Sabtu, 15 April 2017

Pengertian Zuhud dan waro' Dalam Islam

Pengertian Zuhud dan waro' Dalam Islam

DEFINISI Zuhud Dalam Islam

Zuhud dalam Bahasa Arab berasal dari asal kata zahada (زهد) yang memiliki makna sama dengan raghiba an (رغب عن) yaitu berarti meningalkan atau tidak menyukai, Arti kata zuhud
adalah tidak ingin kepada sesuatu dengan meninggalkannya.
Menurut istilah zuhud adalah berpaling dan meninggalkan sesuatu yang disayangi yang bersifat material atau kemewahan duniawi dengan mengharap dan menginginkan sesuatu wujud yang lebih baik dan bersifat spiritual atau kebahagiaan akherat.

Ada 3 tingkatan zuhud yaitu:

Pertama :
Tingkat Mubtadi’ (tingkat pemula) yaitu orang yang tidak memiliki sesuatu dan hatinya pun tidak ingin memilikinya.

Kedua :
Tingkat Mutahaqqiq yaitu orang yang bersikap tidak mau mengambil keuntungan pribadi dari harta benda duniawi karena ia tahu dunia ini tidak mendatangkan keuntungan baginya.

Ketiga :
Tingkat Alim Muyaqqin yaitu orang yang tidak lagi memandang dunia ini mempunyai nilai, karena dunia hanya melalaikan orang dari mengingat Allah. (menurut Abu Nasr As Sarraj At Tusi)

Menurut AI Gazali membagi zuhud juga dalam tiga tingkatan yaitu:

1. Meninggalkan sesuatu karena menginginkan sesuatu yang lebih baik dari padanya.

2. Meninggalkan keduniaan karena mengharap sesuatu yang bersifat keakuratan.

3. Meninggalkan segala sesuatu selain Allah karena terlalu mencintai-Nya

Dalam keterangan di atas dapat disimpulkan pandangan bahwa harta benda adalah se’suatu yang harus dihindari karena dianggap dapat memalingkan hati, dari mengingat tujuan perjalanan sufi yaitu Allah.

Namun ada yang berpendapat bahwa zuhud bukan berarti semata-mata tidak mau memiliki harta benda dan tidak suka mengenyam nikmat duniawi, tetapi sebenarnya adalah kondisi mental yang tidak mau terpengaruh oleh harta dan kesenangan duniawi dalam mengabdikan diri kepada Allah.

DEFINISI WARO

Waro' secara sederhana berarti meninggalkan perkara haram dan syubhat, itu asalnya. Para ulama seringkali memaksudkan waro’ dalam hal meninggalkan perkara syubhat dan perkara mubah yang berlebih-lebihan, juga meninggalkan perkara yang masih samar hukumnya.

Waro' secara bahasa berasal dari kata : وَرِعَ , يَرِع  diambil dari kata ( ورع )  yang berarti“menahan” atau “tergenggam”. Sedangkan secara istilah waro' mengandung pengertian menahan diri dari hal-hal yang dapat menimbulkan madharat lalu menyeretnya kepada hal-hal yang haram dan syubhat. Orang yang waro' disebut wari’un wa mutawari’un.

Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan waro’. Menurut Ibnu Waris waro’ berarti menjaga diri, yaitu menjaga diri dari hal-hal yang tidak layak untuk dilakukan.

Ibnu Manzur berpendapat bahwa kata الوَرَع  dengan ro yang difathah berarti risih, jikaالوَرِعdengan ra yang dikasrah maka diartikan sebagai orang yang khawatir, dan melindungi diri serta merasa risih. Menurut Ibrahim bin Adhm waro’ adalah meninggalkan perkara yang samar.
Dan meninggalkan apa yang bukan urusanmu dan meninggalkan hawa nafsu serta meninggalkan segala kejelekan. Sedangkan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa waro’ adalah “menahan diri dari apa-apa yang akan memudaratkan, termasuk di dalamnya perkara-perkara yang haram dan samar, karena semuanya itu dapat memadharatkan. Sungguh siapa yang menghindari perkara yang samar maka dia telah menyelamatkan kehormatannya dan agamanya. Siapa yang terjerumus dalam perkara samar, atau haram, sebagaimana penggembala yang menggembala di sekitar pagar, tak ayal dia akan masuk ke dalamnya.”

Ibnul Qoyyim berkata bahwa Nabi SAW telah merangkum pengertian waro’ dalam satu kalimat di sebuah hadis yang diriwayatkan oleh at-Turmudzi yaitu :

  مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ

Atinya : “Dari baiknya keislaman seseorang itu adalah meninggalkan apa yang bukan urusanya(dikuasainya).”(HR. at-Turmudzi).

Yang dimaksud dengan ‘meninggalkan apa yang bukan urusannya’ yaitu meninggalkan segala sesuatu yang tidak menjadi urusannya baik dalam hal pembicaraan, pandangan, pendengaran dan tindakan serta seluruh aktivitas lahir maupun batin.

Mari kita lihat sejenak mengenai sifat waro’ ini.

Mengenai keutamaan sifat wara’ telah disebutkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya,

فضل العلم خير من فضل العبادة وخير دينكم الورع

Keutamaan menuntut ilmu itu lebih dari keutamaan banyak ibadah. Dan sebaik-baik agama kalian adalah sifat waro’” (HR. Ath Thobroni dalam Al Awsath, Al Bazzar dengan sanad yang hasan).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar