Sabtu, 20 Februari 2021

Bahkan Nabi dan Syuhada ‘Iri’ pada Wali Allah

Bahkan Nabi dan Syuhada ‘Iri’ pada Wali Allah


Bersujud mengharapkan ridha Allah. Di antara ciri-ciri wali Allah ialah hatinya senantiasa bergantung pada Allah. 

Dalam Alquran, terdapat banyak ayat yang menerangkan kisah orang-orang pilihan-Nya. Di antara mereka, ada yang menjadi nabi atau rasul untuk menyampaikan petunjuk Ilahi kepada suatu kaum.

Ada pula yang berstatus syuhada lantaran gugur di medan jihad semata-mata mengharapkan ridha-Nya. Di luar itu, tersebutlah golongan yang dinamakan wali Allah atau waliyullah.

Berbagai literatur sufi mendeskripsikan wali sebagai orang yang dilindungi Allah Ta'ala dengan pemeliharaan-Nya yang berkelanjutan. Dalam arti, individu tersebut cenderung pada ketaatan, alih-alih maksiat, di sepanjang hayatnya. Ia selalu berupaya mendekatkan diri kepada Rabbnya.

Di antara ciri-ciri waliyullah ialah hatinya senantiasa bergantung pada Allah. Matanya memandang alam ini tak lebih dari bukti kemahakuasaan Zat Yang Maha Esa. Dengan terus-menerus menautkan kalbu kepada-Nya, tak sedikit pun ada rasa risau atau takut terhadap berbagai perkara di muka bumi ini.

Keadaan itu dilukiskan dalam Alquran surah Yunus ayat 62. Artinya, "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati."

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda tentang sifat para waliyullah. Mereka sungguh-sungguh dekat dengan Allah SWT, mencintai-Nya dan selalu mengharapkan ridha-Nya. Maka dari itu, memusuhi mereka sama saja memaklumkan perang terhadap Tuhan alam semesta. Dalam hadis qudsi, disebutkan, Allah berfirman, "Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku mengumumkan perang kepadanya." (HR Bukhari).

Di lain kesempatan, Rasulullah SAW juga pernah menuturkan, sebagaimana termaktub dalam Sunan Ahmad. "Sesungguhnya, di antara hamba-hamba Allah itu terdapat orang-orang yang bukan nabi dan bukan pula syuhada. Akan tetapi, para nabi dan syuhada iri kepada mereka di Hari Kiamat karena kedudukan mereka di hadapan Allah."

Para nabi dan syuhada iri kepada mereka di Hari Kiamat karena kedudukan mereka di hadapan Allah.

Seorang sahabat kemudian bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah mereka dan apa saja amal yang telah mereka perbuat? Barangkali kami bisa mencintai mereka."

Nabi SAW menjawab, "Mereka adalah suatu kaum yang saling mencintai semata-mata karena ruh Allah meski tanpa ada hubungan keluarga di antara mereka. (Mereka saling mencintai) bukan karena harta benda yang saling mereka berikan. Demi Allah, wajah mereka benar-benar bercahaya, dan sesungguhnya benar-benar di atas mimbar dari cahaya. Mereka tidak takut kala kebanyakan manusia takut, dan tidak pula bersedih hati saat kebanyakan manusia bersedih hati."

Bila seorang hamba sudah dicintai Allah SWT, maka itulah keberuntungan yang teramat besar baginya. Penglihatan, pendengaran, dan tangannya tak terjadi kecuali demi mengharapkan rahmat-Nya. Ketika waliyullah berdoa, niscaya Dia akan mengabulkannya.

Ciri wali

Abu Nuaim dalam mukadimah kitab Hilyatul Auliya wa Thabaqath Al Ashfiya menjelaskan, para wali Allah itu mempunyai sifat dan tanda-tanda yang nyata. Orang-orang yang berakal dan saleh akan bersikap loyal kepada mereka dengan sukarela.

Ibnu Katsir menafsirkan surah Yunus ayat 63-64 untuk menjelaskan ciri-ciri waliyullah. Arti ayat itu: "(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar."

Jelaslah berdasarkan ayat tersebut, para wali Allah adalah mereka yang beriman dan selalu bertakwa. Kelak, mereka pada Hari Kiamat tak akan dihinggapi kegundahan. Hati mereka tenteram, baik di dunia maupun akhirat.

Maka dari itu, kriteria wali Allah bukanlah yang sebagaimana diyakini kalangan awam, semisal lebih menekankan pada aspek di luar logika umum. Sebut saja, kemampuan berjalan di atas air, shalat di atas angin, bisa membaca pikiran orang, atau kesaktian-kesaktian lainnya. Padahal, kesaktian-kesaktian itu bahkan juga bisa dipertontonkan seorang dukun, paranormal, atau tukang sihir.

Kriteria wali Allah bukanlah yang sebagaimana diyakini kalangan awam, semisal lebih menekankan pada aspek di luar logika umum. 

Alhasil, menurut ajaran Islam, ada atau tidaknya karamah dalam diri seseorang bukanlah tolok ukur dirinya dipandang sebagai wali Allah. Ukurannya adalah kokohnya keimanan di dalam hati dan ketakwaan yang terpancar dalam ibadahnya serta akhlaknya, baik kepada Allah maupun sesama makhluk.

Rasyid Ridha menerangkan, seorang Muslim hendaknya tidak buru-buru meyakini, seseorang yang telah wafat otomatis berstatus sebagai wali Allah meskipun sang almarhum dikenal baik sepanjang hayatnya.

Sebab, nasib setiap insan tak ada yang dapat memastikan. Itu suatu perkara gaib yang hanya Allah SWT Mahamengetahuinya. Apalagi, kita hidup di akhir zaman. Sesudah Rasulullah SAW, tak ada lagi seorang pun manusia yang maksum.

Predikat waliyullah memang tinggi. Bagaimanapun, hendaknya kita tak seketika menyebut seseorang sebagai wali Allah tanpa ilmu yang memadai.

Hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari berikut dapat menjadi perhatian. Suatu kali, seorang sahabat bernama Utsman bin Mazh'un meninggal dunia. Seorang perempuan Anshar, Ummul A'la, kemudian berkata, "Rahmat Allah atas dirimu wahai Abu Saib (Utsman bin Mazh'un), persaksianku terhadap dirimu bahwa Allah telah memuliakan dirimu."

Nabi SAW lantas menegurnya, "Dari mana engkau tahu Allah telah memuliakannya?"

"Ayahku menjadi taruhan atas kebenaran ucapanku, ya Rasulullah. Lalu, siapa yang Allah muliakan?"

"Adapun dia, telah datang kematiannya. Demi Allah berharap kebaikan untuknya. Demi Allah aku sendiri tidak tahu, padahal aku ini adalah utusan Allah. Apa yang nantinya akan diperlakukan-Nya terhadap diriku," ujar Rasulullah menjelaskan.

Ummul A'la pun berkata, "Demi Allah, tidak lagi aku memberikan tazkiyah (persaksian baik) setelah itu selama-lamanya."


Tidak ada komentar:

Posting Komentar