Sabtu, 27 Februari 2021

ZAKAT FITRAH

ZAKAT FITRAH 

NIAT ZAKAT FITRAH UNTUK DIRI SENDIRI

ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺍَﻥْ ﺍُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَﻦْ ﻧَﻔْﺴِﻰْ ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

~NAWAITU AN UKHRIJA ZAKAATAL FITHRI 'AN NAFSII 
   FARDLOL LILLAAHI TA'AALAA 

Artinya :
      Sengaja saya mengeluarkan zakat fitrah pada diri saya sendiri, 
      fardhu karena Allah Ta'ala

NIAT ZAKAT FITRAH UNTUK ISTRI

ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺃَﻥْ ﺃُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَﻦْ ﺯَﻭْﺟَﺘِﻲْ ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

~NAWAITU AN UKHRIJA ZAKAATAL FITHRI 'AN ZAUJATII 
   FARDHOL LILLAATI TA'AALAA 

Artinya :
      Saya niat mengeluarkan zakat fitrah atas istri saya fardhu 
      karena Allah Ta'ala

NIAT ZAKAT FITRAH UNTUK ANAK LAKI LAKI

ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺃَﻥْ ﺃُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَﻦْ ﻭَﻟَﺪِﻱْ ... ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

~NAWAITU AN UKHRIJA ZAKAATAL FITHRI 'AN WALADII 
   (Sebutkan Nama Anaknya) FARDHOL LILLAAHI TA'AALAA 

Artinya :
      Sengaja saya mengeluarkan zakat fitrah atas anak laki-laki saya 
      (sebut namanya) Fardhu karena Allah Ta’ala

NIAT ZAKAT FITRAH UNTUK ANAK PEREMPUAN

ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺃَﻥْ ﺃُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَﻦْ ﺑِﻨْﺘِﻲْ ... ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

~NAWAITU AN UKHRIJA ZAKAATAL FITHRI 'AN BINTII 
   (Sebutkan Nama Anaknya) FARDHOL LILLAAHI TA'AALAA 

Artinya :
      Sengaja saya mengeluarkan zakat fitrah atas anak perempuan saya 
      (sebut namanya), fardhu karena Allah Ta’ala

NIAT ZAKAT FITRAH UNTUK DIRI SENDIRI DAN KELUARGA

ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺃَﻥْ ﺃُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَﻨِّﻰْ ﻭَﻋَﻦْ ﺟَﻤِﻴْﻊِ ﻣَﺎ ﻳَﻠْﺰَﻣُﻨِﻰْ ﻧَﻔَﻘَﺎﺗُﻬُﻢْ ﺷَﺮْﻋًﺎ ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

~NAWAITU AN UKHRIJA ZAKAATAL FITHRI 'ANNII WA'AN JAMII'I MAA 
   YALZAMUNII NAFAQOOTUHUM SYAR'AN FARDHOL LILLAAHI TA'AALAA 

Artinya :
      Saya niat mengeluarkan zakat atas diri saya dan atas sekalian 
      yang saya diwajibkan memberi nafkah pada mereka secara syari’at, 
      fardhu karena Allah Ta’aala.

NIAT ZAKAT FITRA UNTUK ORANG YANG DIWAKILKAN

ﻧَﻮَﻳْﺖُ ﺃَﻥْ ﺃُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَﻦْ ..…) ) ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

~NAWAITU AN UKHRIJA ZAKAATAL FITHRI 'AN 
   (Sebutkan nama orangnya) FARDHOL LILLAAHI TA'AALAA 

Artinya :
      Niat saya mengeluarkan zakat fitrah atas…. (sebut nama orangnya), 
      Fardhu karena Allah Ta’ala

BACAAN DOA KETIKA MENERIMA ZAKAT

ﺁﺟَﺮَﻙ ﺍﻟﻠﻪُ ﻓِﻴْﻤَﺎ ﺍَﻋْﻄَﻴْﺖَ، ﻭَﺑَﺎﺭَﻙَ ﻓِﻴْﻤَﺎ ﺍَﺑْﻘَﻴْﺖَ ﻭَﺟَﻌَﻠَﻪُ ﻟَﻚَ ﻃَﻬُﻮْﺭًﺍ

~AAJAROKALLAAHU FIIMAA A'THOITA WABAAROKA FIIMAA ABQOITA 
   WAJA'ALAHU LAKA THOHUURON 

Artinya :
      Semoga Allah memberikan pahala kepadamu pada barang yang engkau 
      berikan (zakatkan) dan semoga Allah memberkahimu dalam harta-harta 
      yang masih engkau sisakan dan 
      semoga pula menjadikannya sebagai pembersih (dosa) bagimu

" WAKTU MENGELUARKAN ZAKAT "
       Waktu pelaksanaan mengeluarkan zakat fitrah terbagi
        menjadi 5 kelompok :

1. Waktu wajib.

      Yaitu, ketika menemui bulan Ramadhan dan menemui sebagian 
       awalnya bulan Syawwal. 
      Oleh sebab itu orang yang meninggal setelah maghribnya 
      malam 1 Syawwal, wajib dizakati. 
      Sedangkan bayi yang lahir setelah maghribnya 
      malam 1 Syawwal tidak wajib dizakati.

2. Waktu jawaz.

       Yaitu, sejak awalnya bulan Ramadhan sampai memasuki waktu wajib.

3. Waktu Fadhilah.

       Yaitu, setelah terbit fajar dan sebelum sholat hari raya.

4. Waktu makruh.

      Yaitu, setelah sholat hari raya sampai menjelang tenggelamnya 
      matahari pada tanggal 1 Syawwal kecuali jika ada udzur 
      seperti menanti kerabat atau orang yang lebih membutuhkan, 
      maka hukumnya tidak makruh.

5. Waktu haram.

      Yaitu, setelah tenggelamnya matahari tanggal 1 Syawwal 
      kecuali jika ada udzur seperti hartanya tidak ada ditempat tersebut 
      atau menunggu orang yang berhak menerima zakat, 
      maka hukumnya tidak haram.

Sedangkan dari zakat yang dikeluarkan setelah 
      tanggal 1 Syawwal adalah qodho’.

Adapun cara dalam melakukan melakukan zakat fitrah adalah 
      bisa dengan membayar sebesar satu sha' (1 sha'=4 mud, 1 mud=675 gr). 
      Perhitungan tersebut jika di implementasikan dalam bentuk yang lebih 
      general lagi kira-kira setara dengan 3,5 liter atau 2.7 kg makanan pokok 
      (tepung, kurma, gandum, aqith) atau yang biasa dikonsumsi 
      di daerah bersangkutan (Mazhab syafi'i dan Maliki).

Sebagai contoh jika di Indonesia sebagian besar penduduknya 
      mengkonsumsi beras maka zakat bisa dibayarkan dalam bentuk beras. 

8 GOLONGAN YANG DAPAT MENERIMA  ZAKAT

1.FAQIR : 

     Yaitu yang tidak punya harta tidak punya pekerjaan, atau 
     punya pekerjaan atau harta akan tetapi tidak mencukupi dari kebutuhannya
     sekiranya dia cuma mencukupi KURANG dari setengah kebutuhannya.
     Contoh sebulan dia butuh 500ribu akan 
     tetapi penghasilannya kurang dari 250ribu.

2.MISKIN: 

      Orang yang punya harta/pekerjaan lebih dari kebutuhan hidupnya 
      akan tetapi masih kurang dari kebutuhannya.
      sekiranya dia cuma mencukupi LEBIH dari setengah kebutuhannya.
      Contoh: sebulan dia butuh 500ribu dan pengasilanya lebih dari 
      setenggahny(500) penghasilan perbulan cuma 400ribu.

3.AMIL :

      Sesoarang yang di tunjuk oleh pemerintah untuk mengambil zakat 
      dan membagikannya, maka mereka boleh menerima zakat walupun 
      mereka termasuk orang kaya, dan ini jika mereka TIDAK DIBAYAR 
      oleh pemerintah, kalau mereka di bayar maka tidak boleh menerima zakat.
      dan hanya di beri upah yang wajar untuk pekerjaannya.

4.MUALLAF QULUBUHUM(ORANG2 YANG LEMAH IMANNYA) : 

      Yaitu mereka yang baru masuk islam/pemimpin yang diharapkan 
      ketika dia di kasih zakat maka pengikutnya akan ikut memeluk islam.

5.MUKATIB : 

      Budak yang punya perjanjian secara tertulis dengan tuannya untuk merdeka.

6.GHORIM (ORANG YANG BERHUTANG) : 

      Orang yang berhutang bukan untuk maksiat.

7.ALGHUZZA (FI SABIlILLAH): 

      Orang yang berperang dan berjihad dan tidak mendapatkan bayaran 
      maka mereka boleh di beri zakat walupun mereka kaya.

8.IBN SABIL: 

      Musafir yang kehabisan bekal nafakah untuk sampai ke tempat tujuannya,
      maka boleh di berikan zakat.
      walaupun mereka termasuk orang yang kaya di kampungnya.

MENUNAIKAN ZAKAT FITRAH MENGGUNAKAN UANG

Ada khilafiyah di kalangan fuqaha dalam masalah 
      penunaian zakat fitrah dengan uang.

Pertama
      Pendapat yang membolehkan. 

Ini adalah pendapat sebagian ulama seperti Imam Abu Hanifah, 
      Imam Tsauri, Imam Bukhari, dan Imam Ibnu Taimiyah. 

(As-Sarakhsi, al-Mabsuth, III/107).
      Dalil mereka antara lain firman Allah SWT ,
     ”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” 
     (QS At-Taubah [9] : 103). 
     Menurut mereka, ayat ini menunjukkan zakat asalnya diambil dari harta (mal),
     yaitu apa yang dimiliki berupa emas dan perak (termasuk uang). 
     Jadi ayat ini membolehkan membayar zakat fitrah dalam bentuk uang. 

(Rabi’ Ahmad Sayyid, Tadzkir al-Anam bi Wujub Ikhraj Zakat al-Fithr Tha’am, hal. 4).

      Mereka juga berhujjah dengan sabda Nabi SAW,
      ”Cukupilah mereka (kaum fakir dan miskin) dari meminta-minta 
      pada hari seperti ini (Idul Fitri).” 
       (HR Daruquthni dan Baihaqi). 
      Menurut mereka, memberi kecukupan (ighna`) kepada fakir dan miskin 
      dalam zakat fitrah dapat terwujud dengan memberikan uang. 
(Abdullah Al-Ghafili, Hukm Ikhraj al-Qimah fi Zakat al-Fithr, hal. 3).

Kedua
      Pendapat yang tidak membolehkan 
      dan mewajibkan zakat fitrah dalam bentuk bahan makanan pokok 
     (ghalib quut al-balad). 

Ini adalah pendapat jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. 
(Al-Mudawwanah al-Kubra, I/392; Al-Majmu’, VI/112; Al-Mughni, IV/295)
       
Karena ada dua pendapat yang berbeda, 
       maka kita harus bijak dalam menyikapinya. 
       Ulama sekaliber Imam Syafi’i, mujtahid yang sangat andal saja 
       berkomentar tentang pendapatnya dengan mengatakan, 
       ”Bisa jadi pendapatku benar, tapi bukan tak mungkin di dalamnya 
       mengandung kekeliruan. Bisa jadi pendapat orang lain salah, 
        tapi bukan tak mungkin di dalamnya juga mengandung kebenaran.”

Dalam masalah ini, sebagai orang awam (kebanyakan), 
      kita boleh bertaqlid (mengikuti salah satu mazhab yang menjadi panutan 
      dan diterima oleh umat). 
      Allah tidak membebani kita di luar batas kemampuan yang kita miliki. 
      “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai 
       dengan kesanggupannya…”  
       (Al-Baqarah [2]: 286).

Sesungguhnya masalah membayar zakat fitrah dengan uang sudah 
      menjadi perbincangan para ulama salaf, 
      bukan hanya terjadi akhir-akhir ini saja. 
      Imam Abu Hanifah, Hasan Al-Bisri, Sufyan Ats-Tsauri, 
      bahkan Umar bin Abdul Aziz sudah membincangkannya, 
      mereka termasuk orang-orang yang menyetujuinya. 
      Ulama Hadits seperti Bukhari ikut pula menyetujuinya, 
     dengan dalil danargumentasi yang logis serta dapat diterima.

Menurut kami, membayar zakat fitrah dengan uang itu boleh, 
       bahkan dalam keadaan tertentu lebih utama. 
      Bisa jadi pada saat Idul Fitri jumlah makanan (beras) yang dimiliki 
      para fakir miskin jumlahnya berlebihan. 
      Karena itu, mereka menjualnya untuk kepentingan yang lain. 
      Dengan membayarkan menggunakan uang, 
      mereka tidak perlu repot-repot menjualnya kembali 
      yang justru nilainya menjadi lebih rendah.
      Dan dengan uang itu pula, mereka dapat membelanjakannya sebagian 
      untuk makanan, selebihnya untuk pakaian dan keperluan lainnya. 

Wallahu a’lam bish-shawab. 

Semoga bermanfaat

" Kitab Taqrirat Assadidah"
"Dari berbagai sumber"

Hukum Melamakan Sujud Terakhir dalam Shalat Berjamaah

Hukum Melamakan Sujud Terakhir dalam Shalat Berjamaah 



Keringanan shalat ini dipesan oleh Rasulullah untuk para imam karena kondisi makmum beragam, mulai dari orang tua hingga orang yang memiliki keperluan lain. 

Assalamu ‘alaikum wr. wb.  saya ingin bertanya. Saya sering mampir di masjid-masjid di perkantoran untuk ikut shalat berjamaah. Banyak dari imam melamakan sujud terakhir dibandingkan sujud-sujud sebelumnya yang membuat saya was-was. Bolehkah imam berbuat demikian? Mohon penjelasan. Terima kasih. 

Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Ratna /Bdg) 


Jawaban 

Wa ‘alaikumsalam wr. wb. Penanya yang budiman, semoga Allah SWT menurunkan rahmat-Nya untuk kita semua. Pada saat sujud, kita dianjurkan untuk banyak berdoa kepada Allah. Dengan memperbanyak doa itu, sujud kita menjadi tampak lama. 

Anjuran ini tercatat dalam beberapa kitab hadits sebagai berikut: 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ 

Artinya, “Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, ‘Momentum terdekat seorang hamba dan Tuhannya adalah ketika sujud. Oleh karena itu, perbanyaklah doa saat itu,’” (HR Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i). 

Namun demikian, tindakan memperlama durasi sujud untuk diisi dengan banyak doa dipahami oleh ulama sebagai pemberlakuan pada saat shalat sendiri atau shalat sunnah yang tidak disyariatkan berjamaah. 

Adapun pada shalat berjamaah, imam dianjurkan untuk membaca surat-surat pendek Al-Qur’an dalam shalat berjamaahnya dan tetap menyempurnakan rukuk, itidal, dan sujud melalui tuma’ninah serta bacaan yang dianjurkan sebagaimana lazimnya. 

Keringanan shalat ini dipesan oleh Rasulullah untuk mereka yang mengimami di tengah banyak orang yang memiliki beragam kondisi pribadinya, mulai dari orang tua, orang lemah, orang sakit, atau orang yang memiliki keperluan lain.  

 قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِلنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِي النَّاسِ الضَّعِيفَ وَالسَّقِيمَ وَذَا الْحَاجَةِ وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ لِنَفْسِهِ ، فَلْيُطَوِّلْ مَا شَاءَ 

Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Bila salah seorang kamu mengimami orang banyak hendaknya ia meringangkan karena di tengah jamaah terdapat orang dhaif, orang sakit, dan orang yang berhajat (orang lansia pada lain riwayat). Tetapi jika ia melakukan shalat sendiri, bolehlah ia melamakan shalat sesuai kehendaknya,’” (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud). 

Memang sunnah hukumnya melamakan sujud untuk berdoa di dalamnya karena sujud itu adalah suatu keadaan yang terdekat seorang hamba kepada Tuhannya, tetapi tidak ada takhshish yang menentukannya pada sujud yang terakhir. 

Akan tetapi bagi imam suatu kaum yang tidak terbatas, atau yang terbatas yang tidak diketahui keridhaan mereka untuk memanjangkan sembahyang, janganlah hendaknya imam melebihkan tasbih dalam sujudnya dari tiga kali, dan tidak sunnah menambahkan doa-doa apapun juga, bahkan hendaklah diperingannya sembahyang itu, untuk mera’ikan makmum yang lemah, yang sakit, yang tua, dan orang-orang yang mempunyai keperluan atau kerja yang mesti diselesaikannya, maka dalam hal ini disunnahkan bagi imam meringankan sembahyangnya,” 

Pengamalan untuk memperbanyak doa di waktu sujud agak problematik untuk dipraktikkan dalam shalat berjamaah karena kondisi makmum berbeda-beda. 

Di samping itu, tidak semua makmum mengerti anjuran doa dan mengetahui bacaan doa apa saja sehingga dapat menimbulkan was-was di hati jamaah, baik diamalkan pada setiap sujud, sujud awal, maupun sujud terakhir. 

Rasulullah sendiri ketika mengimami memperhatikan jamaah yang menjadi makmumnya agar tidak shalat dalam keadaan was-was karena imam melamakan shalatnya atau salah satu bagian dari shalatnya. 

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَدْخُلُ الصَّلَاةَ أُرِيدُ إِطَالَتَهَا فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَأُخَفِّفُ مِنْ شِدَّةِ وَجْدِ أُمِّهِ بِهِ 

Artinya, “Dari sahabat Anas bin Malik, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Sungguh aku memasuki sebuah sembahyang, ingin melamakan sembahyang itu, tetapi aku mendengar tangisan anak kecil, lalu kuringankan sembahyang itu dari karena beratnya perasaan ibu Karen tangis tersebut,’” 
(HR Bukhari dan Muslim). 

Demikian jawaban singkat kami. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka dalam menerima kritik dan saran dari para pembaca. 

Wallahul muwaffiq ila aqwathih thariq, Wassalamu ’alaikum wr. wb

MAULID NABI DIPERINGATI OLEH KHALIFAH FATHIMIYAH

Jakarta, Dakwah NU
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menjelaskan awal mula peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

“Maulid Nabi pertama diadakan oleh Al-Mu’iz Li Dinillah, khalifah Fathimiyah di Mesir pada tahun 361 H yang bermadzhab Syiah. Sedang madzhab Sunni yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi adalah Syamsud Daulah dari Nidhomul Muluk di Irak,”

Demikian penjelasan Kiai lulusan Ummul Qura tentang sejarah peringatan maulid nabi yang beliau sampaikan dalam acara Maulid Akbar dan Doa Untuk Keselamatan Bangsa di Masjid Istiqlal Jakarta, Kamis malam (21/11/2019).

Kiai Said menegaskan Maulid Nabi merupakan sunnah taqririyyah yaitu perkataan, perbuatan yang tidak dilakukan nabi, tetapi dibenarkan Rasulullah SAW. Menurut Kang Said, memuji atau mengagungkan Rasullah SAW termasuk sunnah taqririyah karena tidak pernah dilarang oleh Rasulullah.

Diceritakan, salah satu sahabat yang memuji-muji Nabi Muhammad adalah Ka’ab bin Juhair bin Abi Salma. Di hadapan Nabi Muhammad, Ka’ab mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah orang hebat dan orang mulia yang ia sampaikan dalam bentuk syair yang sangat panjang.

Mendengar pujian itu nabi tidak melarang, bahkan membenarkan. “Malah Rasulullah memberi hadiah selimut yang sedang dipakai. Selimutnya bergaris-garis. Selimut garis-garis itu bahasa Arabnya adalah Burdah,” ucap Kiai Said menjelaskan.

Kiai Said menyebut, sampai saat ini burdah Nabi Muhammad masih ada dan diabadikan di Museum Toqafi Istanbul Turki. Itulah mengapa setiap ada qasidah atau syair yang isinya memuji Nabi Muhammad disebut qasidah burdah.

“Dan yang terkenal di Indonesia adalah burdah gubahan Muhammad Al-Busyiri murid dari pada Syaikh Abdul Abbas Al-Mursi, murid Abu Hasan Asy-Syadzili, murid Abdus Salam bin Masyis, murid Abu Madyan Al-Ghauts,” jelas Kiai Said. (fqh)

ALMARHUM BUKAN GELAR

ALMARHUM BUKAN GELAR

Sudah menjadi kebiasaan orang Indonesia kebanyakan kalau menyebut nama orang yang sudah meninggal pasti didahului dengan kata almarhum. Dan itu bukan barang asing lagi, semua orang menyebutkan itu tanpa memandang suku, ras , dan agama si orang yang sudah meninggal tersebut.

Tapi sayangnya orang-orang tidak mengetahui makna kata almarhum tersebut. Kebanyakan mereka mengenal kata almarhum sebagai gelar orang yang sudah meninggal saja. Pokoknya kalau orang sudah meninggal, muslim atau juga non-muslim, ketika namanya disebut harus dengan almarhum. Begitu kira-kira.

Padahal sejatinya tidak demikian. Esensi kata almarhum itu sebenarnya bukan sebagai gelar, melainkan sebagai doa dari yang hidup kepada yang meninggal dunia. Karena kata almarhum berarti yang dirahmati.

Kata almarhum [المرحوم] itu bentuk maf’ul (objek) dari kata kerja rahima-yarhamu [رحم - يرحم] yang berarti merahmati atau memberikan rahmat, kasih sayang. Jadi almarhum [المرحوم] itu artinya ialah orang yang dirahmati, maksudnya dirahmati oleh Allah SWT. Dan ini adalah salah satu bentuk doa untuk si mayyit itu, bukan sekedar gelar ke-mayyit-an.

Memang tidak ada kewajiban khusus dalam syariah ini untuk menyebut kata doa dengan redaksi seperti itu ketika menyebutkan nama seseorang yang sudah meninggal. Ini kebiasaan orang muslim di seluruh dunia yang memang doyan mendoakan satu sama lain. Karena memang syariah menganjurkan itu.

Sebenarnya redaksi doa untuk mayyit dalam penyebutan namanya tidak mesti dengan redaksi almarhum saja, akan tetapi banyak juga redaksi lainnya. Seperti almaghfur lahu atau ghafarallahu lahu (semoga diampuni oleh Allah), atau juga rahimahullahu yang punya arti sama dengan almarhum. Dan masih banyak lagi, hanya saja memang almarhum yang paling popular.

Lalu Apa Masalahnya?

Nah, karena ini doa dan doa itu merupakan suatu ibadah dalam syariat agama ini. Yang harus diketahui ialah bahwa syariat ini telah mempunyai pakem-pakem dan rule untuk ibadah yang satu ini. Dan kita ummat Islam dilarang untuk mendoakan orang kafir, yang tidak beragama Islam.

Ini jelas tergambar dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-bukhori tentang cerita meninggalnya paman Nabi saw tercinta Abu Thalib yang sampai akhir hayatnya belum juga masuk Islam.

Nabi saw ketika dalam ruangan dimana Abu Thalib berbaring, beliau SAW meminta kepada Abu Thalib untuk bersyahadat beberapa kali, dan beberapa kali itu juga Abu Jahal yang juga berada disamping Abu Thalib menahannya untuk tetap pada keyakinan terdahulunya. Walhasil, Abu Thalib meninggal dalam keadaan tidak muslim.

Ketika itulah Nabi langsung meminta izin kepada Allah untuk meminta ampun kepada Allah untuk paman tersayangnya itu. Namun Allah menolak permintaan itu dengan menurunkan ayat:

"Dan tidaklah layak bagi Nabi dan dan orang-orang beriman memohon ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, sekalipun mereka itu orang-orang itu kerabatnya, setelah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka jahanam" (At-Taubah 113)

Jadi jelas tidak ada kehalalan bagi kaum muslim untuk mendoakan kaum kafir walaupun itu saudara mereka sendiri. Tidak untuk yang hidup tidak juga untuk mayyitnya. Kenapa? Ya syariatnya begitu, jangan tanya kenapa atas apa yang telah Allah tetapkan. Kita tinggal manut aja!

Tapi ini dikecualikan kalau itu doa untuk mendapatkan hidayah Islam. Karena ini juga yang sering dilakukan oleh Nabi saw kepada saudara-saudaranya, Abu Thalib dan juga Amr bin Hakam (Abu Jahal).

Kebiasaan (Kesalahan) Yang Sudah Mengakar

Ya disadari atau tidak, memang kebiasaan menggunakan gelar almarhum untuk orang-orang yang sudah meninggal di Indonesia ini sudah sangat umum dan familiar, dan seakan-akan itu adalah gelar wajib bagi yang sudah meninggal tanpa melihat apa agamanya. Jadi siapapun yang meninggal, pasti digelari almarhum. Padahal tidak begitu mestinya.

Kita lihat saja di acara-acara televisi dan juga radio, biasanya dalam acara atau liputan yang berkaitan dengan sejarah dan cerita tentang orang-orang yang sudah lama wafat. Sang presenter atau siapapun dia yang ada dalam acara tersebut selalu menyebut almarhum sebelum nama si tokoh sejarah tersebut, padahal ia dan semua orang tahu bahwa yang disebut itu bukan orang muslim.

Kalau itu diucapkan oleh orang non-muslim untuk non-muslim juga itu tidak masalah. Jadi masalah kalau itu diucapkan oleh orang Islam untuk mayyit non-muslim, berarti itu dia sudah mendoakan non-muslim dan itu melanggar syariah.

Nah karena kebiasaan ini agak keliru, juga ada dinding syariah yang ditabrak, ada baiknya kita luruskan agar tidak terus menerus berlanjut kesalahan yang sudah mengakar ini.

Jadi almarhum itu khusus untuk mayyit muslim bukan non-muslim.

Wallahua'lam

Jumat, 26 Februari 2021

ALMARHUM BUKAN GELAR


ALMARHUM BUKAN GELAR

 

ALMARHUM BUKAN GELAR

Sudah menjadi kebiasaan orang Indonesia kebanyakan kalau menyebut nama orang yang sudah meninggal pasti didahului dengan kata almarhum. Dan itu bukan barang asing lagi, semua orang menyebutkan itu tanpa memandang suku, ras , dan agama si orang yang sudah meninggal tersebut.

Tapi sayangnya orang-orang tidak mengetahui makna kata almarhum tersebut. Kebanyakan mereka mengenal kata almarhum sebagai gelar orang yang sudah meninggal saja. Pokoknya kalau orang sudah meninggal, muslim atau juga non-muslim, ketika namanya disebut harus dengan almarhum. Begitu kira-kira.

Padahal sejatinya tidak demikian. Esensi kata almarhum itu sebenarnya bukan sebagai gelar, melainkan sebagai doa dari yang hidup kepada yang meninggal dunia. Karena kata almarhum berarti yang dirahmati.

Kata almarhum [المرحوم] itu bentuk maf’ul (objek) dari kata kerja rahima-yarhamu [رحم - يرحم] yang berarti merahmati atau memberikan rahmat, kasih sayang. Jadi almarhum [المرحوم] itu artinya ialah orang yang dirahmati, maksudnya dirahmati oleh Allah SWT. Dan ini adalah salah satu bentuk doa untuk si mayyit itu, bukan sekedar gelar ke-mayyit-an.

Memang tidak ada kewajiban khusus dalam syariah ini untuk menyebut kata doa dengan redaksi seperti itu ketika menyebutkan nama seseorang yang sudah meninggal. Ini kebiasaan orang muslim di seluruh dunia yang memang doyan mendoakan satu sama lain. Karena memang syariah menganjurkan itu.

Sebenarnya redaksi doa untuk mayyit dalam penyebutan namanya tidak mesti dengan redaksi almarhum saja, akan tetapi banyak juga redaksi lainnya. Seperti ALMAGHFUR LAHU  atau GHAFARALLAHU LAHU sebagai kata dasarnya  (semoga diampuni oleh Allah), atau juga RAHIMAHULLAHU yang punya arti sama dengan almarhum. akan tetapi para ulama sepakat khusus kalimat Al-Maghfurlah dan Rahimahullah dikhususkan untuk para Wali, 'Alim 'Ulama, Kiyai, karena jelas beliau mendapatkan Ampunan dan Rahmat dari Alloh SWT, karena termasuk Golongan orang yg mendapatkan Keridhoan, dan ampunan Alloh SWT,  berilmu dan menyampaikan Ilmunya kepada Orang di sekitarnya.

Lalu Apa Masalahnya?

Nah, karena ini doa dan doa itu merupakan suatu ibadah dalam syariat agama ini. Yang harus diketahui ialah bahwa syariat ini telah mempunyai pakem-pakem dan rule untuk ibadah yang satu ini. Dan kita ummat Islam dilarang untuk mendoakan non muslim semoga Alloh mengampuni dosanya, ini jelas tidak akan nyambung karena imannya berbeda dengan orang yang beragama Islam.

Ini jelas tergambar dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-bukhori tentang cerita meninggalnya paman Nabi saw tercinta Abu Thalib yang sampai akhir hayatnya belum juga masuk Islam.

Nabi saw ketika dalam ruangan dimana Abu Thalib berbaring, beliau SAW meminta kepada Abu Thalib untuk bersyahadat beberapa kali, dan beberapa kali itu juga Abu Jahal yang juga berada disamping Abu Thalib menahannya untuk tetap pada keyakinan terdahulunya. Walhasil, Abu Thalib meninggal dalam keadaan tidak muslim.

Ketika itulah Nabi langsung meminta izin kepada Allah untuk meminta ampun kepada Allah untuk paman tersayangnya itu. Namun Allah menolak permintaan itu dengan menurunkan ayat:

"Dan tidaklah layak bagi Nabi dan dan orang-orang beriman memohon ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, sekalipun mereka itu orang-orang itu kerabatnya, setelah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu penghuni neraka jahanam" (At-Taubah 113)

Jadi jelas tidak ada kehalalan bagi kaum muslim untuk mendoakan kaum kafir walaupun itu saudara mereka sendiri. Tidak untuk yang hidup tidak juga untuk mayyitnya. Kenapa? Ya syariatnya begitu, jangan tanya kenapa atas apa yang telah Allah tetapkan. Kita tinggal manut aja!

Tapi ini dikecualikan kalau itu doa untuk mendapatkan hidayah Islam. Karena ini juga yang sering dilakukan oleh Nabi saw kepada saudara-saudaranya, Abu Thalib dan juga Amr bin Hakam (Abu Jahal).

Kebiasaan (Kesalahan) Yang Sudah Mengakar

Ya disadari atau tidak, memang kebiasaan menggunakan gelar almarhum untuk orang-orang yang sudah meninggal di Indonesia ini sudah sangat umum dan familiar, dan seakan-akan itu adalah gelar wajib bagi yang sudah meninggal tanpa melihat apa agamanya. Jadi siapapun yang meninggal, pasti digelari almarhum. Padahal tidak begitu mestinya.

Kita lihat saja di acara-acara televisi dan juga radio, biasanya dalam acara atau liputan yang berkaitan dengan sejarah dan cerita tentang orang-orang yang sudah lama wafat. Sang presenter atau siapapun dia yang ada dalam acara tersebut selalu menyebut almarhum sebelum nama si tokoh sejarah tersebut, padahal ia dan semua orang tahu bahwa yang disebut itu bukan orang muslim.

Kalau itu diucapkan oleh orang non-muslim untuk non-muslim juga itu tidak masalah. Jadi masalah kalau itu diucapkan oleh orang Islam untuk mayyit non-muslim, berarti itu dia sudah mendoakan non-muslim dan itu melanggar syariah.

Nah karena kebiasaan ini agak keliru, juga ada dinding syariah yang ditabrak, ada baiknya kita luruskan agar tidak terus menerus berlanjut kesalahan yang sudah mengakar ini.

Jadi almarhum itu khusus untuk mayyit muslim bukan non-muslim.

Wallahua'lam



SAHABAT YANG PALING BANYAK MERIWAYATKAN HADIST NABI SAW.

SAHABAT YANG PALING BANYAK MERIWAYATKAN HADIST NABI SAW.
==============================
Nabi Muhammad bersabda bahwa sebaik-baik generasi adalah generasi yang hidup bersama Nabi, dan diikuti generasi setelahnya. 

Generasi yang dinyatakan oleh Nabi ini tentu kalangan sahabat, yang berjumpa Nabi dalam kondisi Muslim dan wafat dalam kondisi beragama Islam pula. Mereka menyaksikan dan meriwayatkan banyak hadits Nabi Muhammad SAW. Disebabkan kedekatan para sahabat ini dengan Nabi, sahabat meriwayatkan banyak hal tentang Nabi secara langsung. Sahabat adalah periwayat hadits di tingkat pertama dan orang-orang yang dianggap paling mengerti tentang Nabi Muhammad SAW. 

Peran sahabat dalam periwayatan hadits ini sangat penting, sehingga tanpa mereka, para generasi setelahnya akan kesulitan untuk mengenal pribadi dan ajaran Nabi. Di antara sekian banyak sahabat Nabi, ada enam sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits. Berikut nama sahabat Nabi tersebut: 

1. Abu Hurairah (wafat 57 H) Nama aslinya yang populer di kalangan ulama adalah Abdurrahman bin Shakhr. Hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah mencapai jumlah 5374 hadits. Di balik banyaknya riwayat hadits ini, Abu Hurairah justru baru masuk Islam dan kerap turut serta dalam majelis Nabi sebagai Ahlus Shuffah sejak tahun ketujuh Hijriah. Dalam waktu sekitar tiga tahun, begitu banyak ajaran Nabi yang diriwayatkannya. Disebutkan dalam Kitab Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, suatu ketika Abu Hurairah pernah berdoa agar diberikan ilmu yang tidak mudah terlupa. Doa ini diamini oleh Rasulullah SAW, dan menjadi salah satu sebab betapa istimewanya kemampuan hafalan Abu Hurairah.

2. Abdullah bin Umar bin Al-Khattab (wafat 72 H) Hadits yang diriwayatkan oleh putra dari Umar bin Al-Khattab ini mencapai 2630 hadits. Abdullah bin Umar di masa itu adalah salah satu pemuda yang sangat gemar mengikuti Nabi dan meneladaninya secara seksama. Hal-hal yang dilakukan Nabi dan diketahui oleh Ibnu Umar, pasti diikuti dengan persis, bahkan mulai dari hal-hal terkecil. 

3. Anas bin Malik (wafat 91 H) Disebutkan bahwa hadits yang diriwayatkan Anas bin Malik mencapai 2286 hadits. Anas bin Malik ini adalah asisten Nabi, dan tentu mengetahui banyak hal yang dilakukan Nabi di rumah dan dalam berbagai kesempatan. Sebagaimana diakui oleh Anas bin Malik, bahwa ia membantu Nabi tak kurang dari sepuluh tahun sejak masa awal kedatangan Nabi di Madinah. 

4. Aisyah binti Abu Bakar (wafat 58 H) Dari sekian istri Nabi, Aisyah inilah yang paling banyak meriwayatkan hadits yang jumlahnya mencapai 2210 hadits. Kisah-kisah mengenai kehidupan pribadi Nabi, terkait rumah tangga serta peran Nabi di rumah sebagai suami, banyak diriwayatkan oleh Aisyah. Usia yang masih muda disebutkan menjadi salah satu sebab Sayyidah Aisyah meriwayatkan hadits tentang urusan pribadi Nabi dan keluarga beliau secara gamblang. 

5. Abdullah bin Abbas (wafat 78 H) Putra dari paman Nabi, Al-Abbas bin Abdul Muthalib ini adalah seorang yang pernah didoakan Nabi “Allahumma ‘allimhul hikmah” (Ya Allah, ajarkanlah kepadanya–yaitu Abdullah bin Abbas–hikmah). Hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Abbas mencapai 1660 hadits, dan fatwa-fatwa darinya paling banyak diriwayatkan generasi setelahnya. 

6. Jabir bin Abdullah (wafat 78 H) Hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah ini mencapai 1540 hadits. Sosok ini adalah seorang pemuda di masa Anshar yang bersama bapaknya mengikuti bai’at Aqabah. Jabir ini menurut para sejarawan dicatat sebagai sahabat yang paling akhir meninggal di Madinah. Demikianlah para sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi. Sahabat sebagai generasi yang berjumpa langsung dengan Nabi menjadikan peran mereka begitu istimewa dalam sejarah Islam. Banyaknya hadits yang diriwayatkan ini juga menunjukkan kesungguhan sahabat dalam mengikuti dan menyebarkan ajaran Nabi Muhammad SAW. 

Wallahu a’lam.

TANDA-TANDA KIAMAT DALAM HADITS RASUL

TANDA-TANDA KIAMAT DALAM HADITS RASUL 
=================================
Tanda-tanda kiamat dibahas di dalam banyak hadits. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai tanda-tanda pasti kiamat sebagaimana yang disebutkan Rasul SAW dalam haditsnya. 

Perbedaan ini terjadi karena banyak sekali periwayatan hadits terkait tanda-tanda kiamat.  

Dalam hadits sendiri, banyak sekali redaksi hadits yang menyebutkan berbagai macam tanda-tanda kiamat dengan hal yang berbeda-beda setiap redaksinya. 

Ibnul Atsir (606 H) dalam Jāmiʽul Uṣūl fī Aḥādītsir Rasūl menyebutkan sekitar 40-an hadits yang berkaitan dengan tanda-tanda kiamat. 

Namun tidak semua hadits yang berkaitan dengan kiamat tersebut berstatus sahih. Beberapa di antaranya ada yang berstatus sahih dan daif. (Lihat Majduddin Ibnul Atsīr, Jāmiʽul Uṣūl fī Aḥādītsir Rasūl, [Tanpa keterangan tempat, Maktabah Dārul Bayān: 1972], juz X, halaman 398-415).   

Di antara sekian banyak hadits yang berkaitan dengan tanda-tanda kiamat, hanya ada beberapa hadits yang dijadikan oleh ulama sebagai tanda kiamat seluruh alam yang pasti.   Paling banyak hanya membahas tanda-tanda kiamat kecil, yang sebenarnya sudah mulai terjadi sejak diutusnya Rasul SAW, seperti wafatnya Rasul SAW, disia-siakannya amanat, penggembala menjadi kaya, banyak terjadi pembunuhan, dominasi fitnah, minim ilmu, dan berbagai macam yang lain.   

Namun tanda-tanda seperti ini tidak bisa dijadikan patokan pasti akan kedatangan kiamat setelahnya mengingat tanda-tanda ini sebenarnya sudah sering terjadi pada masa dahulu. Dan itu bisa jadi terulang masa sekarang dan juga masa-masa yang akan datang. Oleh karena itu, tanda-tanda tersebut belum bisa dijadikan tanda pasti. 

Salah satu hadits sahih yang berkaitan dengan kiamat (as-sāʽah) yang pasti adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Sahihnya dan juga diriwayatkan oleh beberapa perawi hadits serta diakui oleh para ulama adalah hadits berikut.  

 عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ أَسِيدٍ الْغِفَارِيِّ قَالَ اطَّلَعَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ فَقَالَ مَا تَذَاكَرُونَ قَالُوا نَذْكُرُ السَّاعَةَ قَالَ إِنَّهَا لَنْ تَقُومَ حَتَّى تَرَوْنَ قَبْلَهَا عَشْرَ آيَاتٍ فَذَكَرَ الدُّخَانَ وَالدَّجَّالَ وَالدَّابَّةَ وَطُلُوعَ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا وَنُزُولَ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأَجُوجَ وَمَأْجُوجَ وَثَلَاثَةَ خُسُوفٍ خَسْفٌ بِالْمَشْرِقِ وَخَسْفٌ بِالْمَغْرِبِ وَخَسْفٌ بِجَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَآخِرُ ذَلِكَ نَارٌ تَخْرُجُ مِنْ الْيَمَنِ تَطْرُدُ النَّاسَ إِلَى مَحْشَرِهِمْ   

Artinya, “Dari Hudzaifah bin Asid Al Ghifari berkata, Rasulullah SAW menghampiri kami saat kami tengah membicarakan sesuatu. Ia bertanya, ‘Apa yang kalian bicarakan?’ Kami menjawab, ‘Kami membicarakan kiamat.’ Ia bersabda, ‘Kiamat tidaklah terjadi sehingga kalian melihat sepuluh tanda-tanda sebelumnya.’ Rasulullah menyebut kabut, Dajjal, binatang (ad-dābbah), terbitnya matahari dari barat, turunnya Isa bin Maryam AS, Ya'juj dan Ma'juj, tiga gerhana; gerhana di timur, gerhana di barat dan gerhana di jazirah Arab dan yang terakhir adalah api muncul dari Yaman menggiring manusia menuju tempat perkumpulan mereka,” (Lihat Abul Husain Muslim bin Hajjaj bin Muslim An-Naisaburi, Al-Jāmi’us Ṣaḥīḥ, [Beirut, Dārul Afaq Al-Jadidah: tanpa tahun], juz VIII, halaman 178).   

Tanda-tanda kiamat dalam hadits ini disebut sebagai tanda-tanda kiamat kubra (hari akhir). 

Ada sepuluh tanda kiamat yang disebutkan dalam hadits ini. Namun yang disebutkan dalam hadits tersebut hanya ada delapan:   

PERTAMA, munculnya kabut (dukhan)  KEDUA, munculnya Dajjal 
KETIGA, munculnya Dabbah 
KEEMPAT, terbitnya matahari dari barat. KELIMA, keluarnya Ya’juj dan Ma’juj KEENAM, munculnya Isa bin Maryam; KETUJUH, adanya tiga gerhana, di timur;  KEDELAPAN, gerhana di barat; 
KESEMBILAN, gerhana di jazirah Arab. KESEPULUH, adanya api yang muncul dari Yaman kemudian menggiring manusia menuju tempat berkumpul.   

Terkait urutan terjadinya tanda-tanda kiamat tersebut, para ulama pun berbeda pendapat. Ada ulama yang mengatakan bahwa pertama adalah terbitnya matahari di barat. Hal ini disebutkan dalam riwayat Imam Muslim yang lain dari Abdullah bin Amr, berbeda dengan riwayat Hudzaifah di atas.

   عن عبد الله بن عمرو قال حفظت من رسول الله يقول أول الآيات خروجا طلوع الشمس من مغربها   

Artinya, “Dari Abdullah bin Amr, saya hafal dari Rasulullah SAW yang bersabda bahwa tanda kiamat yang pertama kali muncul adalah terbitnya matahari dari barat,” (Lihat Muslim bin Hajjaj bin Muslim An-Naisaburi, Al-Jāmi’us Ṣaḥīḥ, [Beirut, Dārul Afaq Al-Jadidah: tanpa tahun], juz VIII, halaman 202).   

Ada juga yang menyebutkan yang lain. Dalam riwayat Imam Al-Bukhari, yang terjadi pertama kali di antara tanda-tanda tersebut adalah api yang menggiring manusia.  

 وَقَالَ أَنَسٌ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَّلُ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ نَارٌ تَحْشُرُ النَّاسَ مِنْ الْمَشْرِقِ إِلَى الْمَغْرِبِ   

Artinya, “Anas RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Tanda kiamat yang pertama (muncul) adalah api yang menggiring manusia dari timur menuju barat,’” (Lihat Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Ṣaḥīḥ Al-Bukhari, (Beirut, Dār Tuq An-Najah, 1422 H], juz XVIII, halaman 20). 

Wallahu a’lam.    

Kamis, 25 Februari 2021

TIPS GUS BAHA AGAR TIDAK DITANYA MALAIKAT DI ALAM KUBUR

Yang sering disapa Gus Baha, menerangkan bahwa Sayyidina Ali pernah mengalami kasyaf (melihat alam gaib) tentang Sayyidina Umar membentak Malaikat Munkar-Nakir saat ditanya di alam kubur.

Umar enggan menjawab pertanyaan “Man rabbuka wa man nabiyyuka” (siapa Tuhanmu dan siapa Nabimu) karena beralasan dirinya merupakan teman dari Nabi Muhammad sebagai Kekasih Allah.

Singkat cerita, akhirnya pertanyaan kepada Umar tidak dilanjutkan oleh Munkar-Nakir setelah Allah membenarkan pengakuan Umar.

Bagi Gus Baha, peristiwa itu merupakan kabar gembira. Akan tetapi, kita ini kan tidak punya nyali untuk membentak Munkar-Nakir. Oleh karenanya, Gus Baha memberikan semacam tips bagi beberapa orang agar kelak di alam kubur tidak mendapatkan pertanyaan dari malaikat.

“Semoga dengan gelar kita seperti Doktor Tafsir, Doktor Tauhid, Guru Tauhid, atau paling tidak siswa terbaik dalam materi Tauhid, harus kita bawa status itu ketika di alam kubur,” tutur Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an LP3IA, Kragan, Rembang.


“Sehingga nanti di alam kubur (ngomong kepada malaikat), ‘Saya ini rangking satu Tauhid, masak masih ditanya Man Rabbuka wa Man Nabiyyuka (siapa Tuhanmu dan siapa Nabimu?!’” lanjutnya.

Ulama kelahiran tahun 1970 ini menilai bahwa cara demikian itu menurutnya sah-sah saja. “Anda tidak usah protes, ‘Mana dalilnya, Gus?!’ Tidak sudah dalil-dalilan,” ungkapnya.

Gus Baha menegaskan dalilnya adalah wali-wali Allah itu لاخوف عليهم ولاهم يحزنون (tiada ketakutan dan tiada keresahan). Mereka tidak akan mengalami ketakutan baik di dunia maupun di akhirat.

Gus Baha mengungkapkan, sebetulnya Sayyidina Ali mengandalkan temannya (Nabi Muhammad), bukan dirinya sendiri. Sehingga Gus Baha pun percaya bahwa tidak semua orang di alam kubur akan mendapatkan pertanyaan “Man Rabbuka (siapa Tuhanmu?)”.

Menemukan Allah (Tauhid) Lewat Ilmu Matematika

Yang paling efektif, kata Gus Baha, adalah kamu harus punya rumus Tauhid seperti Imam Amudy menemukan Tuhan. Ia menemukan Allah lewat ilmu Matematika.

Saking senengnya Allah, ia (Imam Amudy) lantas disuruh untuk mengajarkan Tauhid ke para malaikat. “Wahai para malaikat, kalian harus mendengar, inilah orang alim Saya yang ahli Matematika!” kata Allah.

Imam Amudy lah yang justru mengerti bahwa asal-usul alam semesta itu dari Dzat yang Satu (من الواحد القهار).

Akhirnya, Imam Amudy mulai mengajari malaikat tentang hubungan antara angka dua, tiga, empat, hingga angka yang tidak terhingga. Semua itu berasal dari angka Satu.

Gus Baha menilai, iman seperti itu akan setingkat keyakinannya dan keakurasiannya sama dengan imannya para malaikat.

Makanya Nabi Saw bersabda:

طُوبَى لِمَنْ آمَنَ بِي وَلَمْ يَرَنِي

Beruntung sekali orang yang mengimaniku, namun tidak pernah bertemu aku.

Sebagian riwayat hadits menyebutkan Nabi mengulang-ulang kalimat itu sampai tujuh kali. Betul-betul keren orang yang tidak melihat Nabi, tapi iman kepada Nabi.

“Apa yang bisa menemukan itu? Hanya akal!” ujar Gus Baha.

Contoh yang paling gampang yang sering dialami ulama. Ketika ulama menemukan ilmu, maka hal itu yang menjadi sebab mereka semakin mencintai Rasulullah Saw.

Demikian penjelasan Gus Baha tentang orang-orang yang bisa terhindar dari pertanyaan kubur saat mengisi mauidhoh hasanah dalam pengajian Haul ke-62 KH Raden Asnawi Kudus pada 19 Februari 2020. 

Wallahu a’lam.

DIALOG NABI YAHYA A.S DENGAN IBLIS.

DIALOG NABI YAHYA A.S DENGAN IBLIS.

Abu muqatil meriwayatkan dari Shalih bin Sa’id, dari Abu Sahl, dari Al Hasan bahwa Rasulullah Saw bersabda:

Suatu ketika Iblis Laknatullah sang pengingkar Allah Swt, mendatangi para nabi & berbicara dengan mereka. Ia mendatangi semua nabi, mulai dari Nabi Nuh A.s sampai Nabi Isa ibn Maryam A.s serta kepada nabi-nabi yang hidup diantara keduanya. Hanya saja, tidak ada nabi yang paling banyak & paling enak diajak bicara kecuali Nabi Yahya ibn Zakariya A.s.

Suatu hari iblis menemuinya. Ketika iblis itu hendak pergi, Nabi Yahya A.s berkata kepadanya: ”Abu Murrah !” (Nama sebenarnya adalah Al Harts & gelarnya adalah Abu Murrah. Allah Swt menyebutnya dengan nama iblis karena ia terputus dari segala kebaikan dan rezeki saat di suruh sujud kepada Nabi Adam A.s)

Nabi Yahya A.s berkata kepada iblis: “Abu Murrah”, Aku ingin meminta satu hal kepadamu & aku harap kamu tidak menolaknya.”

Iblis menjawab: “Ya, aku akan mengabulkan untukmu, wahai nabi Allah.”

Nabi Yahya A.s pun menyampaikan maksudnya, “aku ingin kamu menampakkan bentuk dan rupa aslimu serta memperlihatkan berbagai bentuk perangkapmu yang kamu pergunakan untuk membinasakan & mencelakakan manusia.”

Mendengar permintaan Nabi Yahya A.s itu, iblis berkata: “Anda meminta sesuatu yang berat. Permintaan anda membuatku berada dalam kesulitan. Namun aku tidak bisa menolak permintaan anda. Hanya saja, aku harap jangan sampai ada orang lain bersama anda yang melihatku”

Akhirnya keduanya bersepakat untuk bertemu pada esok harinya disaat siang. Pada keesokan harinya pada saat yang telah ditentukan, iblis tiba-tiba muncul & berdiri dihadapan Nabi Yahya A.s. Ia melihat ketentuan Allah Swt yang agung. Tiba-tiba iblis tadi berubah bentuk menjadi mirip hewan yang buruk & menakutkan. Bentuk fisiknya seperti babi, wajahnya seperti wajah kera, dan matanya memanjang sama seperti mulutnya. Ia tidak memiliki janggut. rambut kepalanya jarang & mengarah ke atas. Ia memiliki empat tangan, dua tangan di bahu & dua tangan lagi di keningnya. Jari-jari tangannya ada enam. Hidungnya menghadap ke atas. Ia memiliki belalai. Wajahnya mempunyai tengkuk. Kedua matanya kabur. Ia pincang, bongkok, dan memiliki sayap. Baju yang dipakainya berkerut & robek. Diatasnya ada berhala orang majusi. Beberapa cangkir kecil mengantung di ikat pinggangnya. Lalu di sekitar bajunya ada enam jenis minuman dengan warna yang beraneka ragam, seperti putih, hitam, merah, kuning, dan hijau. Ditangannya ada lonceng besar. Diatas kepalanya terdapat telur yang ditengahnya ada besi panjang

Selanjutnya Nabi Yahya A.s berkata: “Abu Murrah, jelaskan padaku tentang benda yang ada di atas bajumu, apa itu?”

Iblis menjawab: “Benda ini menyerupai milik orang majusi. Aku yang membuat agama majusi & aku memeluk agama tersebut”

Nabi Yahya A.s kembali bertanya: “Jelaskan padaku tentang cangkir kecil yang bergantung di ikat pingangmu bagian depan?”

Iblis menjawab: “Wahai nabi Allah di dalamya ada berbagai syahwat & jerat perangkapku

Yang pertama-tama aku jadikan alat untuk menjerat orang mukmin adalah wanita. Apabila dia tetap bisa taat kepada Allah Swt, maka aku akan mendatanginya lewat pengumpulan harta haram agar dia tamak untuk mendapatkannya. Apabila dia tetap taat kepada Allah Swt & hidup zuhud, aku akan mendatanginnya lewat minuman memabukkan sehingga aku bisa mendatangkan semua syahwat ini padanya. Aku memastikan ada sebagaian perangkap itu yang memperdaya orang mukmin, meski dia termasuk manusia paling Wara’ sekalipun.”

Nabi Yahya A.s bertanya: “Apa bentuk jerat tersebut?”

iblis menjawab: “Nabi Allah, jerat itu berupa berbagai bentuk asesoris & perhiasan wanita. Salah satu dari aksesoris & perhiasan itu selalu mewarnai baju wanita sehingga sesuai dengan wanita yang memakainya. Para lelaki pun akan terpikat melihat perhiasan yang melekat pada wanita itu.”

Nabi Yahya A.s bertanya: “Apa lonceng yang ada di tanganmu itu?”

Iblis menjawab: “Nabi Allah, ini adalah kumpulan sumber dari alat musik seperti kecapi, rebab, suling, gendang, dan berbagai jenis alat musik yang ada di tengah-tengah masyarakat. Mereka berkumpul di pesta kemaksiatan dengan membawa salah satu alat musik itu, lalu mereka bernyanyi, bersenang-senang, dan memainkan musik. Setiap kali melihat hal itu, aku segera memainkan lonceng ini sehingga suaranya bercampur dengan suara musik mereka. Dengan begitu mereka bertambah senang & bertambah semangat dalam bermusik. Ketika mendengarnya, ada diantara mereka yang mengeluarkan telunjuknya. Ada pula diantara mereka yang menghentakkan kepalanya & ada pula yang bertepuk tangan. Ini terus menerus mereka lakukan sampai mereka puas.”

Nabi Yahya A.s bertanya: “Telur yang ada dikepalamu itu telur apa?”

Iblis menjawab: “Jauhilah diriku & perangkapku, seperti yang telah dijelaskan oleh para nabi, orang-orang shaleh, para ahli ibadah, dan mereka yang Wara’ anda harus menjaga diri dari godaanku seperti halnya seperti kepalaku yang menjaga telur ini dari segala bencana.”

“Bencana apa itu?” tanya Nabi Yahya A.s kepada iblis.

“Laknat & kutukan” jawab iblis.

Nabi Yahya A.s kembali bertanya, “Kemudian apa besi panjang yang ada ditengahnya?”

Iblis menjawab: “Besi panjang adalah alat yang aku pakai untuk membolak-balik hati orang shaleh.”

Nabi Yahya A.s berkata: “Tinggal satu lagi”

”Apa itu..?” Tanya iblis.

Nabi Yahya A.s melanjutkan, ”Mengapa bentukmu sangat buruk & jelek ?”

iblis menjawab: “Nabi Allah, ini karena nenek moyang anda, Nabi Adam A.s. Tadinya aku dari golongan malaikat yang mulia. Aku tidak pernah mengangkat kepalaku dari sujud yang kulakukan selama empat ratus ribu tahun, namun, aku melanggar perintah Tuhan dengan tidak bersujud kepada Nabi Adam A.s. Allah Swt pun murka kepadaku & melaknatku. Aku pun berubah dari bentuk malaikat kepada bentuk setan. Padahal, tadinya diantara malaikat tidak ada yang rupanya lebih bagus dariku. Aku pun menjadi buruk, menakutkan seperti yang anda lihat sekarang.

Nabi Yahya A.s melanjutkan pertanyaannya: ”Apakah kamu pernah memperlihatkan dirimu & perangkapmu ini kepada orang lain?”

Iblis menjawab: “Tidak pernah, demi Tuhan, semua ini tidak pernah dilihat oleh manusia. Hanya anda satu-satunya yang aku muliakan dengan ini.”

Nabi Yahya A.s pun berkata: “Sungguh beruntung aku jika kamu mau menjawab dua pertanyaanku, yang satu umum & yang satu lagi bersifat khusus.”

Iblis menjawab: “Tanyakanlah wahai nabi Allah.”

Nabi Yahya A.s bertanya: “Terangkanlah padaku sesuatu yang paling menjadi harapanmu, yang paling menguatkan punggungmu, yang paling menghibur juru tulismu, yang paling menyenangkan matamu, dan yang paling menggembirakan hatimu?”

Iblis menjawab: “Nabi Allah, aku khawatir anda menceritakan hal ini kepada orang lain sehingga mereka akan menjaga diri dari hal itu, dengan begitu semua tipu muslihatku akan gagal.”

Nabi Yahya A.s berkata: “Dalam kitab suci, Allah Swt telah menceritakan kondisimu berikut tipu muslihatmu kepada para nabi & wali-Nya. Mereka pun telah menjaga diri dengan cara mereka. Sementara orang-orang yang sesat, kamu pasti lebih bisa menguasai mereka. Kamu dapat mempermainkan mereka seperti tongkat yang dipukulkan kepada bola. Keteranganmu kepada mereka tidak lebih diperhatikan & dicamkan daripada ucapan Allah Swt.”

Iblis kemudian menjelaskan: “Nabi Allah, hal yang paling aku harapkan & paling menyenangkan diriku adalah wanita. Ia merupakan jerat, perangkap, dan anak panah yang selalu tepat mengenai sasaran. Aku selalu berhasil dengan mereka. Aku berhasil menjatuhkan wanita dalam kebinasaan. Ketika menggoda para ahli ibadah & ulama, mereka bisa mengalahkanku. Lalu aku kirimkan pasukan untuk menyerang mereka, tetapi pasukan tersebut pun kalah.

Pada saat demikian aku ingat dengan wanita sehingga diriku menjadi tenang, amarahku menjadi reda, emosiku lenyap, jiwaku menjadi tenang, dan kekuatanku menjadi bertambah.

Seandainya wanita itu bukan dari keturunan Nabi Adam A.s, pasti aku akan bersujud kepada mereka. Mereka adalah maduku, jimat mereka ada padaku. Setiap mereka memiliki kebutuhan, maka aku berusaha membantu mereka untuk memenuhi kebutuhannya. Pasalnya mereka adalah harapanku, sandaranku, gantunganku, orang kepercayaanku, dan pembantuku.”

Kemudian Nabi Yahya A.s bertanya: “Apa manfaat yang kamu dapatkan dengan menyesatkan manusia, dengan apa kamu menguasai manusia?”

Iblis menjawab: “Allah Swt menciptakan kesenangan & kesedihan. Allah Swt juga menciptakan yang halal & yang haram. Dia memberikan pilihan diantara keduanya kepadaku saat Nabi Adam A.s diciptakan. Aku memilih syahwat & kesenangan. Aku juga memilih yang haram, yang keji, dan yang mungkar, sehingga semua itu yang menjadi kecerendungan & seleraku. Allah Swt juga memberikan pilihan kepada Nabi Adam A.s. Namun Nabi Adam A.s memilih kesedihan, ibadah, & yang halal. Sehingga semua itu menjadi tuntutan & harapannya. Semua itu menjadi harta & dagangannya, sementara yang sebaliknya telah menjadi harta & daganganku. Kebutuhan & keinginan seseorang merupakan nyawa kehidupannya. Jika kehidupannya hilang, orang itu pun binasa. Betapa banyak makhluk Allah yang ketika kebutuhan, keinginan, dan tekadnya hilang, dia segera mati & binasa. Demikian pula dengan hal ini. Aku telah memilihnya sehingga menjadi syahwat, hawa nafsu & hidupku.

Ketika hal itu hilang dariku, maka aku akan binasa. Namun ketika aku berhasil mengalahkannya, aku akan senang & tetap eksis. Seandainya syahwat, hawa nafsu, dan hidupku ada pada orang lain, berarti ia telah mengambilnya dariku. Aku pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk mengalahkannya agar ia tetap menjadi penopang hidupku. Nah, dalam hal ini manusia telah merampas hidupku yang berupa syahwat dan hawa nafsu. Ia menyimpan & menyembunyikann

ya. Ia telah bersiap-siap memerangiku. Oleh karenanya tidak ada jalan lain bagi si pemilik asli untuk mendapatkan haknya kecuali dengan berperang & mengalahkan manusia yang dzalim itu. Itulah kondisiku & demikianlah aku senang ketika bisa mengalahkannya.”

Nabi Yahya A.s kembali bertanya: “Apa bentuk kedzaliman manusia sehingga kamu mengatakannya dzalim?”

Iblis menjawab: “Bentuk kedzalimannya adalah dia merampas hawa nafsuku dan menyimpannya di tempat miliknya. Kalaulah bukan karena kedzalimannya itu, aku tidak akan berusaha memeranginya & mengambil barang halal darinya, sebagaimana dia telah mengambil hawa nafsu & barang haram milikku.”

Nabi Yahya A.s bertanya lagi: “Bukankah tidak masuk akal kalau kamu ingin mengambil kembali hawa nafsumu, padahal kamu gembira kalau dia mempergunakannya & bersedih kalau dia tidak mempergunakan hawa nafsumu dalam segala urusannya?”

Iblis menjawab: “Kalau dia mempergunakan hawa nafsuku, aku tidak bersedih, tetapi gembira, karena berarti ia telah memenuhi kebutuhanku. Aku malah bersedih kalau dia tidak mempergunakannya. Aku tidak meminta kebutuhanku itu karena ia telah mengambilnya dariku. Aku juga tidak berharap dia mengembalikannya. Sebab hal itu telah melekat padanya. Namun aku ingin dia mempergunakanny

a. Ketika ia mempergunakannya, maka itu berarti dia telah memberikan kepadaku apa yang menjadi keinginan, pilihan & hidupku. Dia adalah bagian dari diriku. Jika dia mempergunakan harapanku, maka itu berarti dia telah membuatku hidup & bahagia. Pasalnya, dia mempergunakan sesuai maunya.

Akan tetapi, kalau dia tidak mempergunakannya, maka itu berarti hawa nafsu tersebut tersimpan seperti tahanan. Jika dia berada dalam keadaan terkekang & terikat, padahal dia adalah nyawa kehidupanku, sehingga seolah-olah aku dipenjara & terikat, maka aku menjadi sedih.

Dengan begitu dia mengganti kehidupanku dengan kematian. Oleh karena itu aku berusaha dengan berbagai cara & mendatanginya dengan segala tipu daya. Aku kerahkan segala perangkat & sarana. Aku keluarkan semua hiburan berikut alat-alatnya. Lalu aku pukul, aku gerakkan, dan aku lambaikan dengan dia melihatnya. Dengan cara itu dia mulai bermusik dengan semangat. Dia juga mempergunakan hawa nafsu yang ada padanya yang merupakan nyawa & syahwatku. Aku pun menjadi hidup & bahagia sampai dia menemukan jalan untuk bergerak & terlepas dari pohon tersebut. Inilah yang belum aku sebutkan oleh siapa pun juga semenjak aku di cipta. Seandainya aku tidak melihat kelebihan & kemuliaan yang anda miliki, aku tidak akan menerangkan semua ini pada anda.”

Nabi Yahya A.s kemudian berujar: “Tinggal satu pertanyaan bersifat khusus & pribadi yang ingin aku tanyakan padamu.”

Iblis menjawab: “Ya, tanyakanlah.”

Nabi Yahya A.s melanjutkan pertanyaanya: “Apakah kamu menemukan peluang untuk menggoda diriku dalam pandangan, ucapan lisan, atau itikad kalbu?”

Iblis menjawab: “Secara umum memang tidak ada hanya saja ada satu hal dari anda yang menarik bagiku. Meski begitu, itu sudah cukup bagiku. Ada satu pintu utama yang bisa aku manfaatkan untuk menggoda diri anda.”

Ketika mendengar pernyataan iblis tersebut, wajah Nabi Yahya A.s menjadi suram. Ia bingung, hatinya sedih, jiwanya terperanjat, & kaget.

Nabi Yahya A.s berkata: “Apakah itu ?”

Iblis menjawab: Anda adalah orang yang banyak makan. kadang kala anda terlalu banyak makan, sehingga menyebabkan pencernaan anda tidak sehat. Kondisi anda juga menjadi lemah, mengantuk, malas & gampang tidur. Kadang kala anda tidur disaat anda harusnya bangun di tengah malam untuk beribadah. Ini yang menarik bagiku dari diri anda.”

Nabi Yahya A.s berkata: “Dengan kondisi tersebut kamu mendapatkan kesempatan untuk menggodaku?”

Iblis menjawab : “Ya!”

Nabi Yahya A.s berkata : “Apa yang membuatmu gembira dengan itu?”

Iblis menjawab: “Anda tidak mencamkan apa yang aku sebutkan pada anda. Aku akan menggiring anda pada sesuatu yang di benci oleh Allah Swt, yang tentu saja menjadi sesuatu yang aku sukai. Sebaliknya, sesuatu yang disukai Allah Swt adalah sesuatu yang aku benci. Ketika manusia memilih sesuatu yang aku benci, aku tidak berdaya atasnya, sehingga aku berusaha sekuat tenaga untuk menipunya sampai dia memilih apa yang aku sukai. Semua itu aku lakukan karena hidupku bergantung pada apa yang aku sukai disukai pula oleh manusia. Sebaliknya, kematian, kebinasaan, kehinaan & kelemahanku terletak pada apa yang aku benci dimanfaatkan manusia. Ketauhilah yang aku benci itu adalah barang halal, yang baik serta kesedihan. Yang aku sukai itu adalah barang yang haram, yang buruk serta kesenangan.”

“Allah Swt telah mengingatkanmu dengannya. Anda cukup beruntung, Yahya!” Iblis mengatakan itu karena dia telah memberitahukan kesempatan yang mungkin di dapatnya dari Nabi Yahya A.s.

Nabi Yahya A.s bertanya: “Sepanjang hidupku, hanya itu kesempatan yang bisa kamu dapat dariku?”

Iblis menjawab: “Ya, tidak ada lagi kecuali itu.”

Nabi Yahya A.s kemudian menegaskan, “aku berjanji kepada Allah Swt untuk tidak meninggalkan dunia dalam kondisi kenyang.”

Mendengar hal itu, iblis menjadi marah & sedih, sebab Nabi Yahya A.s telah melakukan antisipasi tipu daya iblis. Ia berkata : “Anda telah menipuku & membuatku kesal. Harapanku pun sirna dari menggoda anda.”

Kemudian iblispun meninggalkan Nabi Yahya A.s dengan sangat murka.

semoga bermanfaat

Selasa, 23 Februari 2021

JANGAN KELIRU, INI BEDA MAHRAM DAN MUHRIM!

JANGAN KELIRU, INI BEDA MAHRAM DAN MUHRIM!
==================================


Jauh berabad-abad yang lalu, penduduk jazirah Arab terkenal dengan keindahan bahasanya, bahkan semenjak kecil pun mereka sudah pandai dalam berbahasa maupun bersyair. Mereka juga kerap diundang para raja untuk membacakan syair di istana.   Dalam bahasa Arab perbedaan harakat dapat mempengaruhi suatu makna kalimat atau kata, seperti al-birru (kebaikan), al-barru (daratan), dan al-burru (gandum). 

Seiring berjalanya waktu saya sering menemukan orang berkata "muhrim" padahal pada hakikatnya yang ia bermaksud "mahram", ataupun sebaliknya. Maka dari itu sedikit saya akan mengupas siapakah muhrim itu dan siapakah mahram dalam pandangan Islam.   

1. Muhrim Istilah muhrim familier dalam pelaksanaan ibadah haji/umrah, yakni Ihram (tahapan awal seseorang menunaikan haji/umrah). Orang yang sedang melaksanakan Ihram disebut Muhrim (orang yang ihram)   

2. Mahram Sementara istilah mahram dijumpai dalam pembahasan nikah. 

Mahram ialah perempuan yang tidak boleh dinikahi (dalam permasalahan nikah) atau wanita yang tidak dapat membatalkan wudhu ketika bersentuhan dengan lawan jenisnya (dalam permasalahan bersuci). Dua orang yang punya hubungan mahram diperbolehkan menyentuh satu sama lain, baik bersalaman atau lainnya.   Lalu siapakah orang yang tergolong mahram dalam kaca mata syariat? 

Mahram terbagi menjadi 3 macam. Berikut penjelasannya sebagaimana disarikan dari kitab Hasyiah Al-Bujairimi.   Pertama, mahram sebab nasab.

تحرم نساء القرابة الا من دخلت تحت ولد العمومة او الخوولة   

Seluruh perempuan kerabat/saudara itu mahram terkecuali perempuan yang masuk di bawah mulai dari anak bibi/sepupu (dari ayah) dan anak bibi/sepupu (dari ibu) sampai ke bawah.   

Dalam garis besar ada 7 golongan : Ibu, nenek, sampai ke atas Anak perempuan, cucu, sampai ke bawah Saudara perempuan Anaknya saudara laki-laki sampai ke bawah. Anaknya saudara perempuan sampai ke bawah. Bibi (dari ayah). Namun, mulai dari anak bibi (sepupu) sampai ke bawah tidaklah mahram sehingga boleh untuk dinikahi Bibi (dari ibu). Namun, mulai dari anak bibi (sepupu) sampai ke bawah tidaklah mahram sehingga boleh untuk dinikahi   Kedua, mahram sebab susuan (saudara susuan)    

يحرم من الرضاع ما يحرم من النسب   

“Perempuan mahram sebab susuan itu adalah perempuan yang mahram sebab nasab.”   Mahram sebab susuan itu sama dengan apa yang terdapat dalam mahram sebab nasab Sebagaimana yang telah di jelaskan diatas.   Ketiga, mahram sebab nikah Mertua Anak tiri (jika sudah sang ayah tiri sudah berhubungan badan dengan istrinya) Ibu tiri Menantu Saudara perempuanya istri   Semuanya ini (mahram sebab nasab, nikah, susuan) dihukumi mahram yang bersifat selamanya. Terkecuali saudara perempuanya istri. 

Jika istri meninggal atau ditalak (dicerai) maka saudara perempuan (mantan) istri menjadi halal untuk dinikahi.   

Adapun pengecualian dari sekian perempuan mahram (mahram sebab nasab, nikah, susuan) yang berarti sama sekali tidak dihukumi mahram, diperbolehkan untuk dinikahi ada 7 macam :   Anak angkat Anak perempuan dari bapak tiri/ibunya bapak tiri Anak perempuan dari ibu tiri/ibunya ibu tiri Anak perempuanya menantu perempuan/ibunya menantu perempuan Anak perempuanya menantu laki-laki/ibunya menantu laki-laki Istri dari anak tiri Istrinya ayah tiri.

Waallahua'lam. 

BEKICOT HARAMKAH HALALKAH?

BEKICOT HARAMKAH HALALKAH?
=============================

Bekicot merupakan salah satu hewan yang biasa ditemukan di tempat-tempat yang lembab dengan ciri khas memiliki tempurung yang berfungsi untuk melindungi dirinya. Tempurung bekicot ini selalu menyertainya di mana pun hewan ini berjalan, seperti halnya yang juga terjadi pada siput dan kura-kura. 

Akhir-akhir ini ramai terjadi di masyarakat penjualan daging bekicot. Umumnya hewan ini dimasak dalam bentuk sate, sehingga lebih dikenal dengan nama “sate bekicot”. Masyarakat awam merespon fenomena tersebut dengan sikap yang beda-beda. Ada yang membeli dan mengonsumsinya, tanpa peduli apakah hewan bekicot ini halal atau tidak, ada pula yang memilih untuk tidak membeli karena belum tahu status kehalalan hewan bekicot, bahkan ada pula yang menganggap bahwa “sate bekicot” merupakan salah satu objek mata pencaharian tersendiri yang dapat mencukupi keberlangsungan hidupnya dan keluarganya. 

Sebenarnya, halal atau haramkah mengonsumsi bekicot menurut hukum Islam? Bekicot dalam istilah Arab biasa dikenal dengan nama halzun. Hewan ini oleh para ulama dikategorikan sebagai hewan yang menjijikkan (mustakhbas), sehingga termasuk hewan yang tidak halal alias haram. Hal demikian seperti yang dijelaskan dalam kitab Hayat al-Hayawan al-Kubra: 

الحلزون: عود في جوف أنبوبة حجرية يوجد في سواحل البحار وشطوط الأنهار. وهذه الدودة تخرج بنصف بدنها من جوف تلك الأنبوبة الصدفية، وتمشي يمنة ويسرة تطلب مادة تغتذي بها فإذا أحست بلين ورطوبة انبسطت إليها، وإذا أحست بخشونة أو صلابة انقبضت وغاصت في جوف الأنبوبة الصدفية، حذراً من المؤذي لجسمها، وإذا انسابت جرت بيتها معها. وحكمه: التحريم لاستخباثه. وقد قال الرافعي في السرطان أنه يحرم لما فيه من الضرر لأنه داخل في عموم تحريم الصدف. وسيأتي الكلام عليه في باب السين المهملة 

“Halzun membiasakan hidup di dalam tempurung yang keras. Hewan ini dapat ditemukan di pinggir lautan dan di tepi sungai. Hewan ini mengeluarkan sebagian badannya dari dalam tempurung kerangnya, lalu berjalan ke kanan dan kiri untuk mencari benda yang dapat ia makan. Ketika dia merasa berada di tempat yang lembut dan basah maka ia akan membeberkan diri pada tempat itu. 

Dan ketika dia merasa berada di tempat kasar dan kering maka dia akan mengurung dan masuk kedalam tempurung kerang tersebut karena khawatir dari sesuatu yang menyakiti tubuhnya. Ketika dia berjalan maka rumahnya juga bersamanya.  Hukum mengonsumsi hewan ini adalah haram, karena hewan ini dianggap hewan yang menjijikkan (menurut orang Arab).” (Syekh Kamaluddin ad-Damiri, Hayat al-Hayawan al-Kubra, juz 1, hal. 234).

Berdasarkan referensi di atas, maka mengonsumsi hewan bekicot adalah hal yang diharamkan sebab bekicot tergolong hewan yang menjijikkan menurut pandangan orang Arab. Sehingga meskipun sebagian orang ada yang menganggap bekicot sebagai hewan yang normal untuk dikonsumsi dan dianggap tidak menjijikkan, maka penilaiannya sama sekali tidak mempengaruhi terhadap keharaman mengonsumsi hewan bekicot secara umum. 

Ketika hewan tersebut diharamkan, maka hukum menjual sate bekicot, seperti halnya yang biasa terjadi di masyarakat juga merupakan hal yang diharamkan, sebab akan mengantarkan orang lain untuk melakukan keharaman (i’anah alal maksiat), berupa mengonsumsi hewan yang haram dimakan. 

Pendapat di atas merupakan pandangan dalam mazhab Syafi’i, seperti halnya yang dianut oleh mayoritas Muslim di Indonesia. 

Sedangkan ketika menelisik status daging bekicot dengan berpijak pada mazhab lain, rupanya masih terdapat ulama yang berpandangan bahwa bekicot bukanlah hal yang diharamkan, misalnya seperti dalam pendapat Imam Malik seperti yang dikutip dalam kitab al-Mudawwanah al-Kubra: 

ولقد سئل مالك عن شئ يكون في المغرب يقال له الحلزون يكون في الصحارى يتعلق بالشجر أيؤكل قال أراه مثل الجراد ما أخذ منه حيا فسلق أو شوي فلا أرى باكله بأسا وما وجد منه ميتا فلا يؤكل 

“Imam Malik pernah ditanya tentang hewan yang ditemukan di tanah Maghrib (Maroko) biasa disebut dengan halzun. Hewan ini biasa berada di hutan belantara dan bergantungan pada pepohonan. 

Apakah hewan ini dapat dimakan? Beliau menjawab, ‘Aku berpandangan hewan tersebut seperti jarad (belalang) jika diambil dalam keadaan hidup lalu diseduh atau dimasak, sehingga menurutku mengonsumsi hewan tersebut tidak masalah. Sedangkan ketika ditemukan dalam keadaan mati, maka tidak boleh di makan’.” (Imam Sahnun bin Said at-Tanukhi, al-Mudawwanah al-Kubra, juz 3, hal. 111) Namun meski begitu, baiknya bagi kita agar tetap berpijak pada pendapat mazhab Syafi’i seperti yang dianut oleh umumnya Muslim di Indonesia. 

Sebab dengan tidak mengonsumsi bekicot berarti seseorang konsisten dalam mengamalkan ajaran mazhabnya (mazhab Syafi’i) sekaligus sudah menjalankan husnul khuluq, yaitu adaptif terhadap masyarakat sekitar yang juga berpandangan bahwa bekicot itu haram—sehingga masyarakat tidak memberikan nilai buruk pada dirinya. 

Pendapat ulama yang memperbolehkan mengonsumsi bekicot baiknya ditempatkan dalam tataran yang sesuai, misalnya ketika dalam keadaan terpaksa seperti tidak ada makanan lain selain hewan bekicot. Dalam keadaan mendesak tersebut ia dapat berpijak pada pendapat dalam mazhab Maliki seperti yang dijelaskan di atas. 
Wallahu a’lam. 

MENGONSUMSI KEONG, HALAL ATAU HARAM?

MENGONSUMSI KEONG, HALAL ATAU HARAM? 
===============================

Keong merupakan salah satu hewan yang dapat hidup dalam dua alam, yakni di perairan dan daratan. 

Salah satu ciri khas hewan ini adalah memiliki tempurung atau cangkang yang berfungsi sebagai pelindung dirinya dari ancaman luar. 

Tempurung keong ini selalu menyertainya di mana pun hewan ini berjalan, seperti halnya tempurung yang dimiliki oleh siput dan kura-kura. 

Bagi masyarakat yang berada di sekitar pesisir pantai, hewan keong ini sering mereka temukan. Kadang kita melihat beberapa orang berburu keong, sebagian untuk tujuan dikonsumsi secara pribadi dan ada pula yang menggunakan keong untuk diperjualbelikan. 

Sedangkan bagi masyarakat pedesaan, terutama mereka yang bermata pencaharian sebagai petani, banyak juga keong yang berlalu-lalang di sekitar perairan sawah, hewan ini biasa dikenal dengan nama tutut atau keong sawah. Sebagian masyarakat berburu hewan keong sawah ini untuk dijadikan sebagai lauk-pauk, terkadang ada juga yang diperjualbelikan.  

Melihat berbagai realitas di atas, sebenarnya apakah memang hewan keong termasuk hewan yang halal untuk dikonsumsi, sehingga tindakan sebagian masyarakat dapat dibenarkan? 

Standar Menjijikkan atau Tidaknya Hewan adalah Orang Arab, Mengapa? Para ulama berbeda pendapat tentang status hukum keong, apakah termasuk hewan yang halal atau haram dikonsumsi. 

Sebagian ulama seperti Imam Ar-Ramli, Ad-Damiri dan Khatib Asy-Syirbini berpandangan bahwa keong adalah hewan yang halal untuk dikonsumsi. Sedangkan ulama lain seperti Imam Ibnu Hajar, Ibnu Abdissalam, dan Az-Zarkasyi berpandangan bahwa keong adalah hewan yang haram untuk dikonsumsi. Perbedaan pendapat ini secara tegas dijelaskan dalam salah satu kitab karya ulama Nusantara, Syekh Muhammad Mukhtar bin Atharid al-Jawi al-Bughuri yang berjudul Shawaiq al-Muhriqah li al-Awham al-Kadzibah: 
فعلى كلام المجموع وابن عدلان وأئمّة عصره والدميري والشهاب الرملي ومحمد الرملي والخطيب فى المغني فالرميسى والتوتوت والكييوع حلال لأنّها مثل الدنيلس الذي اتّفقوا على حله وداخل في أنواع الصدف الذي ظاهر كلام المجموع على حلّه . وعلى كلام ابن عبد السلام والزركشى  وابن حجر فى الفتاوى الكبرى والتحفة فالمذكورات حرام فيجوز للناس أكلها تقليدا للذين قالوا بحلّه والأولى تركه إحتياطا. 

“Berdasarkan penjelasan dalam kitab Al-Majmu’, pendapat Ibnu ‘Adlan dan ulama semasanya, Imam Ad-Damiri, Syihab Ar-Ramli, Muhammad Ar-Ramli, dan Khatib Asy-Syirbini dalam kitab Mughni al-Muhtaj bahwa ramis, tutut (keong sawah) dan keong (laut) adalah hewan yang halal, karena masih sama dengan danilas (sejenis hewan laut) yang disepakati kehalalannya dan tergolong dalam jenis kerang yang secara eksplisit dijelaskan dalam kitab al-Majmu’ kehalalannya. Namun jika berdasarkan pendapat Imam Ibnu Abdissalam, Az-Zarkasyi, Ibnu Hajar dalam kitab al-Fatawa al-Kubra dan Tuhfah al-Muhtaj bahwa semua hewan yang disebutkan di atas adalah haram, maka boleh bagi seseorang untuk mengonsumsinya dengan bertaqlid pada ulama yang berpendapat tentang kehalalannya, namun yang lebih utama adalah tidak mengonsumsi hewan ini dalam rangka mengambil jalan hati-hati dalam mengamalkan syariat.” (Syekh Muhammad Mukhtar bin Atharid al-Jawi, Shawaiq al-Muhriqah li al-Awham al-Kadzibah, hal. 14-15)

Perbedaan pendapat tentang hukum mengonsumsi keong di atas sebenarya bermula dari perbedaan pendapat di antara ulama tentang status hukum hewan kerang, apakah termasuk hewan yang haram atau halal dikonsumsi. Sebab keong adalah hewan yang mirip dengan kerang dari segi kehalalan dan keharamannya. 

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mengonsumsi keong, baik itu keong laut ataupun keong sawah adalah persoalan yang diperdebatkan, sebagian ulama memperbolehkan, sebagian yang lain mengharamkan. 

Bagi sebagian orang yang terbiasa mengonsumsi keong atau menjadikan keong sebagai mata pencaharian diperbolehkan baginya mengikuti (taqlid) pada ulama yang menghalalkan keong. Sehingga perbuatan yang dilakukannya, baik itu mengonsumsi ataupun memperjual-belikan keong tidak tergolong sebagai hal yang dilarang oleh syara’. Meski begitu, hal yang lebih utama tetap menjauhi mengonsumsi keong ini dalam rangka mengambil jalan kehati-hatian dalam mengamalkan syariat (ihtiyath) seperti yang dijelaskan dalam kitab Shawaiq al-Muhriqah li al-Awham al-Kadzibah di atas. 

Wallahu a’lam. 

Senin, 22 Februari 2021

BACAAN SAKTAH DAN LETAK-LETAKNYA DALAM Al-QUR’AN

BACAAN SAKTAH DAN LETAK-LETAKNYA DALAM Al-QUR’AN 
==================================
Saktah secara bahasa berarti mencegah. Sedangkan, saktah secara istilah dalam ilmu tajwid adalah memutus satu kalimat dari kalimat setelahnya dengan kadar dua harakat/satu alif tanpa mengambil napas.

Perhatikan, saktah adalah bacaan yang berdasarkan riwayat yang diterima secara turun-menurun dari bacaan Rasulullah ﷺ dan tidak boleh membaca saktah selain pada tempat-tempat yang dibaca saktah dalam riwayat yang shahih. 

Menurut pendapat Ibnu Sa’dan, saktah boleh digunakan secara mutlak ketika membaca washl dalam setiap akhir ayat dengan tujuan menunjukkan bahwa kalimat tersebut berada di akhir ayat, akan tetapi pendapat ini tidak digunakan (Muhammad Ibnu Jazari, An-Nasyr fi al-Qira’at al-Asyr, [Dar Shahabah Thanta, 2002], vol. 2 hal. 195 ). 

Asy-Syathibi merekam definisi saktah dalam nadham Hirzul Amani:

   وسكتهم المختار دون تنفس      ۞    وبعضهم في الأربع الزهر بسملا   

Dan saktah yang dipilih para ulama adalah (berhenti) tanpa mengambil napas Dan sebagian ulama tajwid membaca basmalah dalam awal empat surat yang masyhur   

Dan al-Ja’bari mendefinisikan saktah sebagai memutus suara dalam waktu yang singkat di bawah masa mengambil napas dengan gambaran seandainya saktah dilakukan dalam waktu lama, niscaya akan serupa dengan waqf (berhenti) (Muhammad Ibnu Jazari, An-Nasyr fi al-Qira’at al-Asyr, 2: 193).   

Dalam riwayat Imam Hafsh dari Imam Ashim, bacaan saktah dalam Al-Qur’an terdapat dalam dua kategori yaitu: 

Pertama, saktah yang disepakati, yaitu bacaan yang hanya memiliki satu cara baca (saktah) dan hanya ada dalam qira’at Imam Ashim yang diriwayatkan oleh Imam Hafsh sebagaimana yang dicatat oleh asy-Syathibi dalam nadham Hirzul Amani 

  وسكتة حفص دون قطع لطيفة  ۞  على ألف التنوين في عوجا بلا وفي نون من راق ومرقدنا ولا  ۞  م بل ران والباقون لا سكت موصلا   

Dan saktah menurut Imam Hafsh diterapkan tanpa memutus runtutan kalimat dan dibaca samar

Maka terapkanlah ketika membaca alif tanwin pada lafadz عوجا. Dan di dalam huruf Nun pada lafadz (من راق) dan lafadz (مرقدنا), Serta di dalam huruf lam pada lafadz (بل ران), sedangkan selain Imam Hafsh tidak membaca saktah (dalam contoh-contoh di atas).    

Secara terperinci yaitu:   

1. Saktah dalam QS al-Kahfi ayat 1-2:  

 الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا (١) قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا  (٢)  

 “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok, (Dia menurunkan Al-Qur’an) sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan bahwa mereka akan mendapatkan balasan yang baik” (QS Al-Kahfi: 1-2).   

Ini adalah contoh saktah pada alif perubahan dari tanwin. Hikmah adanya saktah dalam lafadz (عِوَجًا) adalah menampik kesalahpahaman di telinga pendengar bahwa lafadz (قَيِّمًا) yang bermakna lurus sebagai sifat/na’at dari lafadz (عِوَجًا) yang bermakna bengkok. Seandainya tidak terbaca saktah mungkin saja pendengar akan memahami makna yang dimaksud adalah ”Dia tidak menjadikannya bengkok yang lurus”. Padahal, yang dikehendaki dalam susunan ayat ini adalah (قَيِّمًا) terbaca nashab/fathah sebab amil fi’il berupa lafadz (أنزله) yang disimpan sehingga makna yang dikehendaki adalah “Dia menurunkan Al-Qur’an sebagai bimbingan yang lurus yang tidak ada kebengkokan sedikitpun di dalamnya” (Abu Muhammad Maki bin Abi Thalib, al-Kasyaf ‘an Wujud al-Qiraat as-Sab’i wa ‘Ilaliha wa Hujajiha [Beirut: Muassasah ar-Risalah Beirut], 1997, vol. 2 hal. 55).   

2. Saktah dalam QS Yasin ayat 52:   

قَالُوا يَا وَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُونَ    (٥٢)   

Mereka berkata,”Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih dan benarlah rasul-rasul(-Nya)” (QS Yasin: 52).   

Ini adalah contoh saktah di tengah ayat. Hikmah adanya saktah dalam lafadz (مَرْقَدِنَا) adalah menampik kesalahpahaman di telinga pendengar bahwa lafadz (هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ) adalah satu rangkaian dalam ucapan orang kafir yang berupa (يَا وَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا). 

Seandainya tidak terbaca saktah mungkin saja pendengar akan memahami makna yang dimaksud adalah “Mereka (orang kafir) berkata,”Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur), inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih”. Padahal, menurut riwayat Qatadah yang dikehendaki dalam susunan ayat ini adalah (هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ) “inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih” sebagai ucapan orang yang beriman, sedangkan (يَا وَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا) “Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)” sebagai ucapan orang kafir. 

Dan saktah disini sebagai pemisah dua ucapan yang dilontarkan  oleh dua kelompok yang berbeda yaitu orang beriman dan orang kafir (Abu Muhammad Maki bin Abi Thalib, al-Kasyaf ‘an Wujud al-Qiraat as-Sab’i wa ‘Ilaliha wa Hujajiha, 2: 55)   

3. Saktah dalam QS Al-Qiyamah ayat 27:   وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ (٢٧)   

“Dan dikatakan (kepadanya), “Siapa yang dapat menyembuhkan?” (QS Al-Qiyamah: 27).   

Ini adalah contoh saktah di tengah rangkaian kalimat. Hikmah adanya saktah dalam lafadz (مَنْ رَاقٍ) adalah menampik kesalahpahaman di telinga pendengar bahwa susunan kalimat (مَنْ رَاقٍ) yang dibaca berbentuk satu-kesatuan lafadz berupa (مرّاق) yang bermakna “orang yang sering berperang”. 

Seandainya tidak dibaca saktah bisa saja pendengar memahami ayat berupa (وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ) yang bermakna “Dan dikatakan (kepadanya), “Wahai orang yang sering berperang”. 

Tentu, kesalahpahaman ini berdampak mengubah makna ayat yang dikehendaki Allah (Muhammad ash-Shadiq Qamhawi, Thala’i al-Basyar fi Tawjih al-Qira’at al-‘Asyr [Kairo: Dar al-‘Aqidah], 2006, hal. 10).   

4. Saktah dalam QS Al-Muthaffifin ayat 14: 
  كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ  (١٤)   

“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka” (QS Al-Muthaffifin: 14).   

Ini adalah contoh saktah di tengah rangkaian kalimat. Hikmah adanya saktah dalam lafadz (بَلْ رَانَ) adalah menampik kesalahpahaman di telinga pendengar bahwa susunan kalimat (بَلْ رَانَ) yang berbentuk satu-kesatuan lafadz berupa (برّان) yang bermakna “dua orang yang menepati janji (bentuk ganda/tatsniyyah dari lafadz بر)”. 

Tentu, kesalahpahaman ini berdampak mengubah makna ayat yang dikehendaki Allah (Muhammad ash-Shadiq Qamhawi, Thala’i al-Basyar fi Tawjih al-Qira’at al-‘Asyr, hal. 10).   

Kedua, saktah yang memiliki perbedaan (bi khulfin ‘anhu/بخلف عنه), yaitu bacaan yang memiliki tiga cara baca (waqf, washl, dan saktah) yang berdasarkan riwayat yang diperoleh Imam Hafsh dari Imam Ashim. 

Bacaan saktah ini berada di dua tempat yaitu:   

1. Saktah dalam akhir QS Al-Anfal dan awal QS At-Taubah: 

  إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (٧٥) بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١)  

 Di antara dua ayat ini (ayat terakhir QS Al-Anfal dan awal ayat QS At-Taubah), qira’at Imam Hafsh dari Imam Ashim memiliki tiga cara baca yaitu:   
● Dapat dibaca waqf pada lafadz 
(إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ), 
kemudian membaca ayat: بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ 
● Dapat dibaca washl (disambung) antarayat tanpa waqf (berhenti) maupun saktah: 
إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ  بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ 
● Dapat dibaca saktah pada lafadz (إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ) 
kemudian membaca ayat: بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ  

Hikmah dari adanya tiga cara baca dalam ayat ini adalah para sahabat berbeda pendapat apakah QS Al-Anfal dan QS At-Taubah adalah satu surat ataukah dua surat yang terpisah. Menurut sebagian sahabat kedua surat ini adalah satu-kesatuan sehingga jumlah ayat keseluruhan adalah 204 ayat (Al-Anfal 75 ayat + At-Taubah 129 ayat) dan termasuk sebagai surat ketujuh dalam formasi tujuh surat panjang (Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa’,Al-Maidah, Al-An’am, Al-A’raf, Al-Anfal+At-Taubah). 

Sedangkan menurut sebagian sahabat yang lain kedua surat ini adalah dua surat Al-Qur’an yang terpisah. Karena itulah, para sahabat tidak menulis basmalah di antara keduanya sebagai tanda bahwa sebagian sahabat berpendapat bahwa keduanya adalah satu-kesatuan surat dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, sebagai gantinya sebagian para sahabat memilih riwayat yang membaca saktah di antara kedua ayat ini yaitu akhir surat Al-Anfal dan awal surat At-Taubah ( Abu Qasim Mahmud bin Umar az-Zamakhsyari, Al-Kasyaf ‘an Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Takwil [Kairo: Maktabah], 2010, vol. 2, hal. 138).   

2. Saktah dalam QS Al-Haqqah ayat 28-29:   مَا أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ (٢٨) هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ (٢٩)   
Di antara dua ayat ini (QS Al-Haqqah ayat 28-29), qira’at Imam Hafsh memiliki tiga cara baca yaitu:   
● Dapat dibaca waqf pada lafadz (مَا أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ), kemudian membaca ayat هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَه   
● Dapat dibaca washl/ disambung antarayat tanpa waqf maupun saktah مَا أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ   
● Dapat dibaca saktah pada lafadz (مَا أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ), kemudian membaca ayat  هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَه   Hikmah dari adanya tiga cara baca dalam ayat ini adalah adanya ha’ saktah (huruf ha’ yang berfungsi untuk menjelaskan harakat pada huruf sebelumnya ketika waqf dan tetap terbaca ketika washl). 

Kemudian, ha’ saktah dalam akhir ayat ini bertemu dengan ha’ lafadz (هَلَكَ عَنِّي) ketika washl. Oleh karena itu, muncul hukum saktah sebagai penengah di antara kedua ha’ ini (ha’ saktah lafadz مَالِيَه  dan ha’ lafadz هَلَكَ) agar terlihat bahwa kedua lafadz ini terpisah secara jelas di telinga pendengar (Abu Muhammad Maki bin Abi Thalib, al-Kasyaf ‘an Wujud al-Qiraat as-Sab’i wa ‘Ilaliha wa Hujajiha, 1: 308).   

Ha’ saktah dalam Al-Qur’an terdapat dalam tujuh lafadz yaitu lafadz كتابيه  (QS Al-Haqqah ayat 19 dan ayat 25), lafadz حسابيه (QS Al-Haqqah ayat 20 dan ayat 26), lafadz  ماليه (QS Al-Haqqah ayat 28), lafadz سلطانيه (QS Al-Haqqah ayat 28), lafadz ماهيه (QS Al-Qari’ah ayat 10). (Abu ‘Amr Utsman bin Sa’id ad-Dani, Al-Muktafa fi al-Waqf wal Ibtida, Dar ash-sahabat Thanta, 2006, hal. 243).     

ATURAN FIQIH KETIKA GALIAN KUBUR PENUH DENGAN AIR

ATURAN FIQIH KETIKA GALIAN KUBUR PENUH DENGAN AIR
=================================
Di antara kewajiban umat Islam terhadap jenazah saudaranya adalah menguburnya. Ini merupakan fardhu kifayah terakhir setelah memandikan, mengafani, dan menshalati. Mengabaikannya sama sekali berakibat dosa kepada umat Islam secara general. Tapi kewajiban tersebut otomatis gugur saat ada sebagaian dari mereka yang sudah menunaikannya. 

Dalam prosesnya, kadang kita menemukan fakta tanah yang bakal menjadi tempat dikebumikannya jenazah memiliki kandungan air yang melimpah. 

Galian tanah mengeluarkan air sehingga dipastikan jenazah akan basah kuyup saat dimasukkan ke liang lahat. 

Dalam kondisi seperti ini bagaimana seharusnya kita bersikap? Bila kita tetap dengan sengaja memakamkan jenazah ke dalam kuburan yang mengeluarkan air tersebut maka tindakan kita masuk kategori penghinaan terhadap orang mati, sebagaimana diputuskan dalam Muktamar Ke-4 Nahdlatul Ulama pada 19 September 1929. 

Manusia adalah makhluk mulia dan dimuliakan dalam Islam, termasuk ketika ia meninggal dunia. Karena itu jenazah tidak boleh disakiti, termasuk sengaja menenggelamkannya di tanah lumpur penuh air. Sehingga, bila memungkinkan, kita dianjurkan untuk berpindah ke lahan lain yang lebih padat dan tak berair.  

kemudian bagaimana bila memakamkannya dengan menggunakan peti untuk melindunginya dari air? 

Pada dasarnya hukum mengebumikan mayat dengan peti adalah makruh, menurut mayoritas ulama. Namun, dalam kondisi seperti dijelaskan di atas status itu berubah menjadi boleh, bahkan dalam situasi tertentu meningkat menjadi wajib demi kemaslahatan jenazah. Ibn Hajar al-Haitami dalam Tuhfah al-Muhtâj menjelaskan: 

  (يُكْرَهُ دَفْنُهُ فِي التَّابُوْتِ)
 إِجْمَاعًا لِأَنَّهُ بِدْعَةٌ (إِلاَّ لِعُذْرٍ) كَكَوْنِ الدَّفْنِ فِيْ أَرْضٍ نَدِيَةٍ بِتَخْفِيْفِ التَّحْتِيَّةِ أَوْ رَخْوَةٍ بِكَسْرِ أَوَّلِهِ أَوْ فَتْحِهِ أَوْ بِهَا سَبُعٌ تَحْفُرُ أَرْضَهَا وَاِنْ أُحْكِمَتْ أَوْ تَهَرَّى بِحَيْثُ لاَ يَضْبِطُهُ إِلاَّ التَّابُوْتُ أَوْ كَانَ اِمْرَأَةً لاَ مَحْرَمَ لَهَا فَلاَ يُكْرَهُ لِلْمَصْلَحَةِ بَلْ لاَ يَبْعُدُ وُجُوْبُهُ فِيْ مَسْأَلَةِ السِّبَاعِ اِنْ غَلَبَ وُجُوْدُهَا وَمَسْأَلَةِ التَّهَرِّيْ 

Artinya: “Sesuai kesepakatan ulama, dimakruhkan mengubur jenazah dalam peti, karena termasuk bid’ah, kecuali kalau ada uzur, seperti di tanah yang lembab atau gembur berair atau adanya binatang buas yang akan menggalinya walaupun sudah padat yang sekiranya tidak akan bisa terlindungi kecuali dengan dimasukkan dalam peti, atau jenazah wanita yang tidak punya mahram. 

Dalam hal ini status hukum peti tidak lagi makruh karena alasan kemaslahatan, bahkan bila diperkirakan adanya binatang buas, maka hukumnya menjadi wajib.” (Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtâj, [Mesir: Musthafa Muhammad, t. th.], Jilid III, h. 194) Keterangan yang mirip juga tertuang dalam kitab I‘ânah al-Thâlibîn: 

وَكُرِهَ صُنْدُوْقٌ إِلاَّ لِنَحْوِ نَدَاوَةٍ فَيَجِبُهُ  

Artinya: “Dimakruhkan mempergunakan peti mati kecuali semisal berada di tanah yang lembab berair, maka hukumnya wajib.” (Al-Bakri Muhammad Syatha al-Dimyathi, I’ânah al-Thâlibin, [Semarang: Thaha Putra, t.th.] Jilid II, h. 117) 

Dari keterangan di atas, status hukum penggunaan peti untuk jenazah berubah-ubah berkaitan dengan situasi yang meliputi jenazah. Untuk menjamin kehormatan dan keselamatan jenazah, penggunaan peti justru dianjurkan hingga level wajib. 

Wallahu a’lam.