Jumat, 30 November 2018

Tahukah? Malaikat Memintakan Ampunan kepada Peminum Kopi


Tahukah? Malaikat Memintakan Ampunan kepada Peminum Kopi

Dalam Tarikh Ibnu Toyyib dikatakan:

يا قهوة تذهب هم الفتى # انت لحاوى العلم نعم المراد

شراب اهل الله فيه الشفا # لطالب الحكمة بين العباد

حرمها الله على جاهل # يقول بحرمتها بالعناد

"Kopi adalah penghilang kesusahan pemuda, senikmat-nikmatnya keinginan bagi engkau yang sedang mencari ilmu."

Kopi adalah minuman orang yang dekat pada Allah didalamnya ada kesembuhan bagi pencari hikmah diantara manusia.

Kopi diharamkan bagi orang bodoh yang mengatakan keharamannya dengan keras kepala."
Kita juga bisa melihat komentar Al Imam Ibnu Hajar Al Haitami ;

ثم اعلم ايها القلب المكروب أن هذه القهوه قد جعلها اهل الصفاء مجلبة للأسرار مذهبة للأكدار وقد اختلف في حلها اولا وحاصل ما رجحه ابن حجر في شرح

العباب بعد ان ذكر أنها حدثت في اول قرن العاشر . ان للوسائل حكم المقاصد ،فمهما طبخت للخير كانت منه وبالعكس فافهم الأصل 
"Lalu ketahuilah duhai hati yang gelisah bahwa kopi ini telah dijadikan oleh Ahli shofwah (orang orang yang bersih hatinya) sebagai pengundang akan datangnya cahaya dan rahasia Tuhan, penghapus kesusahan. Para ulama berbeda pendapat akan kehalalannya, namun alhasil yang diunggulkan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Syarhul Ubab setelah penjelasan bahwa asal usul kopi di awal abad kesepuluh hijriyah memandang dari Qoidah 'bagi perantara menjadi hukum tujuannya' maka selama kopi ini dimasak untuk kebaikan maka mendapat kebaikannya begitu juga sebaliknya, maka fahami asalnya."

Suatu ketika as-Sayyid Ahmad bin Ali Bahr al-Qadimi jumpa dengan Nabi Muhammad Saw. dalam keadaan terjaga. Ia berkata kepada Nabi Saw.: “Wahai Rasulullah, aku ingin mendengar hadits darimu tanpa perantara.”

Nabi Muhammad Saw. kemudian bersabda: “Aku akan memberimu 3 hadits yang salah satunya : "Selama bau biji kopi ini masih tercium aromanya di mulut seseorang, maka selama itu pula malaikat akan beristighfar (memintakan ampun) untukmu."

Al-Habib Abubakar bin Abdullah al-Atthas berkata: “Sesungguhnya tempat yang ditinggalkan dalam keadaan sepi atau kosong maka jin akan menempatinya. Sedangkan tempat yang biasa digunakan untuk membuat hidangan kopi maka para jin takkan bisa menempati dan mendekatinya.”

(Lihat dalam kitab Tadzir an-Nas halaman 177 dan at-Tadzkir al-Mushthafa li Aulad al-Musthafa wa Ghairahum min Man Ijtbahu Allahu Washthafa karya al-Habib Abubakar al-Atthas bin Abdullah bin Alwi bin Zain al-Habsyi halaman 117).

Rabu, 28 November 2018

Mantan Aktivis HTI Cerita Teori Tebar Jala di Lautan Medsos


Mantan Aktivis HTI Cerita Teori Tebar Jala di Lautan Medsos

Mantan anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Rofiq Al Amin mengatakan dalam kitab HTI disebutkan mereka yang tidak melaksanakan khilafah termasuk akbarul ma'asi atau kemaksiatan yang paling besar.

"Saya lima tahun aktif di HTI. Di antara upaya gerakan radikalisme itu tebar jala ide dan hoaks, daya tunggang dan kamuflase," kata Rofiq dalam Dialog Kebangsaan GP Ansor Bintan, Kepulauan Riau, Selasa (27/11).

Ia menjelaskan di era saat ini, generasi milenial hidup berakrab ria dengan medsos. Di 'lautan' medsos inilah generasi milenial banyak belajar dan diajari untuk hidup, tumbuh dan berkembang; baik cara tampilan diri, cara berfikir, cara bergaul, hingga sikap dan cara keberagamaannya.

"Lalu, siapa yang mengajarinya? Tidak lain semua pihak dari seluruh penjuru jagat raya yang berkepentingan. Seluruh pihak yang berkepentingan akan berupaya menebar 'jala' pemikiran di 'lautan' medsos untuk menjaring generasi milenial agar mengikuti idenya," papar Gus Rofiq, panggilan akrabnya.

Menurutnya semakin sering, massif, dan sistematis mereka menebar 'jala', maka akan semakin banyak 'ikan' tangkapan yang didapat, yakni generasi milenial yg  terperangkap 'jala' ide tersebut.

"Apesnya, di antara sekian  banyak penebar 'jala' di 'lautan' medsos adalah kelompok radikal; entah mereka yang mau menegakkan negara Islam (khilafah), atau mereka yang ingin melakukan purifikasi yang over alias kebacut," sesalnya.

Situasi demikian, bagi yang ingin menyelamatkan generasi milenial dari radikalisme tiada lain harus melakukan perlawanan, kontranarasi atau wacana balik. "Kita tidak boleh diam, 'jala-jala'  yang ditebar itu harus kita difungsikan dengan cara menyampaikan pencerahan akan bahaya radikalisme kepada generasi milenial agar mereka bisa menghindar dari jebakan  tebaran 'jala-jala' tersebut," imbuhnya. 

Lebih berbahaya lagi, lanjut Gus Rofiq, jika 'jala" tersebut dimodifikasi menjadi 'pukat harimau'. Daya destruksinya terhadap generasi milenial semakin besar. Diibaratkan pukat harimau di dunia kelautan dilarang karena merusak alam bawah laut dan ikan-ikan kecil, 'pukat harimau' di 'lautan' medsos yang berkomposisi, hoaks, adu domba, isu SARA serta dihubungkan dengan kepentingan politik, akan merusak alam bawah sadar, pikiran, rasa, dan sikap generasi milenial.

Dosen UIN Sunan Ampel ini menegaskan NKRI adalah kesepakatan yang dibangun berdarah-darah. Ia bercerita, dulu ia memiliki tugas bergerilya dari tokoh ke tokoh, untuk mempengaruhi agar mereka mendukung khilafah. Kini dia justru jadi rujukan jawaban atas pertanyaan masyarakat umum yang acap kali dikampanyekan kalangan HTI untuk menggerus kemantapan warga negara Indonesia tetap berada di barisan Pancasila, lalu mengikuti propaganda mereka, yakni khilafah.

Sementara Rektor Inafis Jember,  Rijal Mumazziq menegaskan dalil untuk mencintai Indonesia itu cukup dengan ayat yang artinya 'Nikmat apa lagi yang engkau dustakan.'

"Karena Indonesia yang terdiri dari ribuan suku bisa hidup aman dan damai dan ini harus kita pertahankan," katanya.

Pada kegiatan bertema Meneguhkan kembali peran OKP dan Ormas dalam mengisi dan menjaga keutuhan NKRI yang berlangsung di Wisma Karya Kijang, Bintan, Provinsi Kepulauan Riau ini, Kapolres Bintan mengatakan GP Ansor sebagai mitra Polri sangat dibutuhkan sinergitasnya.

Selain Kapolres Bintan, hadir juga Kesbangpol Bintan, PWNU Kepri, PP GP Ansor, Ormas dan OKP se-Kabupaten Bintan.

Kegiatan diakhiri dengan pelantikan PC GP Ansor Bintan. Ketua Panitia Muhammad Sahroni berharap kegiatan ini dapat menjadi bekal kita untuk menjaga dan merawat keberagaman. 


Selasa, 27 November 2018

Memahami Islam tanpa Taswuf akan Lahirkan Radikalisme

Ulama Maroko: Memahami Islam tanpa Taswuf akan Lahirkan Faham Radikalime 


Ulama Maroko: Memahami Islam tanpa Taswuf akan Lahirkan Radikalisme.

Akademisi sufi internasional dari Fakultas Syariah Universitas Al-Qurawiyin Maroko, tiga minggu melakukan safari dakwah di sejumlah pondok pesantren dan universitas di Indonesia. Puncak safari tersebut menggelar "Diskusi Kebangsaan" di Pesantren Asy-Syafi'iyyah Kedungwungu, Krangkeng, Indramayu Jawa Barat, Jumat (18/7).

Pada kesempatan itu, Presiden Akademi Sufi Internasional Syekh Dr Aziz al-Kubaity mengatakan, ilmu pengetahuan tanpa dibarengi dengan pemahaman tasswuf yang benar, akan bisa melahirkan radikalisme atau terorisme atas nama Islam.`

Maraknya perseteruan atas nama agama, lanjut Syekh Aziz, akibat memamahi agama Islam dengan hawa nafsu, tanpa disertai dengan tazkiyah atau penjernihan hati sebagai salah satu inti ajaran tasawuf. Akibatnya sering menyalahkan sesama Muslim dan mengklaim diri dan golongannya yang paling benar.

Dalam sejarah-sejarah Islam di dunia mencatat, para sufi dengan ajaran tasawufnya, mengedepankan etika bukan hanya dalam beragama, tapi juga dalam berbangsa dan bernegara, bahkan sejak ratusan abad silam, di negara mana pun. 

“Setiap ada konflik, para ulama tasawuflah yang berperan menggagas perdamaian konflik atas nama agama, karena ajaran tasawuf adalam mengedepankan kedamaian semesta, dengan mencampakkan kekerasan baik personal maupun golongan," ujar pria yang meraih dua doktor dari Universitas Oxford dan Universitas di Maroko itu.

Hadir dalam kesempatan tersebut sejumlah tokoh masyarakat, kiai, dan pejabat. Serta para santri yang mengaunkan salawat saat menyambut kedatangan rombongan ulama Maroko tersebut.

Syeikh Aziz al-Kubaety sendiri, setiap tiga tahun sekali, menggelar Konferensi Sufi Internasional dengan peserta delegasi dari puluhan negara Islam. 

(Sanhaji).

Minggu, 25 November 2018

SIKAP, SIFAT, DAN KEPRIBADIAN ROSULULLAH SAW

SIKAP, SIFAT, DAN KEPRIBADIAN ROSULULLAH SAW


Sayyid Seif Alwi Ba 'Alawy

Menurut beberapa definisi dari para sahabat Baginda Rasulullah Saw tentang fisik Baginda Rasulullah Saw.

*Sahabat annas bin Malik RA,Kana Rosulullah Saw pribadi Baginda Rasulullah Saw adalah Beliau bukanlah manusia yang berbadan tinggi dan tidak pula berbadan pendek namun berperawakan sedang dan warna kulitnya tidak bule,tidak kulit pucat,tidak berwarna gelap namun berkulit kecoklatan dan rambut Baginda Rasulullah Saw itu tidak keriting,tidak pula lurus seperti di rebonding,namun beliau memiliki rambut yang bergelombang dan ikal. Di rambut kepala Baginda Rasulullah serta janggutnya tidak lebih dari 20 helai rambut yg berwarna putih (uban). Tubuh Baginda Rasulullah itu bagus sekali, Rosulullah jika berjalan tubuhnya bergoyang seperti peragawan.

Dimana Allah SWT mengutus beliau menjadi seorang Rosul, mengangkatnya menjadi seorang Rosul di umur 40thn. Baginda Rasulullah Saw tinggal di Mekkah hingga 10thn dan di Madinah pun sekitar 10thn juga,akan tetapi jika secara umum berarti sekitar 13thn, dan Allah SWT mewafatkan Baginda Rasulullah di kisaran umur 60thn,yg tepatnya umur 63thn.

*Hadist imam Tarmidzi, Hambali, Ahmad, Malik menurut mereka pribadi Baginda Rasulullah Saw adalah seorang pria yang berperawakan sedang, pundaknya lebar. Ketika beliau berkuda pun tegap terlihat gagah,barbagai gerakan bisa di peragakannya dengan sempurna. Rambut Baginda Rasulullah tebal dan lebat hingga menjulur kebawah telinga dan Baginda Rosulullah Saw pernah memakai pakaian jubah berwarna merah (maka laki-laki pun tidak mengapa memakai baju berwarna merah)
Rosulullah Saw kekar tulang kepalanya,tidak besar tidak pula kecil, sangat pas dengan tubuhnya,tulang tulang persendianya kokoh lebat bulu dadanya pernah terlihat oleh para sahabatnya.
Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih tampan lebih indah perawakannya di bandingkan dengan Rosulullah Saw,apabila kita dapat melihat wajah Rosulullah Saw seraya ada matahari di wajahnya sehingga ada yang mengira wajah Rosulullah Saw bersinar seperti matahari dan ketika beliau tersenyum seolah olah ada rembulan yg berputar di sekeliling wajah Rosulullah Saw.
Telapak tangan dan kaki itu tebal,namun lembut. Rosulullah Saw selalu membantu pekerjaan istrinya bahkan beliau menjahit bajunya sendiri.
Itulah sifat Rosulullah Saw mandiri, penyayang terhadap keluarganya,tidak semenarik menarik kepada sesama umat, padahal beliau seorang Rosul lebih tinggi dari kita tetapi tidak selalu minta di layani,bagiku indah sifat Rosul.
Rosulullah Saw hidup penuh dengan CINTA.

Suatu ketika Rosulullah Saw di hina oleh penduduk rohis dan di lempar batu, kotoran, Rosulullah Saw menangis pada saat itu sambil tersungkur dan menengadahkan kedua tangannya ke arah langit sambil berkata " Ya Robbi Engkaulah hati yang maha mulia,akulah hamba mu yang hina bersimpuh kpd-Mu ya Allah,aku mohon ampun atas segala kelalaian, kekurangan dan kelemahan ku,maka hamba serahkan segala sesuatu kpd-Mu, Engkau maha melindungi, Engkau dzat ya Rahman ya Rohim.
Pada saat Rosulullah Saw merasakan kepahitan dengan keindahan kata-katanya kepada Allah SWT kemudian malaikat Jibril hadir.
"Ya Rosul,jika engkau mau maka dua gunung itu akan aku himpitkan untuk orang-orang rohis."
Maka Rosulullah Saw menangis "ya Jibril,aku di utus bukan untuk membinasakan makhluk atau manusia. Beliau menahan air mata yang hampir menetes ke tanah,hal itu di saksikan sahabatnya.
"Kenapa kau tahan air mata mu yang hampir menetes?"
Rosulullah Saw menjawab "andaikan air mata kesedihan ini jatuh ke bumi,maka bumi akan menggulung mereka,aku di utus oleh Allah SWT tidak untuk menggulung manusia,aku di tugaskan untuk membuat cahaya Rahmat kepada hamba-Nya.
*Perjuangan itu Berat*
فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهُ
,وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَُٗهُ
"Barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrahpun niscahya dia akan melihat  [balasan]nya""Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun niscahya dia akan melihat [balasan] nya." (QS. Al zalzalah ayat 7 dan 8)

Ketika ada sahabat yang tersakiti olehnya maka Rosulullah Saw siap bertanggung jawab,walau dalam hal kecil.

Sayyidina Ali berkata "tidak ada seorang pun yang menyerupai kesempurnaan beliau, bahkan dari keturunannya sekali pun. Walaupun fisik dan rupa kita tidak mirip dengan Rosulullah Saw semoga akhlak mulia dan sifat-sifat Rosulullah Saw bisa untuk di contoh.


Kepercayaan Publik kepada Polri Meningkat


Kapolri Sebut Kepercayaan Publik kepada Polri Meningkat

Rabu, 11 Juli 2018 10:36

Ilham wibowo,  

Jakarta: Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyebut berbagai upaya melalui program profesional, modern dan terpercaya (Promoter) membawa dampak positif bagi kinerja Polri. Program reformasi internal itu diklaim meningkatkan kepercayaan publik.

"Program Promoter dibangun melalui pendekatan profesionalisme dan modernisasi guna meraih kepercayaan publik," ucap Tito dalam sambutan HUT ke-72 Bhayangkara di Istora, Senayan, Jakarta, Rabu, 11 Juli 2018.

Ia menyebut program Promoter difokuskan pada tiga kebijakan utama yang sederhana. Peningkatan kinerja, perbaikan kultur, dan manajemen media ditanamkan agar digunakan sebagai pedoman pelaksanaan tugas.

"Peningkatan kinerja diwujudkan melalui peningkatan kualitas pelayanan publik, profesionalisme dalam penegakan hukum, dan pemeliharaan stabilitas kamtibmas secara optimal," ujarnya.
Ia melanjutkan, perbaikan kultur diwujudkan dengan menekan budaya koruptif, menghilangkan arogansi kekuasaan, dan menekan kekerasan eksesif. Sedangkan manajemen media dilaksanakan pada media konvensional dan media sosial, dengan mengangkat prestasi-prestasi Polri dan menetralisir berita negatif, termasuk hoaks.

"Selama dua tahun implementasi, Program Promoter telah menunjukkan hasil yang baik. Public trust terhadap institusi Polri terus meningkat," ungkapnya.

Dalam kesempatan ini, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, Wakil Presiden Republik Indonesia Muhammad Jusuf Kalla serta sejumlah menteri turut hadir. Pimpinan MPR, DPR dan DPD pun ikut memberikan ucapan selamat pada perayaan HUT Polri.

"Semangat dan motivasi personel Polri menjadi semakin bertambah atas kehadiran Bapak Presiden RI dan Bapak Wakil Presiden RI, di tengah kesibukan melaksanakan tugas-tugas kenegaraan," tandasnya.

Sabtu, 24 November 2018

Siapakah Nashiruddin al-Albani?

Jumat, 18 November 2016

Siapakah Nashiruddin al-Albani?

Siapakah Nashiruddin al-Albani?

Beberapa tahun belakangan banyak kitab, buku, artikel, atau postingan di internet yang memuat kalimat : “disahihkan oleh Syaikh Al Albani”. Selama ini orang setidaknya hanya mengenal seperti : diriwayatkan oleh Syaikhon (Imam Bukhari dan Imam Muslim) atau diriwayatkan oleh Imam Bukhari, sahih Bukhari, sahih Muslim dan yang semisalnya dari Imam2 Muhaddits yang mu’tabar (kredibel).Dengan munculnya seorang yang dianggap sebagai ahli hadits abad ini, kini muncul istilah baru yang jadi icon dan ‘jaminan mutu’, apabila sebuah hadits sudah dapat stempel : disahihkan oleh Al Albani.

Ada juga dari golongan Salafi ini berkata bahwa al-Albani sederajad dengan Imam Bukhori pada zamannya. Sehingga semua hadits bila telah dishohihkan atau dilemahkan dan sebagainya, oleh beliau ini, sudah pasti lebih mendekati kebenaran. Buat ulama-ulama madzhab sunnah selain madzhab Wahabi, julukan dan pujian golongan Wahabi/Salafi terhadap ulama mereka Al-Albani semacam itu tidak ada masalahnya. Hanya sekarang yang dimasalahkan adalah penemuan ulama-ulama ahli hadits dari berbagai madzhab diantaranya dari Jordania yang bernama Syeikh Hasan Ali Assegaf  tentang banyaknya kontradiksi dari hadits-hadits dan catatan-catatan yang dikemukakan oleh al-Albani ini jumlahnya lebih dari 1200 hadits!! Angka yang spektakuler…

Para pemuja syaikh kelahiran Albania ini kadang bersikap ghuluw (berlebihan) dalam mempromosikan hadits  yg ditakhrijnya dan memuji pribadinya. Mereka menyebutnya Al-Imam Al-Mujaddid Al ‘Allamah Al-Muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Sayangnya pemujaan terhadap syaikh yang satu ini tanpa disebutkan dari mana sang Mujaddid wal Muhaddits ini mendapatkan sanad hadits.

Sebenarnya Siapakah Syeikh Nashiruddin Al-Albani itu? Mari kita lihat!

Syeikh Nashiruddin Al-Albani adalah seorang tukang jam yang dilahirkan di kota Ashkodera, negara Albania tahun 1914 M dan meninggal dunia pada tanggal 21 Jumadal Akhirah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yordania. Pada masa hidupnya, sehari-hari dia berprofesi sebagai tukang reparasi jam. Dia memiliki hobi membaca kitab-kitab khususnya kitab-kitab hadits tetapi tidak pernah berguru kepada guru hadits yang ahli dan tidak pernah mempunyai sanad yang diakui dalam Ilmu Hadits.

Keluarga beliau boleh dibilang termasuk kalangan kurang berada, namun bertradisi kuat dalam menuntut ilmu agama. Ayahanda beliau bernama Al-Haj Nuh, lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari”ah di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (kini Istambul). Keluarga beliau kemudian berhijrah ke Damaskus, ibu kota Syria, dan menetap di sana.

Beliau boleh dibilang tidak menyelesaikan pendidikan formal yang tinggi, kecuali hanya menyelesaikan sekolah madrasah ibtidaiyah. Kemudian beliau meneruskan ke madarasah An-Nizhamiyah.Dia  sendiri mengakui bahwa sebenarnya dia tidak hafal sepuluh hadits dengan sanad muttashil (bersambung) sampai ke Rasulullah, meskipun begitu dia berani mentashih dan mentadh’iftan hadits sesuai dengan kesimpulannya sendiri dan bertentangan dengan kaidah para ulama hadits yang menegaskan bahwa sesungguhnya mentashih dan mentadh’ifkan hadits adalah tugas para hafidz (ulama ahli hadits yg menghapal sekurang-kurangnya seratus ribu hadits).

Namun demikian kalangan salafi (wahabi) menganggap semua hadits bila telah dishohihkan atau dilemahkan Albani mereka pastikan lebih mendekati kebenaran.

Cukup sebagai bantahan terhadapnya, pengakuanya bahwa dia dulunya bekerja sebagai tukang jam dan hobinya membaca buku-buku tanpa mendalami ilmu Agama pada para ahlinya dan tidak mempunyai sanad yang diakui dalam Ilmu Hadits bahkan sanadnya terputus (tidak bersambung sampai ke Rasulullah), tetapi sanadnya kembali kepada buku-buku yang dibacanya sendiri.

Albani menyenangi ilmu hadits dan semakin asyik dengan penelusuran kitab-kitab hadits. Sampai pihak pengelola perpustakaan adz-Dzhahiriyah di Damaskus memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau.

Hadits menjadi kesibukan rutinnya, sampai-sampai beliau menutup kios reparasi jamnya. Beliau lebih betah berlama-lama dalam perpustakaan azh-Zhahiriyah, sehingga setiap harinya mencapai 12 jam. Tidak pernah istirahat mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu sholat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan.

Namun sayangnya, dia menyangka bahwa dirinya telah menjadi profesional dalam urusan agama. Dia memberanikan diri untuk berfatwa dan mentashhieh hadits atau mendha’ifkannya sesuai dengan keinginan hawa nafsunya. Juga dia berani menyerang ulama yang mu’tabar (yang berkompeten di bidangnya) padahal dia mandakwa bahwa “hafalan”hadits telah terputus atau punah.

Dia mengakui bahwa sebenarya dia tidak hafal sepuluh hadits dengan sanad muttashil (bersambung) sampai ke Rasulullah, meskipun begitu dia berani mentashih dan mentadh’iftan hadits sesuai dengan hawa nafsunya dan bertentangan dengan kaidah para ulama hadits yang menegaskan bahwa sesungguhnya mentashih dan mentadhifkan hadits adalah tugas para. hafiz saja.

Sebagai perbandingan salah seorang Muhaddits Indonesia, syaikh Muhammad Yasin ibn Muhammad ‘Isa al-Fadani memiliki rantaian sanad yang bersambung sampai kepada Rasululloh SAW. Sementara syaikh al Albani dapat dikatakan lebih sebagai kutu buku yang banyak menghabiskan waktu di perpustakaan untuk mempelajari hadits, ketimbang sebagai ahli hadits (Muhaddits). Sebab persyaratan untuk dapat dikatakan sebagai Ahli Hadits (Muhaddits) amatlah berat.  Setidaknya ada 3 syarat menurut Imam Ibnu Hajr al Asyqolani Asy Syafi’ie :

1 – Masyhur dalam menuntu ilmu hadits dan mengambil riwayat dari mulut para ulama, bukan dari kitab-kitab hadits saja

2 – Mengetahui dengan jelas Thabaqat generasi periwayat dan kedudukan mereka

3 – mengetahui Jarah dan ta`dil dari setiap periwayat, dan mengenal mana hadit yang shahih atau yang Dhaif, sehingga apa yang dia ketahui lebih banyak dari pada yang tidak diketahuinya, juga menghapal banyak matan haditsnya

Beliau wafat pada hari Jum”at malam Sabtu tanggal 21 Jumada Tsaniyah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yoradania.

Nasihat kami bagi seluruh umat Islam untuk tidak membaca kitab-kitabnya dan tidak merujuk kepada tashih dan tadh`ifnya dalam hadits. Justru kewajiban syar’i adalah melakukan tahzir terhadapnya dan terhadap karangan-karangannya demi membela Islam dan Muslimin.

Semoga kita berhati-hati dalam memilih hadist yang berasal dari para Muhadditsin Palsu yang tidak bersanad pada Baginda Nabi SAW.

Maka ambillah Hadist yang benar-benar kredible  Yg berasal dari Para Muhadditsin terdahulu tentunya bersanad pada Baginda Nabi SAW.

(Sanhaji)


Jumat, 23 November 2018

Bermazhab Syafi'i tapi Aqidahnya Asy'ari?


Bermazhab Syafi'i tapi Aqidahnya Asy'ari?

Banyak orang iseng bertanya kenapa mayoritas Muslimin yang mengaku bermazhab Syafi'iyah, seperti di Indonesia, namun aqidahnya justru Asy'ariyah? Kenapa tidak mengikuti aqidahnya Imam Syafi'i secara total?

Sebenarnya pertanyaan seperti itu timbul akibat salah paham terhadap manhaj aqidah Asy’ariyah. Pertanyaan itu dibangun dari asumsi bahwa aqidah Asy'ariyah berbeda dengan ajaran Imam Syafi'i, padahal faktanya tidak demikian sehingga pertanyaan itu sendiri yang seharusnya dipertanyakan. Namun berhubung banyak yang menanyakan pertanyaan salah tersebut, maka berikut ini jawabannya:

• Tak ada perbedaan prinsip antara aqidah Imam Syafi'i dan Imam Asy'ari. Kitab-kitab Asy'ariyah sendiri dan kitab Imam Syafi'i mengajarkan aqidah yang sama persis, kecuali dalam beberapa hal yang termasuk cabang (furû’).  Ulama Syafi'iyah menukil dari Imam Syafi'i bahwa Allah bukanlah jism, Allah tak boleh disifati duduk, sifat Allah harus diarahkan ke makna yang layak bagi-Nya. Ini adalah aqidah yang sama persis dengan ajaran Imam Asy'ari dan seluruh Asy’ariyah. Perbedaannya hanya terletak pada bab takwil di mana Imam Syafi'i dan kebanyakan ulama di masanya tergolong ahli tafwîdh (menyerahkan makna spesifiknya kepada Allah) sehingga biasanya menolak untuk mentakwil kebanyakan sifat. Dalam ajaran aqidah Asy’ariyah, baik tafwîdh maupun takwil dianggap sebagai pilihan yang benar. Keduanya adalah dua sikap yang valid dan punya dasar dari pernyataan para sahabat Nabi dan para ulama setelahnya.

• Fokus karangan Imam Syafi'i adalah bidang fiqih dan tak punya kitab khusus membahas aqidah secara komprehensif. Ini menyebabkan tak ada yang namanya mazhab aqidah Imam Syafi'i. Bila ada yang menggugat kenapa tidak mengikuti aqidah Imam Syafi'i, maka kitab beliau yang mana yang harus dijadikan pedoman utama? Ada kitab aqidah berjudul al-Fiqhul Akbar yang dinisbatkan pada Imam Syafi'i, isinya justru 100 persen Asy'ariyah. Tetapi sebab penganut Asy'ariyah dan Syafi'iyah cermat dan jujur secara ilmiah, maka kitab ini dinyatakan bukan karangan imam Syafi'i dan tak dipakai sebagai rujukan kecuali oleh sebagian kecil orang.

• Fokus karangan Imam Asy'ari adalah bidang aqidah dan tak mempunyai kitab fiqih yang komprehensif yang sampai pada kita. Ini menyebabkan tak ada mazhab fiqih Asy'ariyah. Berbeda kasusnya tentang tema aqidah; Imam Asy'ari menulis dan mengomentari semua sekte aqidah kaum muslimin yang ada pada saat itu, mulai dari Mujassimah yang menetapkan sifat fisik bagi Allah hingga Jahmiyah yang meniadakan seluruh sifat Allah agar tak bernuansa fisik; mulai Qadariyah yang mengatakan bahwa manusia bebas secara mutlak dalam bertindak, hingga Jabariyah yang mengatakan bahwa seluruh tindakan manusia itu atas “paksaan” kehendak Tuhan, semuanya tak luput dari koreksi imam besar ini. Dari sinilah kemudian para muridnya memunculkan istilah mazhab aqidah Asy'ariyah. Pada hakikatnya, ini bukanlah mazhab baru sebab kenyataannya justru mazhab ini muncul sebagai pembelaan terhadap aqidah para ulama salaf yang dikritik oleh sekte-sekte yang muncul belakangan di atas.

• Pertanyaan ini sama kasusnya dengan ketika seseorang merujuk pada Imam Bukhari dan lainnya dalam bab hadits, bukan ke kitab Musnad as-Syafi'i sebab musnad beliau tersebut terbatas sekali. Dalam bab biodata periwayat hadits (Rijâl al-Hadîts) kita merujuk pada penilaian Imam Yahya bin Ma'in, ad-Dzahabi dan lain-lain, bukan pada Imam Syafi'i sebab sedikit sekali penilaian beliau atas Rijâl al-Hadîts yang sampai pada kita. Dalam bab Tafsir kita merujuk pada Imam at-Thabary, al-Qurthuby dan lain-lain sebab tak satu pun kita dapati Imam Syafi'i menulis tafsir. Semuanya ini tidak bisa diartikan sebuah penyelewengan dari mazhab Syafi’i atau diasumsikan bahwa Imam Syafi’i berbeda pendapat dari tokoh-tokoh tersebut.

Jadi, dengan memilih ulama rujukan yang berbeda dalam tiap spesifikasi ilmu yang berbeda pula bukan berarti seseorang tidak konsisten, tetapi itu justru menunjukkan adanya keahlian memilih para ahli di bidangnya masing-masing. Hal ini juga menjadi bukti bahwa bermazhab itu tidaklah kaku dalam arti hanya membatasi diri dengan satu tokoh saja dalam segala hal. Tak ada satu pun ulama mazhab yang mengajarkan sikap kaku dan membatasi diri seperti ini sehingga para pengikut mazhab fiqih tetap leluasa merujuk tokoh manapun yang ia anggap argumennya paling kuat di spesialisasi ilmunya masing-masing. 

Wallahu a'lam.

Bahaya Fitnah terhadap Ulama dan Orang Saleh


Bahaya Fitnah terhadap Ulama dan Orang Saleh


Bahaya Fitnah terhadap Ulama dan Orang Saleh

Berburuk sangka dan melakukan ujaran kebencian kerap menyasar para kiai dan orang-orang saleh. Buruk sangka disertai ujaran kebencian cepat menyebar di pelbagai jenis media sosial.

Label ulama su (ulama yang jahat atau mabuk dunia) sering disematkan kepada para kiai yang menjaga sikap moderat, proporsional, dan toleran terutama sekali. Pasalnya para kiai dan orang saleh yang menjaga sikap moderat itu kerap disalahartikan sebagai sikap negatif dan memang berisiko disalahartikan.

Meskipun demikian, kita tidak bisa menaruh sangka buruk apalagi disertai ujaran kebencian terhadap mereka. Buruk sangka tanpa pembuktian dan tabayun, ghibah, ujaran kebencian, dan fitnah terhadap semua orang tidak terkecuali para kiai dan orang saleh adalah tindakan menyakitkan yang dilarang agama itu sendiri.

Tindakan menyakitkan ini dapat berakibat fatal, yaitu meruntuhkan bangunan peribadatan kita kepada Allah. Hal ini dipesan oleh Sahal At-Tustari RA yang dikutip Syekh Abdul Wahhab As-Sya’rani berikut ini:

و)احذر أيضا (من أذى الخلق) فإنه من السموم القاتلة... وقال أيضا "أصولنا سبعة: التمسك بكتاب الله تعالى، الاقتداء بسيدنا رسول الله صلى الله عليه وسلم، وأكل الحلال، واجتناب المعاصي، والتوبة، وأداء الحقوق، وكف الأذى وهو على نوعين: أحدهما كف أذى الجوارح الظاهرة. ثانيهما كف القلب عما يخطر فيه من سوء الظن بالناس فإنه من السموم القاتلة ولا يشعر به أحد لا سيما سوء الظن بالأولياء والعلماء وحملة القرآن."

Artinya, “Hati-hatilah (menyakiti makhluk) karena tindakan itu adalah ‘racun mematikan...’ Sahal At-Tustari RA juga berkata, ‘Pokok kami ada tujuh: berpegang pada kitab suci Allah Al-Quran, meneladani Rasulullah SAW, mengonsumsi makanan halal, menjauhi maksiat, bertobat, menunaikan kewajiban, dan menahan diri dari tindakan menyakitkan bagi orang lain. Penahanan diri agar tidak menyakiti orang lain terbagi dua: pertama, menahan anggota badan. Kedua, menahan batin dari buruk sangka (suuzzhan) terhadap orang lain yang melintas di hati. Pasalnya, buruk sangka termasuk racun mematikan, tetapi bahaya ini jarang disadari oleh banyak orang, terlebih lagi buruk sangka terhadap para wali, ulama, dan para penghafal Al-Quran,’” (Lihat Syekh Abdul Wahhab As-Sya‘rani, Syarah Al-Minahus Saniyyah, [Indonesia: Al-Haramain, tanpa catatan tahun], halaman 7).

Buruk sangka tanpa pembuktian dan tabayun, ghibah, ujaran kebencian, dan fitnah terhadap para kiai dan orang saleh bukan hanya menutup pintu rahmat Allah, tetapi juga membuka lebar pintu murka Allah. Pesan ini berulang kali disampaikan Syekh Ali Wafa kepada Syekh Abdul Wahab As-Sya’rani dalam kutipan berikut ini:

وفي وصية سيدي علي بن وفا رحمه الله تعالى: إياكم أيها المريدون أن تقعوا في حق أحد من أقران شيخكم فإن لحوم الأولياء سم ولو لم يؤاخذوكم، وإياكم ثم إياكم من الاستهانة بغيبة أحد ولو لم تبلغه تلك الغيبة بل خافوا منها أكثر مما تخافون إذا بلغته فإنه وليه الله تعالى. فاعلم ذلك يا أخي.  

Artinya, “Dalam wasiat guruku Ali bin Wafa–Allah yarhamuh–, ‘Wahai para murid, waspadalah kamu terhadap hak salah seorang sahabat gurumu karena daging para wali adalah racun sekalipun mereka tidak mengambil tindakan terhadapmu. Waspada dan waspada atas penghinaan berupa ghibah terhadap salah seorang dari mereka sekalipun ghibah itu tidak sampai ke telinga mereka. Tetapi yang seharusnya paling kalian takuti adalah ketika ghibahmu sampai ke telinga mereka karena sungguh pelindung mereka adalah Allah. Sadarilah hal ini wahai saudaraku,” (Lihat Syekh Abdul Wahhab As-Sya‘rani, Syarah Al-Minahus Saniyyah, [Indonesia: Al-Haramain, tanpa catatan tahun], halaman 7).

Pesan dan pandangan yang disampaikan oleh Syekh Abdul Wahhab As-Sya‘rani bukan mengada-ada. Mereka semua merujuk pada larangan Al-Quran pada Surat Al-Hujurat. Pesan dan pandangan itu lahir dari hasil renungan atas surat tersebut yang kami kutip berikut ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak sangka. Sungguh, sebagian sangka merupakan sebuah dosa. Jangan kalian mencari-cari kesalahan orang lain. Janganlah sebagian kalian mengghibah sebagian lainnya. Apakah salah seorang dari kalian senang memakan daging bangkai saudaranya? Kalian tentu tidak menyukainya. Takutlah kepada Allah. Sungguh, Allah maha penerima tobat lagi penyayang,” (Surat Al-Hujurat ayat 12).

Keterangan ini bukan dipahami sebagai larangan untuk mengkritik pemikiran para kiai dan orang saleh. Keterangan ini diharapkan dapat menjadi rambu-rambu bagi kita untuk tidak segera mempercayai lalu lalang informasi di hape android kita dan tidak menjatuhkan vonis terhadap para kiai dan orang-orang saleh itu. Dengan kewaspadaan seperti ini, kita tidak ikut men-share informasi tanpa pertanggungjawaban seperti itu. Wallahu a’lam.

(Sanhaji Tanara)


Kamis, 22 November 2018

Istri Berzina Atau Selingkuh, Wajibkah Diceraikan? Ini Dalilnya


Istri Berzina Atau Selingkuh, Wajibkah Diceraikan? Ini Dalilnya

Istri Berzina Atau Selingkuh, Wajibkah Diceraikan? Ini Dalilnya

Zina, apalagi bagi yang telah menikah adalah dosa besar, pelakunya wajib dikenakan hukum jilid (cambuk) 100 kali jika belum pernah nikah, dan wajib dirajam jika telah pernah menikah, tidak ada perbedaan pendapat ‘ulama dalam hal ini.

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Hanya saja, jika karena suatu hal (misalnya tidak cukup saksi dan tidak mengaku di pengadilan, atau pengadilannya tidak memakai hukum Islam).

Sehingga hukuman rajam tidak ditegakkan, apakah istri tersebut otomatis terceraikan?

Mayoritas ahli Ilmu, seperti Imam Mujâhid, Atha’, An Nakha-i, Ats Tsaury, as Syafi’i, Ishaq dan ashâbur ro’yi berpandangan bahwa ikatan pernikahan tidak otomatis terputus karena perzinaan yang dilakukan salah satu pasangan.

Berbeda dengan Jabir bin Abdullah, al Hasan dan ‘Ali, mereka berpandangan bahwa jika wanita berzina, maka dia dipisahkan dari suaminya, dan tidak mendapatkan apapun dari suaminya. (lihat Ibnu Qudamah (w. 620 H), Al Mughni, 7/142 di bagian akhir tulisan).

Jika tidak otomatis terjadi perceraian gara-gara perzinaan, lalu mana yang seharusnya dilakukan, mempertahankan pernikahan ataukah menceraikannya?, dalam hal ini perlu dilihat:

Jika istri yang selingkuh tersebut benar-benar bertaubat, yang taubatnya nampak dalam perubahan cara bergaulnya, menghapus segala kenangan bersama selingkuhannya, dan suaminya siap memaafkannya dan menutupi aib istrinya, maka boleh saja suaminya mempertahankannya.

Namun jika suami tidak bisa memaafkan istri, dan justru menjadikan hal tersebut alasan untuk mendzalimi istri yang telah bertaubat itu, maka sebaiknya istri tersebut diceraikan saja.

Adapun jika istri yang berzina tersebut tidak ada tanda-tanda bertaubat, maka para ‘ulama berbeda pendapat,

sebagian membolehkan suami mempertahankannya, sebagian lain mewajibkan suami untuk menceraikannya.

Hemat saya, dalam kondisi seperti ini (istri tidak ada tanda-tanda taubat), jika suami ingin tetap mempertahankan pernikahannya, maka dia wajib mendidik istrinya agar segera bertaubat.

Jika tidak dilakukan, atau sudah dilakukan ‘treatmen’ namun istrinya tetap seperti itu dan ada peluang mengulangi perbuatannya, maka suami wajib menceraikannya.

Suami yang membiarkan hal tersebut terjadi termasuk dayyûts, yang dicela dalam Islam.

ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ، وَالدَّيُّوثُ

“Tiga orang yang Allah tidak akan melihat mereka (tidak meridhai mereka) pada hari kiamat, orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang bergaya lelaki, dan dayyûts.” (HR. Ahmad).

وَالدَّيُّوثُ الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ الْخَبَثَ

“Lelaki dayuts yang membiarkan perbuatan keji pada keluarganya.” (HR Ahmad).

Bagaimana jika yang berzina adalah suaminya?, dalam hal ini istri juga berhak (boleh) mengajukan cerai kepada suaminya, suami boleh menceraikan boleh juga tidak.

Jika suami tidak mau menceraikan dan istri tidak bisa menerimanya serta sulit menjalankan ketaatan kepada suaminya, istri boleh megajukan fasakh atau khulu’.

Wallaahu a’lam.


Selasa, 20 November 2018

CABANG IMAN MENURUT SYECH NAWAWI TANARA AL-BANTANI.

CABANG IMAN MENURUT SYECH NAWAWI TANARA  AL-BANTANI.


77 CABANG IMAN MENURUT SYECH NAWAWI TANARA  AL-BANTANI.

(Sanhaji Tanara)

Assalamu`alaikum Wr. Wb, 
Menurut Syekh Nawawi Tanara Al-Bantani, iman itu memiliki 77 cabang, Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani dikenal sebagai seorang ulama yang memiliki ilmu sangat luas. Hal ini dibuktikan dengan sejumlah karya-karyanya dalam berbagai disiplin ilmu agama. Mulai dari fikih, tafsir, akidah (tauhid), hingga dalam bidang tasawuf. Tak kurang dari 40 judul kitab yang ditulis oleh ulama kelahiran Tanara, Banten, ini. Dan, kitab karya Syekh Nawawi al-Bantani dipelajari di lembaga pendidikan Islam (pesantren). Tidak hanya di Indonesia, tetapi juga hingga mancanegara. Karena itu, selain dijuluki sebagai Sayyid ulama al-Hijaz, Syekh Nawawi al-Bantani juga dijuluki sebagai 'Si Pena Emas' karena karyanya yang sangat banyak.

Salah satu karya Syekh Nawawi Al-Bantani adalah kitab Qami' al-Thughyan 'ala  al-Syu'ub al-Iman. Kitab ini masuk dalam bidang tasawuf yang membahas tentang masalah keimanan.
Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa cabang iman itu 77, pendapat beliau ini berdasarkan keterangan hadist diantaranya :

sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:

الإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الإِيمَانِ

“Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Yang paling tinggi adalah perkataan ‘laa ilaha illallah’ (tiada sesembahan yang berhak di sembah selain Allah), yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Penjelasan:

Hadits yang agung ini menjelasan tentang cabang-cabang iman, ia berjumlah tujuh puluh sekian atau enam puluh sekian, al-bidha’ maknanya hitungan dari tiga sampai sembilan.

Cabang-cabang ini mengumpulkan puncak-puncak iman dan yang paling tingginya yaitu tauhid, perkataan beliau (Laa Ilaaha Illallah), kalimah ini adalah pintunya islam sampai kepada akhir cabang dan paling rendahnya, yaitu membuang segala yang menyakiti di jalanan muslim.

Perkataan beliau (Iman tujuh puluh sekian atau senam puluh sekian cabang), yang dimaksud dengan demikian adalah bahwa cabang iman tidak keluar dari bilangan-bilangan ini. Ia bertingkat-tingkat, termasuk pula padanya amalan hati, amalan anggota tubuh, amalan lidah, dan darinya terpecah cabang-cabang yang lain dari amalan badan, seperti amalan yang mengalir manfaatnya seperti sadaqah, amar ma’ruf nahi mungkar, dan dakwah ke jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Selanjutnya perkataan Nabi (yang paling utamanya adalah ucapan Laa Ilaaha Illallah) dan dalam lafaz AHmad (tertinggi dan paling tingginya adalah ucapan Laa Ilaaha Illallah), dan ia tidaklah bisa menjadi cabang tertinggi pada diri seseorang melainkan mengakuinya dengan penuh keikhlasan, jujur, yakin, sungguh demikian akan membuat hati tentram dan jiwa menjadi tenang.

Dan kalimah Laa Ilaaha Illallah bukan hanya sekedar ucapan lisan, tapi ia harus dengan pembenaran hati, amalan anggota tubuh. Syarat-syaratnya harus dipenuhi, yaitu: Ilmu, yakin, ikhlas, jujur, cinta, tunduk/taat dan menerima.

Dan perlu diketahui bahwa iman dengan amal tidak bisa dipisahkan. Sehingga dikatakan bahwa amalan adalah bukti keimanan. Bahkan iman bisa tanggal apabila amal tidak ada.

Apabila seseorang beramal maka menunjukkan dia punya iman. Maka kita jumpai pula di dalam ayat-ayat ketika Allah menyeru orang beriman kemudian dikaitkan dengan amalan, seperti seruan puasa, shalat dan zakat, dan amalan-amalan lainnya.

Faedah hadits:

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan bahwa iman seperti pohon dan pohon tersebut memiliki cabang/dahan.

Seperti itu pulalah dengan iman, ia memiliki cabang-cabang.

Dan ini adalah kesempatan bagi hamba mendekati cabang-cabang tersebut, untuk menguatkan keimanannya.

Iman itu adalah perkataan dan perbuatan.

Iman itu bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Seorang muslim harus mendatangi semua cabang-cabang iman sesanggupnya, sebab ia tidak tahu amalan apa yang menyebabkan ia masuk surga.

Menurut hadits riwayat Imam Tirmidzi jumlahnya ada 64.

Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

((الإيمان بضع وسبعون شعبة، والحياء شعبة من الإيمان))

IMAN itu ada lebih dari tujuh puluh cabang, dan MALU merupakan salah satu cabang dari IMAN

dalam riwayat yang lain :

((الإيمان بضع وسبعون، أو بضع وستّون شعبة، فأفضلها قول لا إله إلا الله، وأدناها إماطة الأذى عن الطريق، والحياء شعبة من الإيمان))

Iman itu ada lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang, cabang yang paling utama adalah ucapan “La Iilaha Iillallah”, tingkatan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan di jalan, dan malu merupakan salah satu cabang dari iman.
[Muttafaqun ‘alaih]

Dan Sabda Nabi SAW yang lainnya

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ

Dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Iman memiliki lebih dari enam puluh cabang, dan malu adalah bagian dari iman”. 
(HR. Bukhari. Kitab Iman).

Pembagian cabang iman menurut kitab Qami' al-Thughyan 'ala  al-Syu'ub al-Iman :

3 Cabang iman yaitu yang berhubungan dengan :

1)      Niat, aqidah, dan amalan hati;

2)      Lidah; dan

3)      Seluruh anggota tubuh.

1. Yang Berhubungan dengan Niat, Aqidah, dan Hati

1)      Beriman kepada Allah, kepada Dzat-Nya, dan segala sifat-Nya, meyakini bahwa Allah adalah Maha Suci, Esa, dan tiada bandingan serta perumpamaannya.

2)      Selain Allah semuanya adalah ciptaan-Nya. Dialah yang Esa.

3)      Beriman kepada para malaikat.

4)      Beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada para Rasul-Nya.

5)      Beriman kepada para Rasul.

6)      Beriman kepada takdir yang baik maupun buruk, bahwa semua itu datang dari Allah.

7)      Beriman kepada hari Kiamat, termasuk siksa dan pertanyaan di dalam kubur, kehidupan setelah mati, hisab, penimbangan amal, dan menyeberangi shirat.

8)      Meyakini akan adanya Syurga dan Insya Allah semua mukmin akan memasukinya.

9)      Meyakini neraka dan siksanya yang sangat pedih untuk selamanya.

10)  Mencintai ALLAH

11)  Mencintai karena Allah dan membenci karena Allah termasuk mencintai para sahabat, khususnya Muhajirin dan Anshar, juga keluarga Nabi Muhammad saw dan keturunannya.

12)  Mencintai Rasulullah saw, termasuk siapa saja yang memuliakan beliau, bershalawat atasnya, dan mengikuti sunnahnya.

13)  Ikhlash, tidak riya dalam beramal dan menjauhi nifaq.

14)  Bertaubat, menyesali dosa-dosanya dalam hati disertai janji tidak akan mengulanginya lagi.

15)  Takut kepada Allah.

16)  Selalu mengharap Rahmat Allah.

17)  Tidak berputus asa dari Rahmat Allah.

18)  Syukur.

19)  Menunaikan amanah.

20)  Sabar.

21)  Tawadhu dan menghormati yang lebih tua.

22)  Kasih saying, termasuk mencintai anak-anak kecil.

23)  Menerima dan ridha dengan apa yang telah ditakdirkan.

24)  Tawakkal.

25)  Meninggalkan sifat takabbur dan membanggakan diri, termasuk menundukkan hawa nafsu.

26)  Tidak dengki dan iri hati.

27)  Rasa malu.

28)  Tidak menjadi pemarah.

29)  Tidak menipu, termasuk tidak berburuk sangka dan tidak merencanakan keburukan atau maker kepada siapapun.

30)  Mengeluarkan segala cinta dunia dari hati, termasuk cinta harta dan pangkat.

2. Yang Berhubungan dengan Lidah

31)  Membaca kalimat Thayyibah.

32)  Membaca Al Quran yang suci.

33)  Menuntut ilmu.

34)  Mengajarkan ilmu.

35)  Berdoa.

36)  Dzikrullah, termasuk istighfar.

37)  Menghindari bicara sia-sia.

3. Yang berhubungan dengan Anggota Tubuh

38)  Bersuci. Termasuk kesucian badan, pakaian, dan tempat tinggal.

39)  Menjaga shalat. Termasuk shalat fardhu, sunnah, dan qadha’.

40)  Bersedekah. Termasuk zakat fitrah, zakat harta, member makan, memuliakan tamu, serta membebaskan hamba sahaya.

41)  Berpuasa, wajib maupun sunnah.

42)  Haji, fardhu maupun sunnah.

43)  Beriktikaf, termasuk mencari lailatul qadar di dalamnya.

44)  Menjaga agama dan meninggalkan rumah untuk berhijrah sementara waktu.

45)  Menyempurnakan nazar.

46)  Menyempurnakan sumpah.

47)  Menyempurnakan kifarah.

48)  Menutup aurat ketika shalat dan di luar shalat.

49)  Berkorban hewan, termasuk memperhatikan hewan korban yang akan disembelih dan menjaganya dengan baik.

50)  Mengurus jenazah.

51)  Menunaikan utang.

52)  Meluruskan mu’amalah dan meninggalkan riba.

53)  Bersaksi benar dan jujur, tidak menutupi kebenaran.

54)  Menikah untuk menghindari perbuatan keji dan haram.

55)  Menunaikan hak keluarga dan sanak kerabat, serta menunaikan hak hamba sahaya.

56)  Berbakti dan menunaikan hak orang tua.

57)  Mendidikan anak-anak dengan tarbiyah yang baik.

58)  Menjaga silaturrahmi.

59)  Taat kepada orang tua atau yang dituakan dalam agama.

60)  Menegakkan pemerintahan yang adil

61)  Mendukung jemaah yang bergerak di dalam kebenaran.

62)  Mentaati hakim (pemerintah) dengan syarat tidak melanggar syariat.

63)  Memperbaiki mu’amalah dengan sesama.

64)  Membantu orang lain dalam kebaikan.

65)  Amar makruh Nahi Mungkar.

66)  Menegakkan hukum Islam.

67)  Berjihad, termasuk menjaga perbatasan.

68)  Menunaikan amanah, termasuk mengeluarkan 1/5 harta rampasan perang.

69)  Memberi dan membayar utang.

70)  Memberikan hak tetangga dan memuliakannya.

71)  Mencari harta dengan cara yang halal.

72)  Menyumbangkan harta pada tempatnya, termasuk menghindari sifat boros dan kikir.

73)  Memberi dan menjawab salam.

74)  Mendoakan orang yang bersin.

75)  Menghindari perbuatan yang merugikan dan menyusahkan orang lain.

76)  Menghindari permainan dan senda gurau.

77)  Menjauhkan benda-benda yang mengganggu di jalan.

Demikian penjelasan tentang cabang iman,  dikutip dari kitab Qami' al-Thughyan 'ala  al-Syu'ub al-Iman karya syech Nawawi Tanara Al-Bantani, yang banyak dipakai oleh Santri Nasional bahkan Mancanegara,Cabang iman ini yang paling termasyur dikalangan Para Santri Ahlussunah waljam'ati, kalangan Nahdhotul 'Ulama.

(Sanhaji)


Senin, 19 November 2018

Inilah Perayaan Maulid Nabi di Makkah Jaman Old, Sebelum Dikuasai Wahabi



Inilah Perayaan Maulid Nabi di Makkah Jaman Old, Sebelum Dikuasai Wahabi
 

Dalam peradaban manusia, ada yang namanya ‘perayaan’, yakni suatu kegiatan untuk merayakan momen-momen tertentu yang dianggap istimewa oleh suatu masyarakat. Tentu saja, perayaan tersebut merupakan bentuk kreativitas manusia sebagai makhluk berbudaya. Tak terkecuali dengan masyarakat Hijaz.

Kota Mekah dan Madinah yang termasuk dalam wilayah ‘Hijaz’ menjadi titik-titik peradaban sejak dahulu kala. Sejak wilayah ini dihuni anak turun Ibrahim hingga hari ini. Sepanjang sejarah itu pulalah masyarakat Hijaz memiliki berbagai macam bentuk perayaan. Mulai dari pra-Islam hingga perayaan modern.

Di antara perayaan-perayaan itu ialah perayaan Maulid Nabi. Perayaan maulid yang digelar secara kolosal dan disponsori oleh pemerintah di Mekah dimulai pada masa Dinasti Fathimiyyah dan berakhir di masa Dinasti Turki Utsmani. Pada masa itu, tiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, digelarlah majlis yang diisi dengan ceramah keagamaan, disajikan pula aneka rupa makanan dan manisan.

Masyarakat Mekah, pada hari itu, berkumpul di Zuqaq al-Maulid, yaitu satu area di mana rumah kelahiran Rasulullah saw. berlokasi. Rumah yang dahulu dipasrahkan oleh Rasulullah kepada sepupu beliau, yakni Aqil bin Abu Thalib, pada masa Al-Khayzaran difungsikan sebagai masjid dan area sekitarnya disebut dengan Zuqaq al-Maulid.

Lokasi dan bentuk Zuqaq al-Maulid tempo dulu

Pada malam ke-12 bulan Rabi’ul Awwal, yakni ba’da Maghrib, kaum muslimin dari berbagai penjuru Mekah berkumpul ke tempat ini dengan membawa lilin atau lentera. Di tempat itu hadir pula para pembesar dari mazhab Syafi’I, Hanafi, Hanbali, maupun Maliki, serta disampaikanlah khutbah dan nasihat-nasihat. Kemudian mereka menuju Masjidil Haram dan shalat Isya di sana.

Suasana ini digambarkan begitu rupa oleh seorang sejarawan, al-‘Izz bin Fahd, yang mencatat prosesi perayaan maulid di Mekah pada tahun 911H/1505M. Pada momen berbahagia ini pula masyarakat Mekah banyak yang menyertainya dengan hajatan-hajatan pribadi sebagai bentuk tabarruk, seperti khitan, resepsi pernikahan, maupun akad nikah.

Perayaan Maulid ini merupakan acara resmi yang disponsori langsung oleh syarif (gubernur) Mekah kala itu, yang termasuk dalam naungan Dinasti Utsmaniyyah di Turki. Beliau mengundang semua elemen ulama dari berbagai mazab untuk menghadiri dan memberikan nasihat kepada masyarakat di hari itu. Pada masa ini juga ada sebagian kalangan yang tidak sepakat dengan perayaan Maulid Nabi, menyebutnya sebagai bid’ah dan menolak undangan dari syarif untuk menghadiri acara tersebut.

Snouck Hurgronje, menggambarkan bagaimana suasana perayaan Maulid Nabi di Mekah pada tahun 1292H/1875M:
“Acara dimulai pada siang hari tanggal 11 Rabi’ul Awwal, ditandai dengan suara meriam sebagai pertanda akan digelarnya perayaan. Pada hari itu, para pengajar mulai mengisahkan sejarah kelahiran Nabi Muhammad (maulid) untuk menggantikan pelajaran-pelajaran yang biasa

diajarkan. Setelah masuk waktu Maghrib malam 12 Rabi’ul Awwal, orang-orang mulai berkumpul dalam jumlah yang besar, para wanita pun turut dating, anak-anak juga ikut serta bersama ibu-ibu mereka, di jalan-jalan nampak para penjual jajanan dan mainan. Setelah selesai shalat Maghrib, lentera-lentera dalam jumlah begitu banyak mulai dinyalakan. Orang-orang saling bersalaman dan menyapa satu sama lain. Di sebelah utara Masjidul Haram, seorang imam duduk di atas mimbar kayu, memunggungi Ka’bah dan menghadap para jamaah, di situ ia membacakan kisah maulid. Di barisan depan, duduk gubernur Mekah dan perwakilan dari Turki. Setelah selesai pembacaan kisah maulid, rombongan syarif bergerak bersama para punggawa yang membawa lentera-lentera terang menuju Pasar Qasasiyah, melewati pasar Al-Layl, hingga sampai di bangunan kubah masjid di Syi’ib Ali. Di situlah tempat di mana Rasulullah saw. dilahirkan. Dan di hadapan rombongan ini, berdirilah Yasir al-Rays, salah seorang pembesar muazin dan ahli falak Masjidul Haram, disenandungkanlah nasyid-nasyid pujian bagi Rasulullah. Rombongan ini memasuki ruangan tempat kelahiran Nabi Muhammad, dibacakanlah beberapa bagian sejarah beliau, kemudian mereka shalat berjama’ah.

 Seluruh prosesi ini memakan waktu kira-kira dua jam dari waktu Maghrib. Kemudian pada malam harinya digelar hiburan kesenian Samar, sebagian orang kemudian berbincang-bincang di kedai-kedai kopi, orang-orang sufi berkumpul membentuk lingkaran-lingkaran dan mulai membaca kasidah-kasidah seperti Burdah, Hamzawiyah, dan syair-syair pujian yang lainnya.” Perayaan Maulid Nabi di Hijaz, khususnya Mekah, sudah tidak diadakan sejak berkuasanya pemerintahan Dinasti Bani Sa’ud. Pemerintahan baru yang kemudian dikenal sebagai ‘Al-Mamlakah Al-‘Arabiyyah As-Su’udiyyah’ (Kingdom of Saudi Arabia) ini memiliki pandangan keagamaan yang sangat sensitif terhadap berbagai macam petilasan, dan sangat mengkhawatirkan timbulnya syirik (penyekutuan terhadap Tuhan), serta melarang berbagai perayaan yang dianggap bid’ah.

Tempat kelahiran Nabi Muhammad yang dahulu menjadi pusat perayaan pun dihancurkan kubahnya, tidak boleh dijadikan masjid, kemudian digunakan sebagai fasilitas umum. Atas protes beberapa kalangan, tempat itu kemudian dijadikan perpustakaan agar bisa lebih diurus dan dikelola dengan baik. Meski demikian, masih banyak titik komunitas-komunitas masyarakat muslim di Mekah maupun Madinah yang tetap mengadakan acara-acara dalam rangka merayakan Maulid Nabi Muhammad saw.

Diolah dari artikel: Al-Ihtifaalaat fi al-Hijaz oleh Ibrahim al-Aqsham di alhejaz.

Nabi Sudah Sempurna, Tidak Perlu Didoakan’


Mereka Berkata ‘Nabi Sudah Sempurna, Tidak Perlu Didoakan’

Memasuki bulan Maulid, mulai bermunculan berbagai syubhat (propaganda) yang mengkritik tentang berbagai tradisi yang sudah mengakar di Nusantara ini. Mulai dari mengkritik perayaan Maulid, tawassul, ziarah kubur, serta tradisi peribadatan lain yang menurut cara pandang mereka bukan merupakan bagian dari ajaran Islam sebab tidak adanya dalil khusus yang menjelaskannya.

Salah satu hal yang dijadikan bahan kritikan dari berbagai tradisi ini adalah tradisi mendoakan Nabi Muhammad ﷺ, baik yang terlafalkan dalam doa-doa atau berupa ihda’ tsawab (pemberian hadiah pahala) kepada Nabi Muhammad ﷺ. Menurut mereka Nabi Muhammad adalah pribadi yang sempurna, tidak perlu didoakan atau diberi hadiah pahala, sebab selain belum ditemukan dalil yang menjelaskan diperintahkannya hal ini, pelaksanaan hal ini juga akan merendahkan nilai keluhuran Nabi Muhammad ﷺ dan memunculkan persepi seolah-olah Nabi Muhammad ﷺ sama dengan manusia lain yang membutuhkan panjatan doa dan zikir-zikir dari orang lain yang masih hidup. 

Pandangan demikian selintas terkesan logis dan masuk akal, banyak sekali orang yang terkecoh dengan hujjah-hujjah seperti ini hingga berimbas pada penolakan terhadap berbagai tradisi yang sama. Namun jika dicermati secara mendalam, segala bantahan dan sanggahan tentang pelaksanaan tradisi ini sangat mudah sekali untuk dijawab dan dimentahkan.

Sebenarnya kritik tentang masalah ini tidak hanya muncul di zaman sekarang. Adalah Imam Ibnu Taimiyah, salah satu pembesar mazhab Hanbali sekaligus “kiblat” penganut puritanisme, juga pernah mengkritik pelaksanaan doa dan ihda’ tsawab yang ditujukan pada Nabi Muhammad ﷺ. Beliau berpandangan bahwa tidak boleh ada yang berani bersikap pada Nabi Muhammad ﷺ yang derajatnya luhur kecuali dengan sesuatu yang diizinkan secara langsung oleh Nabi seperti mendoakan shalawat pada Nabi dan memohon wasilah (perantara) kepada Nabi Muhammad ﷺ, sehingga mendoakan Nabi selain dengan lafal shalawat serta ihda’ tsawab pada Nabi adalah sesuatu yang terlarang.

Pandangan Ibnu Taimiyah ini dibantah habis-habisan oleh para ulama yang tidak sependapat dengannya seperti Imam Subki serta ulama-ulama lain. Penulis akan sedikit mengulas berbagai bantahan yang disampaikan para ulama dalam menyikapi berbagai syubhat dari kelompok yang menolak permasalahan ini. 

Dalam Al-Qur’an dijelaskan:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab, Ayat 56)

Makna shalawat Allah pada Nabi dalam ayat di atas adalah Allah senantiasa merahmati dan meridhai Nabi, sedangkan makna shalawat malaikat adalah malaikat mendoakan dan meminta permohonan ampun untuk Nabi Muhammad ﷺ.

Berdasarkan ayat di atas, jika Allah dan Malaikat bershalawat pada Nabi yang salah satu kandungan artinya adalah mendoakan Nabi, lalu mengapa kita masih dilarang untuk mendoakan Nabi? Bahkan Mendoakan Nabi adalah salah satu wujud pelaksanaan perintah yang tercantum dalam akhir ayat di atas.


Imam Ibnu Abidin dalam Radd al-Mukhtar menjelaskan bahwa anjuran menghadiahkan pahala untuk orang lain juga mencakup terhadap Nabi Muhammad ﷺ, bahkan Nabi Muhammad ﷺ lebih berhak untuk dihadiahi pahala sebab jasanya yang telah menyelamatkan kita dari berbaga kesesatan (jahiliyah), oleh karenanya dalam menghadiahkan pahala pada Nabi Muhammad ﷺ terkandung rasa syukur dan pemberian yang baik (Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtar, Juz 2, hal. 243).

Sifat kesempurnaan yang ada pada Nabi Muhammad ﷺ bukan berarti nabi tidak perlu lagi berdoa untuk kebaikan dirinya sendiri dan tidak butuh didoakan oleh orang lain, sebab dalam pepatah Arab dijelaskan “al-kamil qabilun li ziyadati al-kamal” yang memiliki arti hal yang sempurna masih dapat bertambah sempurna. Berdasarkan hal ini, mendoakan pada Nabi Muhammad ﷺ dengan doa kemuliaan, keagungan dan ketinggian derajat bukan menafikan sifat kesempurnaan yang ada pada Nabi, tapi justru menjadikan kesempurnaan yang ada pada Nabi menjadi bertambah sempurna.

Pembuktian hal ini misalnya seperti doa Nabi yang terdapat dalam Al-Qur’an:

وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا

“Dan katakanlah (wahai Muhammad): ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan’.” (QS. Al-Ahzab, Ayat 114)

Dan juga doa Nabi Muhammad ﷺ yang terdapat dalam hadits:

كان يقول في دعائه واجعل الحياة زيادة لي في كل خير

“Rasulullah ﷺ berkata dalam doanya “Jadikanlah hidupku bertambah dalam segala kebaikan.”

Berdasarkan dua dalil di atas sangat nyata bahwa derajat dan kesempurnaan yang ada pada Nabi Muhammad ﷺ dapat semakin bertambah.

Sedangkan dalil dari segi amaliyah atas legalnya melaksanakan tradisi ini, ditunjukkan oleh para sahabat dan para ulama yang melakukan sebuah amal yang pahalanya ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ seperti yang dijelaskan dalam Radd al-Mukhtar:

أن ابن عمر كان يعتمر عنه -ﷺ - عمرا بعد موته من غير وصية وحج ابن الموفق وهو في طبقة الجنيد عنه سبعين حجة وختم ابن السراج عنه - صلى الله عليه وسلم - أكثر من عشرة آلاف ختمة وضحى عنه مثل ذلك اهـ

“Sesungguhnya Ibnu Umar melaksanakan ibadah umrah yang pahalanya ditujukan untuk Nabi Muhammad ﷺ tanpa adanya wasiat dari beliau, Ibnu al-Muwaffiq yang derajatnya setara dengan sufi terkemuka, Imam Junaid, melaksanakan haji untuk Nabi Muhammad ﷺ sebanyak 70 kali. Ibnu as-Suraij mengkhatamkan Al-Qur’an lebih dari 10 ribu khataman dan menyembelih hewan sebanyak 10 ribu lebih yang pahalanya ditujukan untuk Nabi Muhammad ﷺ” (Ibnu Abidin, Radd al-Mukhtar, Juz 2, hal. 243)

Dengan demikian, tradisi masyarakat yang berupa mendoakan Nabi Muhammad ﷺ dan menghadiahkan pahala untuk Nabi Muhammad ﷺ merupakan tradisi yang sebenarnya sudah dilaksanakan oleh para ulama terdahulu dengan dalil yang sangat jelas sekaligus tidak terbantahkan dengan hujjah manapun, dalil dan penalaran yang sama juga berlaku dalam mendoakan dan menghadiahkan pahala kepada para wali dan ulama yang memilki derajat yang luhur di sisi Allah SWT. 

Wallahu a’lam.

Sabtu, 17 November 2018

Dalil tentang Merayakan Maulid Dapat Datangkan Syafaat Nabi


Dalil tentang Merayakan Maulid Dapat Datangkan Syafaat Nabi

Ada syubhat (propaganda) dari sebagian kalangan bahwa orang yang merayakan maulid Nabi tidak layak mendapatkan syafaat. Mereka mengatakan bahwa yang mendapatkan syafaat Nabi adalah orang-orang yang men-tauhid-kan Allah.

Pendapat mereka berlandaskan pada hadits Nabi ﷺ:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ قَالَ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ 

“Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anh, beliau berkata, Ya Rasulallah siapa orang yang paling beruntung mendapatkan syafaatmu di hari kiamat? Nabi menjawab, wahai Abu Hurairah, sungguh aku menduga belum ada seorang pun yang bertanya sebelum kamu yang menanyakan hal tersebut, karena aku mengetahui kecintaanmu kepada hadits. Manusia yang paling bahagia dengan syafaatku di hari kiamat adalah orang yang berkata Lâ ilâha illa Allâh dengan tulus dari hatinya.” (HR. al-Bukhari, Muslim dan lainnya)

Dalam hadits tersebut, menurut mereka, tidak menyebutkan orang yang merayakan maulid, sehingga dapat disimpulkan bahwa yang mendapatkan syafaat adalah orang yang bertauhid, bukan orang yang merayakan maulid. Benarkah anggapan demikian?

Merayakan maulid merupakan luapan kegembiraan atas terlahirnya Nabi Muhammad ﷺ di dunia. Bergembira atas kelahiran Nabi manfaatnya tidak hanya dirasakan oleh orang yang beriman, namun juga oleh non-Muslim. 

Di setiap hari Senin, Abu Lahab diringankan siksanya, karena ia senang atas kelahiran Nabi, bahkan Abu Lahab memerdekakan budak perempuannya, Tsuwaibah al-Aslamiyyah untuk menyusui Nabi. 

Dalam Shahih al-Bukhari disebutkan:

قَالَ عُرْوَةُ وثُوَيْبَةُ مَوْلَاةٌ لِأَبِي لَهَبٍ كَانَ أَبُو لَهَبٍ أَعْتَقَهَا فَأَرْضَعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا مَاتَ أَبُو لَهَبٍ أُرِيَهُ بَعْضُ أَهْلِهِ بِشَرِّ حِيبَةٍ قَالَ لَهُ مَاذَا لَقِيتَ قَالَ أَبُو لَهَبٍ لَمْ أَلْقَ بَعْدَكُمْ غَيْرَ أَنِّي سُقِيتُ فِي هَذِهِ بِعَتَاقَتِي ثُوَيْبَةَ

“Urwah berkata, Tsuwaibah adalah budak Abu Lahab. Ia dimerdekakan oleh Abu Lahab, untuk kemudian menyusui Nabi. Ketika Abu Lahab meninggal, sebagian keluarganya bermimpi bahwa Abu Lahab mendapatkan siksa yang buruk. Di dalam mimpi itu, Abu Lahab ditanya. Apa yang engkau temui? Abu Lahab menjawab, aku tidak bertemu siapa-siapa, hanya aku mendapatkan keringanan di hari Senin karena aku telah memerdekakan Tsuwaibah.”

Hadits ini juga disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari, al-Imam Abdur Razzaq dalam kitab al-Mushannaf, al-Hafizh al-Baihaqi dalam kitab al-Dalail, al-Imam Ibnu Katsir dalam kitab al-Bidayah, al-Hafizh al-Baghawi dalam Syarh al-Sunnah, Ibnu Hisyam al-Suhaili dalam al-Raudl al-Anuf, dan al-Imam al-‘Amiri dalam Bahjah al-Mafahil.

Meski merupakan hadits mursal, namun hadits ini tetap dapat diterima riwayatnya, sebab al-Imam al-Bukhari sebagai pakar hadits yang otoritatif mengutipnya dalam kitab al-Shahih, demikian pula para ulama, para penghafal hadits berpegangan pada riwayat tersebut. Di sisi yang lain, hadits tersebut tidak berbicara halal-haram, namun berkaitan dengan sejarah, sehingga tetap bisa dibuat hujjah.

Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki menegaskan:

وهذه الرواية وإن كانت مرسلة إلا أنها مقبولة لأجل نقل البخاري لها واعتماد العلماء من الحفاظ لذلك، ولكونها في المناقب والخصائص لا في الحلال والحرام وطلاب العلم يعرفون الفرق في الاستدلال بالحديث بين المناقب والأحكام.

“Meski riwayat ini mursal, namun dapat diterima, karena al-Bukhari mengutipnya, ulama dari kalangan huffazh (penghafal hadits) juga berpegangan dengan riwayat ini, dan karena riwayat ini menjelaskan manaqib dan kekhasan seseorang, bukan urusan halal-haram. Para penuntut ilmu tentu mengetahui perbedaan antara mengambil dalil hadits di antara tema manaqib dan hukum.” (Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, al-I’lam bi Fatawi Ulama al-Islam Haula Maulidihi ‘alaihi al-Shalatu wa al-Salam, hal.14).

Bila Abu Lahab sebagai non-Muslim yang sangat memusuhi Nabi di sepanjang hidupnya, mendapatkan dispensasi siksa atas kegembiraannya merayakan momen kelahiran (maulid) Nabi, bagaimana dengan seorang Muslim yang merayakannya? Dalam hal ini, al-Hafizh Syamsuddin Muhammad bin Nashiruddin al-Damasyqi, sebagiamana dikutip Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki mengatakan:

إذا كان هذا كافرا جاء ذمــــــــه * بتبت يداه في الجحيم مخلدا

“Bila Abu lahab ini adalah seorang non-Muslim yang jelas dicela dalam ayat ‘tabbat yada’, ia kekal di neraka Jahim.”

أتى أنه في يوم الإثنين دائمـــــــا * يخفف عنه للسرور بأحمدا

“Ia mendapatkan keringanan siksa di setiap hari Senin, karena gembira atas kelahiran Nabi Ahmad.”

فما الظن بالعبد الذي طول عمره * بأحمد مسرورا ومات موحدا

“Bagaimana dugaanmu terhadap seorang hamba yang bergembiara atas kelahiran Nabi Ahmad di sepanjang umurnya dan mati dalam keadaan bertauhid?”

(Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, al-I’lam bi Fatawi Ulama al-Islam Haula Maulidihi ‘alaihi al-Shalatu wa al-Salam, hal. 14)

Dalam sudut pandang yang lain, perayaan maulid bukan terbatas seremonial atau perkumpulan biasa, namun dimaksudkan untuk memupuk rasa cinta kepada Nabi Muhammad ﷺ. Merayakan maulid adalah upaya untuk memperkuat hubungan kita dengan al-janab al-nabawi (sisi kenabian). Sehingga rasa cinta kepada Nabi menjadi hal yang terpatri pada diri setiap Muslim.

Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki mengatakan:

ليس المقصود من هذه الاجتماعات مجرد الاجتماعات والمظاهر بل ان هذه وسلة شريفة الى غاية شريفة وهي كذا وكذا ومن لم يستفد شيأ لدينه فهو محروم من خيرات المولد الشريف

“Tujuan perkumpulan ini bukan sebatas perkumpulan dan seremonial belaka, namun menjadi perantara mulia untuk maksud yang mulia, ini dan itu. Barangsiapa yang tidak mendapatkan faidah untuk agamanya, maka ia terhalang dari kebaikan-kebaikan maulid Nabi yang mulia.” (Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, al-I’lam bi Fatawi Ulama al-Islam Haula Maulidihi ‘alaihi al-Shalatu wa al-Salam, hal.10).

Mencintai Nabi memiliki keutamaan yang luar biasa. Di antaranya kelak di akhirat akan dikumpulkan bersama beliau di akhirat. Ada salah seorang sahabat mengadu kepada Nabi, ia tidak rajin shalat, puasa dan sedekah, ia hanya punya modal kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Nabi memberikan jawaban yang menggembirakan, bahwa sahabat tersebut kelak akan dikumpulkan bersama Nabi di hari kiamat. Bagaimana mungkin ia dikumpulkan bersama Nabi bila ia tidak mendapatkan syafaat  sang Nabi?

Dalam sebuah hadits dijelaskan:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَتَى السَّاعَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَعْدَدْتَ لَهَا قَالَ مَا أَعْدَدْتُ لَهَا مِنْ كَثِيرِ صَلَاةٍ وَلَا صَوْمٍ وَلَا صَدَقَةٍ وَلَكِنِّي أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ قَالَ أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ

“Dari sahabat Anas, sesungguhnya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi, kapan hari kiamat terjadi ya Rasul? Nabi bertanya balik, apa yang telah engkau persiapkan? Ia menjawab, aku tidak mempersiapkan untuk hari kiamat dengan memperbanyak shalat, puasa dan sedekah. Hanya aku mencintai Allah dan Rasul-Nya. Nabi berkata, engkau kelak dikumpulkan bersama orang yang engkau cintai.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Mengomentari hadits tersebut, al-Imam al-Nawawi mengatakan:

فيه فضل حب الله ورسوله صلى الله عليه و سلم والصالحين واهل الخير الاحياء والاموات ومن فضل محبة الله ورسوله امتثال امرهما واجتناب نهيهما والتأدب بالآداب الشرعية ولا يشترط في الانتفاع بمحبة الصالحين أن يعمل عملهم اذ لو عمله لكان منهم ومثلهم وقد صرح في الحديث الذي بعد هذا بذلك 

“Hadits ini menjelaskan keutamaan cinta Allah, Rasul, orang-orang shaleh dan ahli kebaikan, baik yang masih hidup atau sudah meninggal. Di antara keutamaan mencintai Allah dan RasulNya adalah mematuhi perintah dan menjauhi larangan-Nya serta beretika dengan etika-etika syar’i. Tidak disyaratkan untuk mendapatkan manfaat dengan cara mencintai orang-orang shaleh, berperilaku seperti mereka, sebab jika demikian, maka ia termasuk golongan mereka. Nabi telah menjelaskan hal ini dalam hadits setelah ini. (al-Imam al-Nawai, Syarh Muslim, juz.16, hal,186)

Memang ada beberapa hadits yang bermasalah riwayatnya berkaitan dengan jaminan syafaat Nabi bagi orang yang merayakan maulid. Misalkan hadits “Barang siapa yang megagungkan maulidku, maka aku memberinya syafaat di hari kiamat, barang siapa membelanjakan satu dirham untuk perayaan maulidku, seperti ia membelanjakan satu gunung emas di jalan Allah.” Namun, secara substansi hadits tersebut adalah benar. Permasalahannya hanya dalam etika periwayatan tidak perlu dinisbatkan kepada Nabi. 

Simpulannya, merayakan maulid Nabi adalah upaya yang sangat baik untuk meningkatkan rasa mahabbah kepada sang manusia terbaik. Nabi menjamin, yang mencintai beliau kelak akan dikumpulkan bersama beliau di tempat yang mulia. Mereka-mereka yang dikumpulkan bersama Nabi adalah yang mendapatkan syafaat beliau. Semoga kita semua kelak mendapat syafaat Nabi, dikumpulkan bersama beliau dan orang-orang shaleh. 

Wallahu a’lam. 

SHOLAT BERJAMA'AH DAN ALASAN DIPERBOLEHKAN MENINGGALKANNYA

SHOLAT BERJAMA'AH DAN ALASAN  DIPERBOLEHKAN MENINGGALKANNYA



Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْتَطَبَ ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ

Demi jiwaku yang ada pada tangan-Nya, aku telah bermaksud memerintahkan untuk mengambilkan kayu bakar, lalu dikumpulkan, kemudian aku memerintahkan azan shalat untuk dikumandangkan. Lalu aku memerintahkan seseorang untuk mengimami orang-orang berjama’ah, kemudian aku mendatangi orang-orang yang tidak shalat berjama’ah lalu aku membakar rumah mereka.” 

(HR. Bukhari, no. 644 dan Muslim, no. 651)

 
Tafsir/kesimpulan hadist

I. Boleh menjadikan imam yang kurang utama, padahal ada imam yang lebih utama jika memang ada maslahat, Kalau tidak ada Maslahat maka Imam yg Utama, imam Utama adalah imam yg memenuhi segala rukun sholat berjama'ah, (lihat kifayatul Akhyar Bab sholat syarat Imam).

II. Ada ancaman keras bagi orang yang meninggalkan shalat berjamaah.

III.Boleh meninggalkan shalat berjamaah jika memang ada uzur seperti salah satunya yang disebutkan dalam hadits.

IV.Shalat mesti dengan azan untuk menandakan masuknya waktu shalat.

Beberapa Alasan Laki-Laki Boleh Meninggalkan Shalat Berjama’ah di Masjid

a).Seseorang yang Fasih membaca Al-quran, sedangkan imam Fasik Baca Al-Qurannya,.        " Hendaknya yang menjadi Imam bagi suatu kaum orang yang paling pandai membaca Alqurannya", pandai disini Fasikhat, benar mahrojul hurufnya, serta ilmu Tajwidnya..(lihat Irsyadul 'ibad Bab sholat berjamaah Dari Hadist Ibnu mas'ud HR.Muslim)

b).Dalam keadaan sangat takut seperti ketika perang.

c).Sakit, / sakit keras.

d).Hujan deras yang menyulitkan.

c).Angin kencang di malam yang dingin.

e).Sudah dihidangkan makanan dan keadaan sangat lapar.

f).Ketika ingin buang hajat (kencing atau air besar).

g).Jika butuh penjagaan keamanan.

Sholat Fardhu berjama'ah adalah suatu keniscayaan yang harus dilaksanakan, sebagaimana banyak keterangan hadist yang menyatakannya, namun demikian Harus pula mengetahui syarat rukun dalam berjama'ah yang telah disebutkan diatas tentu akan lebih sempurna berjama'ahnya apabila memenuhi syarat Rukunnya, misalnya syarat rukun tentang imam yang diharuskan Fasikhat dalam membaca Alquran, akan tetapi seorang yang tidak Fasikhatpun boleh jadi imam ketika tidak ada ma'mum lagi yang lebih Fasikhat baca Alqurannya, dan apabila ada diantara ma'mum yang Fasikhat maka ia tak Boleh jadi imam.

Demikian keterangan yang  dapat disampaikan sebagai referensi agar selalu menjaga sholat dengan berjama'ah, dan tahu rukun2 dalam sholat berjama'ah.

(Sanhaji)