Maulid Nabi termasuk ibadah ghairu mahdhah
Siapakah makhluk yang pertama kali merasa terganggu atau bersedih dan susah atas kelahiran Baginda Nabi shallallahu alaihi wasallam ?
اعلم أن إبليس هو أول من انزعج من مولد النبي صلى الله عليه وسلم
Ketahuilah... Iblis adalah makhluk yang pertama kali bersedih dan susah atas kelahiran Baginda Nabi shallallahu alaihi wasallam
جاء في الروض الأنف (2/ 93):
Termaktub di dalam kitab Al Raudl al Unf, juz 2 hal.93 :
Ketika dilahirkannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, Iblis menjerit sejadi-jadinya
فكل من غاظه مولد النبي صلى الله عليه وسلم
Maka setiap orang yang marah, murka dengan kelahiran Baginda Nabi shallallahu alaihi wasallam
وعلا صوته بالتحريم فهو على مذهب أستاذه إبليس...
Dan dengan suara lantangnya mengharamkan (Maulid Nabi), maka dia mengikuti madzhab gurunya, yakni Iblis
Salah satu penyebab mereka yang terjerumus menjadi pengikut Iblis adalah karena mereka terjerumus perbuatan menyekutukan Allah akibat mereka salah dalam berijtihad dan beristinbat (menggali hukum) dari Al Qur’an dan Hadits sehingga mereka terjerumus melarang (mengharamkan) yang tidak dilarang (diharamkan) oleh Allah Ta’ala dan RasulNya atau mewajibkan yang tidak diwajibkan oleh Allah Ta’ala dan RasulNya
Firman Allah yang artinya, “Katakanlah! Tuhanku hanya mengharamkan hal-hal yang tidak baik yang timbul daripadanya dan apa yang tersembunyi dan dosa dan durhaka yang tidak benar dan kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan keterangan padanya dan kamu mengatakan atas (nama) Allah dengan sesuatu yang kamu tidak mengetahui.” (QS al-A’raf [7]: 33)
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Rabbku memerintahkanku untuk mengajarkan yang tidak kalian ketahui yang Ia ajarkan padaku pada hari ini: ‘Semua yang telah Aku berikan pada hamba itu halal, Aku ciptakan hamba-hambaKu ini dengan sikap yang lurus, tetapi kemudian datanglah syaitan kepada mereka. Syaitan ini kemudian membelokkan mereka dari agamanya,dan mengharamkan atas mereka sesuatu yang Aku halalkan kepada mereka, serta mempengaruhi supaya mereka mau menyekutukan Aku dengan sesuatu yang Aku tidak turunkan keterangan padanya”. (HR Muslim 5109)
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Mereka menjadikan para rahib dan pendeta mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah“. (QS at-Taubah [9]:31)
Ketika Nabi ditanya terkait dengan ayat ini, “apakah mereka menyembah para rahib dan pendeta sehingga dikatakan menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah?” Nabi menjawab, “tidak”, “Mereka tidak menyembah para rahib dan pendeta itu, tetapi jika para rahib dan pendeta itu menghalalkan sesuatu bagi mereka, mereka menganggapnya halal, dan jika para rahib dan pendeta itu mengharamkan bagi mereka sesuatu, mereka mengharamkannya“
Pada riwayat yang lain disebutkan, Rasulullah bersabda ”mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang haram, kemudian mereka mengikutinya. Yang demikian itulah penyembahannya kepada mereka.” (Riwayat Tarmizi)
Pada kenyataannya mereka yang melarang (mengharamkan) Maulid Nabi terjerumus perbuatan menyekutukan Allah Ta’ala karena mereka melarang (mengharamkan) tidak berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan Hadits.
Para fuqaha (ahli fiqih) mengingatkan bahwa perkara larangan yang jika dikerjakan berdosa maupun perkara yang disyariatkan dan merupakan suatu kewajiban yang jika ditinggalkan berdosa haruslah berdasarkan dalil yang jelas (qathi) dari Al Qur’an dan Hadits.
Para fuqaha (ahli fiqih) mengatakan bahwa perkara apapun yang tidak ada dalil yang menjelaskan keharaman atau kewajiban sesuatu secara jelas, maka perkara tersebut merupakan amrun mubah atau hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Oleh karenanya kami prihatin melihat mereka yang mengaku muslim namun merasa terganggu atau bersedih dan susah ketika mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) bergembira menyambut bulan yang dipenuhi kegiatan-kegiatan untuk memperingati Maulid Nabi.
Contohnya mereka melarang (mengharamkan) Maulid Nabi dengan “menyalahgunakan” perkataan ulama Syafi’iyyah
Berikut kutipan “dalil” mereka untuk melarang (mengharamkan) Maulid Nabi yang bersumber dari http://muslimah.or.id/5074-mana-dalil-yang-menyatakan-perayaan-maulid-haram.html
***** awal kutipan *****
Ulama Syafi’iyyah memiliki kaedah,
اَلْأَصْلَ فِي اَلْعِبَادَةِ اَلتَّوَقُّف
“Hukum asal ibadah adalah tawaqquf (diam sampai datang dalil)”
Perkataan di atas disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (5: 43). Ibnu Hajar adalah di antara ulama besar Syafi’i yang jadi rujukan.
Perkataan Ibnu Hajar tersebut menunjukkan bahwa jika tidak ada dalil, maka suatu amalan tidak boleh dilakukan.
Itu artinya asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkan.
Di tempat lain, Ibnu Hajar rahimahullah juga berkata,
أَنَّ التَّقْرِير فِي الْعِبَادَة إِنَّمَا يُؤْخَذ عَنْ تَوْقِيف
“Penetapan ibadah diambil dari tawqif (adanya dalil).” (Fathul Bari, 2: 80)
***** akhir kutipan *****
Kami mengatakan mereka “menyalahgunakan” perkataan ulama Syafi’iyyah karena pemahaman mereka tentang BID'AH berbeda dengan pemahaman ulama Syafi’iyyah
BID’AH yang artinya PERKARA BARU (MUHDATS), jika MENYALAHI LARANGAN Allah Ta'ala dan Rasulullah maka termasuk BID'AH SAYYIAH (BURUK) namun jika TIDAK MENYALAHI LARANGAN Allah Ta'ala dan Rasulullah maka termasuk BID'AH HASANAH (BAIK) atau Imam Syafi'i menyebutnya BID'AH MAHMUDAH"
Imam Syafi'i berkata
قاَلَ الشّاَفِعِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ -ماَ أَحْدَثَ وَخاَلَفَ كِتاَباً أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعاً أَوْ أَثَرًا فَهُوَ البِدْعَةُ الضاَلَةُ ،
Segala hal (kebiasaan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan menyalahi (bertentangan) dengan pedoman Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ (sepakat Ulama) dan Atsar (Pernyataan sahabat) adalah BID’AH yang SESAT (bid’ah dholalah).
وَماَ أَحْدَثَ مِنَ الخَيْرِ وَلَمْ يُخاَلِفُ شَيْئاً مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُوْدَةُ -(حاشية إعانة 313 ص 1الطالبين -ج )
Dan segala kebiasaan yang baik (kebaikan) yang baru (tidak terdapat di masa Rasulullah) dan tidak menyalahi (tidak bertentangan) dengan pedoman tersebut maka ia adalah BID’AH yang TERPUJI (BID’AH MAHMUDAH atau BID’AH HASANAH), bernilai pahala. (Hasyiah Ianathuth-Thalibin –Juz 1 hal. 313)
Begitupula Abu Nuaim dalam kitab Hilyah Al-Aulia, hlm. 9/76 meriwayatkan pernyataan Imam Syafi’i di mana ia berkata:
البدعة بدعتان، بدعة محمودة، وبدعة مذمومة. فما وافق السنة فهو محمود، وما خالف السنة فهو مذموم، واحتج بقول عمر بن الخطاب في قيام رمضان: نعمت البدعة هي
Artinya: Bid’ah itu ada dua: bid’ah terpuji (mahmudah) dan bid’ah tercela (madzmumah). Bid’ah yang sesuai Sunnah disebut bidah terpuji. Yang berlawanan dengan sunnah disebut bid’ah tercela. Imam Syafi’i berargumen dengan perkataan Umar bin Khattab dalam soal shalat tarawih bulan Ramadhan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.”
Perkara yang HARUS ada DALILNYA adalah untuk IBADAH MAHDHAH.
Sedangkan peringatan Maulid Nabi bukan IBADAH MAHDHAH melainkan IBADAH GHAIRU MAHDHAH.
KH Ali Mustafa Yakub (Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta sebelumnya) menyampaikan bahwa peringatan Maulid Nabi termasuk wilayah muamalah, “selama tidak melakukan hal-hal yang mengharamkan, ya boleh-boleh saja”. Beliau mencurigai ada pihak yang ingin memecah belah umat Islam, khususnya di Indonesia, dengan penetapan Maulid Nabi sebagai perkara bid’ah yang terlarang.
Prinsip IBADAH MAHDHAH diformulakan dengan KA + SS yakni karena Allah + sesuai syariat.
Ibadah mahdhah bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebut hikmah tasyri’. Keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at, atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
Azas ibadah mahdhah adalah “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah Azza wa Jalla kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasululullah shallallahu alaihi wasallam adalah untuk dipatuhi.
Contoh BID’AH dalam IBADAH MAHDHAH adalah terlarang sholat subuh tiga rakaat walaupun (rasional) menganggapnya baik karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat” (HR Bukhari 595, 6705).
Tidak boleh azan dalam sholat ied walaupun (rasional) menganggapnya baik berdasarkan kaidah ushul fiqih
اَلسُّكُوْتُ فِي مَقَامِ الْبَيَانِ يُفِيْدُ الْحَصْرَ
“Diam dalam perkara yang telah ada keterangannya menunjukkan pembatasan.”
Artinya bahwa diamnya Nabi atas suatu perkara yang telah ada penjelasannya menunjukkan hukum itu terbatas pada apa yang telah dijelaskan, sedang apa yang didiamkan berbeda hukumnya.
Maksud dari berbeda hukumnya adalah: bila nash yang ada menerangkan pembolehan maka yang didiamkan menunjukkan pelarangan, begitupun sebaliknya bila nash yang ada menerangkan larangan maka yang didiamkan menunjukkan pembolehan.
Imam Malik berkata “Barangsiapa yang membuat BID’AH dalam ISLAM yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia telah menuduh Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan Allah telah berfirman : ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”. Maka apa saja yang pada hari itu bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi bagian dari agama”
Berikut riwayat yang mencontohkan BID’AH dalam IBADAH MAHDHAH dan oleh Imam Malik disebut dengan BID’AH dalam ISLAM.
Ada seorang laki-laki yang datang kepada Imam Malik bin Anas Rahimahullah, dia bertanya : “Dari mana saya akan memulai berihram?”
Imam Malik menjawab : “Dari Miqat yang ditentukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau berihram dari sana”.
Dia bertanya lagi : “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh dari itu?”
Dijawab : “Aku tidak setuju itu”.
Tanyanya lagi : “Apa yang tidak suka dari itu ?”
Imam Malik berkata. “Aku takut terjatuh pada sebuah fitnah!”.
Dia berkata lagi : “Fitnah apa yang terjadi dalam menambah kebaikan?”
Imam Malik berkata : “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman artinya : “maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS An-Nur : 63] Dan fitnah apakah yang lebih besar daripada engkau dikhususkan dengan sebuah karunia yang tidak diberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”
Dari contoh di atas, dapat kita pahami bahwa “Bagaimana jika aku berihram dari tempat yang lebih jauh dari itu” adalah perbedaan yang terlarang karena berbeda dengan yang diajarkan oleh Rasulullah pada bagian yang terlarang untuk berbeda dan termasuk ibadah mahdah yang merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
Sedangkan prinsip IBADAH GHAIRU MAHDHAH diformulakan dengan BB + KA yakni berbuat baik + karena Allah
Ibadah Ghairu Mahdhah meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat, ada yang dicontohkan oleh Rasulullah dan ada pula yang tidak ditemukan pada zaman Rasulullah
Prinsip ibadah ghairu mahdhah adalah tidak perlu sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah karena keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah Ta’ala dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh dilakukan.
Ibadah ghairu mahdhah bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
Contoh ibadah ghairu mahdhah adalah kebiasaan yang baik termasuk kebiasaan dzikir, sholawat, ratib dll.
Ibadah-ibadah tersebut termasuk ibadah ghairu mahdah, karena tidak ditentukan cara-cara, waktu-waktu dan jumlahnya secara khusus.
Umat Islam dapat berdzikir kapan pun di manapun dan demikian juga dengan membaca al-Qur’an yang tentu saja terdapat beberapa pengecualian.
Adapun hadits-hadits yang menerangkan jumlah-jumlah dzikir Rasulullah dalam waktu-waktu tertentu biasanya berfungsi sebagai anjuran.
Umat Islam boleh mengungkapkan kecintaan kepada Rasulullah dengan sholawat yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah selama syair atau matan (redaksi) sholawat tersebut tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan Rasulullah atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits.
Contohnya Imam Asy-Syafi’i menyusun dan merutinkan kebiasaan sholawat atas Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang mana sholawat itu belum pernah disusun oleh ulama-ulama sebelumnya dan termuat dalam kitab Beliau yang berjudul Ar-Risalah yaitu:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ كُلَّمَا ذَكَرَهُ الذَّاكِرُوْنَ وَغَفَلَ عَنْ ذِكْرِهِ الْغَافِلُونَ
(Artinya: ”Ya Allah, limpakanlah shalawat atas Nabi kami, Nabi Muhammad, selama orang-orang yang ingat menyebut-Mu dan orang-orang yang lalai melupakan untuk menyebut-Mu.”)
Atau
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ . وَصَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ بِعَدَدِ مَنْ لَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ . وَصَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ كَمَا أَمَرْتَ بِالصَّلاَةِ عَلَيْهِ . وَصَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ كَمَا تُحِبُّ أَنْ يُصَلَّى عَلَيْهِ . وَصَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ كَمَا تَنْبَغِي الصَّلاَةُ عَلَيْهِ.
Artinya: ”Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad sebanyak jumlah orang yang bershalawat kepadanya, limpahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad sebanyak jumlah orang yang tidak bershalawat kepadanya, limpahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad sebagaimana shalawat yang Engkau perintahkan kepadanya, limpahkanlah shalawat kepada Nabi Muhammad sebagaimana Engkau suka agar dibacakan shalawat atasnya, dan limpahkanlah pula shalawat kepada Nabi Muhammad sebagaimana selayaknya ucapan shalawat atasnya.”
Azas ibadah ghairu mahdhah yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat adalah “manfaat” maksudnya selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.
Contohnya, sholat sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah adalah ibadah mahdhah sedangkan kebiasaan para Sahabat membaca surat al Ikhlas dalam sholatnya adalah ibadah ghairu mahdah yang boleh dilakukan berdasarkan manfaat yakni
Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “hubbuka iyyahaa adkhalakal jannah”, Cintanya pada surat Al ikhlas akan membuatnya masuk surga”
Sebab surat itu adalah menggambarkan sifat Arrahman, dan aku sedemikian menyukai membacanya.’ Spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah menyukainya
Berikut riwayat selengkapnya,
Diriwayatkan ketika Imam Masjid Quba setiap kali sholat ia selalu membaca surat Al Ikhlas, setiap sholat ia selalu membaca surat Al Fatihah, Al Ikhlas, baru surat lainnya. Ada orang yang mengadukannya pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kemudian ia ditanya oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam : Mengapa kau melakukan hal itu? Maka ia menjawab : “inniy uhibbuhaa” , Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “hubbuka iyyahaa adkhalakal jannah”, Cintanya pada surat Al ikhlas akan membuatnya masuk surga”
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih telah menceritakan kepada kami Ibn Wahb telah menceritakan kepada kami Amru dari Ibnu Abu Hilal bahwa Abu Rijal Muhammad bin Abdurrahman menceritakan kepadanya dari Ibunya Amrah binti Abdurrahman yang dahulu dalam asuhan Aisyah isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dari ‘Aisyah, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus seorang laki-laki dalam sebuah eskpedisi militer, lantas laki-laki tersebut membaca untuk sahabatnya dalam shalatnya dengan QULHUWALLAHU AHAD (Surat al Ikhlash) dan menutupnya juga dengan surat itu. Dikala mereka pulang, mereka menceritakan hal ini kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Tolong tanyailah dia, mengapa dia berbuat sedemikian? ‘ Mereka pun menanyainya, dan sahabat tadi menjawab, ‘Sebab surat itu adalah menggambarkan sifat Arrahman, dan aku sedemikian menyukai membacanya.’ Spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah menyukainya. (HR Bukhari 6827)
Mereka yang GAGAL PAHAM BID’AH sehingga mengingkari BID’AH HASANAH mengatakan bahwa kebiasaan para Sahabat dalam sholatnya membaca surat Al-Ikhlas walaupun tidak diajarkan (dicontohkan) oleh Rasulullah namun diketahui, ditetapkan dan dibenarkan oleh Rasulullah yang disebut dengan sunnah taqririyah sehingga menjadi bagian dari agama dan boleh kita ikuti.
Diamnya Rasulullah atau Rasulullah membolehkan atas kebiasaan yang tidak diajarkan (dicontohkan) oleh Rasulullah karena BID’AH atau perkara baru (muhdats) atau kebiasaan baru para Sahabat tersebut memang ditetapkan oleh Rasulullah bukan perkara terlarang.
Begitupula bukan perkara terlarang bagi umat Islam mempunyai kebiasaan dalam sholatnya membaca surat selain surat Al Ikhlas walaupun kebiasaan tersebut diamalkan tanpa sepengetahuan Rasulullah.
Jadi dengan kata lain, sunnah taqririyah adalah bid’ah para Sahabat yang ditetapkan oleh Rasulullah sebagai BID’AH atau perkara baru (muhdats) yang tidak terlarang sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2017/12/23/bidah-tidak-terlarang/
BID’AH atau perkara baru (muhdats) atau kebiasaan baru atau kebiasan yang tidak diajarkan (dicontohkan) oleh Rasulullah tersebut diperbolehkan oleh Rasulullah karena pada bagian yang memang tidak terlarang untuk berbeda.
Begitupula para fuqaha (ahli fiqih) berpendapat bahwa hadits atau sabda Rasulullah yang artinya “sholatlah sebagaimana kalian melihat aku sholat” (HR Bukhari 595, 6705) TIDAK DAPAT dipergunakan untuk MELARANG panggilan SAYYIDINA dalam sholawat ketika sholat karena menurut pendapat para fuqaha (ahli fiqih) memang dalam sholat ada bagian yang diperbolehkan BID’AH atau ada bagian yang boleh berbeda dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah.
Contohnya Abdulah bin Umar ra. menambahkan lafaz tahiyat sebagaimana dalam HR Abu Daud dalam Sunannya. Adapun lafaz tahiyat yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah;
…أشْهَدُ أنْ لّا إلهَ إلّا الله قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ [ فِيْهَا ] وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ….
Asyhadu an la Ilaha Illallah, Ibn Umar berkata; saya menambahkan Wahdahu la syarikalah…(HR. Abu Daud).
Begitupula salah seorang Sahabat yang bernama Rifa’ah bin Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata; Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’ beliau membaca: Sami’allahu Liman Hamidah, tiba-tiba salah seorang makmum berkata;
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: Siapakah yang mengatakan kalimat itu tadi?. Orang yang yang dimaksud menjawab: Saya Wahai Rasulullah. Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Bersabda: Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya. (HR. Bukhari, Abu Daud, Al- Nasa’i, Ahmad, dan Imam Malik)
Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah bin Rafi ini beliau katakan: Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan kebolehan menyusun zikir yang tidak ma’tsur di dalam shalat selama tidak bertentangan dengan yang ma’tsur (yang berasal dari Nabi shallallahu alaihi wasallam).
Oleh karenanya para fuqaha (ahli fiqih) berdalilkan dua riwayat tersebut berpendapat atau menetapkan bahwa kebiasaan panggilan sayyidina dalam sholawat ketika sholat bukanlah perkara terlarang karena tidaklah merusak tasyahud dan bahkan hukumnya sunnah (mandub) atau berpahala karena padanya ada sopan santun.
Berkata Syaikh Syihabuddin al Qaliyubi, pengarang dan pensyarah kitab minhaj Imam nawawi,
نعم ! لا يضر زيادة هيم فى عليك ولا يا نداء قبل ايها ولا وحده لا شريك له بعد اشهد ان لا اله الا الله, لورودها فى رواية كما قاله شيخنا ولا زيادة عبده مع رسوله ولا زيادة سيدنا قبل محمد. هنا وفى الصلاة عليه الاتية بل هو افضل لان فيه مع سلوك الادب امتثال الامر قليوبى
Artinya :”ya ! tidak merusakkan (dalam tasyahud) menambahkan huruf “mim” pada “’alaika”, begitu juga menambahkan “ya” sebelum “ayyuha”, begitu juga membaca “wahdahu la syarikalah” sesudah “asyhadu an la ilaha illallah”, begitu juga menambahkan “’abduhu” sebelum lafadh “warasuluhu”, begitu juga menambah “sayidina” sebelum nama “Muhammad” (dalam tasyahud atau dalam shalawat), tetapi membaca sayidina lebih afdhal karena dalam membaca “sayidina” itu kita sudah menjalankan perintah nabi serentak dengan memuliakan dan menghormati nabi. (Qaliyubi I, hal 167)
Para ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan sunnat menambah perkataan sayyidina pada lafazh shalawat tersebut. Dalam kitab Hasyiah al-Bajuri, salah satu kitab Syafi’iyah dikatakan :
“Pendapat yang mu’tamad dianjurkan menambah perkataan sayyidina, karena padanya ada sopan santun.” (Ibrahim al-Bajury, Hasyiah al-Bajuri ‘ala Fath al-Qarib, al-Haramain, Singapura, Juz. I, Hal. 157)
Ulama Syafi’iyah lainnya yang mengatakan sunnat menambah perkataan sayyidina dalam shalawat dalam shalat antara lain Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Ramli, al-Kurdy, al-Ziyadi, al-Halaby, dan lainnya. (Syarwani, Hawasyi ‘ala Tuhfah, Mathba’ah Mushtafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 86)
Sedangkan dari kitab ulama Hanafiyah antara lain tersebut dalam Hasyiah ‘ala Muraqi al-Falah karya Ahmad al-Thahthawy al-Hanafi, beliau mengatakan: “Berkata pengarang kitab al-Dar , disunatkan membaca perkataan sayyidina.” (Ahmad al-Thahthawy al-Hanafi, Hasyiah ‘ala Muraqi al-Falah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 181)
Dalam IBADAH MAHDHAH berlaku kaidah ushul fiqih Al aslu fil ibaadari at tahrim (HUKUM ASAL IBADAH ITU HARAM) atau Al aslu fil ibaadaati al khatri illa binassin (hukum asal dalam ibadah adalah haram kecuali ada nash yang mensyariatkannya) karena keberadaan ibadah mahdhah harus berdasarkan adanya dalil dari Al Qur’an maupun Hadits, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2018/03/13/asal-ibadah-itu-haram/
Jadi pertanyaan MANA DALILNYA atau IBADAH ITU ADALAH TAUQIFIYAH (tidak ada tempat bagi akal, rasio atau logika atau terima apa adanya) atau ibadah yang harus ada dalilnya HANYALAH dalam perkara IBADAH MAHDHAH bukan ibadah ghairu mahdhah.
Sedangkan dalam perkara IBADAH GHAIRU MAHDHAH berlaku kaidah usul fiqih “wal ashlu fi ‘aadaatinal ibaahati hatta yajii u sooriful ibahah” yang artinya “dan hukum asal dalam perkara IBADAH GHAIRU MAHDHAH yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat adalah mubah (boleh) sampai ada dalil yang memalingkan dari hukum asal atau sampai ada dalil yang melarang atau mengharamkannya“
Dalam perkara IBADAH GHAIRU MAHDHAH yang meliputi perkara muamalah, kebiasaan, budaya atau adat apapun, termasuk yang tidak ada pada zaman Rasulullah selama tidak menyalahi larangan Allah Ta’ala dan Rasulullah atau selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits maka hukum asalnya adalah mubah (boleh).
Contoh PERTAMA, seseorang membiasakan sebelum tidur membaca Al Qur’an 1 Juz tidak akan masuk neraka karena tidak melanggar larangan Allah dan RasulNya.
Kebiasaannya membiasakan sebelum tidur membaca Al Qur’an 1 Juz adalah SUNNAH HASANAH (bid’ah hasanah) atau contoh (teladan) atau perkara baru (muhdats atau bid’ah) atau kebiasaan baru yang baik yakni contoh atau kebiasaan baru yang tidak menyalahi laranganNya atau tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits. Sedangkan kegiatan membaca Al Qur’an 1 Juz hukumnya sunnah (mandub), berpahala.
Contoh KEDUA, mereka ada yang mempunyai kebiasaan daurah atau taklim setiap hari minggu hukum asalnya adalah mubah (boleh) sehingga tidak akan masuk neraka karena mereka tidak melanggar larangan Allah dan RasulNya.
Namun hukum asal berubah dari mubah menjadi haram kalau dalam daurah atau taklim mereka gemar mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka.
Kebiasaan membiasakan daurah atau taklim setiap hari minggu hukum asalnya mubah (boleh) sedangkan kebiasaan gemar mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka hukumnya haram, berdosa
Contoh PERTAMA, hukum asalnya dari mubah (boleh) menjadi sunnah (mandub) berpahala sedangkan contoh KEDUA, hukum asalnya dari mubah (boleh) menjadi haram, berdosa.
Contoh yang lain amalan atau perbuatan kita menulis di jejaring sosial seperti facebook maka kegiatan menulis itu hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Contoh hukum asalnya mubah menjadi haram yakni ketika tulisannya berisikan celaan karena melanggar larangan Rasulullah.
Rasulullah bersabda, “mencela seorang muslim adalah kefasikan, dan membunuhnya adalah kekufuran”. (HR Muslim).
Bagi orang-orang yang fasik, tempat mereka adalah neraka jahannam.
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan adapun orang-orang yang fasik maka tempat mereka adalah jahannam” (QS Sajdah [32]:20)
Sedangkan jika tujuan (maqoshid) kita menulis di facebook adalah mengharapkan ridho Allah dalam rangka dakwah maka amalan atau perbuatan atau kegiataan menulis menjadi ibadah dan berpahala atau sunnah (mandub)
Jadi perantara (wasail) kita menulis di Facebook dengan tujuan (maqoshid) mengharapkan ridho Allah dalam rangka berdakwah adalah ibadah ghairu mahdhah.
Jadi cara membedakan antara ibadah mahdhah dengan ghairu mahdhah dapat dilihat dari wasail (perantara) dan maqoshidnya (tujuan).
Untuk ibadah yang sifatnya mahdhah, hanya ada maqoshid, sedangkan untuk ghairu mahdhah ada maqoshid dan wasail
Sholat lima waktu sudah jelas karena ibadah yang dzatnya adalah ibadah, maka yang ada hanya maqoshid (tujuan) tidak ada wasail.
Begitu pula dengan peringatan maulid Nabi adalah wasail (perantara atau sarana) sedangkan maqoshidnya (tujuannya) adalah mengenal Rasulullah dan meneladani nya.
Hukum asal dari peringatan Maulid Nabi adalah mubah (boleh), boleh dilakukan dan boleh ditinggalkan.
Lalu mengapa menjadi sunnah dalam arti dikerjakan berpahala ?
Hal ini dikarenakan maqoshid (tujuan) dari Maulid Nabi adalah sunnah yakni mengenal Rasulullah dan meneladaninya karena hukum wasail itu mengikuti hukum maqoshid sebagaimana kaidah ushul fiqh lil wasail hukmul maqoshid.
Contoh lain dari kaidah lil wasail hukmul maqoshid. Anda membeli air hukum asalnya mubah, mau beli atau tidak terserah anda. Akan tetapi suatu saat tiba waktu sholat wajib sedangkan air sama sekali tidak ada kecuali harus membelinya dan anda punya kemampuan untuk itu maka hukum membeli air adalah wajib.
Begitupula kaum muslim mendapatkan pahala dari bentuk kegiataan yang dilaksanakan untuk mengisi acara peringatan Maulid Nabi tersebut sebagaimana yang telah disampaikan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2018/11/13/pahala-maulid-nabi/
Dengan sabda Rasulullah bahwa puasa Senin adalah sekaligus dalam rangka memperingati hari kelahirannya maka kaum muslim boleh memperingati Maulid Nabi dengan kebiasaan atau kegiatan apapun selama kebiasaan atau kegiatan tersebut tidak melanggar larangan Allah Ta’ala dan Rasulullah.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Ghailan bin Jarir bahwa mendengar Abdullah bin Ma’bad Az Zimani dari Abu Qatadah Al Anshari radliallahu ‘anhu,
قَالَ وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الِاثْنَيْنِ قَالَ ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أَوْ أُنْزِلَ عَلَيَّ فِيهِ
Rasulullah pernah ditanya mengenai puasa pada hari Senin, Beliau menjawab: “Itu adalah hari, ketika aku dilahirkan dan aku diutus (sebagai Rasul) atau pada hari itulah wahyu diturunkan atasku.” (HR Muslim 1977)
Peringatan Maulid Nabi yang umumnya dilakukan mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) dan khususnya kaum muslim di negara kita sebagaimana pula yang diselenggarakan oleh umaro (pemerintah) mengisi acara peringatan Maulid Nabi dengan urutan pembacaan Al Qur’an, pembacaan Sholawat dan pengajian atau ta’lim seputar kehidupan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan kaitannya dengan kehidupan masa kini.
Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi): “merupakan Bid’ah hasanah yang mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yang diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul shallallahu alaihi wasallam dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul shallallahu alaihi wasallam dan membangkitkan rasa cinta pada beliau shallallahu alaihi wasallam, dan bersyukur kepada Allah ta’ala dengan kelahiran Nabi shallallahu alaihi wasallam“.
Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar