oleh Deni Gunawan
Nahdlatul Ulama (NU) patut bersyukur, sampai detik ini ia masih bisa menghasilkan kader-kader terbaiknya untuk agama dan bangsa. Ini terbukti dari munculnya kader-kader NU yang berkiprah dan memberikan kontribusinya bagi kemajuan agama dan bangsa. Sejak NU didirikan, NU telah memiliki orang-orang hebat yang dihasilkan dari didikan serius ulama-ulama Nusantara. NU memang serius dalam meproduksi ulama-ulama kelas ‘elit’ guna menyokong kemajuan bangsa dan agama. Elit disini tidak diartikan bahwa kader-kader NU dan ulamanya sebagai “sok atas” akan tetapi makna elit disini berkaitan dengan “kemampuan yang luar biasa dan tinggi” yang dimiliki kader-kader NU dan kiainya dalam menjawab persoalan-persoalan umat yang berkembang setiap saat.
Kiai Hasyim Asyari adalah salah satu figur ‘elit’ yang pernah dimiliki NU, selain sebagai pendiri, ketua umum pertama dan hadratus syaikh di kalangana NU. Ia secara nyata telah meninggalkan warisan penting bagi kelangsungan umat dan bangsa Indonesia. Ia telah mewariskan satu wadah organisasi yang menampilkan satu wajah Islam yang ramah dan berkemajuan. Selain itu, Kiai Hasyim juga ikut melakukan perjuangan demi kemerdekaan bangsa Indonesia kala itu. Ini terbukti dari resolusi jihad yang dikeluarkannya untuk melawan penjajah hingga gelar pahlawan nasional yang diberikan negara padanya.
Dari Kiai Hasyim muncul lagi Kiai “Hasyim-Hasyim” yang lain di NU. Maksudnya adalah, bahwa NU selalu melahirkan ulama-ulama jenius yang memiliki wawasan keagamaan yang luas dibarengi dengan pemahaman kebangsaan yang tinggi. Dari Kiai Hasyim saat mendirikan NU hingga lahir Kiai Hasyim yang beberapa hari lalu telah berpulang adalah produk-produk elit NU yang sepanjang sejarahnya memang tidak pernah absen memberikan kader dan ulama terbaiknya bagi bangsa dan agama. Kepergian Kiai Hasyim Muzadi beberpa hari lalu memang menyisakan luka yang mendalam bagi masyarakat muslim Indonesia khususnya NU. Namun begitu, kepergian Kiai Hasyim tentu bukanlah kepergian yang sia-sia, sebagaimana tidak ada yang sia-sia dari kepergian Kiai Hasyim Asy’ari jauh sebelumnya. Hanya saja, sejauh mana ketidaksia-siaan itu dapat ditangkap pada generasi berikutnya adalah soal lain yang mestinya menjadi pertanyaan serius di dalam dirinya, khususnya generasi baru NU.
Warisan Kiai Hasyim
Secara garis besar perjuangan ulama-ulama NU tidak akan lepas dari persoalan keislaman dan kebangsaan. Dari sisi Islam, NU memang telah menyusun keislamannya dalam bentuk Islam yang bercirikan Islam Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) yang di dalamnya dikembangkan sikap-sikap atau pripsip-prinsip hidup beragama kaum Nahdliyin. Prinsip-prinsip tersebut tidak lepas dari sikap tawassuth (moderat), taaddul (adil), tasamuh (toleran), dan tawazzun (imbang). Prinsip dasar ini kemudian juga memberikan sumbangan besar bagi NU dalam hidup berbangsa dan bernegara di negara yang realitas penduduknya adalah plural.
Pada prinsipnya Kiai Hasyim Muzadi juga memegang prisip Islam Aswaja ini dalam beragama dan bernegara. Bagi Kiai Hasyim Islam Indonesia adalah Islam yang ramah di mana ia harus mampu menampilkan wajah yang damai dan toleran sehingga dapat hidup berdampingan dengan siapapun. Selain itu, gagasan mengenai negara Islam bagi Indonesia harus ditolak mentah-mentah sebab tidak sesuai dengan kenyataan demografi bangsa Indonesia yang majemuk selain secara historis memang para founding father tidak menghendaki negara ini bagi satu golongan saja.
Style perjuangan Kiai Hasyim tentu tidak akan sama dengan Gus Dur, Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai-kiai yang lainnya. Akan tetapi secara prinsip mereka memperjuangkan hal yang sama yakni Islam Aswaja yang damai serta NKRI dan Pancasila dalam kedudukan konstitusionalnya adalah final bagi bangsa Indonesia. Tentu prinsip ini bukanlah prinsip yang mati dan kaku. Akan tetapi prinsip ini adalah prinsip yang dinamis yang kemudian memiliki skala kontekstualitas dalam penafsirannya sehingga menjadi relevan bagi masyarakat yang terus tumbuh dan berkembang. Karena itulah perbedaan cara pandang dalam kiai-kiai NU itu sering terjadi, ini karena pada dasarnya NU sebagai rumah besar memberikan peluang pada setiap penafsiran selama bisa dipertanggungjawabakan, ikhtilafu ummati khasanah, perbedaan di dalam umatku itu baik.
Saat sebagian orang dan warga dunia mengecam dunia Islam karena dianggap sarang teroris dan intoleran Kiai Hasyim semasa hidupnya berjuang menyuarakan baik di skala nasional maupun internasional bahwa Islam itu damai dan ramah. Ia selalu tampil dalam bingkai kebangsaan dengan baju ke-NU-annya. Kiai Hasyim memberikan contoh kepada dunia bahwa ada Islam ramah yang dimiliki dan ditampilkan oleh Islamnya orang-orang Indonesia.
Meski terdapat kritikan LSM dan dunia Internasional kepada Islam Indonesia yang dianggap tidak ramah dan intoleran terhadap minoritas. Kiai Hasyim tampil sebagai penyeimbang (tawazzun) yang semasa hidupnya pernah menjabat sebagai Ketua PBNU, Presiden WCRP (World Conference on Religions for Peace) dan sekaligus sekjend ICIS (International Conference for Islamic Scholar). Ia menyampaikan kepada dunia bahwa cara pandang demikian sangatlah keliru. Indonesia sebagai negara, dan Islam sebagai mayoritas pada prinsipnya telah toleran terbukti dari kerukunan secara umum yang masih terjamin sampai saat ini di Indonesia. Hanya saja memang riak-riak intoleransi dalam skup lokalitas masih terjadi, ini memang perlu kerja keras dalam menemukan titik temunya dan (meminjam bahasa Gus Dur) perlu keberanian menegakkan hukum.
Kiai Hasyim dan Generasi Baru NU
Kepergian Kiai Hasyim Muzadi beberapa hari lalu memang tidak bisa ditolak, sebab memang sudah takdirnya Kiai Hasyim untuk pulang sebagaimana Kiai Hasyim Asy’ari yang juga sudah pulang. Kepulangan ini memang sudah menjadi sunatullah yang harus diterima dengan hati yang ikhlas dan lapang. Kepergian seorang ulama di satu sisi dalam agama Islam bisa dimaknai secara positif sebagai kasih sayang Allah kepada ulama tersebut, sehingga ia dipanggil Allah untuk segera istirahat dari hiruk-pikuk dunia. Namun di sisi lain, terkadang juga bisa bermakna negatif dari sisi manusia yang ditinggalkan. Kepergian ulama bisa menjadi “bencana” sebab “sumber” hikmah Tuhan yang berada dalam diri ulama itu telah dicabut dari tengah-tengah masyarakat bersamaan dengan diwafatkannya ulama tersebut.
Kepergian Kiai Hasyim harus dimaknai secara positif oleh generasi penerus NU selanjutnya. Maksudnya, Kiai Hasyim memang sudah saatnya berpulang, ini berarti Allah memberikan kesempatan kepada generasi baru NU untuk melakukan estafet perjuangan yang selama ini telah diusahakan Kiai Hasyim. Kepergian Kiai Hasyim harus sejalan dengan kemunculan generasi baru di NU yang memiliki vitalitas dan kharisma sekelas Kiai Hasyim atau bahkan lebih, tentu dengan berbagai karakter dan pemikirannya yang dibingkai dalam konsep Islam Ahlussunnah wal Jamaah yang di dalamnya menampilkan Islam yang ramah dan progresif. Sebab jika tidak demikian maka kematian Kiai Hasyim dan kiai-kiai ‘elit’ sebelumnya hanya akan membuat kita kehilangan hikmah itu secara totalitas di tengah-tengah hidup kita sebagai generasi NU.
Penulis adalah koordinator bidang Kaderisasi dan Intelektual PC PMII Jakarta Selatan
KONTAK
Nahdlatul Ulama
Jl. Kramat Raya 164
Jakarta 46133 - Indonesia
redaksi[at]nu.or.id
MEDIA PARTNER
© 2016 NU Online. All rights reserved. Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar